Pengabdian bukan sekedar pelayanan, tetapi bagian dari nyanyian hati nurani (Powel)
Pagi-pagi sekali aku mendapat telepon dari dokter Tarti. Beliau adalah sahabat saya dari sebuah Rumah Sakit. Kabarnya bahwa ada sedikit masalah perihal operasi mata Katarak dari Paroki Kristoforus, yang dipimpin oleh Bapak Rudianto Prayatna. Pasalnya para pasien sudah datang tetapi masalah administrasi dan prosedural harus dipenuhi. Saya tidak enak hati jadi langsung menuju ke sana. Sampai divsana memang sudah 4 orang yang mau dioperasi Katarak, tetapi belum didaftar, belum bayar dan belum ada pengantar surat dokter. Kasihan juga sudah 2 jam menunggu apa harus disuruh pulang. Ada juga 3 pasien lainnya yang datang dan langsung dioperasi.
Karena pihak rumah sakitnya terus beralasan dan ngotot tidak mau terima, saya jadi emosi juga. Saya bilang ini karya pengabdian jadi harusnya birokrasi harus dikalahkan atau dikesampingkan. Karena tetap tidak diijinkan, saya bilang kenapa pasiennya tidak disuruh pulang saja? Mengapa harus disuruh tunggu begini lama hanya untuk disuruh pulang? Lalu melalui beberapa teman saya diperkenalkan dengan direktur rumah sakit. Sungguh luar biasa ternyata beliau langsung perintahkan adakan pemeriksaan dan dioperasi matanya. Dia juga minta maaf secara terbuka kepada saya. “Pengabdian itu beda dengan pelayanan, karena pengabdian itu bagian dari hati nurani, sedang pelayanan itu hanya memikirkan birokrasi dan administrasi, tanpa melibatkan nyanyian hati”, katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya tertegun, hampir kering leher saya, karena sekarang saya baru tahu bedanya pengabdian dan pelayanan!
Salut buat Pak Rudianto Prayatna. Akhirnya berhasil mengoperasi 79 orang warga Paroki Kristoforus dengan cuma-cuma !
Kita sering berbicara tentang pelayanan. Tuhan memang suka dan ingin kita manusia bisa saling melayani, tetapi Tuhan membutuhkan hati kita, bukan sekedar melayani tetapi memberi hati kita terutama menghadapi saudara-saudara kita yang berkekurangan, seperti halnya kita memberi, baik bantuan atau apa saja, berikanlah dengan hati yang tulus.
Pada suatu kesempatan, saya dengan seorang sahabat satu mobil, saat diperhentian lampu merah, ada seorang bapak pengemis. Lalu teman saya mengambil beberapa coin lalu diberikan kepadanya. Ternyata dengan manis sang pengemis mengembalikan coin tersebut dan mengatakan terima kasih, lalu pergi. Teman saya marah-marah. Saya tersenyum walau dalam hati jengkel juga. Kurang ajar si pengemis, dikasih uang kok malah menolak, tetapi saya coba refleksi sejenak dan dengan sadar, saya juga menyesal karena berfikir negatif. Manusiawi, harga diri, kesombongan, sering kita alami juga. Saya juga pernah mengalami meminta bantuan seseorang tetapi tidak sesuai dengan keinginan kita, lalu kita marah dan kesel. Inilah suatu kelemahan tetapi sekaligus kekuatan manusia, karena kita ambil nilai positifnya bukan negatifnya. Kita sering meminta kepada Tuhan, tapi sering menerima tidak sesuai dengan pemberian Tuhan, lalu kecewa seperti pengemis itu.
Saya menulis ini sambil makan Pangsit Mie di Makasar, sambil diiringi nyanyian seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu, judulnya Kasih. Ajarilah kami ini saling mengasihi, Ajarilah kami ini saling mengampuni, karena Kasih itu tiada batasnya. Makan Mie pun serasa lebih enak! Yang sekaligus mengajari saya, bagaimana melayani dengan hati. Mengabdi dengan cinta kasih, melalui firman Tuhan yang selalu membimbing kita sebagai terang bagi jalan hidup kita.
Kami mengunjungi beberapa orang sakit di Toraja, yang tidak kami kenal sebelumnya, lintas batas dan tidak ada interest sama sekali. Di sini mengingatkan saya kepada sahabat-sahabat dokter dari MSF (Medicine Sains Frontier – Dokter Lintas batas yang berpusat di Brussels). Kami bersama-sama mendarat di Banda Aceh juga di Jogjakarta. Rasanya rindu bisa bersama-sama lagi melihat perjuangan mereka, yang meninggalkan keluarga berbulan-bulan melayani di Indonesia, terhadap saudara-saudara kita yang mereka tidak kenal. Kisah ini diulang lagi oleh Pastor Gabriel Maing, OFM saat makan malam di Bumbu Desa minggu lalu, sambil bernostalgia saat beliau jadi kepala Paroki Bonaventura di Jogjakarta Semoga Tuhan selalu menguatkan hati kita dalam mengabdi. Salam dan doa.









