Author Archives: adharta

Unknown's avatar

About adharta

Be positif

Penguin

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Philip Island
5 Juli 2025

Menikmati malam dingin banget di laut selatan
Menatap Kutub Selatan

🐧 Kisah Asal Usul Penguin Kecil di Phillip Island Melbourne Australia

Phillip Island, yang terletak sekitar 140 km tenggara Melbourne, dikenal dunia karena satu hal luar biasa

Little Penguins (Eudyptula minor), spesies penguin terkecil di dunia. Tingginya hanya sekitar 33 cm dan beratnya sekitar 1 kg saja mungil, Lucu dan Lincah tapi sangat tangguh!
Mereka sudah memiliki rumah rumah di tepi laut pantai yang luas

Komunitas mereka dalam Penguin kingdom punya kisah tersendiri

🌊 Asal Usul dan Kehidupan

Little Penguins sudah hidup di sepanjang pesisir selatan Australia dan Selandia Baru selama jutaan tahun.

Di Phillip Island, mereka telah menempati wilayah ini sejak zaman prasejarah, ketika pulau ini masih terhubung ke daratan besar Australia. Mereka memilih pulau ini karena iklimnya yang sejuk, perairannya yang kaya ikan kecil, dan pesisir yang aman untuk membuat sarang.

🏠 Habitat dan Perilaku

Para penguin ini bersarang di liang-liang bawah tanah atau di bawah semak-semak. Mereka menghabiskan siang hari berburu ikan di lautan — bisa berenang hingga 60 km dalam sehari! Menjelang senja, mereka pulang bersama-sama dalam parade lucu nan menggemaskan ke daratan — inilah yang dikenal sebagai Penguin Parade.

📉 Ancaman dan Pelestarian

Pada awal abad ke-20, populasi mereka terancam karena:

Pembukaan lahan untuk perumahan

Serangan rubah dan anjing liar

Polusi laut dan jaring nelayan

Tapi untungnya, sejak tahun 1985, pemerintah Victoria membentuk Phillip Island Nature Parks dan memulai konservasi besar-besaran:

Menutup pemukiman di Summerland

Mengembalikan habitat alami

Melarang lampu dan suara keras saat parade

Mendidik wisatawan dan warga lokal

Kini, lebih dari 32.000 ekor penguin hidup di Phillip Island — salah satu koloni terbesar di dunia!

🌍 Arti Penting Global

Phillip Island tak hanya penting bagi Australia, tapi juga bagi dunia. Ini adalah:

Cermin perubahan iklim (karena penguin sangat sensitif terhadap suhu laut)

Contoh konservasi sukses antara manusia dan alam

Daya tarik wisata global yang mengangkat ekonomi lokal

✨ Penutup

Menonton parade penguin saat mereka berjuang melintasi pasir menuju sarangnya adalah pelajaran tentang keberanian, ketekunan, dan harmoni dengan alam. Meskipun kecil, mereka membuktikan bahwa kerja sama dan kesetiaan bisa mengalahkan kerasnya alam.

Salam hangat untuk tanah air 🌏🇮🇩

Semoga Dunia semakin baik atas epnyertaan kita

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

From Kupang With Love

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Minggu
5 Oktober 2025

41.000 Kaki diatas Pulau Flores
Batik Air
ID 6541

Jam 06.50
Pesawat AirBus A320 lepas landas Bandar Udara Eltari
Nama Bandara ini diambil dari Nama Mantan Gubernur NTT
Bapak El Tari

Sebelumnya pelabuhan udara ini dikenal dengan nama Penfui nama daerah di Kupang

Setelah lepas 7 hari Kunjungan ke Kalabahi di pulau Alor dan Kupang

Nama Kupang diambil dari nama seorang raja jaman dulu tapi ada juga menyebut kubang atau genangan lumpur

Kota Kupang juga dikenal karena panasnya
Suhu udara siang hari bisa menyentuh 36 derajat Celcius

Kisah keluarga

Kami sekeluarga pindah dari Kalabahi ke Kupang di awal tahun 1962
Kami anak anak 10 orang kakak adik dan Papa Mama

Kami tinggal sementara di sebuah gubuk kecil sebelum akhirnya memiliki sebuah rumah batu kecil di desa Oeba
Oe artinya air
Ba sumber air
Sebuah kolam dekat rumah kami di samping asrama tentara
Menjadi sumber supply air buat kota Kupang

Tahun 1965 merupakan tahun penderitaan
Situasi sangat sulit terutama
karena hubungan Kupang dan Jawa terputus disebabkan situasi politik Indonesia yang tidak stabil sedangkan saat itu sumber bahan pangan semua dari Surabaya
Untuk keluarga miskin seperti kami makan bertahan dengan sedikit bubur dan kangkung rebus yang kami petik di saluran air
Itupun di campur gula air dari pulau sabu

Seluruh daerah NTT sangat menderita kelaparan

Untuk bertahan hidup
Ada yang makan batang pisang
Makan biji asam
Dan juga biji bijian
Yang di campur jagung

Awal Perubahan

Tuhan sangat mencintai kami sekeluarga yang berangsur pindah ke Surabaya

Ayah saya berusaha mengangkat kami semua dari penderitaan dengan meninggalkan kota Kupang di tahun 1967
Saat saya berusia 9 tahun

Kehidupan di Kota Kupang sebenarnya berjalan baik
Mama saya memang memiliki tangan emas
Dia bekerja sekuat tenaga menghidupi 10 anak yang masih kecil kecil
Membuat Kue kue basah
Kue kering dari tepung sagu yang dibikin sendiri dari singkong yang di parut
Menjahit pakaian
Dan semuanya dikerjakan sendiri tanpa bantuan
Setelah beberapa kakak saya besar mereka mulai membantu
Kami yang masih kecil hanya bisa menyaksikan saja.

Saat itu belum ada listrik
Penerangan Malam hanya dengan memakai lampu Petromax dengan minyak tanah yang dipompa ada kaosnya
Itupun hanya berlangsung sampai jam 9 malam selanjutnya kita hanya pakai tembok atau lentera atau lampu tempel kadang ada lilin

Penerangan utama menggunakan lampu Aladin
Buat anak cucu yang membaca cerita ini mungkin bisa merasakan bagaimana penderitaan kami semasa kecil
Dan perjuangan Ayah Bunda kami yang begitu keras berjuang

Kupang tetap menjadi saksi hidup

Kini Adik lelaki saya Freddy dan Kakak perempuan saya Christina tinggal di kota Kupang
Juga beberapa Keponakan
Seperti Toni Dima
Paul dan David juga banyak cucu cucu yang cantik cantik dan Ganteng
Ada yang sudah jadi Sarjana Hukum Herline dan Dokter Beatrix
Sebentar lagi akan melanjutkan ke tingkat spesialis

Kota Kenangan dengan
Jagung pulut bakar
Jagung titi di campur kenari
Daging Sei bakar
Daging Lalolak

Dulu di Kuoang banyak Apel
Apel bahkan banyak fi buat makanan babi

kalau kita ke Kapan atau Soe banyak sekali Apel di sepanjang jalan
Juga ke Kefamenanu di TTU
Sempat menikmati pemandangan pantai Kolbano dan Oetune yang memiliki keindahan khas

Yang menjadi kenangan buat saya
Bisa bertemu keluarga yang lebih tua dari kami
Tante dan Om yang sudah tua renta

Kupang menjadi ibu kota yang strategis

dalam sidang IMO tahun 2000 nama Kupang dan Sorong di sebut sebagai tempat singgah atau Hub yang memiliki nilai strategis dan ekonomis
Berada di jalur pelayaran international yang cukup ramai
Mungkin ini yang disebut Poros maritim.

Sebenarnya ada kesempatan Kupang untuk kota transit seperti Singapura

Bayangkan Australia menggunakan Singapura untuk re-packing pupuk untuk ke Asia Timur sampai Eropa
Saya lihat Pulau Semau bisa menjadi Hub Alternatif
Pupuk dari Australia bisa di olah lalu re- packing dalam bag kecil
Sumber hasil bumi
Sumber hasil laut bisa mengisi kapal kapal yang melewati menuju Asia Pacific dan sebaliknya

Kapal kapal masih sedikit karena jumlah komoditas sedikit apalagi operasional belum efisien sehingga mahal sekali
Bayangkan kirim Kontener Surabaya ke Kupang bisa diatas 8 digit
Angka yang cukup fantastis

Kalau saya melihat kejayaan Indonesia itu datangnya harus dari NTT
Nusa Tenggara Timur
Dari segala sudut
Lihat
Peternakan saja
Semua orang di Jawa makan daging sapi dari Kupang
Sebagian orang Tiongkok
Makan sapi impor dari Kupang
Melalui Hongkong
Ratusan ribu ekor sapi di export termasuk ke Australia
Sekarang kita impor sapi dari Australia

Dalam kunjungan ke Kupang saya sempat mampir di Kantor Gubernur NTT
Diterima
Bapak Melki Lakalena sahabat saya lama sekali
Kami menikmati suguhan kue kue dan makanan kecil
Saya memilih jagung rebus dan Singkong Goreng
Buat anda yang belum coba jagung pulut Kupang adalah kerugian besar

Pertanian juga memiliki kesempatan expor
Tahun 1988 seorang Pengusaha Amerika membeli jagung bibit dan di kembangkan tanaman jagung disana sampai ke Amerika Tengah
Hasilnya disana kini menjadi penghasilan jagung terbesar
Kupang punya Motong atau dikenal Dengan daun kelor atau Marungga
Bisa datang di restoran La Moringa (kalau di Jakarta di Kemang)

Perikanan hasil teripang

Kemarin saat tiba saya menikmati Lobster bakar di Hotel IMA yang enak dan Luar biasa
Rumput laut
Dan banyak hasil
Kekayaan tanah Timor sangat berlimpah

Dulu orang bilang
NTT singkatannya
Nasib Tidak Tentu
Atau
Nanti Tuhan Tolong

Tapi buat saya NTT
Itu
Nuansa Tak Terkira
Kelak akan jadi bintang penolong Negara Tanpa Tanding

Saya sudah diatas pesawat Batik
Saya kasih istilah Batik
Buat Anda yang Terbaik

Demikian juga Kupang
Aku panggil Pulang

Mari membangun NTT

Semoga

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Pengorbanan, cinta dan air mata

Cerpen 0016

Taman laut
Kupang
Sabtu
4 Oktober 2025

Perjuangan hidup
Dan
perjuangan rumah tangga mereka.

“Doa di Ujung Sunyi”
Surabaya, pukul enam pagi.

Matahari baru saja menyentuh genting-genting rumah kecil di sudut perumahan Menanggal.
Di dapur yang sempit tapi rapi, aroma kopi bercampur roti panggang mengisi udara.
Anita berdiri di depan meja makan, menyiapkan sarapan.

Senyumnya lembut, meski ada semburat letih di matanya. Dari ruang tamu, Bara muncul dengan kemeja putih dan dasi yang sedikit miring.

“Pagi, sayang,” sapa Bara.
“Pagi, Mas,” jawab Anita lirih sambil menuangkan kopi.
Bara mendekat, mencium kening istrinya, lalu duduk.
“Hari ini aku ada rapat guru jam tujuh.
Kamu antar anak-anak TK jalan-jalan, ya?”

Anita mengangguk. “Iya, ke Taman Flora.
Anak-anak pasti senang.”
Dari luar, rumah tangga mereka tampak sempurna
suami istri guru, hidup sederhana tapi saling melengkapi. Namun di balik itu, ada luka yang tak terlihat.

Sudah lima tahun mereka menikah, tapi belum satu pun tangisan bayi terdengar di rumah itu.

Doa dan harapan telah mereka ucapkan ribuan kali, di gereja, di kamar, di setiap detik yang sunyi. Namun jawabannya selalu sama
hening.
Bara mengenal Anita sejak SMA. Dulu mereka hanya teman biasa
sesekali belajar bersama, sesekali bertukar senyum di koridor sekolah.
Setelah lulus, mereka berpisah tanpa janji apa pun.
Tapi takdir mempertemukan kembali di Surabaya.
Bara menjadi guru SMA,
Anita guru TK di sekolah sebelah.
Setiap sore,
Bara sering mampir menjemput Anita pulang.
Dari kebiasaan itulah tumbuh cinta yang sederhana tapi tulus.

Namun kisah mereka tidak semulus jalan Surabaya di musim panas.

Bara, anak laki-laki Jawa, dibesarkan dalam keluarga muslim taat.

Ayahnya pensiunan guru ngaji, ibunya hafal surah Yasin di luar kepala.
Sedang Anita, gadis Batak dari keluarga Protestan yang keras dalam keyakinan.

Ketika hubungan mereka diketahui keluarga, badai pun datang.

“Bara, kamu sudah gila?” bentak ayahnya suatu malam. “Perempuan itu beda agama, beda suku. Jangan nodai darah keluargamu!”

Bara menunduk. Ia mencintai Anita, tapi tak ingin melukai orang tuanya.
Sementara di Medan, orang tua Anita juga marah.
“Kami tak membesarkan kau untuk menikah dengan orang yang tak mengenal Kristus dengan benar!” kata ibunya sambil menangis.

Namun cinta mereka tak menyerah. Setelah bertahun-tahun meyakinkan kedua pihak, Bara dan Anita memutuskan langkah besar: mereka sama-sama masuk Katolik.

Bukan karena paksaan, tapi karena ingin berjalan di satu jalan yang sama, memohon Tuhan menjadi saksi cinta mereka.
Pernikahan mereka sederhana
di sebuah gereja kecil di pinggiran kota, hanya dihadiri beberapa teman dekat.

Bara menatap Anita di depan altar, suaranya bergetar saat mengucapkan janji:
“Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, aku akan tetap setia… sampai maut memisahkan.”

Air mata Anita menetes, tapi senyumnya tulus. Ia percaya, cinta sejati adalah keberanian untuk melawan dunia.
Lima tahun berlalu.
Rumah mereka hangat oleh tawa, tapi juga sering sunyi oleh doa.

Tak ada tangisan bayi, tak ada langkah kecil berlarian di lantai.
Mereka telah mencoba segalanya
dari ramuan tradisional, terapi medis, hingga bayi tabung.
Tapi setiap kali hasilnya negatif, Anita selalu menatap langit dan berbisik,
“Tuhan, kalau bukan sekarang, mungkin nanti. Tapi tolong, jangan ambil harapanku.”
Bara selalu memeluknya dari belakang.

“Kita berdua sudah cukup,” katanya lembut. Tapi dalam hatinya, Bara pun menjerit.
Ia ingin menjadi ayah.
Ia ingin melihat Anita menggendong bayi, bukan hanya boneka anak TK.

Puncak tekanan datang dari keluarganya di Madiun.

Suatu sore, ibunya datang tanpa kabar, duduk di ruang tamu sambil membawa map kuning.
Di dalamnya, foto seorang gadis muda.

“Bara, ini Rini, anak teman Ibu. Masih perawan, sehat.
Kalau kamu mau, bisa kawin siri. Tidak usah Anita tahu,” katanya tenang tapi tajam.

Bara tercekat.
“Bu, jangan bicara begitu. Saya sudah menikah.”

“Tapi kamu belum punya anak!
Kamu laki-laki, harus meneruskan garis keturunan!”

Malam itu, Bara hanya bisa bersujud di ruang doa kecil mereka, menangis tanpa suara.
Anita melihat dari pintu, tapi tak berkata apa pun.
Ia tahu, suaminya sedang berperang antara cinta dan darah.

Hari-hari berikutnya menjadi berat. Bara mulai sering diam, Anita makin sensitif.
Kadang pertengkaran kecil jadi besar hanya karena hal sepele.

“Mas, kenapa sih diam terus? Aku capek disalahkan dunia!”

“Aku juga capek, Nita!
Aku cuma ingin kita kuat!”

Setelah pertengkaran itu, Anita mengurung diri di kamar.

Di tangannya, rosario kecil yang selalu ia genggam sejak mereka menikah.
Dalam keheningan, ia berdoa:

“Tuhan, kalau memang aku tak pantas jadi ibu, biarlah Engkau pakai aku untuk menjadi cahaya bagi anak-anak TK-ku.

Tapi tolong… jangan biarkan Bara berpaling dariku.”

Suatu malam, hujan deras mengguyur Surabaya.
Bara pulang larut, basah kuyup.
Ia duduk di kursi ruang tamu, memandangi foto pernikahan mereka di dinding.

Anita keluar dari kamar, membawa handuk.
“Mas…”
Bara menatapnya.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

“Maafkan aku, Nita.
Aku hampir menyerah.
Aku sempat berpikir… menikah lagi.”

Anita menutup mulutnya, menahan tangis.

Tapi lalu ia mendekat, memeluk suaminya erat.

“Mas, aku tahu. Aku juga hampir menyerah.
Tapi kalau kita masih bisa saling memeluk hari ini, berarti Tuhan belum meninggalkan kita.”

Malam itu, mereka berdoa bersama. Di tengah gemuruh hujan, dua hati yang luka menemukan kekuatan baru.

Waktu berlalu. Tahun keenam pernikahan datang tanpa tanda kehamilan. Tapi rumah kecil itu tak lagi sepi.

Setiap Sabtu sore, belasan anak TK datang ke sana untuk belajar menggambar bersama
“Bu Anita dan Pak Bara.”

Mereka tertawa, bernyanyi, berlari di halaman. Bara dan Anita memandangi mereka dari beranda, tersenyum.

“Lihat, Nita,” kata Bara pelan. “Mungkin Tuhan tidak memberi kita anak kandung, tapi memberi banyak anak hati.”

Anita menatapnya dengan mata basah.

“Iya, Mas.

Dan aku mencintai mereka seperti anakku sendiri.”

Suatu pagi, ketika sinar matahari menembus jendela dapur, Anita meletakkan secangkir kopi di meja seperti biasa.

Tapi kali ini ia memandang Bara lama sekali, seakan ingin mengingat setiap garis wajah suaminya.

“Mas,” katanya lirih,
“terima kasih sudah memilihku…

walau aku tak sempurna.”
Bara menggenggam tangannya.

“Tidak, Nita. Justru karena kamu tidak menyerah, aku jadi tahu apa artinya cinta yang sejati.”

Mereka tersenyum.
Di luar, suara anak-anak kecil mulai terdengar di halaman.
Hidup mereka tetap sederhana, tetap tanpa anak kandung.
Tapi setiap tawa anak-anak TK yang memanggil “Bu” dan “Pak” adalah bukti
Tuhan memang tidak pernah lupa memberi cinta. Hanya caranya yang berbeda.

Di gereja kecil tempat mereka dulu menikah, lilin masih menyala setiap Minggu.
Di bangku keempat dari depan,
Bara dan Anita duduk berdampingan, menggenggam tangan satu sama lain.

Mereka tak lagi berdoa meminta anak.
Kini mereka hanya berbisik,

“Terima kasih, Tuhan.

Karena Engkau telah mengajarkan kami arti cinta yang tak harus selalu memiliki, tapi selalu memberi.”

Dan di ujung doa itu, air mata mereka jatuh bersamaan
bukan lagi karena sedih, tapi karena syukur.

Www.adharta.com

Www.kris.com

Di Ujung Hujan, Ada Pelangi

Cerpen no 012

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Akhir September 2025

Musim hujan Jakarta

Malam itu hujan jatuh dengan deras di sebuah desa kecil di lereng gunung Dieng.
Atap rumah-rumah tua berderak menahan derasnya air.

Dari jendela sebuah rumah kayu, seorang gadis bernama Anjani menatap keluar.
Usianya baru tujuh belas, matanya jernih, seolah menyimpan langit yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun.
Ia tinggal bersama ibunya, Saras, seorang perempuan sederhana yang menjual sayur di pasar
Ayah Anjani sudah lama tiada, meninggalkan mereka dengan kenangan dan kesunyian.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Anjani memiliki dunia rahasia
ia bisa berbicara dengan bunga-bunga liar di kebun belakang rumahnya. Setiap kali hatinya resah, bunga mawar kuning akan berbisik lembut, “Jangan takut, hujan hanyalah cara langit mencuci luka bumi.”
Dan bunga melati akan menenangkan, “Kesedihanmu akan menjadi harum, suatu hari nanti.”

Rahasia itu membuat Anjani sering dipandang aneh oleh teman-teman sebaya.
Tapi ada satu orang yang selalu mempercayainya, seorang pemuda desa bernama Raka.

Pertemuan yang Mengikat Hati
Raka adalah anak dari keluarga petani kopi.
Usianya lebih tua tiga tahun dari Anjani, wajahnya teduh dengan senyum yang selalu hangat. Mereka bertemu pertama kali ketika Anjani menolong adik Raka yang jatuh di jalan desa. Sejak itu, kedekatan tumbuh perlahan, bagai benih yang disiram hujan lembut.
“Kenapa kamu sering berbicara sendiri di kebun?” tanya Raka suatu sore, saat matahari mulai turun di balik perbukitan.
Anjani tersenyum malu. “Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara dengan bunga-bunga.

Mereka mengerti perasaanku.”
Alih-alih menertawakan, Raka justru menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kalau begitu, suatu hari kenalkan aku pada bunga-bunga itu. Biar aku juga bisa belajar mendengarkan.”

Bagi Anjani, itu adalah momen paling indah. Pertama kali ada seseorang yang tidak menganggapnya gila.
Bayangan Gelap
Namun hidup tidak selalu ramah.

Saras, ibu Anjani, mulai sakit-sakitan. Batuknya tak kunjung reda, tubuhnya makin kurus. Ia tetap memaksa berjualan sayur di pasar, menolak anaknya berhenti sekolah.

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Saras memanggil Anjani.
“Nak, jangan takut pada hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu harus tetap kuat.
Kamu punya hatimu sendiri, itu cahaya yang akan membimbingmu.”

Anjani menangis, menggenggam tangan ibunya. “Ibu jangan bicara begitu. Aku tidak bisa sendiri.”
“Tidak ada yang benar-benar sendiri, Nak. Bahkan bunga pun punya angin dan hujan yang menemani mereka tumbuh.”

Keesokan harinya, Saras jatuh pingsan di pasar.
Dunia Anjani runtuh.
Harapan yang Pudar
Raka selalu ada, menemani Anjani melewati hari-hari kelabu. Ia membantu biaya berobat Saras, meski keluarganya sendiri tak kaya. Hubungan mereka semakin erat, tapi di balik itu muncul penolakan.

Ayah Raka menentang keras kedekatan mereka. “Keluarga kita sudah susah, jangan tambah susah dengan menikahi gadis yang ibunya sekarat.

Apa jadinya nanti? Kau butuh istri yang bisa menopang, bukan beban.”

Raka terdiam, hatinya terbelah. Tapi di depan Anjani, ia tetap teguh.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Anjani tahu, kata-kata itu tulus.
Namun ia juga tahu, kehidupan nyata tak semudah janji.

Fantasi yang Menyelamatkan
Suatu malam, Anjani kembali berbicara dengan bunga-bunga. “Aku takut kehilangan segalanya.
Aku takut dunia ini tidak menyisakan apa pun untukku.”
Mawar kuning menjawab, “Setiap kehilangan adalah pintu menuju pertemuan baru.”

Tiba-tiba, cahaya lembut menyelimuti kebun.
Dari kelopak bunga bermekaran, muncullah sosok perempuan bercahaya, gaunnya terbuat dari daun-daun yang berkilau basah oleh embun.

“Aku adalah Penjaga Kebun Kenangan,” katanya dengan suara selembut desir angin. “Hatimu yang murni membuatku bisa hadir.

Jangan takut, Anjani. Bahkan jika dunia mengambil yang kau cintai, selalu ada ruang di dalam dirimu untuk menumbuhkan cinta kembali.”

Air mata Anjani mengalir.
Ia merasa hangat untuk pertama kalinya sejak ibunya sakit.
Perpisahan yang Mengajarkan Cinta
Beberapa minggu kemudian, Saras meninggal dunia. Anjani merasa separuh dirinya ikut terkubur.

Pada malam kepergian ibunya, ia kembali ke kebun. Bunga-bunga berbisik serentak, seperti paduan suara yang indah namun menyayat

“Air mata adalah hujan, dan hujan menumbuhkan kehidupan baru.”

Raka berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangannya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Namun kenyataan kembali mengepung.

Ayah Raka semakin keras menentang.

Raka akhirnya dihadapkan pada pilihan: keluarga atau cinta.
Dan pada suatu sore, di tepi sungai, Raka menatap Anjani dengan mata berkaca.
“Aku ingin tetap bersamamu. Tapi ayahku… aku tidak bisa melawan dia selamanya.”

Anjani tersenyum lirih, meski hatinya hancur.
“Jangan khawatir, Raka. Aku tidak marah. Cinta itu bukan hanya memiliki. Kadang, cinta berarti melepaskan.”

Kesepian yang Menumbuhkan Harapan

Hari-hari berikutnya, Anjani hidup sendiri. Rumahnya sepi, tapi kebun bunganya selalu hidup.
Kadang ia merasa Saras hadir dalam harum melati, atau Raka bernafas dalam segarnya angin sore.
Ia mulai menulis, menuangkan percakapannya dengan bunga-bunga dalam bentuk cerita.

Setiap kata adalah obat bagi luka hatinya. Cerpen-cerpen itu kemudian ia titipkan pada seorang guru, yang diam-diam mengirimkannya ke sebuah majalah sastra.

Beberapa bulan kemudian, karyanya dimuat.

Ia mendapat surat dari seorang editor di Jakarta, menawarkan kesempatan untuk menulis lebih banyak.
Untuk pertama kali, Anjani merasakan jalan baru terbuka. Meski sendirian, ia tahu ibunya pasti tersenyum dari langit.

Akhir yang Pahit namun Indah

Bertahun-tahun berlalu.
Anjani tumbuh menjadi penulis muda yang dikenal karena kisah-kisahnya yang sarat air mata dan keajaiban kecil.

Dalam setiap tulisannya, selalu ada tokoh bunga, selalu ada hujan, dan selalu ada cinta yang meski berakhir sedih, tetap menumbuhkan harapan.

Raka? Ia menikah dengan gadis pilihan keluarganya. Tapi di dalam hatinya, ada ruang kecil yang tak pernah hilang untuk Anjani.

Pada suatu sore, ketika Anjani menatap matahari tenggelam di kebunnya, ia berbisik pada bunga mawar kuning:
“Apakah aku bahagia?”

Mawar itu menjawab lembut,
“Bahagia tidak selalu berarti memiliki segalanya.

Bahagia adalah ketika kau masih bisa mencintai, meski dari jauh, meski dalam kenangan.”

Anjani menutup matanya, membiarkan air mata jatuh.
Tapi di balik air mata itu, ada senyum.
Ia tahu, meski kisah cintanya tak berakhir seperti dongeng, hidupnya tetap dipenuhi cahaya.
Karena setiap hujan, pada akhirnya, selalu menyisakan pelangi.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Kalabahi Antara Hidup dan Cinta

Cerpen 0015

Oleh : Adharta

Ketua Umum

KRIS

Saya lahir di kota kecil Kalabahi, Pulau Alor, tahun 1958. Kota ini mungkin tidak setenar Surabaya, Jakarta, atau Makassar. Namun bagi saya, Kalabahi adalah tanah pertama yang mengajarkan arti kehidupan. Laut birunya, bukit-bukit yang mengelilinginya, dan pelabuhan kecil yang ramai oleh kapal PELNI menjadi bagian dari cerita masa kecil saya.

Ayah saya, Ingin Soei Ping—lebih dikenal dengan nama Johnny Ongko—adalah seorang pegawai PELNI. Ketika saya lahir, beliau bertugas sebagai Kepala Cabang di Kalabahi. Perjalanan hidupnya penuh perjuangan. Lahir di Fu Zhou, Tiongkok, ayah sudah merantau ke Indonesia sejak usia sepuluh tahun lebih. Seorang anak kecil yang datang dengan harapan, bekerja keras, dan akhirnya mampu berdiri tegak membangun keluarga. Dari tanah rantau inilah ia menemukan tempat tinggal, rezeki, dan cinta.

Ibu saya, Tjia Soei Tjoe, lahir di Makassar. Keluarganya berasal dari marga Hok Tjia di Tiongkok. Berbeda dengan ayah yang datang dengan kisah perantauan panjang, ibu tumbuh di tanah nusantara. Kelembutan dan keteguhannya menjadi penopang hidup keluarga. Dari beliaulah saya mengenal arti kasih yang tak pernah lekang oleh waktu.

Masa Kecil di Kalabahi

Masa kecil saya di Kalabahi sederhana. Hidup di kota pelabuhan kecil membuat hari-hari selalu diwarnai riuh kapal yang datang dan pergi. Saya masih ingat bagaimana aroma garam laut bercampur dengan suara peluit kapal menjadi bagian dari keseharian. Dari pelabuhan itulah ayah bekerja, memastikan semuanya berjalan dengan baik.

Kadang saya ikut melihat beliau bekerja. Dengan seragam rapi dan langkah tegap, ayah berdiri sebagai pemimpin di cabang PELNI. Ia sosok yang disegani, tetapi di rumah, ia tetaplah ayah yang penuh perhatian. Saya belajar dari sikap tegasnya, juga dari semangatnya untuk tidak menyerah pada keadaan.

Ibu, sebaliknya, adalah sosok hangat yang menjaga rumah tetap hidup. Ia mendidik saya dan saudara-saudara dengan penuh kesabaran. Saya masih bisa mengingat senyum lembutnya ketika menyiapkan makanan, atau saat menenangkan kami ketika ribut kecil sesama anak-anak.

Kalabahi bagi saya adalah kota cinta—cinta ayah yang berani meninggalkan tanah kelahirannya demi masa depan, cinta ibu yang setia mendampingi, dan cinta keluarga yang tumbuh di antara kesederhanaan hidup.

Kembali ke Kalabahi

Puluhan tahun berlalu. Waktu membawa saya jauh dari kota kecil ini. Saya tumbuh, menapaki jalan hidup, membangun keluarga sendiri, dan menghadapi suka-duka kehidupan. Namun,

Kalabahi tetap melekat di hati.

Hari ini, saya kembali. Bersama istri saya, Magdalena, dan kakak saya, Elianora, kami datang dalam rangka mengantar Hwa Dung bersama kedua anaknya, Guang Jie dan Guang Yie.

Ketika kapal merapat di pelabuhan Kalabahi, hati saya bergetar. Laut yang dulu terasa begitu luas kini menyambut saya seperti sahabat lama. Angin laut bertiup membawa kenangan. Setiap riak ombak seolah berbicara, mengingatkan saya pada masa kanak-kanak yang pernah dihabiskan di sini.

Bersama Magdalena, istri yang setia mendampingi perjalanan hidup saya, dan Elianora, kakak yang mengingatkan pada cerita masa kecil, saya melangkah menapaki tanah Kalabahi kembali. Kami berjalan di jalan-jalan kecil yang dikelilingi rumah-rumah sederhana. Sesekali saya berhenti, memandang sekitar, mencoba mencari jejak masa lalu.

Saya membayangkan kembali saat kecil berlari di halaman rumah, mendengar suara ibu memanggil dari dapur, atau melihat ayah pulang dari pelabuhan dengan wajah lelah tapi bahagia. Semua itu seperti hadir kembali, meski kini hanya tinggal kenangan.

Antara Hidup dan Cinta

Hidup adalah perjalanan panjang. Dari Kalabahi saya memulai, lalu beranjak ke banyak kota, menghadapi banyak pengalaman, kegagalan, keberhasilan, kesedihan, dan kebahagiaan. Namun dalam semua itu, ada satu hal yang selalu menjadi pegangan: cinta.

Cinta ayah dan ibu yang berani membangun hidup di tanah baru.

Cinta keluarga yang membuat saya bertahan meski keadaan sulit.

Cinta istri dan anak-anak yang memberi alasan untuk terus berjuang.

Dan hari ini, ketika kembali ke Kalabahi, saya sadar bahwa cinta itu pula yang membawa saya pulang.

Kalabahi bukan hanya kota kelahiran. Ia adalah rumah kenangan, tempat saya belajar arti keberanian, arti kesetiaan, arti keluarga, dan arti cinta.

Di antara hidup yang penuh liku, cinta selalu menjadi alasan untuk melangkah. Dan bagi saya, Kalabahi akan selalu dikenang sebagai titik awal segalanya—antara hidup dan cinta.

Alor Surga di Timur Nusantara

Oleh : Adharta

Ketua Umum

KRIS

Kalabahi

Kamis

2 Oktober 2025

Kisah kasih

Diatas pulau Alor

Pagi itu, udara Kalabahi begitu segar, langit biru cerah tanpa awan, seakan menyambut setiap langkah kami.

Dari Hotel Pelangi, saya, istri, dan keluarga besar yang berjumlah dua puluh orang dengan empat mobil, bersiap memulai perjalanan menuju salah satu keajaiban alam Pulau Alor: Pantai Mali, yang terletak tak jauh dari bandara. Tujuan utama kami adalah melihat dari dekat penghuni laut yang unik dan langka, si lembut penjelajah samudera dugong.

Dalam bahasa Mandarin, dugong dikenal sebagai 美人鱼 (Měi rén yú), yang secara harfiah berarti ikan putri cantik atau mermaid.

Saya jelaskan kepada Hwa Dung, Guanjie, dan Guanyi bahwa masyarakat lokal sering menyebutnya sebagai “ikan duyung” atau “ikan orang cantik.”

Nama yang indah, sama indahnya dengan makhluk itu sendiri.

Dugong adalah lambang harmoni antara manusia dan laut, simbol betapa kayanya Pulau Alor yang masih menyimpan keaslian alamnya.

Alam yang Memikat

Alor bukanlah sekadar pulau biasa.

Ia adalah permata di ujung timur Nusa Tenggara Timur, surga yang belum sepenuhnya terjamah modernitas.

Pantai-pantainya masih alami, lautnya sebening kristal, terumbu karangnya menari-nari dalam warna, dan masyarakatnya hidup dengan keramahan khas daerah timur.

Ketika kami tiba di Pantai Mali, mata kami disuguhi panorama pasir putih bersih yang berpadu dengan air laut biru toska.

Ombak kecil berkejaran di tepi pantai, sementara di kejauhan terlihat bayangan hijau perbukitan yang menambah kesan megah.

Tidak heran jika banyak orang mengatakan: “Jika belum sampai Alor, berarti belum merasakan surga dunia.”

Dan memang benar. Setiap jengkal tanah Alor menyimpan pesona.

Bukan hanya lautnya, tapi juga pegunungan, perkebunan, dan desa-desa yang masih menyimpan tradisi leluhur.

Musim Buah yang Menggoda

Kebetulan, perjalanan kami kali ini berlangsung saat musim mangga dan kelapa.

Pohon-pohon di sepanjang jalan tampak berbuah lebat.

Mangga yang ranum berwarna kuning keemasan jatuh bergantungan, mengundang untuk dipetik. Kelapa muda segar pun menjadi pelepas dahaga terbaik dalam cuaca hangat tropis.

“Wah, luar biasa,” kata salah satu anggota keluarga sambil menikmati segarnya kelapa muda yang baru saja dibelah. Tidak ada minuman modern yang mampu menandingi kesegaran alami itu.

Menjelajah Pantai Pulau Buaya

Sehari sebelumnya, kami sempat menikmati indahnya pantai di depan Pulau Buaya, sebuah lokasi wisata yang kini dimiliki oleh Bapak Kornelius Retika. Pantai itu begitu tenang, air lautnya sebening kaca hingga ikan-ikan kecil terlihat jelas berenang di bawah permukaan. Anak-anak berlarian di pasir, sementara orang dewasa bersantai menikmati hembusan angin laut.

Menikmati Kuliner Khas Alor

Tak lengkap rasanya menikmati perjalanan tanpa mencicipi makanan khas daerah. Alor kaya dengan sajian tradisional yang menggugah selera.

Kami disuguhi berbagai hidangan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyimpan cerita panjang warisan nenek moyang.

Ada kue rambut, dengan bentuknya yang unik menyerupai helaian halus, manis legit di lidah.

Kue cucur yang gurih dan harum, kue wajik dengan rasa manis ketan yang melekat, singkong goreng sederhana namun nikmat, hingga pisang goreng yang hangat renyah. Jangan lupakan lumpia Alor dengan isian khas, serta mie Alor yang menggoda selera. Semua itu berpuncak pada sajian utama: ikan bakar segar yang baru diambil dari laut. Rasanya sungguh luar biasa—lezat, murni, dan otentik.

Kuliner Alor bukan sekadar makanan, melainkan sebuah perayaan atas kesederhanaan hidup yang berpadu dengan kekayaan alam.

Jejak Keluarga di Kalabahi

Selain keindahan alam, perjalanan kali ini juga membawa kami menelusuri jejak sejarah keluarga. Saya berkesempatan mengunjungi rumah kakek saya, Ong King Tjao, yang merupakan salah satu pendiri kota Kalabahi. Rumah itu kini telah menjadi cagar budaya, simbol peran serta keluarga dalam pembangunan kota. Berdiri di depan rumah bersejarah itu, hati saya dipenuhi rasa syukur sekaligus haru.

Kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi makam nenek saya, yang kami panggil Putri Ina Lipu. Beliau bukan orang sembarangan—salah satu putri raja Alor yang dikenal dengan kecantikan dan keanggunannya. Berziarah ke makam beliau menjadi momen refleksi, mengingatkan kami pada akar dan identitas yang melekat kuat di tanah kelahiran ini.

Pesona Budaya dan Masyarakat

Selain panorama alam, Pulau Alor juga mempesona dengan budaya masyarakatnya. Tarian tradisional, musik sasando, dan tenun ikat khas Alor adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Setiap helai kain tenun dibuat dengan tangan, penuh makna dan simbol yang menceritakan sejarah, status sosial, hingga doa yang terselip dalam motifnya.

Masyarakat Alor hidup dalam kebersahajaan, dengan nilai kekeluargaan yang kuat. Mereka menyambut tamu dengan senyum hangat, membuat setiap pengunjung merasa seperti pulang ke rumah sendiri.

Pulau yang Tak Terlupakan

Perjalanan ke Alor bukanlah sekadar liburan, melainkan sebuah pengalaman spiritual. Setiap sudutnya menyimpan kisah, setiap hembusan angin membawa kenangan, dan setiap langkah menegaskan rasa cinta pada tanah kelahiran.

Bagi saya pribadi, Alor bukan hanya indah karena laut, pantai, atau gunungnya. Ia indah karena menyimpan sejarah keluarga, akar kehidupan, dan identitas yang tak tergantikan. Dari rumah kakek yang kini menjadi cagar budaya, hingga makam nenek yang mulia, semuanya menegaskan bahwa Alor bukan sekadar tanah, melainkan tanah tumpah darah yang memberi arti sejati pada kata pulang.

Penutup

Pulau Alor adalah surga yang nyata. Keindahan alamnya begitu memikat, kulinernya menggoda, budayanya kaya, dan masyarakatnya ramah. Tak berlebihan jika saya mengatakan: “Jika belum sampai Alor, berarti belum merasakan surga dunia.”

Bersama keluarga, saya menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang wisata, tetapi tentang merawat kenangan, menghormati leluhur, dan mensyukuri anugerah Tuhan. Di Alor, kami tidak hanya berlibur, tetapi juga kembali ke akar, kembali ke asal, dan kembali pada rasa cinta yang paling murni untuk tanah kelahiran.

Bolehkah Aku Makan Bersamamu?

Cerpen no 013

Oleh: Adharta
Ketua umum
KRIS

Akhir September 2025

IMalam di Marlowe’s
Malam Oktober di Chicago selalu menyimpan nuansa yang khas: udara dingin yang merayap, angin dari tepi Sungai Chicago yang menusuk, dan lampu-lampu kota yang berkilau seperti bintang yang jatuh ke bumi.

Malam itu, restoran Marlowe’s—ikon kuliner berbintang Michelin di tepi sungai—penuh dengan tamu istimewa. Para pengusaha, politisi, dan selebritas menikmati hidangan mahal yang ditata bagai lukisan.
Di salah satu sudut ruang, seorang pria paruh baya duduk sendiri. Wajahnya tenang, tatapannya dingin, rambutnya beruban dengan sisiran rapi. Dialah Richard Evans, nama besar dalam dunia properti.

Di balik jas Armani yang melekat di tubuhnya, ada aura kekuasaan yang membuat orang menunduk ketika ia lewat.
Namun di balik semua itu, Evans adalah pria yang memilih kesunyian di tengah keramaian.
Ia jarang tersenyum, apalagi tertawa.

Hidup baginya adalah tentang strategi, akuisisi, dan angka-angka.

Malam itu ia memesan dry-aged ribeye, daging pilihan yang telah diproses dengan kesabaran, sama seperti dirinya yang membangun imperium dengan disiplin dan keteguhan.

Saat pelayan meletakkan piring di hadapannya, suasana tenang itu tiba-tiba pecah oleh suara kecil yang asing di telinga semua orang.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

“Tuan… bolehkah saya makan bersamamu?”

Evans mendongak. Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam denting gelas kristal di seluruh ruangan.
Di hadapannya berdiri seorang gadis kecil, kira-kira sebelas tahun.

Rambutnya kusut, wajahnya berdebu, dan kakinya telanjang. Gaunnya lusuh, terlalu besar bagi tubuh kurusnya.

Matanya meski redup oleh kelelahan
memancarkan cahaya yang sulit diabaikan
kejujuran seorang anak yang lapar.

Restoran mendadak hening. Para tamu menoleh dengan tatapan terkejut bercampur jijik. Seorang maître d’ segera melangkah hendak mengusirnya, namun Evans hanya mengangkat tangan.

“Siapa namamu?” tanyanya pelan, lipatan serbet masih tergenggam rapi di tangannya.

“Emily…”
jawab gadis itu gugup, matanya menunduk.
“Aku belum makan sejak Jumat.”

Kalimat itu menusuk udara seperti belati. Sebagian tamu menunduk, sebagian pura-pura tak mendengar.
Tapi Evans, yang selama ini dikenal tak pernah goyah, justru menatap gadis itu lama.

“Duduklah,” katanya akhirnya sambil menunjuk kursi kosong di depannya.

Emily menurut. Kakinya menggantung, tak menyentuh lantai.
Ia menatap steak mahal di meja dengan tatapan campur aduk penuh kerinduan, takut, tapi juga berharap.

Pelayan mendekat, menunggu instruksi. Evans hanya berkata singkat, “Bawakan steak saya untuknya. Dan segelas susu hangat.”

Steak Pertama

Ketika piring besar diletakkan di depannya, Emily menelan ludah. Tangannya gemetar saat memegang garpu.
Ia mulai makan perlahan, seolah setiap potongan bisa menghilang bila tidak segera ditelan.
Tak ada satu pun kata keluar dari bibirnya, hanya tatapan syukur yang dalam.

Evans menatapnya diam-diam.
Di balik wajah tenangnya, ingatan lama muncul ingatan yang selalu ia kubur dalam-dalam.
Ia pernah berada di posisi itu.
Ia pernah tidur di jalan, memungut kaleng demi uang receh, dan menghabiskan malam di bangunan kosong dengan perut kosong.

Ia tahu betul bagaimana rasa lapar bisa lebih keras daripada suara hati.

“Di mana keluargamu?” tanyanya setelah piring itu bersih.

Emily berhenti sejenak. Suaranya kecil, patah-patah.
Ia bercerita tentang ayah yang meninggal karena kecelakaan, ibu yang pergi dan tak pernah kembali, serta nenek yang baru saja berpulang. Kini ia benar-benar sendirian.

Ruangan itu kian sunyi.
Bahkan denting gelas pun seperti menahan diri.

Evans menghela napas panjang, menahan sesuatu yang menekan dadanya.
Ia tak pernah membiarkan orang lain melihat kelemahannya. Tapi gadis kecil ini menyentuh lapisan hatinya yang paling rapuh.

Tawaran Hidup Baru

Evans berdiri, mengeluarkan dompet.
Para tamu mengira ia akan memberi uang
sedekah yang lumrah.
Namun ia melakukan sesuatu yang jauh lebih tak terduga.

“Maukah kau pulang bersamaku?” tanyanya.

Emily terperangah. “Apa maksudmu?”
“Maksudku tempat tidur. Makanan yang layak.
Sekolah.
Hidup baru.
Tapi semua itu butuh usaha dan rasa hormat.
Tak ada lagi rasa lapar.”

Air mata menggenang di mata Emily.
Ia hanya mengangguk, takut bila suara keluar dari bibirnya, segalanya akan lenyap.

Malam itu, dunia kecil seorang anak tunawisma berubah selamanya.

Malam Pertama

Rumah Evans bukan sekadar rumah
melainkan istana kaca dengan pilar marmer dan taman luas. Namun bagi Emily, yang terbiasa tidur di bangku taman, semua itu terasa seperti mimpi.

Ketika ia masuk ke kamar tamu yang disiapkan, ia tertegun. Tempat tidur empuk, seprai wangi, lampu hangat. Tapi naluri bertahan hidup masih melekat.
Malam itu, Emily tetap tidur meringkuk di lantai, dan menimbun roti gulung di balik kausnya, takut kehilangan makanan lagi.
Ketika pengurus rumah tangga menemukan tumpukan biskuit di bawah bantalnya, Emily menangis histeris, merasa akan diusir.

Namun Evans berjongkok di sampingnya, menatapnya dengan lembut. “Kau tak perlu takut lagi.

Di sini, kau tidak akan kelaparan.”
Kalimat itu bagai selimut hangat yang membungkus hatinya.

Tumbuh Bersama Luka

Hari-hari berikutnya penuh perjuangan. Emily belajar tata krama, membaca, menulis, dan mengejar pelajaran yang tertinggal.
Evans menyediakan tutor terbaik, tapi ia juga menjadi guru dalam banyak hal. Hampir setiap malam, mereka berbicara di ruang tamu sambil menyeruput cokelat panas.

Emily bercerita tentang rasa sepi, Evans bercerita
sedikit demi sedikit—
tentang masa lalunya yang kelam.
Ia mengaku pernah menjadi anak jalanan, merasakan dinginnya malam tanpa selimut, dan menatap orang-orang yang pura-pura tidak melihatnya.

“Kau tahu, Emily,”
katanya suatu malam, “hidup bisa kejam.
Tapi jika kita bisa bertahan, ada kekuatan yang lahir dari luka itu.”

Kata-kata itu melekat di hati Emily. Ia belajar tidak hanya dari buku, tetapi dari keteguhan pria yang kini ia anggap sebagai ayah.

Panggung Wisuda

Tahun demi tahun berlalu. Emily tumbuh menjadi gadis cerdas dan penuh semangat.

Ia diterima di Columbia University, salah satu universitas terbaik di dunia.

Hari wisudanya menjadi hari penuh air mata. Evans duduk di barisan depan, jasnya rapi, tetapi matanya berkaca-kaca.
Emily berdiri di podium, toga biru tua melekat di tubuhnya, senyumnya bersinar.
Ia membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat seluruh aula terdiam.

“Kisah saya dimulai dengan lima kata sederhana:

‘Bolehkah saya makan bersamamu?’”

Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Evans.
“Seorang pria menjawab dengan kebaikan, dan hidup saya berubah selamanya.
Saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras, tapi karena belas kasih yang ditawarkan pada saat saya paling membutuhkan.”

Tepuk tangan menggema. Banyak yang menangis. Evans menunduk, menyembunyikan air mata yang tak terbendung.

Warisan Kebaikan

Emily tidak memilih jalan mudah ke Wall Street, meski pintu terbuka lebar.

Sebaliknya, ia mendirikan yayasan:

Can I Eat With You?

Foundation dedikasi untuk anak-anak tunawisma.
Evans mendukung penuh, bahkan menyumbangkan sepertiga kekayaannya. Bersama-sama, mereka membangun rumah singgah, dapur umum, dan beasiswa.

Setiap anak yang lapar mendapat kesempatan, sebagaimana Emily dulu mendapatkannya.
Dan setiap tanggal 15 Oktober, mereka kembali ke Marlowe’s.

Bukan untuk makan mewah di dalam, melainkan memenuhi trotoar dengan meja-meja panjang. Makanan hangat tersaji, tangan terbuka menyambut, tanpa ada pertanyaan.

Karena kebaikan yang lahir dari satu meja kecil di malam Oktober itu, tak pernah benar-benar pergi.

Banyak tahun kemudian, ketika Evans sudah renta, ia sering duduk di beranda rumahnya sambil memandang senja.
Emily, yang kini menjadi pemimpin yayasan, selalu duduk di sampingnya.
“Terima kasih, Tuan Evans,” katanya suatu sore.
Evans tersenyum samar. “Jangan panggil aku Tuan. Kau anakku.”
Air mata Emily jatuh tanpa bisa ditahan.
Sebab ia tahu, cinta yang tumbuh dari satu pertanyaan sederhana telah menyelamatkan dua jiwa: seorang anak yang kelaparan… dan seorang pria yang hampir kehilangan rasa kemanusiaannya.

Dan bagi mereka berdua, jawaban malam itu akan selalu abadi.

Kisah nyata ini di tulis ulang oleh Adharta
Srbagai penghotmatan buat
Ms Emily

🌿 “Di Ujung Hujan, Ada Pelangi”

Cerpen no 012

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Akhir September 2025

Musim hujan Jakarta

Malam itu hujan jatuh dengan deras di sebuah desa kecil di lereng gunung Dieng.
Atap rumah-rumah tua berderak menahan derasnya air.

Dari jendela sebuah rumah kayu, seorang gadis bernama Anjani menatap keluar.
Usianya baru tujuh belas, matanya jernih, seolah menyimpan langit yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun.
Ia tinggal bersama ibunya, Saras, seorang perempuan sederhana yang menjual sayur di pasar
Ayah Anjani sudah lama tiada, meninggalkan mereka dengan kenangan dan kesunyian.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Anjani memiliki dunia rahasia
ia bisa berbicara dengan bunga-bunga liar di kebun belakang rumahnya. Setiap kali hatinya resah, bunga mawar kuning akan berbisik lembut, “Jangan takut, hujan hanyalah cara langit mencuci luka bumi.”
Dan bunga melati akan menenangkan, “Kesedihanmu akan menjadi harum, suatu hari nanti.”

Rahasia itu membuat Anjani sering dipandang aneh oleh teman-teman sebaya.
Tapi ada satu orang yang selalu mempercayainya, seorang pemuda desa bernama Raka.

Pertemuan yang Mengikat Hati
Raka adalah anak dari keluarga petani kopi.
Usianya lebih tua tiga tahun dari Anjani, wajahnya teduh dengan senyum yang selalu hangat. Mereka bertemu pertama kali ketika Anjani menolong adik Raka yang jatuh di jalan desa. Sejak itu, kedekatan tumbuh perlahan, bagai benih yang disiram hujan lembut.
“Kenapa kamu sering berbicara sendiri di kebun?” tanya Raka suatu sore, saat matahari mulai turun di balik perbukitan.
Anjani tersenyum malu. “Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara dengan bunga-bunga.

Mereka mengerti perasaanku.”
Alih-alih menertawakan, Raka justru menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kalau begitu, suatu hari kenalkan aku pada bunga-bunga itu. Biar aku juga bisa belajar mendengarkan.”

Bagi Anjani, itu adalah momen paling indah. Pertama kali ada seseorang yang tidak menganggapnya gila.
Bayangan Gelap
Namun hidup tidak selalu ramah.

Saras, ibu Anjani, mulai sakit-sakitan. Batuknya tak kunjung reda, tubuhnya makin kurus. Ia tetap memaksa berjualan sayur di pasar, menolak anaknya berhenti sekolah.

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Saras memanggil Anjani.
“Nak, jangan takut pada hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu harus tetap kuat.
Kamu punya hatimu sendiri, itu cahaya yang akan membimbingmu.”

Anjani menangis, menggenggam tangan ibunya. “Ibu jangan bicara begitu. Aku tidak bisa sendiri.”
“Tidak ada yang benar-benar sendiri, Nak. Bahkan bunga pun punya angin dan hujan yang menemani mereka tumbuh.”

Keesokan harinya, Saras jatuh pingsan di pasar.
Dunia Anjani runtuh.
Harapan yang Pudar
Raka selalu ada, menemani Anjani melewati hari-hari kelabu. Ia membantu biaya berobat Saras, meski keluarganya sendiri tak kaya. Hubungan mereka semakin erat, tapi di balik itu muncul penolakan.

Ayah Raka menentang keras kedekatan mereka. “Keluarga kita sudah susah, jangan tambah susah dengan menikahi gadis yang ibunya sekarat.

Apa jadinya nanti? Kau butuh istri yang bisa menopang, bukan beban.”

Raka terdiam, hatinya terbelah. Tapi di depan Anjani, ia tetap teguh.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Anjani tahu, kata-kata itu tulus.
Namun ia juga tahu, kehidupan nyata tak semudah janji.

Fantasi yang Menyelamatkan
Suatu malam, Anjani kembali berbicara dengan bunga-bunga. “Aku takut kehilangan segalanya.
Aku takut dunia ini tidak menyisakan apa pun untukku.”
Mawar kuning menjawab, “Setiap kehilangan adalah pintu menuju pertemuan baru.”

Tiba-tiba, cahaya lembut menyelimuti kebun.
Dari kelopak bunga bermekaran, muncullah sosok perempuan bercahaya, gaunnya terbuat dari daun-daun yang berkilau basah oleh embun.

“Aku adalah Penjaga Kebun Kenangan,” katanya dengan suara selembut desir angin. “Hatimu yang murni membuatku bisa hadir.

Jangan takut, Anjani. Bahkan jika dunia mengambil yang kau cintai, selalu ada ruang di dalam dirimu untuk menumbuhkan cinta kembali.”

Air mata Anjani mengalir.
Ia merasa hangat untuk pertama kalinya sejak ibunya sakit.
Perpisahan yang Mengajarkan Cinta
Beberapa minggu kemudian, Saras meninggal dunia. Anjani merasa separuh dirinya ikut terkubur.

Pada malam kepergian ibunya, ia kembali ke kebun. Bunga-bunga berbisik serentak, seperti paduan suara yang indah namun menyayat

“Air mata adalah hujan, dan hujan menumbuhkan kehidupan baru.”

Raka berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangannya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Namun kenyataan kembali mengepung.

Ayah Raka semakin keras menentang.

Raka akhirnya dihadapkan pada pilihan: keluarga atau cinta.
Dan pada suatu sore, di tepi sungai, Raka menatap Anjani dengan mata berkaca.
“Aku ingin tetap bersamamu. Tapi ayahku… aku tidak bisa melawan dia selamanya.”

Anjani tersenyum lirih, meski hatinya hancur.
“Jangan khawatir, Raka. Aku tidak marah. Cinta itu bukan hanya memiliki. Kadang, cinta berarti melepaskan.”

Kesepian yang Menumbuhkan Harapan

Hari-hari berikutnya, Anjani hidup sendiri. Rumahnya sepi, tapi kebun bunganya selalu hidup.
Kadang ia merasa Saras hadir dalam harum melati, atau Raka bernafas dalam segarnya angin sore.
Ia mulai menulis, menuangkan percakapannya dengan bunga-bunga dalam bentuk cerita.

Setiap kata adalah obat bagi luka hatinya. Cerpen-cerpen itu kemudian ia titipkan pada seorang guru, yang diam-diam mengirimkannya ke sebuah majalah sastra.

Beberapa bulan kemudian, karyanya dimuat.

Ia mendapat surat dari seorang editor di Jakarta, menawarkan kesempatan untuk menulis lebih banyak.
Untuk pertama kali, Anjani merasakan jalan baru terbuka. Meski sendirian, ia tahu ibunya pasti tersenyum dari langit.

Akhir yang Pahit namun Indah

Bertahun-tahun berlalu.
Anjani tumbuh menjadi penulis muda yang dikenal karena kisah-kisahnya yang sarat air mata dan keajaiban kecil.

Dalam setiap tulisannya, selalu ada tokoh bunga, selalu ada hujan, dan selalu ada cinta yang meski berakhir sedih, tetap menumbuhkan harapan.

Raka? Ia menikah dengan gadis pilihan keluarganya. Tapi di dalam hatinya, ada ruang kecil yang tak pernah hilang untuk Anjani.

Pada suatu sore, ketika Anjani menatap matahari tenggelam di kebunnya, ia berbisik pada bunga mawar kuning:
“Apakah aku bahagia?”

Mawar itu menjawab lembut,
“Bahagia tidak selalu berarti memiliki segalanya.

Bahagia adalah ketika kau masih bisa mencintai, meski dari jauh, meski dalam kenangan.”

Anjani menutup matanya, membiarkan air mata jatuh.
Tapi di balik air mata itu, ada senyum.
Ia tahu, meski kisah cintanya tak berakhir seperti dongeng, hidupnya tetap dipenuhi cahaya.
Karena setiap hujan, pada akhirnya, selalu menyisakan pelangi.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

GREY DIVORCE (Perceraian Abu-Abu) seri pertama

Seri Pertama

Cerpen No. 011

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Awal Cinta
Ketinggian 41.000 kaki,
di atas langit Pulau Bangka, kabin Batik Air terasa tenang. Dari balik jendela kecil, George memandang hamparan awan putih bagai kapas, seakan menjadi saksi perjalanan hidupnya yang panjang.

Di kursi sebelahnya, Rani duduk diam, menatap majalah penerbangan tanpa sungguh-sungguh membacanya.
Mereka sudah bersama lebih dari lima dekade. George kini berusia 80 tahun, Rani 78 tahun.
Banyak orang menyangka, di usia senja seperti itu, cinta mereka pasti sudah matang, kokoh, dan tak tergoyahkan.

Namun kenyataannya, badai besar justru datang di penghujung jalan, ketika tenaga melemah dan kesabaran menipis.
Padahal dulu, cinta mereka tumbuh dengan begitu indah.

George masih ingat hari itu, di sebuah pesta perkawinan keluarga besar di Jakarta tahun 1969.
Musik keroncong mengalun lembut, lampu-lampu bohlam menggantung di halaman rumah besar yang dipenuhi tamu.
Di sanalah matanya pertama kali bertemu dengan Rani
gadis muda berusia 22 tahun, berambut hitam panjang, berkebaya biru muda.

Percakapan pertama mereka sederhana, sekadar basa-basi tentang makanan dan suasana pesta.
Tapi entah bagaimana, obrolan itu berlanjut hingga ke hobi memancing ikan.

George terkejut sekaligus gembira mengetahui bahwa Rani pun suka duduk berjam-jam di pinggir teluk hanya untuk menunggu kail disentuh ikan.
“Kalau begitu, kita harus coba mancing bareng suatu hari nanti,” kata George sambil tersenyum.

Rani menunduk, tersipu, tapi bibirnya ikut tersenyum. “Boleh. Tapi saya tidak suka ikan bakar, ya.
Lebih enak kalau di-steam.”
Dari janji sederhana itulah, perjalanan panjang mereka bermula.

Beberapa minggu kemudian, mereka bertemu di Teluk Naga.
George membawa perlengkapan memancingnya, sementara Rani datang ditemani adiknya.
Hari itu mereka mendapat cukup banyak ikan, mulai dari Gurame hingga bawal putih.

Seusai memancing, George membakar ikan hasil tangkapan, sementara Rani menyiapkan bumbu untuk mengukus sebagian lainnya.
Makan bersama di pinggir pantai, dengan tangan masih belepotan arang, justru membuat mereka semakin akrab.
Dari situlah muncul rasa nyaman, rasa saling mengisi.

Sebuah Cinta yang Diuji

Beberapa bulan kemudian, mereka memberanikan diri untuk berlayar ke Pulau Karang Beras, berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Panjang.

Mereka naik perahu bermesin kecil berisi enam orang, berniat menginap dua malam sambil memancing di laut.
Namun alam berkata lain. Ombak besar datang, cuaca memburuk, dan perahu kecil itu terombang-ambing lebih dari enam jam.

Air hujan bercampur air laut membasahi tubuh mereka. Rani menggigil, wajahnya pucat, tubuhnya lemah.
Sesampainya di darat, ia langsung jatuh sakit.
Demam tinggi menyerangnya hingga harus dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras.

George, yang kala itu masih muda dan penuh semangat, tak pernah meninggalkan sisinya.
Ia menjaga Rani siang malam, menyuapi, mengganti kompres, hingga lupa pada pekerjaannya sendiri.
Tujuh hari lamanya George berada di sana, dan dalam tujuh hari itulah cinta mereka benar-benar berakar kuat.

Ketika Rani sembuh, mereka sama-sama tahu mereka tidak ingin berpisah lagi.
Orang tua mereka akhirnya merestui. Pernikahan sederhana digelar, disaksikan keluarga dan sahabat.
Senyum Rani di hari itu adalah senyum paling indah yang pernah George lihat.

Keluarga yang Bertumbuh
Pernikahan itu membuahkan empat anak
tiga perempuan dan satu laki-laki.
Kehidupan mereka penuh warna.
Ada masa sulit ketika ekonomi menurun, ada masa bahagia saat usaha George berkembang.

Rani, meski sibuk mengurus anak-anak, tetap setia mendampingi.
George sering mengajak anak-anaknya ikut memancing. Mereka tertawa bersama di tepi laut, berlarian di pasir putih, berfoto dengan ikan hasil tangkapan.
Rani yang biasanya cerewet soal kebersihan, kali itu pun ikut lepas, tertawa bersama anak-anaknya.
Ketika anak-anak mulai beranjak dewasa, rumah mereka ramai oleh suara musik, tawa remaja, bahkan tangis pertama cucu.

Waktu berjalan cepat. Tahu-tahu mereka sudah memiliki tujuh cucu, semuanya perempuan.
Rumah itu kembali riuh oleh tawa kecil, boneka berserakan, dan celoteh polos yang membuat George dan Rani kembali merasa muda.

“Aneh ya, kita punya empat anak, tapi semua cucu kita perempuan,” ujar Rani suatu sore sambil memangku cucu bungsunya.
George tertawa, menimang cucu yang lain. “Mungkin Tuhan ingin kita dikelilingi oleh bidadari kecil.”

Mereka bahagia. Hidup terasa lengkap.
Namun kebahagiaan itu perlahan mulai terkikis oleh usia.

Bersambung ke seri kedua

GREY DIVORCE (Perceraian Abu-Abu) seri ke dua

Cerpen No. 011

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Seri kedua

Masa Senja yang Retak

Hari-hari setelah cucu-cucu lahir sebenarnya terasa indah bagi George dan Rani. Namun, seiring usia mereka menua, perbedaan yang dulu bisa ditoleransi perlahan menjadi jurang yang sulit dijembatani.

George yang dulu gagah dan penuh semangat kini lebih banyak diam.
Ia sering duduk di teras rumah, menatap langit sore, mengenang masa lalu.
Tangannya gemetar setiap kali memegang cangkir teh, matanya tak setajam dulu.
Tapi semangatnya terhadap laut, memancing, dan dunia luar tetap menyala.

Sebaliknya, Rani semakin cerewet, semakin sensitif. Baginya, ketenangan rumah tangga di usia tua hanya bisa terwujud jika segala sesuatu tertata rapi
cucu jangan terlalu berisik, makanan harus sesuai jadwal, obat diminum tepat waktu, tamu harus diberitahu lebih dahulu.

George merasa Rani menjadi terlalu kaku.
Sedangkan Rani merasa George semakin keras kepala.

“Papa ini kenapa sih, selalu saja ke laut.
Apa tidak sadar umur sudah 80 tahun?” kata Rani suatu pagi.
George hanya tersenyum tipis. “Kalau aku berhenti ke laut, aku berhenti bernapas, Rani.”

Kalimat itu membuat hati Rani panas. Baginya, ucapan George itu egois.
Bukankah sekarang mereka harus lebih banyak bersama cucu, bukan lagi bermain-main dengan ombak?

Luka yang Tak Pernah Sembuh

Sejujurnya, ada luka lama yang tak pernah benar-benar hilang di hati Rani.
Tahun 1990-an, saat usaha George sedang naik, ia sempat jarang pulang. Ada desas-desus bahwa George dekat dengan seorang sekretaris muda di kantornya.
Rani tak pernah bisa membuktikan, tapi firasat seorang istri tak pernah salah.

Suatu malam, saat George pulang larut dengan bau parfum asing menempel di bajunya, Rani menangis tanpa suara di kamarnya.
Ia tetap bertahan demi anak-anak.
Ia tetap tersenyum di depan keluarga besar.
Tapi jauh di lubuk hati, ada bagian yang patah.
George sebenarnya tahu. Tapi ia tak pernah berani mengaku, tak pernah berani meminta maaf dengan sungguh-sungguh

Ia hanya menebus kesalahannya dengan bekerja lebih keras, membiayai sekolah anak-anak sampai sukses.
Dan kini, ketika usia sudah senja, luka itu kadang muncul kembali.
Setiap kali George keras kepala, setiap kali ia membantah, bayangan masa lalu itu menusuk lagi.

Anak-Anak yang Terpecah
Keempat anak mereka kini sudah dewasa, dengan keluarga masing-masing.
Tiga perempuan cenderung lebih dekat dengan Rani.
Mereka sering mengatakan, “Mama sudah berkorban banyak, Papa seharusnya mengalah.”

Sedangkan satu-satunya anak laki-laki, Adrian, justru membela George.
“Papa butuh ruang.
Kalau Papa masih mau mancing, biarkan. Itu yang bikin dia bahagia.”

Perbedaan pandangan anak-anak itu membuat suasana keluarga sering tegang. Setiap kali ada acara kumpul, percakapan bisa berakhir dengan debat
terselubung.

“Papa itu keras kepala, Ma.
Tapi aku ngerti, dia nggak bisa hidup tanpa laut,” kata Adrian suatu malam.
Rani hanya menghela napas. “Kamu masih muda, kamu tidak mengerti rasanya ditinggalkan.”

Cinta dan Benci

Di usia 78 tahun, Rani merasa cintanya pada George bercampur dengan kebencian.
Ia mencintai lelaki itu karena kenangan panjang: saat mereka berlayar bersama, saat George menjaganya di rumah sakit, saat mereka tertawa melihat cucu pertama lahir. Tapi ia juga membencinya karena sikap dingin, karena masa lalu yang tak pernah benar-benar jujur.

George pun merasakan hal serupa. Ia mencintai Rani karena kesetiaannya, karena tawa dan perhatiannya.
Tapi ia juga merasa Rani terlalu mengekang, terlalu sering menuntut.
Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi sering memunggungi satu sama lain.
“Rani, apa kamu masih mencintaiku?” tanya George suatu malam, suaranya parau.
Rani terdiam lama.
Air matanya jatuh pelan.

“Entahlah, George. Aku mencintai kenangan kita, tapi aku lelah denganmu sekarang.”
Kalimat itu menusuk hati George. Ia sadar, rumah tangganya berada di tepi jurang.

Keputusan yang Sulit
Pada suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik jendela rumah mereka, Rani mengajak George bicara serius.
“George, aku ingin kita bercerai.”
George tertegun. Kata-kata itu bagai petir di usia senja.
“Bercerai? Di umur segini? Untuk apa, Rani?”
Rani menatapnya dengan mata berkaca. “Aku ingin tenang. Aku ingin sisa hidupku tidak lagi dipenuhi pertengkaran. Aku ingin bebas dari rasa sakit yang kamu tinggalkan.”
George merasakan dadanya sesak. Ia ingin berteriak, ingin menolak. Tapi ia tahu, mungkin Rani sudah terlalu lama memendam.
Perceraian di usia muda sering disebabkan perselingkuhan, ekonomi, atau ketidakcocokan. Tapi perceraian di usia tua grey divorce
lebih menyakitkan, karena yang bercerai bukan hanya dua orang, tapi juga kenangan puluhan tahun, keluarga besar, dan sejarah panjang.

Perlawanan Anak-Anak
Kabar itu mengguncang keluarga. Anak-anak kaget, cucu-cucu bingung.
“Tapi Mama, Papa sudah 80 tahun. Untuk apa bercerai sekarang?” tanya putri sulung mereka, Maya.
Rani menjawab tenang, “Untuk kebebasan yang selama ini tidak kumiliki.”
Adrian membela ayahnya. “Mama kejam. Papa sudah berusaha. Papa mencintai Mama dengan caranya.”
Perdebatan panjang pun terjadi. Rumah yang dulu penuh tawa cucu kini berubah jadi arena perselisihan.

Kesepian
Setelah proses hukum berjalan, George pindah ke rumah kecil dekat pantai di Ancol. Ia kembali memancing, meski tubuhnya sudah renta. Kadang ia duduk sendiri berjam-jam menatap ombak, mencoba berdamai dengan kesepian.
Rani tinggal di rumah lama bersama salah satu anak perempuannya. Rumah itu terasa lebih sunyi tanpa suara George, tapi Rani merasa lebih tenang.
Namun, pada malam-malam tertentu, ia diam-diam menangis.
Ia merindukan suara batuk George, cara George tertidur dengan mulut sedikit terbuka, bahkan kebiasaan menyebalkan George yang suka meninggalkan cangkir teh di meja.

Pertemuan Terakhir
Tiga tahun setelah perceraian itu, kesehatan George menurun drastis. Ia terkena stroke ringan, tubuhnya melemah.
Rani datang menjenguk.
Ketika matanya bertemu dengan mata George, waktu seakan berhenti.
“Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Rani,” bisik George dengan suara hampir tak terdengar.
Rani menggenggam tangannya, air mata mengalir deras. “Dan aku tidak pernah bisa benar-benar membencimu.”
Beberapa minggu kemudian, George menghembuskan napas terakhir di rumah sakit, ditemani anak-anaknya. Rani duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu pernah begitu kuat.

Perceraian mereka memang nyata, sah secara hukum. Tapi cinta yang mereka bagi selama lima dekade tak pernah bisa benar-benar diputus.
Kadang, cinta dan benci hanya dua sisi dari koin yang sama. Dan ketika seseorang pergi untuk selamanya, yang tersisa hanyalah cinta, meski telah dilukai berkali-kali.

Rani menaburkan bunga di makam George dengan tangan bergetar.
“Selamat jalan, George. Terima kasih untuk cinta dan luka yang sama-sama kau beri. Tanpamu, aku bukanlah aku yang sekarang.”
Ia tahu, cinta mereka mungkin rapuh, mungkin penuh retakan, tapi tetap abadi di hatinya.
Dan kelak kita akan menyambung kembali cinta kita di kehidupan mendatang tanpa perceraian yang karena alasan yang tidak jelas