Cerpen 023
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Jakarta awal Nopember 2025
Rek Ayo Rek
Mlaku mlaku nang Tunjungan
Sopo ngerti nasib awak lagi mujur
Kenal anak e. Sing dodok Rujak Cingur
Nah lagu kenangan
Saya rasa semua anak anak Surabaya mengenal lagu ini
Saya 20 tahun sekolah di Surabaya
Mulai SD Kalianyar jalan. Kusuma Bangsa
Satu Alumni sama Jendral Tri Sutrisno
SMP. negeri IX Putro Agung
Banyak yang jadi jenderal TNI
SMAK Frateran
Banyak jadi Orang Sukses
Kenangan Kota Surabaya menghantar saya untuk mengkisahkan seorang sahabat saya
Yogi
Langit Surabaya sore itu berwarna keemasan.
Di teras rumah dinasnya,
Mayor Jenderal dr. Yogi Pratama duduk santai dengan secangkir kopi hitam dan suara burung murai yang bersahutan di taman. Sesekali ia tertawa kecil membaca pesan di ponselnya dari teman lamanya di Akademi Militer.
“Masih kuat push up seratus kali, Jend?” tulis pesan itu.
Yogi membalas, “Masih, asal sambil duduk.”
Ia tergelak sendiri.
Begitulah Yogi, seorang jenderal yang dikenal bukan hanya karena pangkat dan jasanya, tapi juga karena selera humornya yang hangat, membuat siapa pun nyaman di sekitarnya.
Namun di balik tawa itu, perjalanan hidupnya bukan tanpa perjuangan panjang. Ia lahir dari keluarga sederhana di Surabaya. Ayahnya, seorang purnawirawan Angkatan Laut, mendidiknya dengan disiplin yang keras namun penuh kasih.
Ibunya seorang guru SD yang selalu mengingatkan, “Nak, kalau mau jadi orang besar, jangan takut jatuh.
Takutlah kalau berhenti berjuang.”
Anak Surabaya yang Berlari Mengejar Mimpi
Sejak SD, Yogi sudah menonjol. Ia juara kelas, ketua pramuka, dan suka membantu teman-temannya belajar.
Namun yang paling diingat orang adalah senyum lebarnya
senyum anak kampung yang tak kenal lelah.
Di SMA, Yogi bukan hanya pandai, tapi juga populer. Ia pemain basket andalan sekolah, sekaligus ketua OSIS yang supel.
“Yog, kamu tuh bisa jadi apa aja,” kata gurunya suatu hari.
“Kalau bisa, Bu, saya mau jadi orang yang berguna,” jawabnya mantap.
Kata-kata itu kelak menjadi kompas hidupnya.
Ketika teman-temannya memilih kuliah sipil, Yogi justru mendaftar ke Akademi Militer.
“Aku ingin mengabdi, Bu,” katanya pada ibunya yang menitikkan air mata bangga. Ayahnya hanya menepuk bahu Yogi,
“Kalau mau jadi prajurit sejati, jangan cuma kuat ototnya, tapi juga hatinya.”
Peluru, Debu, dan Doa di Tanah Timot Timor
Setelah lulus dengan prestasi cemerlang, Yogi bertugas di Timor Timur, di masa yang penuh gejolak.
Di sanalah ia mengenal arti sejati dari keberanian dan kemanusiaan.
Ia masih muda saat itu, berpangkat Letnan Dua.
Ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat, dan di situlah nuraninya bergetar.
Suatu hari, di tengah konflik, Yogi menemukan seorang bocah terluka di pinggir jalan.
Tanpa pikir panjang, ia mengangkat anak itu ke pangkuannya, membalut luka seadanya, dan membawanya ke pos kesehatan.
“Kenapa repot-repot, Yog?” tanya komandannya.
Yogi menjawab lembut, “Karena tugas kita bukan hanya menembak, tapi juga menyembuhkan.”
Sejak hari itu, Yogi dikenal sebagai perwira yang punya hati lembut.
Rekan-rekannya mulai memanggilnya “Letnan Dokter” jauh sebelum ia benar-benar menjadi dokter.
Jalan Baru:
Dari Tentara Menjadi Dokter
Usai beberapa tahun bertugas, Yogi mengajukan diri untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran. Banyak yang heran, tapi ia menjawab dengan senyum khasnya, “Saya ingin menyembuhkan mereka yang tak bisa bertempur lagi.”
Ia kuliah dengan semangat luar biasa. Di usia yang tidak muda lagi, ia bersaing dengan mahasiswa yang jauh lebih muda, namun justru di situlah ia menemukan kebahagiaan baru:
Belajar menyelamatkan nyawa.
Tak sedikit dosen dan teman kuliahnya terinspirasi oleh kisahnya.
Ia kerap bercerita tentang medan perang sambil menggoda teman sekelasnya.
“Kalau pasiennya bandel, suruh push up tiga puluh kali dulu, baru saya periksa,” katanya disambut tawa.
Setelah lulus menjadi dokter umum, Yogi melanjutkan pendidikan spesialisasi paru-paru.
“Paru itu napas kehidupan,” ujarnya suatu kali. “Dan saya ingin menjaga napas bangsa ini.”
Cinta dari Pulau Timah
Cinta datang tanpa direncanakan. Saat bertugas magang di rumah sakit militer, ia bertemu seorang perawat muda asal Bangka bernama Mira.
Mira lembut, sederhana, dan sangat sabar menghadapi candaan Yogi yang tak ada habisnya.
“Kalau kamu mau jadi istriku,” kata Yogi suatu sore, “kamu harus tahan hidup dengan prajurit yang jarang di rumah.”
Mira tersenyum, “Asal kamu janji, kalau di rumah jangan berpikir seperti tentara.”
Mereka tertawa dan sejak itu, dua dunia bersatu:
Dunia ketegasan dan kelembutan.
Mereka menikah dengan sederhana, hanya dihadiri keluarga dan beberapa sahabat dekat. Dari pernikahan itu lahirlah tiga anak laki-laki: Raka, Bima, dan Dimas.
Ketiganya kini sudah dewasa, mengikuti jejak ayahnya dalam disiplin dan kecerdasan, meski belum satu pun memberi cucu.
Setiap kali ditanya, Yogi bercanda, “Saya ini dokter paru, bukan dokter bayi.
Jadi jangan salah sasaran.”
Jenderal dan Jiwa Sosialnya
Kariernya melesat. Dedikasi, integritas, dan kecerdasannya membuat Yogi naik pangkat dengan cepat hingga akhirnya menyandang bintang dua di pundaknya
Mayor Jenderal. Namun meski pangkat tinggi, Yogi tetap rendah hati.
Ia tak segan turun langsung ke lapangan membantu penanganan pasien paru di daerah terpencil. Ia memimpin banyak misi kemanusiaan, terutama saat pandemi melanda.
Saat banyak orang takut, Yogi justru berada di garda depan, membagikan masker, memotivasi tenaga medis, bahkan turun langsung merawat pasien di rumah sakit lapangan.
“Jangan panggil saya jenderal di sini,” katanya kepada perawat muda. “Di sini kita semua pejuang kesehatan.”
Namanya mulai dikenal luas, bukan hanya di lingkungan militer, tapi juga di dunia medis dan sosial. Ia menjadi simbol dedikasi dan pengabdian tanpa pamrih.
Banyak anak muda datang menemuinya, meminta nasihat hidup.
Yogi selalu menjawab sederhana, “Kalau kamu ingin jadi orang besar, jangan lupa tetap manusia.”
Tawa, Canda, dan Kehangatan Seorang Ayah
Di rumah, Yogi bukan sosok kaku.
Ia suka bercanda dengan istrinya dan anak-anaknya.
“Siapa yang berani ngelawan ayah, push up lima puluh kali!” ujarnya suatu kali.
“Kalau Ibu ikut ngelawan, gimana, Yah?” sahut Mira sambil tertawa.
“Kalau Ibu, cukup senyum aja, saya langsung kalah.”
Tawa pun pecah di ruang makan keluarga itu
kehangatan yang selalu membuat rumah mereka terasa seperti surga kecil.
Setiap Sabtu pagi, Yogi punya kebiasaan bersepeda keliling kota Surabaya bersama beberapa veteran dan dokter muda.
Di setiap perhentian, ia selalu berhenti untuk menyapa warga, membagikan masker, atau sekadar bercanda dengan anak-anak.
“Kalau sudah besar, jangan takut jadi orang baik ya,” katanya pada seorang bocah.
“Karena jadi orang baik itu tidak butuh pangkat.”
Sebuah Sore yang Tenang
Kini, di usianya yang matang, Yogi duduk di beranda rumahnya sambil menatap langit sore.
Angin berhembus pelan membawa aroma bunga kamboja yang ditanam istrinya di halaman.
Ia teringat masa-masa di Timor, suara tembakan, debu, dan doa. Ia juga teringat tawa Mira saat pertama kali mengenalnya, serta wajah anak-anaknya yang kini telah menjadi pria tangguh.
Teleponnya berdering. Dari Raka, anak sulungnya.
“Pak, minggu depan kita makan bareng ya? Semua pulang.”
Yogi tersenyum. “Asal jangan bahas cucu, ya.”
Suara tawa anaknya di seberang membuatnya ikut tertawa.
Malam itu, ia menulis di buku catatannya, sesuatu yang selalu ia lakukan sejak muda.
“Hidup ini seperti napas.
Ada tarik, ada hembus.
Selama masih ada udara di dada, aku akan terus berbuat baik. Karena pangkat bisa hilang, tapi kasih tak pernah turun derajat.”
Nafas yang Tak Pernah Padam
Yogi bukan hanya seorang jenderal, bukan hanya seorang dokter.
Ia adalah simbol dari kesetiaan pada nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya: kerja keras, cinta tanah air, dan kemanusiaan.
Ia telah melewati perang, kuliah, jabatan, dan banyak canda tawa keluarga. Tapi yang paling ia banggakan bukan bintang di pundaknya
melainkan senyum orang-orang yang pernah ia bantu.
Ketika ditanya wartawan muda dalam sebuah wawancara televisi,
“Pak Jenderal, apa rahasia sukses Bapak?”
Yogi menatap kamera dan menjawab pelan, “Saya cuma berusaha jadi manusia yang berguna.
Itu saja sudah cukup.”
Lalu ia tersenyum
senyum khas seorang anak Surabaya yang dulu berlari di lorong sekolah sambil membawa mimpi, dan kini telah menyalakan cahaya bagi banyak orang.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
