Cerpen 0016
Taman laut
Kupang
Sabtu
4 Oktober 2025
Perjuangan hidup
Dan
perjuangan rumah tangga mereka.
“Doa di Ujung Sunyi”
Surabaya, pukul enam pagi.
Matahari baru saja menyentuh genting-genting rumah kecil di sudut perumahan Menanggal.
Di dapur yang sempit tapi rapi, aroma kopi bercampur roti panggang mengisi udara.
Anita berdiri di depan meja makan, menyiapkan sarapan.
Senyumnya lembut, meski ada semburat letih di matanya. Dari ruang tamu, Bara muncul dengan kemeja putih dan dasi yang sedikit miring.
“Pagi, sayang,” sapa Bara.
“Pagi, Mas,” jawab Anita lirih sambil menuangkan kopi.
Bara mendekat, mencium kening istrinya, lalu duduk.
“Hari ini aku ada rapat guru jam tujuh.
Kamu antar anak-anak TK jalan-jalan, ya?”
Anita mengangguk. “Iya, ke Taman Flora.
Anak-anak pasti senang.”
Dari luar, rumah tangga mereka tampak sempurna
suami istri guru, hidup sederhana tapi saling melengkapi. Namun di balik itu, ada luka yang tak terlihat.
Sudah lima tahun mereka menikah, tapi belum satu pun tangisan bayi terdengar di rumah itu.
Doa dan harapan telah mereka ucapkan ribuan kali, di gereja, di kamar, di setiap detik yang sunyi. Namun jawabannya selalu sama
hening.
Bara mengenal Anita sejak SMA. Dulu mereka hanya teman biasa
sesekali belajar bersama, sesekali bertukar senyum di koridor sekolah.
Setelah lulus, mereka berpisah tanpa janji apa pun.
Tapi takdir mempertemukan kembali di Surabaya.
Bara menjadi guru SMA,
Anita guru TK di sekolah sebelah.
Setiap sore,
Bara sering mampir menjemput Anita pulang.
Dari kebiasaan itulah tumbuh cinta yang sederhana tapi tulus.
Namun kisah mereka tidak semulus jalan Surabaya di musim panas.
Bara, anak laki-laki Jawa, dibesarkan dalam keluarga muslim taat.
Ayahnya pensiunan guru ngaji, ibunya hafal surah Yasin di luar kepala.
Sedang Anita, gadis Batak dari keluarga Protestan yang keras dalam keyakinan.
Ketika hubungan mereka diketahui keluarga, badai pun datang.
“Bara, kamu sudah gila?” bentak ayahnya suatu malam. “Perempuan itu beda agama, beda suku. Jangan nodai darah keluargamu!”
Bara menunduk. Ia mencintai Anita, tapi tak ingin melukai orang tuanya.
Sementara di Medan, orang tua Anita juga marah.
“Kami tak membesarkan kau untuk menikah dengan orang yang tak mengenal Kristus dengan benar!” kata ibunya sambil menangis.
Namun cinta mereka tak menyerah. Setelah bertahun-tahun meyakinkan kedua pihak, Bara dan Anita memutuskan langkah besar: mereka sama-sama masuk Katolik.
Bukan karena paksaan, tapi karena ingin berjalan di satu jalan yang sama, memohon Tuhan menjadi saksi cinta mereka.
Pernikahan mereka sederhana
di sebuah gereja kecil di pinggiran kota, hanya dihadiri beberapa teman dekat.
Bara menatap Anita di depan altar, suaranya bergetar saat mengucapkan janji:
“Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, aku akan tetap setia… sampai maut memisahkan.”
Air mata Anita menetes, tapi senyumnya tulus. Ia percaya, cinta sejati adalah keberanian untuk melawan dunia.
Lima tahun berlalu.
Rumah mereka hangat oleh tawa, tapi juga sering sunyi oleh doa.
Tak ada tangisan bayi, tak ada langkah kecil berlarian di lantai.
Mereka telah mencoba segalanya
dari ramuan tradisional, terapi medis, hingga bayi tabung.
Tapi setiap kali hasilnya negatif, Anita selalu menatap langit dan berbisik,
“Tuhan, kalau bukan sekarang, mungkin nanti. Tapi tolong, jangan ambil harapanku.”
Bara selalu memeluknya dari belakang.
“Kita berdua sudah cukup,” katanya lembut. Tapi dalam hatinya, Bara pun menjerit.
Ia ingin menjadi ayah.
Ia ingin melihat Anita menggendong bayi, bukan hanya boneka anak TK.
Puncak tekanan datang dari keluarganya di Madiun.
Suatu sore, ibunya datang tanpa kabar, duduk di ruang tamu sambil membawa map kuning.
Di dalamnya, foto seorang gadis muda.
“Bara, ini Rini, anak teman Ibu. Masih perawan, sehat.
Kalau kamu mau, bisa kawin siri. Tidak usah Anita tahu,” katanya tenang tapi tajam.
Bara tercekat.
“Bu, jangan bicara begitu. Saya sudah menikah.”
“Tapi kamu belum punya anak!
Kamu laki-laki, harus meneruskan garis keturunan!”
Malam itu, Bara hanya bisa bersujud di ruang doa kecil mereka, menangis tanpa suara.
Anita melihat dari pintu, tapi tak berkata apa pun.
Ia tahu, suaminya sedang berperang antara cinta dan darah.
Hari-hari berikutnya menjadi berat. Bara mulai sering diam, Anita makin sensitif.
Kadang pertengkaran kecil jadi besar hanya karena hal sepele.
“Mas, kenapa sih diam terus? Aku capek disalahkan dunia!”
“Aku juga capek, Nita!
Aku cuma ingin kita kuat!”
Setelah pertengkaran itu, Anita mengurung diri di kamar.
Di tangannya, rosario kecil yang selalu ia genggam sejak mereka menikah.
Dalam keheningan, ia berdoa:
“Tuhan, kalau memang aku tak pantas jadi ibu, biarlah Engkau pakai aku untuk menjadi cahaya bagi anak-anak TK-ku.
Tapi tolong… jangan biarkan Bara berpaling dariku.”
Suatu malam, hujan deras mengguyur Surabaya.
Bara pulang larut, basah kuyup.
Ia duduk di kursi ruang tamu, memandangi foto pernikahan mereka di dinding.
Anita keluar dari kamar, membawa handuk.
“Mas…”
Bara menatapnya.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
“Maafkan aku, Nita.
Aku hampir menyerah.
Aku sempat berpikir… menikah lagi.”
Anita menutup mulutnya, menahan tangis.
Tapi lalu ia mendekat, memeluk suaminya erat.
“Mas, aku tahu. Aku juga hampir menyerah.
Tapi kalau kita masih bisa saling memeluk hari ini, berarti Tuhan belum meninggalkan kita.”
Malam itu, mereka berdoa bersama. Di tengah gemuruh hujan, dua hati yang luka menemukan kekuatan baru.
Waktu berlalu. Tahun keenam pernikahan datang tanpa tanda kehamilan. Tapi rumah kecil itu tak lagi sepi.
Setiap Sabtu sore, belasan anak TK datang ke sana untuk belajar menggambar bersama
“Bu Anita dan Pak Bara.”
Mereka tertawa, bernyanyi, berlari di halaman. Bara dan Anita memandangi mereka dari beranda, tersenyum.
“Lihat, Nita,” kata Bara pelan. “Mungkin Tuhan tidak memberi kita anak kandung, tapi memberi banyak anak hati.”
Anita menatapnya dengan mata basah.
“Iya, Mas.
Dan aku mencintai mereka seperti anakku sendiri.”
Suatu pagi, ketika sinar matahari menembus jendela dapur, Anita meletakkan secangkir kopi di meja seperti biasa.
Tapi kali ini ia memandang Bara lama sekali, seakan ingin mengingat setiap garis wajah suaminya.
“Mas,” katanya lirih,
“terima kasih sudah memilihku…
walau aku tak sempurna.”
Bara menggenggam tangannya.
“Tidak, Nita. Justru karena kamu tidak menyerah, aku jadi tahu apa artinya cinta yang sejati.”
Mereka tersenyum.
Di luar, suara anak-anak kecil mulai terdengar di halaman.
Hidup mereka tetap sederhana, tetap tanpa anak kandung.
Tapi setiap tawa anak-anak TK yang memanggil “Bu” dan “Pak” adalah bukti
Tuhan memang tidak pernah lupa memberi cinta. Hanya caranya yang berbeda.
Di gereja kecil tempat mereka dulu menikah, lilin masih menyala setiap Minggu.
Di bangku keempat dari depan,
Bara dan Anita duduk berdampingan, menggenggam tangan satu sama lain.
Mereka tak lagi berdoa meminta anak.
Kini mereka hanya berbisik,
“Terima kasih, Tuhan.
Karena Engkau telah mengajarkan kami arti cinta yang tak harus selalu memiliki, tapi selalu memberi.”
Dan di ujung doa itu, air mata mereka jatuh bersamaan
bukan lagi karena sedih, tapi karena syukur.
Www.adharta.com
Www.kris.com