Monthly Archives: November 2025

Antara Orang Tua, Hari Tua, dan Gereja

Cimahi, Sabtu, 9 November 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Gereja Santo Vinventius a Paulo menanti kita

Salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup saya adalah bertemu dan berbagi waktu dengan orang-orang yang telah lanjut usia.
Di wajah mereka, saya melihat ketenangan yang lahir dari pengalaman panjang; di tangan mereka, saya melihat kerja keras dan kasih yang menuntun generasi demi generasi.
Dalam diri mereka, tersimpan sejarah, kebijaksanaan, dan iman yang menjadi fondasi bagi kita semua.

Saya bergabung dengan Paguyuban Warga Usia Lanjut (WULAN) pada tahun 2000, saat usia saya baru 42 tahun.
Banyak yang heran, bahkan beberapa sahabat mengatakan bahwa saya terlalu muda untuk bergabung. Saya menjawab dengan canda bahwa batas usia resmi adalah 55 tahun jadi saya masih punya “tabungan umur” 13 tahun.

Namun Bapak JP Soetadi Martodihardjo, Bapak Hardja Lukita, dan Bapak Wisnu Lohanata tersenyum dan berkata,
“Adharta memang masih muda, tapi pemikirannya sudah melampaui banyak orang tua.”

Kata-kata mereka terasa sederhana, tapi justru menjadi bekal dan pengingat berharga.
Sejak saat itu, saya semakin yakin bahwa usia hanyalah angka, sementara kedewasaan sejati tumbuh dari hati yang mau belajar dan melayani.

Paguyuban WULAN bukan nama seorang wanita, melainkan singkatan dari Warga Usia Lanjut.
Sebuah paguyuban yang berpusat di Jalan Babakan Madang No. 99, Sentul.
Tempat itu bukan sekadar markas besar, melainkan rumah kasih yang menampung banyak kenangan, tawa, doa, dan cerita kehidupan.
Di sana, setiap kerutan wajah menjadi tanda kesetiaan, dan setiap langkah yang perlahan menjadi irama syukur.

Perjumpaan di Cimahi

Sabtu siang yang segar di Cimahi membawa sukacita tersendiri.
Kami bertemu Papa Chandra Rahardja, sahabat kami yang baru saja berulang tahun ke-92 beberapa hari sebelumnya. Setiap kali bertemu dengan sahabat-sahabat tua, saya selalu memanggil mereka dengan sebutan Papa, Mama, Papi, atau Mami bukan sekadar panggilan hormat, tapi juga ungkapan kasih sayang.

Pertemuan kami hari itu diiringi lantunan musik organ dari Papa Chandra sendiri sambil bernyanui itu hobby beliau.

Beliau menghadiahkan beberapa lagu, salah satunya “Baby Blue,” yang membuat kami semua ikut bergoyang kecil, menikmati semangat hidup yang tak pernah padam meski usia menua.

“Kalau hati tetap muda, tubuh pun akan mengikuti,” katanya sambil tertawa ringan.

Lagu “Baby Blue” ini rencananya akan kembali dilantunkan pada 26 November 2025 di Restoran Angke Heritage.
Saya yakin, banyak yang akan turun ke lantai dansa bukan untuk menunjukkan kelincahan, tetapi untuk merayakan persahabatan dan sukacita hidup yang dianugerahkan Tuhan.

Jumat dalam duka cita
Selamat Jalan, Mami Irene

Namun hidup tak hanya tentang pertemuan; ada pula perpisahan yang penuh air mata.
Jumat siang, pukul 13.00 waktu Singapura, Mami Irene, sahabat seiman dan sesama anggota aktif WULAN, berpulang ke rumah Bapa di surga.
Kami telah delapan kali bersama-sama memimpin WULAN Golf yang memperbutkan Piala Radius Prawiro.
Setiap kali bertemu, Mami Irene selalu membawa senyum lembut yang menenangkan.
Kami memiliki kedekatan batin yang istimewa.

Beberapa kali saya dirawat di rumah sakit di Singapura, dan di saat yang sama, beliau juga sedang menjaga suaminya, Bapak Rustam Effendi, yang kini telah lebih dahulu dipanggil Tuhan.

Dalam setiap pertemuan di rumah sakit, kami sering berbagi cerita tentang iman, tentang perjuangan, dan tentang pengharapan.
Mami Irene selalu berkata,
“Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Dia hanya memindahkan kita dari satu rumah kasih ke rumah kasih yang kekal.”

Beliau juga punya kesukaan sederhana: makan Tori di Paragon lantai dasar dan buah Naga Kuning.

Kenangan kecil ini terasa begitu hangat di hati. Hari ini, saya hanya bisa berdoa:
“Selamat jalan, Mami Irene. Tuhan memelukmu berasma appi Rustam dalam damai abadi.

Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini, agar tetap setia dan bersyukur dalam setiap langkah.”

Doa dan Restu untuk Gereja Kecil

Perjalanan ke Bandung kemarin membawa saya bertemu Bapak Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan dan Pertambangan. Pertemuan itu bukan hanya silaturahmi, tetapi juga langkah iman untuk memohon doa dan restu beliau dalam rangka penggalangan dana pembangunan Gereja kecil Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri.

Bagi saya, Bapak Purnomo bukan hanya seorang senior yang dihormati, tetapi juga sosok bijak yang menjadi panutan dalam banyak keputusan hidup.

Beliau berkata dengan nada lembut,
“Adharta, gereja kecil itu mungkin sederhana secara fisik, tetapi akan menjadi besar karena kasih dan pelayanan di dalamnya.”
Kata-kata itu kembali menegaskan keyakinan saya: antara orang tua, hari tua, dan gereja terdapat hubungan yang sangat erat bagaikan tiga pilar yang menopang kehidupan rohani umat Katolik.
Antara Orang Tua, Hari Tua, dan Gereja

Mengapa saya melihat hubungan yang kuat di antara ketiganya?
Karena orang tua adalah saksi iman pertama dalam kehidupan setiap anak.
Dari merekalah kita belajar doa pertama, tanda salib pertama, dan arti kasih tanpa pamrih.

Hari tua, di sisi lain, adalah waktu Tuhan untuk menguji seberapa dalam iman itu tertanam bukan dengan tenaga atau keberhasilan, melainkan dengan kesetiaan dan damai hati.

Dan gereja adalah rumah rohani yang menampung keduanya tempat orang tua disapa, dirangkul, dan dikuatkan dalam cinta Kristus.
Kitab Suci mengajarkan

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu.”
(Keluaran 20:12)

Ayat ini bukan hanya perintah moral, tapi janji kehidupan. Menghormati orang tua berarti menghormati asal mula kasih Allah sendiri. Dalam setiap misa, ketika umat lanjut usia hadir dengan langkah perlahan, saya melihat kemuliaan yang tak tergantikan. Mereka datang bukan karena kuat, tapi karena cinta.
Yesus sendiri memberi teladan luar biasa.
Saat tergantung di salib, dalam penderitaan paling dalam, Ia masih berkata kepada Maria dan Yohanes:

“Ibu, inilah anakmu… dan keapda Yohanes
inilah ibumu.”
(Yohanes 19:26–27)

Kalimat itu sederhana, namun sarat makna: kasih dan tanggung jawab antar generasi tidak boleh putus.

Doa untuk Hari Tua
Dalam setiap doa malam saya, saya sering mengucap syukur untuk setiap Papa, Mama, Papi, dan Mami yang telah saya temui.

Saya tahu, hari tua bukan masa lemah, tetapi masa pemurnian iman.
Di usia lanjut, orang belajar untuk lebih sabar, lebih mengampuni, dan lebih pasrah kepada rencana Tuhan.

Saya mau berdoa:

Tuhan, ajarilah kami untuk menghargai setiap helai uban,
karena di dalamnya tersimpan cerita perjuangan dan pengorbanan.

Berikanlah kepada mereka kesehatan dan damai hati,
agar hari-hari mereka menjadi pujian bagi nama-Mu.

Jadikanlah kami anak-anak yang setia menghormati mereka,
seperti Engkau menghormati Bapa di surga.
Kasih yang Tak Pernah Menua
Di hadapan Tuhan, usia tidak pernah menjadi batas. Gereja mengajarkan bahwa setiap masa hidup muda, dewasa, maupun lanjut usia adalah kesempatan untuk melayani dan mengasihi.

Orang tua menjadi cermin kasih Allah yang sabar dan penuh belas kasih.
Saya percaya, ketika seseorang menua dengan hati yang penuh syukur, ia sedang bersiap memasuki keabadian dengan damai.

Gereja menjadi tempat di mana kasih itu dipelihara, dan komunitas seperti WULAN menjadi ladang kecil tempat kita menabur sukacita bagi sesama.

“Maka meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.”
(2 Korintus 4:16)

Ayat ini memberi pengharapan: bahwa hari tua bukan akhir, melainkan awal dari pembaruan rohani yang sejati.

Cintaku disana
Hari ini di Cimahi, saya duduk merenung sambil menatap langit sore.
Saya teringat wajah Papa Chandra Rahardja yang masih semangat bermain organ di usia 92 tahun, Mami Irene yang kini bernyanyi di surga, dan Bapak Purnomo yang dengan bijak menuntun saya untuk terus melayani Tuhan.

Saya tersenyum, karena saya tahu
hidup adalah perjalanan menuju kasih yang sempurna.

Antara orang tua, hari tua, dan gereja, tersimpan satu rahasia besar yaitu cinta yang tidak menua.

“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru
mereka seumpama

Rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
(Yesaya 40:31)

Semoga Tuhan memberkati setiap langkah kita, meneguhkan para orang tua, menghibur yang berduka, dan membakar semangat kita untuk terus melayani dalam kasih Kristus.

Saya mengajak anda khususnya para lansia
Mari bernyanyi bersama memuji Tuhan
Memberi kekuatan bagi gereja kecil
Santo Vincentius a Paulo untuk segera memiliki gereja baru

Dan disanalah disanalah kita bersama berjuang

Anda adalah Pahlawan ku para Orang Tua ku
Kata Mama Lusia Soetanto yang selalu mendampingi aku

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Rekening
BCA
167 208 7672
Atas nama
PGPM Paroki Santo Vincentius a Paulo Gunung Putri

Kisah Perjuangan Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo – Gunung Putri, Bogor

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Bandung
Sabtu
9 Nopember 2025

Sahabatku

Keindahan sebuah persahabatan bisanya fi mulai dengan sebuah kenangan
Kegiatan apa saja
Reuni atau pertemuan khusus
Bahkan kegiatan gerejani

Di sebuah sudut wilayah kabupaten Bogor, tepatnya di Gunung Putri, berdiri sebuah komunitas umat Katolik yang selama puluhan tahun hidup dalam kerinduan yang sama memiliki rumah Tuhan sendiri. Sebuah gereja yang bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga simbol kebersamaan, pengharapan, dan iman yang tak pernah padam.

Kerinduan itu dimulai lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika jumlah umat Katolik di Gunung Putri masih sedikit dan misa mingguan harus diadakan berpindah-pindah dari rumah umat, aula sekolah, hingga bangunan sewaan.

Setiap minggu, panitia liturgi menyiapkan altar sederhana, memasang salib kayu, menata kursi, dan berusaha menciptakan suasana sakral di ruang-ruang yang sementara.

Namun dalam hati setiap umat, tersimpan impian besar:

“Suatu hari, kami akan punya gereja sendiri.”

Tahun demi tahun berlalu, umat bertambah banyak.
Dari puluhan keluarga, kini lebih dari 500 kepala keluarga bergabung dalam komunitas Paroki Gunung Putri.
Setiap misa Minggu menjadi bukti nyata iman yang hidup anak-anak mengenakan pakaian putih sederhana untuk pelayanan, para ibu menyiapkan konsumsi dengan penuh cinta, dan para bapak mengatur parkir di tengah terik matahari.

Meski tanpa gedung gereja permanen, semangat mereka tak pernah luntur.

Namun di balik semangat itu, perjuangan panjang sedang berjalan.

Usaha mendapatkan izin pembangunan gereja bukan perkara mudah.

Dokumen demi dokumen disiapkan, persyaratan administrasi dilengkapi, koordinasi dengan berbagai pihak dilakukan dengan sabar.

Kadang proses terasa seperti berjalan di tempat bertahun-tahun lamanya menunggu persetujuan, mengurus lahan, mencari dukungan, dan menyusun proposal.
Tetapi doa tidak pernah berhenti. Dalam setiap perayaan Ekaristi, selalu ada satu intensi khusus yang tak pernah absen:
“Tuhan, semoga Gereja kami segera terwujud.”

Suatu hari, di tengah semangat yang nyaris padam, kabar baik datang. Lahan yang sudah lama diupayakan akhirnya siap menjadi tempat berdirinya rumah Tuhan.

Kabar itu menyebar cepat, membawa sukacita besar. Umat bersukacita bukan karena bangunan itu segera ada, tetapi karena harapan mereka akhirnya menemukan wujud nyata.
Namun, perjalanan masih panjang.
Setelah izin dan lokasi tersedia, tantangan berikutnya muncul bagaimana menghimpun dana untuk membangun gereja yang layak?
Inilah saat di mana semangat gotong-royong umat Katolik di Gunung Putri benar-benar diuji dan dibuktikan.

Tak hanya mengandalkan bantuan dari luar, umat setempat mengulurkan tangan mereka sendiri.
Ada yang menyumbang bahan bangunan, ada yang membantu tenaga, ada pula yang memberi sebagian dari penghasilan kecil mereka dengan sukacita.

Anak-anak muda mengadakan garage sale, para ibu menjual makanan di bazar, dan para bapak ikut menjaga semangat dengan kegiatan kerja bakti. Semua dilakukan dengan satu tujuan: agar rumah Tuhan itu bisa berdiri.

Dari Keuskupan Bogor, dukungan rohani datang tak henti.
Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM, senantiasa mendoakan dan menyemangati umat Gunung Putri agar tidak menyerah.
Beliau percaya bahwa pembangunan sebuah gereja bukan sekadar proyek konstruksi, melainkan karya iman tempat Tuhan membentuk karakter umat-Nya melalui proses panjang dan penuh makna.

“Gereja bukan dibangun oleh uang saja, tapi oleh cinta dan kesetiaan umat,” begitu pesan Bapak Uskup dalam salah satu kunjungannya.

Kata-kata itu menjadi nyala kecil yang terus menjaga semangat umat di tengah perjuangan.
Kini, setelah lebih dari dua dekade perjalanan, langkah besar itu akhirnya dimulai.

Panitia Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo resmi terbentuk, dan rencana pembangunan memasuki tahap nyata.
Desain arsitektur yang indah dan penuh makna telah disusun menampilkan unsur sederhana namun elegan, dengan ruang ibadah yang mampu menampung seluruh umat, serta area pelayanan pastoral dan kegiatan sosial.
Setiap sudut rancangan gereja mengandung harapan agar dari tempat ini lahir generasi Katolik yang beriman kuat, penuh kasih, dan siap melayani.
Sebagai bagian dari perjuangan ini, umat dan panitia mengadakan Charity Dinner atau malam dana pada hari Rabu tanggal 26 November 2025 di Restoran Angke Heritage, PIK 2. Jakarta
Acara ini bukan sekadar jamuan, melainkan peristiwa iman yang menyatukan banyak hati.

Para donatur, sahabat, dan tokoh masyarakat diundang untuk ambil bagian dalam kisah kasih pembangunan gereja kecil ini termasuk tokoh nasional Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan Republik Indonesia, yang dengan rendah hati turut memberikan dukungan dan semangat.
Beliau menyampaikan pesan yang sederhana namun mendalam: bahwa pembangunan gereja adalah bagian dari pembangunan manusia seutuhnya. Karena di dalam rumah ibadah, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan kebangsaan bertumbuh bersama.
Kehadiran gereja bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi juga menjadi sumber kedamaian dan persaudaraan bagi seluruh masyarakat sekitar.
Malam itu nanti, di bawah cahaya hangat dan alunan musik lembut, setiap tamu undnagan diajak merasakan keindahan perjalanan ini. Ada rasa haru dijelaskan ketika panitia memperlihatkan tayangan foto-foto lama gambar umat yang berdoa di ruang sempit, anak-anak yang melayani di bawah tenda, serta para lansia yang dengan mata berbinar berkata, “Saya ingin sempat melihat gereja ini berdiri.”
Ini harapan dan penantian
Air mata dan senyum berpadu menjadi satu
tanda bahwa perjuangan ini bukan sekadar membangun tembok dan atap, tetapi membangun harapan.
Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo adalah kisah tentang kesetiaan kesetiaan umat kepada Tuhan, dan kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya.

Di balik setiap bata yang akan diletakkan, ada doa yang dipanjatkan.
Di balik setiap rupiah yang disumbangkan, ada cinta yang tulus.
Dan di balik setiap langkah yang ditempuh, ada tangan Tuhan yang menuntun.

Kelak, ketika lonceng gereja pertama kali berdentang dan misa perdana dirayakan di dalamnya, umat Gunung Putri akan menatap langit dengan mata berkaca-kaca, bersyukur karena penantian panjang telah berakhir.
Namun sesungguhnya, perjalanan ini tak benar-benar selesai karena Gereja bukan hanya bangunan, tetapi hidup di dalam hati setiap orang yang percaya.
Inilah kisah iman yang lahir dari kesederhanaan, tumbuh dari harapan, dan berbuah dalam kasih.
Sebuah kisah yang akan dikenang bukan karena megahnya gedung yang berdiri, melainkan karena besarnya hati mereka yang membangunnya.

Dan dari Gunung Putri, sebuah doa mengalun pelan:
“Terima kasih, Tuhan, Engkau telah mendengar kerinduan kami.
Berkatilah Gereja-Mu yang akan kami bangun, agar menjadi tempat di mana kasih-Mu tumbuh dan berbuah untuk dunia.”

Salam dalam berkat Tuhan

Adharta
0816707101

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Nafas Sang Jenderal

Cerpen 023

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta awal Nopember 2025

Rek Ayo Rek
Mlaku mlaku nang Tunjungan

Sopo ngerti nasib awak lagi mujur
Kenal anak e. Sing dodok Rujak Cingur

Nah lagu kenangan
Saya rasa semua anak anak Surabaya mengenal lagu ini

Saya 20 tahun sekolah di Surabaya
Mulai SD Kalianyar jalan. Kusuma Bangsa
Satu Alumni sama Jendral Tri Sutrisno
SMP. negeri IX Putro Agung
Banyak yang jadi jenderal TNI
SMAK Frateran
Banyak jadi Orang Sukses

Kenangan Kota Surabaya menghantar saya untuk mengkisahkan seorang sahabat saya
Yogi

Langit Surabaya sore itu berwarna keemasan.
Di teras rumah dinasnya,
Mayor Jenderal dr. Yogi Pratama duduk santai dengan secangkir kopi hitam dan suara burung murai yang bersahutan di taman. Sesekali ia tertawa kecil membaca pesan di ponselnya dari teman lamanya di Akademi Militer.

“Masih kuat push up seratus kali, Jend?” tulis pesan itu.

Yogi membalas, “Masih, asal sambil duduk.”
Ia tergelak sendiri.
Begitulah Yogi, seorang jenderal yang dikenal bukan hanya karena pangkat dan jasanya, tapi juga karena selera humornya yang hangat, membuat siapa pun nyaman di sekitarnya.

Namun di balik tawa itu, perjalanan hidupnya bukan tanpa perjuangan panjang. Ia lahir dari keluarga sederhana di Surabaya. Ayahnya, seorang purnawirawan Angkatan Laut, mendidiknya dengan disiplin yang keras namun penuh kasih.
Ibunya seorang guru SD yang selalu mengingatkan, “Nak, kalau mau jadi orang besar, jangan takut jatuh.
Takutlah kalau berhenti berjuang.”

Anak Surabaya yang Berlari Mengejar Mimpi
Sejak SD, Yogi sudah menonjol. Ia juara kelas, ketua pramuka, dan suka membantu teman-temannya belajar.
Namun yang paling diingat orang adalah senyum lebarnya
senyum anak kampung yang tak kenal lelah.
Di SMA, Yogi bukan hanya pandai, tapi juga populer. Ia pemain basket andalan sekolah, sekaligus ketua OSIS yang supel.

“Yog, kamu tuh bisa jadi apa aja,” kata gurunya suatu hari.
“Kalau bisa, Bu, saya mau jadi orang yang berguna,” jawabnya mantap.

Kata-kata itu kelak menjadi kompas hidupnya.
Ketika teman-temannya memilih kuliah sipil, Yogi justru mendaftar ke Akademi Militer.

“Aku ingin mengabdi, Bu,” katanya pada ibunya yang menitikkan air mata bangga. Ayahnya hanya menepuk bahu Yogi,
“Kalau mau jadi prajurit sejati, jangan cuma kuat ototnya, tapi juga hatinya.”

Peluru, Debu, dan Doa di Tanah Timot Timor

Setelah lulus dengan prestasi cemerlang, Yogi bertugas di Timor Timur, di masa yang penuh gejolak.
Di sanalah ia mengenal arti sejati dari keberanian dan kemanusiaan.
Ia masih muda saat itu, berpangkat Letnan Dua.
Ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat, dan di situlah nuraninya bergetar.

Suatu hari, di tengah konflik, Yogi menemukan seorang bocah terluka di pinggir jalan.
Tanpa pikir panjang, ia mengangkat anak itu ke pangkuannya, membalut luka seadanya, dan membawanya ke pos kesehatan.
“Kenapa repot-repot, Yog?” tanya komandannya.
Yogi menjawab lembut, “Karena tugas kita bukan hanya menembak, tapi juga menyembuhkan.”

Sejak hari itu, Yogi dikenal sebagai perwira yang punya hati lembut.

Rekan-rekannya mulai memanggilnya “Letnan Dokter” jauh sebelum ia benar-benar menjadi dokter.

Jalan Baru:
Dari Tentara Menjadi Dokter

Usai beberapa tahun bertugas, Yogi mengajukan diri untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran. Banyak yang heran, tapi ia menjawab dengan senyum khasnya, “Saya ingin menyembuhkan mereka yang tak bisa bertempur lagi.”

Ia kuliah dengan semangat luar biasa. Di usia yang tidak muda lagi, ia bersaing dengan mahasiswa yang jauh lebih muda, namun justru di situlah ia menemukan kebahagiaan baru:

Belajar menyelamatkan nyawa.

Tak sedikit dosen dan teman kuliahnya terinspirasi oleh kisahnya.
Ia kerap bercerita tentang medan perang sambil menggoda teman sekelasnya.

“Kalau pasiennya bandel, suruh push up tiga puluh kali dulu, baru saya periksa,” katanya disambut tawa.

Setelah lulus menjadi dokter umum, Yogi melanjutkan pendidikan spesialisasi paru-paru.
“Paru itu napas kehidupan,” ujarnya suatu kali. “Dan saya ingin menjaga napas bangsa ini.”

Cinta dari Pulau Timah

Cinta datang tanpa direncanakan. Saat bertugas magang di rumah sakit militer, ia bertemu seorang perawat muda asal Bangka bernama Mira.

Mira lembut, sederhana, dan sangat sabar menghadapi candaan Yogi yang tak ada habisnya.

“Kalau kamu mau jadi istriku,” kata Yogi suatu sore, “kamu harus tahan hidup dengan prajurit yang jarang di rumah.”

Mira tersenyum, “Asal kamu janji, kalau di rumah jangan berpikir seperti tentara.”
Mereka tertawa dan sejak itu, dua dunia bersatu:

Dunia ketegasan dan kelembutan.
Mereka menikah dengan sederhana, hanya dihadiri keluarga dan beberapa sahabat dekat. Dari pernikahan itu lahirlah tiga anak laki-laki: Raka, Bima, dan Dimas.

Ketiganya kini sudah dewasa, mengikuti jejak ayahnya dalam disiplin dan kecerdasan, meski belum satu pun memberi cucu.

Setiap kali ditanya, Yogi bercanda, “Saya ini dokter paru, bukan dokter bayi.
Jadi jangan salah sasaran.”

Jenderal dan Jiwa Sosialnya
Kariernya melesat. Dedikasi, integritas, dan kecerdasannya membuat Yogi naik pangkat dengan cepat hingga akhirnya menyandang bintang dua di pundaknya
Mayor Jenderal. Namun meski pangkat tinggi, Yogi tetap rendah hati.
Ia tak segan turun langsung ke lapangan membantu penanganan pasien paru di daerah terpencil. Ia memimpin banyak misi kemanusiaan, terutama saat pandemi melanda.

Saat banyak orang takut, Yogi justru berada di garda depan, membagikan masker, memotivasi tenaga medis, bahkan turun langsung merawat pasien di rumah sakit lapangan.

“Jangan panggil saya jenderal di sini,” katanya kepada perawat muda. “Di sini kita semua pejuang kesehatan.”

Namanya mulai dikenal luas, bukan hanya di lingkungan militer, tapi juga di dunia medis dan sosial. Ia menjadi simbol dedikasi dan pengabdian tanpa pamrih.

Banyak anak muda datang menemuinya, meminta nasihat hidup.
Yogi selalu menjawab sederhana, “Kalau kamu ingin jadi orang besar, jangan lupa tetap manusia.”

Tawa, Canda, dan Kehangatan Seorang Ayah
Di rumah, Yogi bukan sosok kaku.
Ia suka bercanda dengan istrinya dan anak-anaknya.

“Siapa yang berani ngelawan ayah, push up lima puluh kali!” ujarnya suatu kali.
“Kalau Ibu ikut ngelawan, gimana, Yah?” sahut Mira sambil tertawa.
“Kalau Ibu, cukup senyum aja, saya langsung kalah.”

Tawa pun pecah di ruang makan keluarga itu
kehangatan yang selalu membuat rumah mereka terasa seperti surga kecil.
Setiap Sabtu pagi, Yogi punya kebiasaan bersepeda keliling kota Surabaya bersama beberapa veteran dan dokter muda.
Di setiap perhentian, ia selalu berhenti untuk menyapa warga, membagikan masker, atau sekadar bercanda dengan anak-anak.

“Kalau sudah besar, jangan takut jadi orang baik ya,” katanya pada seorang bocah.

“Karena jadi orang baik itu tidak butuh pangkat.”

Sebuah Sore yang Tenang
Kini, di usianya yang matang, Yogi duduk di beranda rumahnya sambil menatap langit sore.

Angin berhembus pelan membawa aroma bunga kamboja yang ditanam istrinya di halaman.
Ia teringat masa-masa di Timor, suara tembakan, debu, dan doa. Ia juga teringat tawa Mira saat pertama kali mengenalnya, serta wajah anak-anaknya yang kini telah menjadi pria tangguh.

Teleponnya berdering. Dari Raka, anak sulungnya.
“Pak, minggu depan kita makan bareng ya? Semua pulang.”
Yogi tersenyum. “Asal jangan bahas cucu, ya.”

Suara tawa anaknya di seberang membuatnya ikut tertawa.
Malam itu, ia menulis di buku catatannya, sesuatu yang selalu ia lakukan sejak muda.
“Hidup ini seperti napas.
Ada tarik, ada hembus.

Selama masih ada udara di dada, aku akan terus berbuat baik. Karena pangkat bisa hilang, tapi kasih tak pernah turun derajat.”

Nafas yang Tak Pernah Padam

Yogi bukan hanya seorang jenderal, bukan hanya seorang dokter.
Ia adalah simbol dari kesetiaan pada nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya: kerja keras, cinta tanah air, dan kemanusiaan.

Ia telah melewati perang, kuliah, jabatan, dan banyak canda tawa keluarga. Tapi yang paling ia banggakan bukan bintang di pundaknya
melainkan senyum orang-orang yang pernah ia bantu.

Ketika ditanya wartawan muda dalam sebuah wawancara televisi,
“Pak Jenderal, apa rahasia sukses Bapak?”

Yogi menatap kamera dan menjawab pelan, “Saya cuma berusaha jadi manusia yang berguna.
Itu saja sudah cukup.”
Lalu ia tersenyum
senyum khas seorang anak Surabaya yang dulu berlari di lorong sekolah sambil membawa mimpi, dan kini telah menyalakan cahaya bagi banyak orang.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Pembangunan gedung gerejaParoki Vincentius a Paulo di Gunung Putri,Bogor

Pembangunan gedung gereja
Paroki Vincentius a Paulo di Gunung Putri,
Bogor

Gereja Kecil dengan Hati Besar
Oleh: Adharta
Tim PPG

Jakarta, Awal November 2025

Gereja Kecil, Berhati Besar

Di sebuah sudut tenang di daerah Gunung Putri, Bogor, embun pagi masih setia menetes di dedaunan dan suara burung menggema di kejauhan,
berdiri sebuah tanda kasih: Gereja Katolik Paroki Vincentius a Paulo. Mungkin tak semua orang tahu keberadaannya. Letaknya agak tersempil, seolah Tuhan sendiri menempatkannya di sana untuk menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan dunia.

Sekalipun terpencil, Gereja ini memiliki denyut kehidupan yang hangat. Dekat dengan Cibinong, Bogor, bahkan kawasan padat di sekitar Cimanggis dan Cikeas dan perumahan modern yang super sibuk, Paroki Vincentius a Paolo seakan menjadi jembatan antara kesederhanaan pedesaan dan dinamika perkotaan, memberikan kedamaian dan kesejukan bagi jiwa-jiwa para peziarah dalam mengarungi dunia yang makin penuh beban.

Saat menatap bangunan gereja yang sedang dipugar, hati ini bergetar haru. Bangunan yang menghembuskan suasana damai itu baru mencapai sekitar 30% dari keseluruhan rencana pembangunan.

Tiang-tiangnya sudah tegak, sebagian dindingnya sudah kokoh, namun masih banyak yang perlu diselesaikan, seperti bangku umat, lampu-lampu, instalasi listrik, sound system, hingga sarana air dan drainase. Pembangunan tersendat karena terbatasnya dana yang dimiliki oleh umat di sana.

Namun di balik segala keterbatasan itu, semangat umat tidak pernah padam. Mereka datang, membawa doa, harapan, dan tenaga. Ada yang menyumbang tenaga untuk mengecat, ada yang mengantar makanan bagi para pekerja, ada pula yang diam-diam menyisihkan sebagian rezekinya agar rumah Tuhan ini bisa cepat selesai dan menjadi rumah mereka untuk secara berjemaat bersyukur dan memuliakan Tuhan.

Lebih dari Sekadar Bangunan

Bagi umat di Gunung Putri, gereja ini bukan sekadar tempat ibadah.
Ia adalah rumah, tempat mereka datang untuk berjumpa, berdoa, dan menumbuhkan iman di tengah hiruk pikuk dunia yang kian materialistis dan jauh dari nilai-nilai kristiani. Di sinilah anak-anak belajar tentang kasih, orang muda menemukan panduan dan pegangan untuk arah hidupnya, dan para lansia datang untuk bersyukur atas setiap hari yang diberikan Tuhan untuk mereka jalani dengan penuh iman.

Namun, kita juga tahu bahwa membangun sebuah gereja tidaklah mudah. Diperlukan bukan hanya batu dan semen, tapi juga iman, cinta, dan dukungan dari banyak pihak yang mau bermurah hati. Sebab, gereja ini tidak dibangun oleh satu orang, tetapi oleh seluruh umat Allah yang percaya bahwa kasih Tuhan layak diberi tempat yang indah.

Seperti sering saya ucapkan, pembangunan sebuah gereja itu sekaligus membangun 3 (tiga) hal.

Pertama: Pembangunan gedung gereja memerlukan tenaga, pikiran, dan rencana jangka panjang.

Kedua: Membangun umat secara keseluruhan – Bagaimana umat bisa tumbuh dan berkembang dengan adanya gereja baru? Bagaimana umat bisa menjadi garam dan terang bagi masyarakat di sekelilingnya?

Ketiga: Membagun lingkungan, baik lingkungan kehidupan gereja maupun sarana prasarana kehiduoan masyarakat. Ikut membangun pergaulan positif dengan masyarakat sekitarnya.

Saat ini, Paroki Vincentius a Paulo sedang berjuang untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar seperti:

  • Bangku-bangku umat, agar setiap orang yang datang dapat duduk dengan nyaman untuk berdoa doa dan memuliakan Tuhan.
  • Sound system dan pencahayaan, agar setiap firman dan lantunan nyanyian pujian terdengar jelas dan menyentuh hati.
  • Sarana elektrikal seperti lampu-lampu penerangan dan drainase, agar gereja aman dan layak digunakan. (Banjir masih menjadi bahaya laten)
  • Ruang-ruang pastoral, ruang arsip, klinik kesehatan, dan ruang belajar, agar pelayanan tidak berhenti di seputar altar, tetapi menjangkau kehidupan nyata umat setiap hari.

Gereja kecil ini memang belum selesai, namun di dalamnya sudah berdenyut hati umat yang percaya, bekerja, dan berharap bahwa gereja mereka akan berdiri tegak dan menjadi pusat umat beriman untuk berkumpul dan berbagi iman. Cinta mereka itulah yang mampu membangun “Gereja kecil dengan hati besar yang penuh iman dan kasih.”

Kalimat sederhana ini menggambarkan seluruh perjuangan umat Paroki Vincentius a Paulo. Mereka bukan umat yang berlimpah harta, tapi kaya dalam kasih.

Mereka tahu bahwa setiap rupiah yang disumbangkan bukan sekadar angka di rekening, tetapi batu bata cinta yang membangun rumah Tuhan.

Suatu kali, seorang ibu paruh baya datang membawa amplop kecil.
“Ini tidak seberapa,” katanya lirih, “tapi saya ingin gereja kita punya lampu yang terang.” Ada pula seorang anak muda yang dengan gaji pertamanya membeli beberapa sak semen, dan dengan senyum bangga berkata, “Biar sedikit, tapi ini untuk Tuhan.”

Itulah wajah sejati Gereja: kesetiaan dalam hal kecil yang lahir dari cinta dan iman yang besar.

Panggilan bagi Kita Semua

Kami mengajak sekaligus mengetuk kemurahan hati Anda untuk berkenan mendukung upaya umat Paroki Vincentius a Paulo yang akan mengadakan malam Charity Dinner pada tanggal 26 November 2025, di Restoran Angke Heritage PIK 2, Jakarta Utara, bersama sang gembala, Bapa Uskup Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM.

Acara ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang. Sebuah starting point,
bukan akhir. Kita tahu bahwa pembangunan fisik bisa saja selesai, tapi pembangunan iman dari umat dan semangat berbagi tidak boleh dan tidak akan pernah berhenti, apalagi godaan media sosial dan banjirnya informasi telah mengikis nilai-nilai luhur manusia.

Apalagi gereja paroki ini bukan milik satu wilayah atau satu komunitas kecil. Ia adalah bagian dari Tubuh Kristus yang lebih besar, yang menyatukan semua umat dari berbagai daerah dan belahan dunia dalam kasih Allah.

Maka, kami mengetuk hati setiap insan yang membaca tulisan saya ini.

Apakah Anda bersedia menjadi bagian dari karya kasih ini?
Apakah Anda ingin menanamkan sepotong cinta dalam sejarah Gereja yang kelak menjadi tempat generasi baru mengenal Tuhan?

Kita mungkin tidak bisa hadir setiap minggu di Gunung Putri. Tapi melalui dukungan, baik doa maupun dana, kita bisa hadir dalam setiap batu bata yang dipasang, setiap nyanyian yang bergema, dan setiap jiwa yang disapa oleh kasih Tuhan Yesus Kristus bersama para malaikat di Surga.

Setiap sumbangan, sekecil apa pun adalah tanda nyata kehadiran Allah. Dan setiap tangan yang memberi adalah saluran berkat bagi mereka yang berjuang di garis depan pelayanan. Kelak, ketika gereja ini berdiri megah dan loncengnya bergema untuk pertama kali, kita semua akan tersenyum haru dan bahagia. Karena kita tahu, di balik setiap dinding yang kokoh, ada doa yang lembut, di balik setiap lampu yang menyala, ada cinta yang tulus. Dan ketika umat berkumpul untuk misa pertama di gereja baru itu, mungkin tidak ada satu pun dari kita yang disebutkan namanya.

Tuhan tahu siapa yang diam-diam memberi, berdoa, dan mencintai. Paroki Vincentius a Paulo bukan hanya sedang membangun sebuah gedung. Ia sedang membangun kesaksian iman dan pengharapan bahwa kasih Tuhan nyata, bahkan di tengah keterbatasan. Gereja kecil ini akan menjadi pelita bagi banyak orang, tempat mereka menemukan harapan, penghiburan, dan kekuatan untuk melangkah.

Mari, bersama kita lanjutkan perjalanan ini.
Mari kita bantu agar rumah Tuhan di Gunung Putri dapat segera berdiri dengan indah.
Mari kita buktikan bahwa Gereja kecil dengan hati besar bisa menjadi sumber terang bagi banyak jiwa. Sebab di hadapan Tuhan, bukan besarnya bangunan yang dilihat, melainkan besarnya cinta yang membangunnya.

Tuhan memberkati.
Adharta
0816707101

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

1460 hari bersama KRIS

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
28 September 2024

Angin bisa berlalu
Awan bisa kelabu
Hujan bisa turun
Laut bisa berombak
Semua akan berlalu dan
Indonesia akan bangkit dan sehat

Udara cukup panas di desa Ifana Fafinesu 180 KM di utara kupang, 60 menit dari Kota Kefamenanu. Kami 12 Orang dan 20 tim Patwal membawa makanan, goodie bag berisi Kellogs, vitamin, sabun, pasta gigi, makanan PMT, dan nasi box buat lunch.

Begitu tiba saya dan Istri, Bapak PJ Bupati Eusabius dan Istri, dan beserta semua tim mendapat sambutan sangat hangat dengan pengalungan selendang tenun khas Timor, disambut dengan tarian daerah TTU yang sangat indah. Diiringi alunan musik yang sangat merdu.

Hari ini Sabtu 28 September 2024 bertepatan dengan hari Ulang Tahun KRIS ke 4 hadiahnya begitu indah. Sambutan dari panitia Ifana Fafinesu dalam bahasa daerah yang tidak aku mengerti, tetapi secara naluri aku merasakan ungkapan terima kasih yang sangat hangat dan mesra

Bunyi Gong 5 kali di pukul oleh PJ Bupati Bapak Eusabius tanda peluncuran program PPSA (Percepatan Penanganan Stunting Anak) untuk Kabupaten TTU di Puskesmas Tamis dan Puskesmas Wini yang membawahi 11 Desa. Jumlah anak Stunting yang di tangani ada 350 anak, mereka semua akan mendapat bantuan penanganan medis, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), penambahan vitamin, dan juga obat-obatan yang di perlukan sampai pendampingan oleh lebih dari 100 orang Kader yang dengan sepenuh hati akan mengawal merawat anak anak tersebut

KRIS berjalan sudah 1640 hari melalui jalan sempit dan liku-liku tebing curam bahkan lembah yang penuh kegelapan selama pandemi Covid-19, namun waktu membuktikan bahwa Indonesia dibawah perlindungan Tuhan bisa melewati masa masa sulit walau korban lebih dati 160.000 jiwa harus berkorban

Kini kita ada disini dan ingin berbakti bagi Nusa dan Bangsa. Masalah PPSA bukan lagi tanggung jawab Pemerintah atau badan instansi tertentu tetapi sudah menjadi tanggung jawab setiap insan di bawah bendera merah putih, apabila kita warga Negara Indonesia maka kita wajib bertanggung jawab terhadap pertumbuhan anak Indonesia. Jika mereka gagal tumbuh maka itu bagian dari kegagalan tanggung jawab kita

Acara di TTU cukup padat tetapi masih tetap menggores sebuah kisah dalam hatiku walau PPSA ini hanya merupakan Pilot Project atau Project percontohan tapi sudah menjadi representasi bahwa prevelensi Stunting Anak di Indonesia masih sangat tinggi bahkan diatas ambang batas yang di tentukan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO.

Dalam studi Tim KRIS biaya penanganan pun tidak kecil, estimasi IDR 15.000/anak untuk PMT belum obat-obatan, dan vitamin, dan juga biaya para petugas Nakes dan Kader.

Pada hari yang berbahagia ini saya ingin mengajak anda yang membaca tulisan ini dan tergeral hatinya membantu KRIS. Sehingga bola salju yang kita gulirkan akan membesar sampai ke seluruh wilayah di Indonesia. Bagi anda yang tidak bisa membantu baik tenaga pikiran dan materi, anda bisa membantu meneruskan atau viralkan tulisan saya ini. Itu saja sudah merupakan sebuah bantuan yang luar biasa

Saya memberikan apresiasi khusus kepada semua tim yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Anda semua sudah menjadi pahlawan bangsa tanpa tanda jasa, hanya Tuhan saja yang bisa membalas segala kebaikan anda yang di catat dalam tinta emas dari hati ke hati sampai anak cucu kita yang akan membaca dengan mata hati

Mari menuju Indonesia emas 2045 tanpa ada beban Anak Stunting

Salam dalam Doa

M E R D E K A

Dari Stunting Anak

Mari bersama KRIS dan dunia akan mendengarkan kita

Adharta

Rekening KRIS
BCA
6380888058
An
Perkumpulan Killcovid

Call Centre (WA)

+628119620888

untuk Cinta

Kisah Hadi Wiryawan, Ayah yang Ditinggalkan

Oleh: Tim Human Interest KRIS
Vincent S Johan

Awal Nopember 2025

Pagi itu Bandung masih berselimut kabut. Embun menetes di pagar besi rumah besar di Dago Atas, rumah peninggalan almarhumah Bu Salamah — istri yang selama 35 tahun menemani setiap jengkal hidup Hadi Wiryawan. Rumah itu kini hanya dihuni oleh satu orang: pria berusia 68 tahun, pensiunan insinyur sipil yang pernah menghabiskan hidupnya membangun jembatan dan jalan tol di seluruh Jawa Barat.
“Rumah ini terlalu besar untuk satu orang,” katanya pelan suatu pagi, sambil menyapu teras. “Tapi saya tidak pernah ingin menjualnya. Setiap sudutnya masih menyimpan suara tawa lama, aroma masakan, dan kenangan yang tidak bisa dibeli dengan uang.”
Sudah dua tahun Salamah berpulang, akibat komplikasi diabetes dan jantung. Sejak kepergiannya, Hadi menjalani hari-hari dengan rutinitas sederhana — salat, membaca Al-Qur’an, ngobrol dengan tetangga, lalu mengirim uang jajan untuk cucu-cucunya lewat transfer bank. Hidupnya tenang, meski kesepian menyelinap di setiap malam yang sunyi.
Tapi tahun ini, Hadi ingin sesuatu yang berbeda.
“Bagaimana kalau kita liburan bareng ke Bali?” ujarnya suatu siang saat makan bersama di rumah anak sulungnya, Bayu. “Sudah lama kita tidak jalan-jalan bersama. Kakek pengen ngajak kalian dan Ilham lihat pantai.”
Anak-anak langsung bersorak. Alya, cucu perempuannya yang baru tujuh tahun, bahkan melompat kegirangan. “Kita ke Bali! Kita ke Bali!” katanya sambil berputar-putar.
Bayu, yang bekerja di perusahaan konsultan, tersenyum hangat. “Boleh, Pak. Biar saya yang urus semuanya. Nanti bapak tinggal transfer aja ke rekening baru, ya. Totalnya sekitar tiga ratus dua puluh tujuh juta, sudah termasuk tiket pesawat, hotel, dan sewa mobil di sana. Lebih gampang kalau satu rekening biar nggak ribet konfirmasi.”
Tanpa ragu, Hadi mentransfer uang itu keesokan harinya. Sebagian besar berasal dari tabungan pensiun — hasil kerja keras seumur hidupnya. “Untuk keluarga,” pikirnya. “Untuk cucu-cucu yang saya cintai.”
Tidak ada yang terasa aneh waktu itu. Tidak ada tanda curiga sedikit pun. Kepercayaan seorang ayah terhadap anaknya begitu utuh, seperti fondasi jembatan yang pernah ia bangun dulu — kokoh dan tak tergoyahkan.
Hari Keberangkatan
Pagi itu Hadi bangun sebelum Subuh. Ia memakai kemeja putih terbaiknya, menyemprotkan sedikit parfum lama milik Salamah, dan memeriksa koper kecil yang sudah ia siapkan seminggu penuh. Di dalamnya ada sandal pantai baru, baju renang untuk cucu, serta uang tunai dua juta rupiah untuk membeli oleh-oleh khas Bali.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, suasana begitu ramai. Orang-orang berlalu-lalang, koper berderet di troli, anak-anak berlarian. Hadi berjalan pelan di belakang keluarga Bayu, sambil sesekali memastikan cucu-cucunya tidak terpisah.
Namun ketika mereka mendekati konter maskapai, raut Bayu berubah. Ia tampak gelisah, beberapa kali membuka ponselnya, lalu berbisik kepada istrinya, Laras. Ekspresi mereka tegang. Hadi tak mengerti.
Petugas konter kemudian meminta identitas dan kode pemesanan. Bayu menyerahkan ponselnya. Petugas mengetik di komputer, lalu mengangkat kepala dengan tatapan ragu.
“Maaf, Pak. Tidak ada pemesanan atas nama ini.”
Bayu langsung menarik tangan ayahnya. “Sudah, Pak. Jangan marah dulu, ya. Mungkin sistemnya error. Kita nyusul besok aja, Bapak. Sekarang kita udah telat, nanti pesawat ketinggalan.”
Tanpa sempat berpikir, Hadi melihat anaknya melangkah cepat ke arah pintu keberangkatan. Laras menarik Alya dan Ilham, diikuti mertua mereka. Tak ada yang menoleh ke belakang.
Bayu sempat melambaikan tangan dari jauh — bukan lambaian perpisahan yang hangat, tapi lebih seperti isyarat agar ayahnya tidak menyusul.
Hadi berdiri sendirian di tengah keramaian bandara, dengan koper kecil di kakinya. Orang-orang lalu lalang, pengumuman keberangkatan bersahutan, namun dunia di sekelilingnya mendadak hening. Ia hanya mendengar degup jantungnya sendiri — cepat, bingung, dan sakit.
Ia duduk di kursi tunggu. Tangan tuanya bergetar saat membuka aplikasi mobile banking. Di sana tercatat: transfer 327.000.000 rupiah ke rekening atas nama Bayu Wiryawan. Status: berhasil. Tidak ada tanda tiket, tidak ada konfirmasi, tidak ada balasan pesan.
Uang itu hilang. Bersama sebagian hatinya.
Kehilangan yang Tak Terbayar
Ketika kembali ke rumah sore itu, lampu ruang tengah masih menyala. Di meja makan masih ada termos teh dan dua cangkir yang belum dicuci. Seakan menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang.
Hadi menatap dinding penuh bingkai foto keluarga — foto pernikahan, foto Bayu kecil saat wisuda TK, foto lebaran tahun lalu. Semuanya tersenyum. Semuanya terlihat bahagia. Tapi senyum-senyum itu kini terasa asing.
Ia menyalakan lilin kecil di depan foto Salamah.
“Mah,” bisiknya pelan, “aku nggak ngerti kenapa bisa begini.”
Tidak ada jawaban, hanya bayangan api lilin yang menari pelan di kaca bingkai.
Malam itu ia tidak bisa tidur. Setelah salat Subuh, ia membuka laci kerjanya dan menemukan sebuah map bertuliskan Liburan Bali Agustus. Di dalamnya ada brosur hotel, catatan rencana perjalanan, dan bukti transfer uang. Semua lengkap — kecuali tiket.
Ia mulai berpikir jernih. Kalau tiket tidak pernah ada, berarti sejak awal tidak pernah direncanakan.
Dan benar saja. Ketika membuka arsip lama, ia menemukan dokumen lain: surat kuasa yang dulu ia tanda tangani untuk “perpanjangan BPKB mobil”. Setelah dibaca ulang, ternyata itu surat kuasa penjualan motor kesayangannya, Yamaha RX-King, yang telah ia simpan 20 tahun. Motor itu dijual tanpa sepengetahuannya, dan uangnya tidak pernah ia terima.
Ia duduk lemas. Di meja ada buku tabungan lama. Ia mulai mencatat setiap bantuan yang pernah ia berikan kepada Bayu:
Rp98 juta untuk uang muka rumah di Cibiru lima tahun lalu.
Rp24 juta untuk biaya sekolah cucu.
Rp8 juta untuk renovasi dapur.
Dan sekarang, Rp327 juta — untuk liburan yang tak pernah ada.
Tangan Hadi gemetar menulis. Air matanya menetes di atas angka-angka itu.
Lebih dari Sekadar Uang
Kisah Hadi Wiryawan mungkin terdengar seperti tragedi pribadi. Namun di baliknya tersembunyi persoalan sosial yang lebih besar: lansia yang kehilangan kemandirian dan perlindungan, bahkan dari orang yang mereka cintai.
Menurut data Kementerian Sosial, dalam lima tahun terakhir kasus penipuan atau penyalahgunaan kepercayaan terhadap orang tua meningkat hampir 40 persen — sebagian besar dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Uang pensiun, aset rumah, kendaraan, hingga harta warisan menjadi sumber konflik tersembunyi yang jarang dilaporkan, karena korban memilih diam demi menjaga nama baik keluarga.
“Yang hilang bukan cuma uang,” kata Hadi pelan ketika kami menemuinya kembali sebulan kemudian. “Yang hilang itu rasa percaya. Dulu saya pikir kasih sayang itu cukup. Ternyata, tidak semua cinta bisa dibalas dengan tulus.”
Tetapi meski sakit, ia tidak dendam.
“Saya masih mendoakan mereka setiap malam,” ujarnya. “Mungkin mereka sedang kesulitan. Mungkin mereka butuh uang lebih dari saya. Saya cuma berharap suatu hari nanti, mereka sadar bahwa seorang ayah tidak butuh balasan. Ia hanya ingin tidak dilupakan.”
Cinta yang Tak Pernah Pudar
Kini Hadi menjalani hari-harinya lebih sederhana. Ia menanam bunga di taman belakang, menyeduh teh setiap pagi, dan membantu remaja di mushala sekitar rumah belajar matematika. “Biar ada teman ngobrol,” katanya sambil tersenyum tipis.
Setiap kali matahari terbenam, ia duduk di teras, memandangi langit Bandung yang mulai jingga. Kadang ia berbicara sendiri, seolah istrinya masih di samping.
“Mah, kalau kamu lihat dari sana, tolong jagain anak-anak kita, ya.”
Ada kesepian yang tak bisa dihapus. Tapi juga ada ketulusan yang tak bisa dimatikan.
Mungkin begitulah cinta orang tua: ia memberi tanpa syarat, bahkan ketika dikhianati.
“Uang bisa dicari,” kata Hadi suatu kali, menatap jauh. “Tapi waktu bersama keluarga, itu yang paling mahal. Saya baru sadar setelah semuanya terlambat.”
Penutup: Renungan untuk Kita Semua
Kisah Hadi Wiryawan bukan hanya kisah satu orang. Ia adalah potret ribuan orang tua di Indonesia yang hidup dalam kesunyian, menahan kecewa, dan tetap memaafkan — demi cinta yang tak sempat terucap.
Kita hidup di zaman di mana anak-anak sibuk mengejar karier, dan orang tua sering dianggap selesai ketika pensiun. Padahal, mereka tidak butuh banyak — hanya perhatian kecil, sapaan, dan kejujuran.
Sebab bagi mereka, cinta adalah kehadiran, bukan uang.
Suatu sore, Hadi menulis di buku catatannya:
“Saya tidak menyesal mencintai anak saya.
Saya hanya menyesal karena tidak sempat mengajarinya arti cinta yang sebenarnya.”
Api lilin di depan foto Salamah sudah padam. Tapi di mata Hadi, cahaya kecil itu masih menyala — bukan karena harapan yang besar, tapi karena kasih yang tak pernah mati.
Dan mungkin, di situlah makna sejati dari menjadi orang tua.
Apakah Anda ingin saya tambahkan bagian epilog singkat di akhir, berisi pesan sosial dari KRIS tentang pentingnya perlindungan dan penghormatan kepada lansia — agar bisa digunakan sebagai artikel resmi KRIS untuk publikasi?

Puji Tuhan

Adharta

TITISAN KASIH

TITISAN KASIH
Merobah Dunia

VINCENTIUS A. PAOLO

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Awal Nopember 2025

Awal Cinta dari Cinta

Malam itu dingin menyelimuti perbukitan Gascony, Prancis.
Di rumah kecil beratap jerami, seorang bocah laki-laki bernama Vincentius A Paulo
sedang menatap bintang.
Di luar, angin menggoyang ranting pohon, dan di dalam, ibunya menambal pakaian ayahnya yang compang dan camping.

“Suatu hari, Nak,” kata ibunya lembut, “kau akan menjadi imam.
(Cita Cita rata rata Ibu Ibu saat jaman itu)

Doakan agar ibu dan ayah bisa melihatmu di altar.”

Vincentius hanya diam.
Ia tahu, untuk sekolah saja, ibunya harus menjual seekor sapi satu-satunya harta keluarga. Tapi di dalam hatinya yang kecil, api kecil mulai menyala api harapan dan kasih.
Cita-cita dan Kejatuhan
Bertahun-tahun kemudian, Vincentius muda akhirnya ditahbiskan menjadi imam.
Ia pandai, sopan, dan dikagumi banyak orang. Namun dalam hati, ada ambisi halus yang tumbuh ia ingin hidup terhormat, dihormati, dan sejahtera.

Ia sering diundang makan di rumah bangsawan.
Ia bergaul dengan para terpelajar.
Tapi setiap kali ia menatap wajah para petani miskin di jalan, hatinya bergetar aneh seperti ada yang menegurnya dari dalam.

Suatu hari, dalam perjalanan menuju Marseille, kapal yang ditumpanginya diserang bajak laut.
Vincentius ditawan, dijual sebagai budak di Afrika Utara.

Dunia yang megah tiba-tiba runtuh.
Hari-harinya penuh siksaan. Ia bekerja di ladang di bawah terik matahari.

Kakinya luka, tangannya pecah, tubuhnya lemah. Namun di tengah derita itu, ia mulai mengenal arti kerendahan hati.

Suatu malam, di bawah sinar bulan, ia berdoa:

“Tuhan, Engkau mengambil segala yang kumiliki.
Biarlah Engkau kini memiliki aku seluruhnya.”

Air matanya jatuh, tapi bersamaan dengan itu, hatinya dibebaskan.
Kembali dan Terpanggil
Beberapa tahun kemudian, Vincentius berhasil melarikan diri bersama majikannya yang bertobat dan kembali ke Prancis.
Ia tidak lagi mencari kehormatan.
Ia mulai berkhotbah di desa-desa miskin, menemani orang sakit, dan memberi penghiburan kepada tahanan.

Di sebuah desa kecil, ia bertemu seorang wanita tua yang sedang menangis karena anaknya kelaparan.
Tanpa banyak kata, Vincentius menanggalkan jubahnya dan menyerahkannya

“Ini bukan milikku,” katanya lembut, “Tuhan menitipkannya padamu.”
Dari peristiwa sederhana itu, lahirlah panggilan besar melayani Kristus dalam diri orang miskin.

Kasih yang Bertumbuh
Vincentius kemudian mendirikan Kongregasi Misi para imam yang rela pergi ke tempat-tempat terpencil untuk mengajar, menyembuhkan, dan menghibur. Ia juga mendirikan kongregasi
Putri Kasih, bersama Louisa de Marillac, untuk para suster yang melayani di rumah sakit dan jalanan.

Ia sering berkata:
“Kita harus melihat Kristus dalam wajah mereka yang lapar, telanjang, dan menderita.

Jika kita menolong mereka, kita menyentuh hati Kristus sendiri.”
Namun hidupnya tak selalu mudah.
Banyak yang menentangnya, menuduhnya gila, atau menyebutnya terlalu sederhana untuk dunia modern.

Tapi Vincentius hanya tersenyum.
Ia tahu bahwa kasih sejati sering disalahpahami.

Air Mata di Ruang Sakit
Suatu malam di musim dingin, ia mendatangi rumah sakit tua di Paris.

Bau busuk, udara lembab, dan jeritan orang sakit membuat hati siapa pun gentar.

Seorang suster muda berkata, “Bapa, ini terlalu berat bagi kami.

Kami tidak kuat menanggung penderitaan ini.”

Vincentius menggenggam tangan suster itu, matanya berkaca-kaca.

“Anakku, kasih tidak mengenal lelah.
Kasih tidak berhenti di ambang penderitaan.
Di sinilah kita menemukan wajah Kristus yang sejati.”

Ia kemudian duduk di samping seorang pria sekarat, membersihkan luka di kakinya dengan tangan gemetar.
Air mata menetes dari pipinya ke luka itu bukan karena jijik, tapi karena belas kasih yang begitu dalam.

Harapan di Tengah Derita
Meski kesehatannya menurun, Vincentius tetap bekerja tanpa henti. Ia berjalan dari satu panti asuhan ke panti lainnya, menghibur tahanan, menulis surat bagi mereka yang putus asa.

Kelak banyak mujizat terjadi karena nama Vincentius A Paulo

Suatu sore, seorang anak yatim kecil memegang tangannya dan berkata polos,
“Bapa, apakah Tuhan benar-benar mencintai orang seperti saya?”

Vincentius memeluknya erat.
“Nak, Tuhan mencintai kita lebih dari yang bisa kita bayangkan. Kadang cinta-Nya tampak melalui air mata, tapi percayalah di balik setiap duka, ada tangan-Nya yang menuntun.”

Anak itu tersenyum, dan di mata Vincentius, senyum itu adalah surga kecil yang turun ke bumi.

Akhir yang Damai
Ketika usia senjanya tiba, tubuh Vincentius melemah. Namun semangatnya tetap menyala.
Ia menghabiskan malam-malam panjang berdoa di kursinya, memandangi salib kecil di dinding kamarnya.

“Kasih-Mu terlalu besar, Tuhan,” bisiknya pelan.
“Aku tak layak, tapi aku bersyukur Kau memilih aku untuk melayani-Mu dalam diri orang kecil.”

Pada 27 September 1660, Vincentius menghembuskan napas terakhir.

Tidak ada kemegahan. Hanya sebuah ruangan sunyi, beberapa suster berdoa, dan lilin yang menyala redup.

Namun di luar sana, di hati ribuan bahkan jutaan orang miskin yang pernah disentuhnya, api kasihnya terus hidup.
Warisan Kasih
Ratusan tahun kemudian, namanya masih bergema di setiap panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah yang didirikannya.

Sosoknya menjadi teladan bagi semua orang yang ingin mengasihi tanpa pamrih.
Ia pernah berkata

“Jangan biarkan belas kasih berhenti di bibir. Biarkan ia menjelma dalam tindakan, sekecil apa pun.”

Dan begitulah, Vincentius a Paulo petani miskin yang menjadi imam, budak yang menjadi pembebas, pelayan yang menjadi santo
Orang suci yang
meninggalkan jejak abad jejak air mata yang berubah menjadi harapan, dan kasih yang mengubah dunia.

Tulisan ini kupersembahkan buat Paroki Santo Vincentius A Paulo
Gunung Putri
Keuskupan Bogor
Panitia PPG
Panitia Malam Dana di Angke Heritage PIK2
26 Nopember 2025 malam
Seluruh Donatur yang berhati emas dan mulia
Semua Pendoa

Terima Kasih Tuhan
Doa ku menyertai

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

MALAIKAT TAK BERSAYAP

MALAIKAT TAK BERSAYAP

Awal Nopember 2025

Cerpen 022

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Angin malam
Di sebuah desa kecil di Brebes, di antara hamparan sawah yang menguning dan langit yang selalu tampak lapang, lahirlah seorang anak lelaki bernama Arya.
Ia lahir dalam keluarga sederhana bahkan terlalu sederhana untuk ukuran desa itu. Ayahnya meninggal dunia ketika Arya baru berusia tiga tahun.

Sejak saat itu, ibunya, Sarinah, menjadi satu-satunya tumpuan hidupnya.
Sarinah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang juragan bawang merah

Setiap pagi, sebelum matahari naik, ia sudah berjalan sejauh dua kilometer ke rumah majikannya.
Di tangannya yang kasar karena deterjen dan air sabun, tersimpan kasih yang lembut dan kekuatan yang luar biasa.

Ketika Arya mulai sekolah dasar, Sarinah sudah terbiasa membawa bekal nasi bungkus dan lauk tempe goreng dari rumah. Ia jarang makan bersama anaknya karena waktunya habis bekerja.
Tapi setiap malam, meski lelah, ia tetap menyiapkan seragam Arya yang sudah dicuci bersih, disetrika dengan teliti.

“Sekolah yang rajin, Nak,” katanya setiap pagi sambil mengelus rambut anaknya.
Arya selalu mengangguk, meski kadang matanya masih mengantuk.
Ia tahu, ibunya menaruh seluruh harapan pada dirinya.
Masa Sekolah dan Perjuangan
Waktu berlalu. Arya tumbuh menjadi remaja pendiam tapi rajin.
Di sekolah menengah pertama, ia sering jadi bahan ejekan teman-temannya karena sepatu lusuhnya atau tasnya yang sudah robek.

Tapi ia tidak marah. Ia tahu ibunya bekerja keras untuk membelikannya buku dan seragam, meski dengan uang yang sangat pas-pasan.

Setiap kali ujian, Sarinah selalu menunggu kabar nilai Arya dengan hati berdebar.

“Bagaimana hasilnya, Nak?”
“Bagus, Bu. Rangking dua.”

Dan Sarinah selalu tersenyum sambil menatap wajah anaknya dengan mata berkaca-kaca.

“Syukurlah. Berarti kerja keras kita tidak sia-sia.”

Di SMA, Arya mulai menyadari betapa berat beban yang dipikul ibunya.

Kadang ibunya pulang malam, kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri, tapi tetap tersenyum.
“Bu, Arya bantu kerja juga ya,” katanya suatu sore.

Namun ibunya menatapnya lembut, “Tidak, Nak.
Tugasmulah belajar.
Biar Ibu saja yang kerja.

Suatu hari nanti, kamu harus lebih tinggi dari Ibu. Sekolahmu itu doa Ibu yang belum selesai.”

Kata-kata itu terus terpatri di hati Arya.

Ke Jakarta dan Perjuangan Kuliah
Setelah lulus SMA, Arya sempat bingung. Ia ingin kuliah, tapi tak punya uang.
Tabungan ibunya tidak cukup. Namun Sarinah menatapnya dengan yakin.

“Kuliah sajalah, Nak. Tuhan pasti kasih jalan.”
Dengan bekal keberanian dan doa, Arya berangkat ke Jakarta naik bus ekonomi.
Ia membawa tas kecil, beberapa potong pakaian, dan uang hasil tabungan ibunya selama bertahun-tahun.

Di Jakarta, ia mendaftar di sebuah universitas kecil jurusan keuangan. Awalnya ia pesimis, tapi ia belajar dengan keras.
Siang kuliah, malam bekerja di warung kopi.

Kadang ia pulang tengah malam, tapi tetap bangun pagi untuk kuliah.
Suatu hari, dosennya berkata, “Arya, kamu saya calonkan dapat beasiswa. Nilaimu bagus, dan kamu pantas.”

Arya hampir tidak percaya. Ia menelpon ibunya malam itu, suaranya bergetar.

“Bu, Arya dapat beasiswa!”
Terdengar isak di ujung telepon. “Alhamdulillah, Nak.
Ibu bangga sekali.”

Sejak saat itu, Arya tidak lagi membebani ibunya dengan biaya kuliah.

Ia menabung sedikit demi sedikit, berharap suatu hari bisa mengajak ibunya tinggal bersamanya di Jakarta.

Pertemuan dengan Ratna
Di kampus, Arya bertemu dengan Ratna, mahasiswi cerdas dari keluarga sederhana juga. Ratna kagum pada ketekunan Arya, sedangkan Arya terpesona dengan keceriaan Ratna. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan kecil kampus.

Waktu berlalu, cinta mereka tumbuh pelan tapi dalam. Ratna tahu kisah hidup Arya dan ibunya. Ia sering berkata,
“Ibumu hebat, Arya. Suatu hari kamu harus bahagiakan dia.”
Arya tersenyum lembut, “Itu tujuan hidupku, Ratna.”

Setelah lulus, Arya langsung diterima di sebuah perusahaan keuangan kecil di Jakarta.
Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup sederhana dan mulai menabung. Ia ingin segera menjemput ibunya dari Brebes.
Kabar yang Menghantam
Namun hidup sering kali tidak berjalan sesuai rencana.

Beberapa bulan setelah bekerja, Arya pulang ke Brebes dengan semangat.
Ia membawa sedikit uang dan hadiah: selembar kain batik dan sepasang sandal baru untuk ibunya.
Ia turun dari bus, berjalan ke gang kecil menuju kontrakan tempat ibunya tinggal.

Namun ketika tiba di sana, sesuatu terasa aneh.
Rumah itu kosong. Pintu digembok dari luar.
Tetangganya, seorang ibu tua, keluar dan berkata pelan, “Arya? Kamu Arya anak Bu Sarinah, ya?”
“Iya, Bu. Ibu di mana?”

Wajah ibu tua itu mendadak murung. “Sudah berbulan-bulan dia tidak kelihatan. Katanya pergi cari kerja ke kota lain.
Tapi setelah itu… tidak ada kabar. Rumah ini sudah dikontrakkan ke orang lain.”
Arya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar.

Ia berdiri lama di depan rumah itu, menatap pintu kayu yang kini tertutup rapat. Di dalam pikirannya, suara ibunya seperti masih terdengar, memanggilnya untuk makan atau menyiapkan seragam sekolah.

Malam itu, Arya menginap di rumah tetangga lama.
Ia mencoba mencari jejak menanyakan ke RT, ke teman lama ibunya, bahkan ke agen tenaga kerja di Tegal.
Tapi semua nihil. Ibunya seolah lenyap ditelan bumi.

Pencarian yang Tak Pernah Selesai
Sekembalinya ke Jakarta, Arya seperti kehilangan semangat hidup. Ia tetap bekerja, tapi setiap malam matanya tak bisa terpejam.
Ia mencoba mencari lewat media sosial, memasang pengumuman di grup Brebes, bahkan melapor ke polisi, namun hasilnya tetap kosong.

Ratna selalu menemani. Kadang hanya duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.
“Kalau Ibu tahu kamu seperti ini, dia pasti sedih,” katanya pelan.

Arya terdiam, menatap langit-langit kamar kos. “Aku cuma ingin tahu dia baik-baik saja, Ratna.
Aku belum sempat membahagiakan dia.”
Bertahun-tahun kemudian, meski belum ada kabar, Arya tetap menabung sebagian gajinya.

Ia berkata pada Ratna, “Kalau Ibu pulang suatu hari nanti, aku ingin dia punya rumah sendiri.
Biar kecil, tapi nyaman.”
Rumah dan Sebuah Papan Kecil
Lima tahun setelah ibunya menghilang, Arya dan Ratna memutuskan menikah.
Mereka sudah cukup mapan secara finansial. Tapi di hati Arya, masih ada ruang kosong
ruang yang tak bisa diisi siapa pun.
Sebelum pernikahan, mereka pulang ke Brebes.
Arya membeli kembali rumah kontrakan lama ibunya
rumah kecil berukuran 50 meter persegi. Dindingnya rapuh, atapnya bocor, tapi di situlah semua kenangan masa kecilnya bersemayam.

Bersama Ratna, ia memperbaiki rumah itu pelan-pelan. Mengecat ulang dinding, mengganti jendela, menanam bunga di halaman kecil. Saat semua selesai, Arya berdiri di depan pintu rumah itu dan memasang sebuah papan kayu sederhana.
Di atasnya, dengan tulisan tangan sendiri, ia menulis:

“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah.”

Ratna berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kamu masih berharap dia kembali?”

Arya menatap papan itu lama, lalu tersenyum tipis. “Harapan itu yang membuatku hidup sampai sekarang.”

Setiap kali pulang ke desa, Arya selalu membersihkan rumah itu. Kadang ia duduk di teras sambil memandangi jalan kecil di depan rumah, berharap suatu hari sosok perempuan tua dengan langkah perlahan muncul dari tikungan membawa senyum yang ia rindukan seumur hidup.

Pernikahan Tanpa Orang Tua
Hari pernikahan tiba.
Arya dan Ratna menikah sederhana di Jakarta.
Tak ada sosok ibu di kursi tamu, tak ada air mata bahagia seorang orang tua yang melepas anaknya.
Tapi di dalam hati Arya, ia bisa merasakan kehadiran ibunya.
Saat penghulu menuntun ijab kabul, Arya memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah ibunya tersenyum.
“Saya terima nikahnya Ratna binti Hadi…”

Suaranya bergetar, tapi penuh keyakinan.
Setelah akad selesai, Ratna berbisik, “Ibumu pasti bahagia di sana, Arya.”

Arya menatap langit, dan dalam keheningan itu, ia merasa ada angin lembut menyentuh pipinya
seolah belaian seorang ibu yang kembali hadir sesaat.
Kenangan dan Doa
Waktu terus berjalan.
Arya dan Ratna hidup sederhana tapi bahagia. Mereka sering pulang ke Brebes untuk berziarah ke makam ayahnya, dan setiap kali ke sana, Arya selalu singgah ke rumah kecil itu.
Rumah itu kini menjadi tempat singgah bagi anak-anak kecil desa yang ingin belajar.

Arya mengubahnya menjadi ruang baca gratis. Di dindingnya, masih tergantung papan kayu dengan tulisan itu:

“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah.”

Kadang Arya duduk di sudut rumah, membaca buku sambil mengenang masa lalu.
Ia tahu, ibunya mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi bagi Arya, ibunya tidak pernah benar-benar pergi.
Ia hidup dalam setiap keberhasilan Arya, dalam setiap kebaikan yang ia lakukan, dalam setiap napas yang ia hembuskan.

Ratna sering melihat suaminya duduk lama di teras itu.

“Masih menunggu, ya?”
Arya tersenyum. “Tidak menunggu. Hanya mengenang.”
Ratna tersenyum haru, lalu bersandar di bahunya.

“Kamu tahu, mungkin ibumu tidak bersayap… tapi dia pasti sudah terbang ke tempat yang paling tinggi.”
Arya menatap langit sore. Langit Brebes selalu tampak sama lapang, tenang, dan hangat.
Dan di bawah langit itu, seorang anak yang dulu miskin dan kesepian kini telah tumbuh menjadi pria yang kuat, karena cinta seorang ibu yang tak pernah pudar meski waktu memisahkan.

Akhir cinta
Beberapa tahun kemudian, Arya menulis di buku hariannya:

“Hidupku bukan kisah tentang kehilangan, tapi tentang cinta yang tak pernah berhenti.

Ibu mungkin tak lagi di sisiku, tapi setiap langkahku adalah doa yang ia tinggalkan.
Aku tidak tahu di mana engkau kini, Bu…

Tapi setiap kali aku pulang, aku percaya — engkau juga sedang pulang, lewat angin, lewat matahari, lewat doa-doa yang tidak pernah padam.”
Dan di depan rumah kecil itu, papan kayu bertuliskan

“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah” tetap berdiri menjadi saksi cinta abadi antara seorang ibu dan anaknya.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Menanti

Menanti

(Kisah nyata yang kutulis dengan air mata dan doa)

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Cerpen 021

Jakarta
Akhir oktober 2025

Lagu itu kembali terdengar malam ini.
“Chan Fu…”

lembut, lirih, dan dalam bahasa Indonesia yang entah mengapa, menusuk hati lebih dalam dari biasanya.
Setiap kata dalam lagu itu seolah bercerita tentang seseorang yang perlahan kehilangan segalanya… kecuali cinta.

Dan malam ini, lagu itu adalah lagu untuk Syenny.

Dua tahun sudah ia berjuang. Dua tahun yang penuh dengan rasa sakit, harapan, dan ketakutan yang tak pernah benar-benar pergi.

Kanker hati
kata itu muncul pertama kali di ruang dokter dua tahun lalu, seperti petir yang menyambar langit cerah.

Awalnya hanya rasa lelah dan mual, tapi siapa sangka itu adalah awal dari perjalanan panjang menuju penantian.

Syenny baru berusia 33 tahun saat itu.
Masih muda, masih cantik, masih penuh rencana.
Ia punya dua anak laki-laki, berusia tujuh dan delapan tahun
dua cahaya kecil yang selalu memanggilnya Mama dengan tawa polos.

Suaminya, Ilham, adalah lelaki lembut yang setia, yang selalu berkata, “Kita bisa lewati ini, Sayang. Aku di sini.”

Tapi waktu berjalan seperti angin dingin yang terus menggerus.
Kemo pertama membuat rambut Syenny mulai rontok.
Setiap helai rambut yang jatuh ke lantai kamar mandi membuat Ilham terdiam lama, memungutnya satu-satu seperti benda berharga.

“Tidak apa-apa, Mas,” kata Syenny sambil tersenyum tipis, “rambut bisa tumbuh lagi.”

Tapi Ilham tahu, senyum itu dipaksakan.
Hari-hari berikutnya menjadi rangkaian antara rumah sakit, obat, muntah, dan malam panjang tanpa tidur.

Di ruang tunggu onkologi, wajah-wajah yang sama menanti giliran
wajah penuh harap dan takut. Di sanalah Syenny sering berdoa dalam diam, “Tuhan, kalau pun Engkau ingin memanggilku, tolong beri aku waktu sedikit lagi… aku ingin melihat anak-anakku tumbuh.”

Musim demi musim berganti.
Ada masa di mana kondisinya membaik.

Syenny bahkan sempat mengajak kedua putranya piknik ke taman kota, meski hanya duduk di atas tikar sambil makan bekal sederhana.

Hari itu, ia tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.
Namun, malamnya, ia menahan sakit hingga menggigit ujung bantal agar anak-anak tidak mendengar.
Ilham duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan istrinya yang dingin.

“Sakit lagi, Sayang?”
Syenny hanya mengangguk pelan, air mata menetes tanpa suara.

“Maaf ya, Mas…”

“Untuk apa minta maaf?”
“Karena aku bikin kamu susah.

Aku tahu aku akan pergi, tapi aku takut…”

“Jangan bicara begitu.

Aku belum siap,” bisik Ilham sambil mencium punggung tangannya.

Dokter akhirnya berkata jujur.
Penyebaran sudah terlalu luas.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain perawatan untuk mengurangi rasa sakit.

“Berapa lama lagi, Dok?” suara Ilham bergetar.
Dokter menatapnya lama, lalu pelan menjawab, “Mungkin… tiga bulan.”

Tiga bulan.
Waktu yang begitu singkat untuk seseorang yang masih ingin hidup.

Syenny mendengar kabar itu tanpa histeris. Ia hanya menunduk, menatap jari-jarinya yang semakin kurus.
“Jadi aku benar-benar harus menunggu, ya?” katanya pelan.

Ilham memeluknya, tapi kali ini tidak ada kata-kata yang bisa keluar.

Hari-hari selanjutnya adalah perjalanan sunyi menanti panggilan Tuhan.
Tubuhnya semakin lemah, kulitnya kekuningan, tapi ia masih mencoba tersenyum setiap kali anak-anaknya pulang sekolah.

Ia masih sempat membacakan doa malam untuk mereka, meski dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Kalau Mama nanti pergi, jangan nakal ya… dengar kata Papa. Rajin belajar, jangan lupa doa.”

Anak sulungnya, Revan, menangis di pangkuannya. “Mama nggak akan pergi kan? Mama janji…”

Syenny hanya menatapnya lama, memeluk erat, dan berkata, “Mama janji akan selalu di sini.”
Ia menepuk dada kecil putranya.

“Di sini, Nak. Di hatimu.”

Ilham kini hidup di antara dua dunia
antara rumah sakit dan rumah. Ia tidur hanya dua jam setiap malam, sisanya menemani Syenny menahan sakit.

Kadang, ia berjalan ke teras sendirian, menatap langit dan berdoa, “Tuhan, kalau memang harus Kau panggil dia, jangan buat dia menderita lagi. Tapi kalau bisa, beri aku satu keajaiban…”

Namun keajaiban tak datang. Yang datang hanya kenyataan bahwa cinta pun tidak bisa melawan takdir.

Malam itu, Syenny meminta sesuatu.
“Mas, tolong nyalakan lagu itu… yang dulu kita dengar waktu pacaran.”

Ilham memutar lagu Chan Fu versi Indonesia. Melodi lembut mengalun di kamar yang temaram, hanya diterangi lampu tidur kecil. Syenny menutup mata, tersenyum tipis.

“Mas… aku capek. Tapi aku bahagia.
Aku punya kamu, aku punya anak-anak yang lucu.

Aku nggak takut lagi.”

Ilham menggenggam tangannya erat.

“Aku juga bahagia pernah hidup denganmu, Sayang. Aku cinta kamu.”

“Jangan lupa… jaga mereka, ya…”

Air mata menetes di pipi Ilham, jatuh di tangan Syenny yang dingin.
Lagu itu terus berputar, hingga hanya tersisa suara nafas pelan yang makin lama makin hilang.

Pagi harinya, sinar matahari masuk dari celah jendela.
Syenny sudah pergi dengan tenang, wajahnya damai, seolah tertidur. Di meja kecil di samping ranjang, ada secarik kertas yang ditulis dengan tangan gemetar:

“Jangan tangisi aku terlalu lama. Aku hanya berpindah tempat.

Cintaku tidak mati, hanya berganti wujud menjadi doa.”
Hari pemakaman berlangsung sederhana. Orang tua, saudara, dan teman-teman menangis dalam diam. Dua anak kecil berdiri menggenggam tangan ayahnya, belum benar-benar mengerti apa arti kehilangan.

Ilham berdiri paling lama di depan pusara. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah dan bunga melati. Ia menatap nama yang terukir di batu nisan dan berbisik,
“Sayang, aku tidak akan berhenti mencintaimu.

Aku hanya… menanti waktu yang Tuhan pilih agar kita bisa bertemu lagi.”

Dan di kejauhan, lagu itu kembali terngiang…
“Aku menanti, walau kau telah pergi…”

Sebuah lagu, sebuah doa, dan sebuah penantian
yang tidak lagi menyakitkan, melainkan penuh cinta.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com