Hidup bersama dalam suka cita belum menjamin keharmonisan, tetapi hanya cinta bisa mengatasinya (Kong Fu Tse)
Yang saya maksud harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan suatu eksistensi dalam sebuah kehidupan, baik di kantor maupun di dalam rumah tangga. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi.
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin.
Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat sekali dalam sebuah kebersamaan.
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna.
Pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Justru dalam perpaduan itu kita akan menemukan suatu keharmonisan. Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antara mereka. Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga, yaitu :
1. Jangan melihat ke belakang. Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak? Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini. Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru ia akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut terbuka kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perpecahan dan ketidakakuran. Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi.
Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongok ke belakang.
2. Berpikir objektif. Konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh. Jadi, mari kita coba melokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami dalam hal ini jangan disikapi dengan emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi dimana suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian. Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian pada diri anak-anak.
3. Melihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya. Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, kita mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.
Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan.
Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Misalnya, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Tuhan. Itu sudah merupakan kelebihan yang tiada taranya. Luar biasa nilainya di sisi Allah Bapa. Dari situlah kita bisa memandang.
Segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.
4. Sertakan sakralitas berumah tangga. Salah satu pijakan yang paling utama bagi seorang dan pasangannya rela berkorban dalam berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada Tuhan dan ungkapan. syukur secara bersama. Padahal kalau kita menurut hitung-hitungan materi, maka berumah tangga itu sangat melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah bapa janjikan karena kita ikut membangun dunia. Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, maka mari kita kembalikan semuanya itu kepada Tuhan. Allah bapa kita adalah pemilik masalah dan penyelesaiannya.
Mari kita melakukan pendekatan kepada Tuhan dan jangan bosan-bosan dengan doa.
Ketika kita meletakkan harapan pada Allah Bapa, maka masalah yang berat bisa terlihat ringan secara otomatis. Solusi akan terlihat di depan mata kita dengan ungkapan syukur maka berbahagialah kita dalam tangan-Nya.
Dalam kehidupan di kantor pun kita bisa mengikuti pandangan ini, sehingga kita sesama karyawan, pimpinan, dan staff bisa menjalin kerja sama dengan harmonis. Tuhan memberkati. Salam dan doa.









