Category Archives: Uncategorized

Kami butuh ANDA H-8

Menuju Charity Diner
Penggalangan Dana
Angke Heritage PIK 2
26 Nopember 2025

Oleh : Adharta
Penasihat PPG
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
18 Nopember 2025

“Ibadah yang paling murni dan tidak bercacat di hadapan Allah ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka.”

Ayat sederhana ini bukan sekadar pengingat, tetapi sebuah panggilan.

Panggilan agar kita bergerak, melangkah, dan mengulurkan tangan bagi mereka yang sedang berjuang dalam kesunyian.

Siang tadi, saya menikmati makan siang di Prince House Kelapa Gading, ditemani Sekretaris Panitia Debby, Ketua Umum Panitia Penggalangan Dana Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo
Bapak Fandy, serta Ketua Tim Undangan Bapak Lendy.
Ditemani pula keluarga pemilik restoran, sahabat saya Bapak Annin Hudaya bersama Ibu Linda dan putrinya Jesica.

Makanan yang disajikan sungguh lezat, dan saya sangat merekomendasikan tempat itu kepada siapa pun untuk di kunjungi.
Namun makan siang itu bukan sekadar perjamuan.
Ada beban yang kami bawa, ada pergumulan yang kami diskusikan, ada harapan yang kami titipkan kepada Tuhan.
Kami sedang mencari jalan keluar, karena penggalangan dana pembangunan Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo masih sangat tersendat.
Target 400 tamu di acara Charity Dinner di Angke Heritage PIK 2 terasa semakin berat ketika kami menyadari bahwa hingga hari ini baru 7 meja terjual
hanya sekitar 70 orang padahal waktu tinggal 8 hari lagi.

Sumbangan yang masuk dari dari proposal pun masih sangat minim.

Momen hening pun tercipta di sela diskusi. Kami sadar, perjuangan ini belum selesai. Masih panjang. Tapi sama panjangnya dengan iman kami bahwa Tuhan mampu menggerakkan hati manusia. Mujizat terjadi bukan karena kita pantas, tetapi karena kasih Allah yang memampukan.

Tentang Gereja, Janda-Janda, dan Kasih yang Tak Pernah Usai
Dalam diskusi hari ini, muncul pembahasan menarik tentang hubungan khusus antara gereja dan para janda.
Gereja pertama dalam sejarah Kristen tumbuh kuat karena perhatian mereka kepada janda-janda
mereka yang kehilangan pendamping hidup, kehilangan tulang punggung ekonomi, namun tidak kehilangan kasih Allah.

Kita butuh
Gereja hadir bagi mereka, karena gereja adalah rumah bagi yang paling rapuh dan paling terluka.

Ketika kita membangun gereja, yang kita bangun bukan hanya gedung fisik.

Kita membangun rumah bagi para janda, bagi yatim piatu, bagi mereka yang datang dengan air mata, bagi mereka yang berlutut tanpa kata, bagi mereka yang membutuhkan pelukan rohani.

Maka pembangunan gereja ini, sesungguhnya bukan proyek biasa.
Ini adalah pelayanan.
Ini adalah ibadah.

Ini adalah kasih yang diwujudkan dalam bangunan yang kelak menaungi banyak jiwa.

Pada kesempatan bahagia ini saya menyampaikan bahwa ada beberapa
Doa-Doa yang Didengar Langsung oleh Allah

Saya juga menyampaikan satu pengingat penting dalam pertemuan kami tadi bahwa ada lima jenis doa yang langsung diterima Allah Bapa tanpa perantara.

Doa orang miskin dan susah.
Ketika mereka berseru, Tuhan mendengarnya sebelum kata itu selesai diucapkan.
Doa orang yang kehilangan kebebasan, seperti narapidana di penjara.
Tembok penjara tak mampu membatasi suara hati yang tulus.

Doa orang tertindas dan menderita.
Tuhan adalah pembela bagi mereka yang tak dapat membela diri.

Doa orang yang kelaparan.
Itulah sebabnya puasa membuat doa kita semakin murni, karena kelaparan membawa hati kita mendekati kerinduan terdalam pada Allah.

Doa orang-orang yang hidup dekat dengan Tuhan para suster, bruder, pastor, pendeta, ustadz, kiai, biksu, para pertapa.
Hidup mereka adalah persembahan, sehingga doa mereka menjadi harum di hadapan Allah.

Kelima doa ini adalah gambaran betapa pedulinya Tuhan kepada mereka yang lemah dan sederhana.
Dan gereja adalah tempat di mana doa-doa seperti ini dipanjatkan setiap hari
tempat yang sedang kita bangun bersama.

Kisah-Kisah yang Menggetarkan Hati
Beberapa waktu lalu, seorang ibu janda datang ke salah satu panitia.
Ia tidak membawa amplop besar, tidak membawa nama perusahaan, bukan pengusaha besar.
Ia hanya berkata pelan
“Saya tidak punya banyak. Tapi gereja ini tempat saya sembuh.
Tempat saya bertahan hidup. Tolong terimalah sedikit ini.”
Ia memberi dari kekurangannya. Dari hidup yang sudah berat tetapi tetap ingin menjadi berkat.

Ada pula seorang pemuda yang bekerja serabutan. Gajinya pas-pasan, bahkan sering kurang.
Namun ketika ia mendengar bahwa gereja yang selama ini memberinya kekuatan sedang dibangun, ia berkata:
“Saya ingin gereja ini berdiri. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Ia menyumbang sederhana
tetapi dari hati yang penuh cinta.
Kisah-kisah kecil seperti ini membuat kami yakin
Jika mereka yang hidupnya berat saja mau memberi, bagaimana mungkin kita yang diberkati lebih tidak tergerak?

Seruan untuk Para Donatur dan Sahabat Gereja
Hari ini, kami datang kepada Anda bukan sekadar meminta sumbangan.

Kami datang sebagai saudara seiman.
Kami datang membawa harapan ribuan jiwa yang kelak akan berdoa, memuji, menangis, menikah, dibaptis, dan mengucap syukur di gereja itu.

Kami datang untuk mengajak Anda menjadi bagian dari sejarah suci ini.

Setiap meja yang Anda beli, setiap rupiah yang Anda sumbangkan, setiap doa yang Anda panjatkan, semuanya akan menjadi fondasi rohani bagi generasi yang akan datang.
Bantulah kami membangun rumah Tuhan.

Bantulah kami menolong para janda, yatim piatu, dan mereka yang membutuhkan.
Bersama-sama, mari kita membuka jalan bagi mujizat terjadi.

Semoga hati Anda disentuh, dan tangan Anda menjadi saluran berkat bagi banyak jiwa.

Tuhan memberkati setiap kemurahan hati Anda.

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Dalam Duka Cita Ada Harapan Dan Gereja menjadi jembatannya H-9

Charity Dinner
Angke Heritage – PIK 2
Pembangunan Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo

Oleh : Adharta
Penasihat PPG
Ketua Umum KRIS

Jakarta, Minggu 16 November 2025

Hari ini adalah hari yang sarat rasa perpaduan antara sukacita harapan menjelang sebuah karya besar dan sekaligus duka cita yang dalam menekan dada.

Sejak pagi, kabar meninggalnya Ibu Uga Wiranto, mantan Ketua PMI DKI, datang seperti petir di siang bolong. Beliau adalah sosok yang pernah berjasa, penuh dedikasi, dan menjadi bagian dari perjalanan pelayanan kemanusiaan di Jakarta.

Belum selesai hati ini mengolah rasa kehilangan itu, menyusul kabar lainnya: Ibu Felicia Halim, sahabat sekaligus figur yang sudah seperti ibu saya sendiri, berpulang menghadap Tuhan.

Dalam suasana itu, istri saya, Ibu Lena, mengirimkan sebuah video kenangan. Di video itu masih terlihat Bapak Nobi, Ibu Feliciana Halim, dan Ibu Lena sendiri, tersenyum sambil bernyanyi bersama lagu “Sail Over Seven Seas.”

Lagu yang biasa membawa nostalgia, hari ini justru memecah pertahanan hati saya.
Ketika suara itu terdengar, rasa kehilangan seperti membentuk ruang sunyi di dalam dada
sunyi yang hanya bisa dijawab dengan doa.

Namun kehidupan tidak berhenti. Tanggung jawab pelayanan tetap berjalan.
Hari ini, dari pagi hingga siang, sampai Malam
saya bersama Ketua Panitia Malam Dana Bapak Fandy, didampingi Bapak Dwi Helly selaku Ketua Acara serta Bapak Lendy Yustena sebagai Ketua Persiapan Undangan dan Komunikasi, berkumpul di rumah saya jalan Hemat 1 no 17 Jelambar Jakarta Barat
Kami membahas persiapan Charity Dinner minggu depan nnati
Kami menyusun undangan, memastikan daftar tamu dan donatur, mengatur alur acara, serta mematangkan detail teknis agar malam penggalangan dana Rabu tanggal 26 November 2025 di Angke Heritage PIK 2 berjalan lancar dan penuh makna.

Di tengah rapat, pikiran saya terus terbagi dua.
Di satu sisi, saya harus memastikan acara berjalan sempurna demi pembangunan Gereja Katolik Santo Vincentius a Paulo
sebuah tonggak penting bagi kehidupan iman umat.
Di sisi lain, hati saya terus dirundung duka karena kehilangan sahabat-sahabat yang begitu berarti.

Dalam keheningan batin itu, beberapa rekan lama, khususnya dari PMI DKI, kembali menghubungi saya.
Kehilangan seseorang sering kali membuka kembali tali persaudaraan yang lama terlipat.
Saya pun menyempatkan diri menghubungi Ketua PMI DKI yang baru, Bapak Mardani, sosok yang menggantikan sahabat lama saya, Bapak Rustam Effendy, mantan Walikota Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Perbincangan singkat kami sarat penghormatan terhadap mereka yang telah mendahului kita, sekaligus menjadi pengingat bahwa hidup ini begitu rapuh dan setiap momen pelayanan adalah anugerah.

Waktu berjalan semakin cepat. Tak terasa kini H-9 menuju Charity Dinner. Persiapan teknis semakin rapat, sementara harapan umat terhadap pembangunan gereja semakin besar.
Dalam situasi seperti inilah saya kembali merasakan betapa kuat hubungan antara Gereja, umat, dan duka cita.

Gereja bukan hanya bangunan fisik yang berdiri megah, tetapi rumah Roh Kudus yang terbentuk dari hati umat yang berkumpul, berdoa, berbagi kasih, dan saling menopang dalam suka maupun duka.

Duka cita mengingatkan kita bahwa manusia bukan penguasa waktu; bahwa hidup dapat berubah sewaktu-waktu
dan bahwa hanya dalam Tuhan kita menemukan kekuatan untuk melanjutkan langkah.
Justru pada masa-masa kehilangan seperti ini, makna Gereja menjadi nyata. Gereja adalah tempat kita kembali, tempat kita menangis, tempat kita merasakan pelukan rohani Tuhan melalui umat-Nya.

Dari duka cita lahir empati dari empati lahir pelayanan; dari pelayanan lahir karya besar yang memperkuat persekutuan.

Karena itu, sebagai Penasihat PPG dan sebagai sesama umat, saya ingin mengajak seluruh umat Paroki Santo Vincentius a Paulo, di mana pun berada, untuk bersama-sama menundukkan hati, berlutut, dan memejamkan mata sejenak.

Marilah kita melantunkan doa bersama agar proses pembangunan Gereja, serta program penggalangan dana pada Charity Dinner nanti, diberi kelancaran, diberkati, dan dijauhkan dari segala hambatan.
Kita doakan pula jiwa Ibu Uga Wiranto dan Ibu Felicia Halim, agar Tuhan menerima mereka dalam damai abadi.

Dalam setiap air mata, ada harapan.
Dalam setiap kehilangan, ada panggilan untuk semakin dekat kepada Tuhan.

Dan dalam setiap pelayanan, ada kesempatan untuk menghadirkan kasih Allah di tengah dunia.

Semoga Tuhan memberkati langkah kita bersama.

Salam dalam Doa

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Pembangunan Gereja dan Semangat Iman Umat H-10

Menuju Charity Night
Angke Heritage
PIK2

Bumi perkemahan Ragunan
15 Nopember 2025

Sahabatku yang terkasih
Dimanapun Anda berada

Saya ingin mengajak anda dan keluarga mengenal lebih dekat sebuah gereja baru

Pembangunan Gereja Paroki Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri, Bogor,
Gereja ini
bukan sekadar proyek fisik, tetapi sebuah langkah iman yang menghidupkan kembali harapan umat akan hadirnya rumah Tuhan yang kokoh, layak, dan mampu menampung pertumbuhan komunitas Katolik.

Gereja selalu berdiri bukan hanya dari batu dan semen, tetapi dari deru doa, pelayanan, dan gotong royong umat beriman.

Dalam tradisi Gereja Katolik, pembangunan gereja baru dipahami sebagai bagian dari misi perutusan menghadirkan wajah Kristus di tengah masyarakat setempat.

Gereja menjadi tempat umat berkumpul, menyembah, menerima sakramen, mendengarkan sabda Tuhan, dan meneguhkan persaudaraan.

Dalam konteks Gereja Gunung Putri betada di daerah yang berkembang cepat
kehadiran Gereja Santo Vincentius a Paulo menjadi tanda harapan baru.

Selain sebagai tempat beribadah, gereja ini menjadi pusat pelayanan sosial, pendidikan iman, dan pembinaan rohani sesuai semangat Santo Vincentius yang dikenal penuh belas kasih kepada kaum kecil dan miskin.
Dengan demikian, pembangunan gereja tidak bisa dilepaskan dari dinamika rohani umat yang merindukan ruang kudus untuk berziarah batin, memperbaharui diri, dan semakin dekat dengan Tuhan.

Di sinilah relasinya kemudian menyentuh tema ziarah dan Porta Santa.
Ziarah Pengharapan dan Makna Spiritualitasnya
Ziarah dalam Gereja Katolik adalah perjalanan rohani menuju tempat yang dianggap suci, dilakukan untuk memohon rahmat, pengampunan, atau pembaharuan hidup.

Ziarah bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan hati
sebuah tindakan pengharapan dan pertobatan.

Ketika umat mengunjungi pusat-pusat devosi, mengikuti prosesi, atau memasuki tempat khusus seperti Porta Santa, mereka sebenarnya sedang menegaskan kembali relasi mereka dengan Allah. Maka, pembangunan gedung gereja baru sering memicu semangat umat untuk memperdalam hidup devosi, melakukan peziarahan lokal, dan merayakan iman dengan lebih penuh makna.

Gereja baru biasanya menjadi tujuan ziarah umat dari lingkungan sekitar, karena umat ingin merasakan berkat, sukacita, dan harapan yang hadir melalui tempat kudus yang baru diberkati. Dengan demikian, ziarah dan pembangunan gereja terhubung melalui satu semangat pertumbuhan iman dan peneguhan harapan.

Sahabatku
Mungkin Anda ingin mengenal lebih dalam
Apa itu Porta Santa?

Porta Santa atau Pintu Suci adalah salah satu tradisi paling simbolik dalam Gereja Katolik.
Porta Santa adalah pintu khusus yang dibuka pada Tahun Yubileum (Jubilee), yaitu tahun istimewa yang ditetapkan Paus sebagai masa penuh rahmat, pengampunan, dan pembaruan hidup rohani.

Pintu ini biasanya terdapat di Basilika-Basilika Utama di Roma, seperti Basilika Santo Petrus, Santo Yohanes Lateran, Santa Maria Mayor, dan Santo Paulus di Luar Tembok.

Namun pada Yubileum Luar Biasa, Paus dapat memberikan izin agar setiap keuskupan memiliki Porta Santa di salah satu gereja utamanya.
Masuk melalui Porta Santa merupakan tanda simbolik bahwa seseorang meninggalkan dosa, membuka hati bagi rahmat Tuhan, dan memulai hidup baru dalam Kristus.

Sejarah dan Awal Mula Porta Santa

Tradisi Porta Santa dimulai pada akhir abad ke-15.
Pada tahun 1475, Paus Alexander VI secara resmi menetapkan pembukaan Pintu Suci sebagai bagian dari perayaan Tahun Yubileum.
Namun akar tradisinya lebih tua, merujuk pada gagasan biblis tentang pintu keselamatan

“Akulah pintu barang siapa masuk melalui Aku, ia akan selamat” (Yoh 10:9).

Porta Santa kemudian menjadi simbol kuat bahwa Gereja mengundang umat untuk memasuki pintu rahmat Allah. Setiap 25 tahun sekali
atau pada Yubileum luar biasa
Paus membuka Porta Santa di Roma, diikuti oleh berbagai keuskupan di seluruh dunia.

Prosesi Pembukaan Porta Santa

Prosesi pembukaan Porta Santa dilakukan dengan upacara liturgis yang sangat khidmat
Paus atau Uskup mengetuk pintu tiga kali dengan palu khusus sebagai simbol permohonan rahmat Tuhan.

Pintu lalu dibuka, menandakan bahwa masa anugerah telah tiba.

Para imam dan umat memasuki gereja sambil melantunkan doa dan mazmur.

Pintu tersebut tetap terbuka sepanjang Tahun Yubileum, kemudian ditutup kembali pada akhir masa perayaan.
Prosesi ini menjadi tanda visual dan spiritual bahwa Gereja mengundang semua orang untuk kembali kepada Tuhan.

Manfaat Spiritualitas Porta Santa
Memasuki Porta Santa bukan sekadar ritual, tetapi memiliki dimensi rohani mendalam
Pertobatan dan pembaruan hidup
Umat diajak meninggalkan dosa dan kembali ke jalan Tuhan.

Pengharapan baru
Pintu Suci adalah simbol bahwa kasih Tuhan selalu terbuka.
Indulgensi penuh
Gereja memberikan indulgensi penuh bagi mereka yang memenuhi syarat: mengaku dosa, komuni kudus, mendoakan intensi Paus, dan menjauhi dosa berat.

Penguatan iman
Pengalaman ziarah dan prosesi membuat umat merasakan kehadiran Tuhan lebih nyata.

Doaku buat semua sahabat

Saya mengajak anda menemani sebuah
Relasi dengan Pembangunan Gereja
Dengan dipahaminya makna Porta Santa dan ziarah, umat dapat melihat bahwa pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo bukan hanya proyek fisik, melainkan momentum rohani: membuka pintu-pintu harapan dan iman baru bagi seluruh umat Gunung Putri dan sekitarnya.

Semoga gereja ini menjadi “porta gratiae”
pintu rahmat
yang menghadirkan damai dan kasih Kristus bagi banyak orang.

Mari kita memberikan bantuan baik berupa perhatian
Ungkapan kasih
Meringankan beban pembangunwn gereja
Santo Vincentius a Paulo
Gunung Putri
Bogor

Damai bersamamu

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Kisah Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo -H-11

Menuju malam dana
Angke Heritage
26 Nopember 2025

Ileh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Subuhnya
Gunung Putri
Wanginya bunga mawar

Sahabat baiku

Di sebuah sudut Gunung Putri yang tenang, berdirilah sebuah bangunan sederhana yang selama bertahun-tahun menjadi tempat umat Paroki Santo Vincentius a Paulo berkumpul.

Atapnya bocor, dindingnya mulai retak, dan kursi-kursi kayunya telah renta dimakan waktu.
Namun setiap Minggu, umat tetap datang dengan senyum
karena mereka percaya bahwa Tuhan hadir bukan dalam kemegahan bangunan, tetapi dalam ketulusan hati yang berkumpul di bawahnya.

Namun seiring berjalannya waktu, jumlah umat bertambah. Ruangan yang dulu cukup kini terasa sesak. Banyak umat harus mengikuti misa dari luar ruangan, bersandar di tembok, atau berdiri di bawah terik matahari. Setiap kali hujan turun, panitia paroki sibuk memindahkan umat agar tak kebasahan.
Di saat-saat itulah, keinginan untuk memiliki gereja baru yang lebih layak semakin menguat.

Kisah Cinta
Suatu sore, Dewan Paroki bersama para tokoh umat berkumpul.
Mereka duduk di kursi plastik, ditemani secangkir kopi biasa.
Tidak ada kemewahan, namun semangat mereka luar biasa besar. “Kita tidak membangun bangunan,” kata Romo dengan suara lembut, “kita sedang membangun sebuah rumah iman—rumah bagi anak cucu kita.”
Perjalanan pun dimulai. Panitia Pembangunan Gereja dibentuk, proposal disusun, dan umat bergerak dalam doa serta kerja bersama. Ada yang menyumbangkan tenaga, ada yang memberi waktu, ada yang menitipkan rupiah demi rupiah dari hasil jerih payahnya. Seorang ibu janda yang hidup sederhana menyelipkan amplop berisi uang kecil. “Tidak banyak, Romo,” katanya sambil tersenyum, “tapi ini dari hati.”

Tangis haru pun pecah. Karena gereja ini bukan soal angka besar, melainkan pembuktian bahwa cinta selalu menemukan jalannya.
Namun jalan pembangunan tak selalu mulus. Harga material naik turun, izin pembangunan memerlukan waktu, sementara dana yang terkumpul sering kali belum mencukupi kebutuhan tahap berikutnya.

Panitia pernah hampir menyerah. “Apakah kita sanggup melanjutkan?” tanya salah satu anggota dalam rapat yang sunyi.

Tetapi pada saat itulah seorang anak kecil, murid bina iman, datang membawa celengan plastik.
“Ini untuk gereja kita… supaya nanti saya bisa doa di tempat yang bagus.”
Kalimat polos itu menyayat hati semua yang mendengarnya. Semangat yang hampir padam kembali menyala.
Setiap batu yang diletakkan, setiap besi yang dipasang, seakan menyimpan kisah pengorbanan.

Para pekerja bekerja dengan sukacita, umat datang setiap minggu untuk melihat perkembangan yang perlahan tetapi pasti.
Ada harapan yang tumbuh, seperti tunas baru di tengah tanah yang kering.
Kini gereja itu mulai menampakkan wujudnya. Tiangnya kokoh, dindingnya berdiri tegak, dan altar masa depan tampak seperti memanggil umat untuk datang berlutut.
Belum selesai memang—masih banyak tahap yang harus dikerjakan. Tetapi harapan itu sudah nyata, sudah hidup, sudah berdenyut dalam hati setiap umat.

Dan di tengah perjalanan panjang ini, pintu tetap terbuka bagi siapa pun yang ingin mengambil bagian dalam karya mulia ini. Sebab setiap bantuan, sekecil apa pun, bukan hanya membangun gereja
tetapi membangun iman, kasih, dan masa depan umat.

Semoga Tuhan memberkati setiap tangan yang memberi, setiap hati yang peduli, dan setiap langkah menuju terwujudnya Gereja Santo Vincentius a Paulo yang baru.

Saya dan anda menanti mujizat dalam malam dana
Charity Night
Di Angke Heritage

Dalam kasih Nya aku menanti.

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Gereja Kecil, Terang yang Tak Pernah Padam(Gereja Santo Vincentius a Paulo, Gunung Putri) – H-12

Menuju Malam Dana
Angke Heritage PIK2

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Jumat
14 Nopember 2025

Desiran angin dan embun pagi Gunung Putri

Sahabatku
Rinduku menyertai

“Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Surga.”
(Matius 19:14)

Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Surga dimiliki oleh mereka yang berhati seperti anak-anak polos, tulus, dan penuh percaya. Dan di Gunung Putri, semangat itu hidup dalam sekelompok umat kecil yang menatap ke langit dengan harapan besar membangun Gereja Katolik Paroki
Santo Vincentius a Paulo.
Mungkin, bagi sebagian orang, membangun gereja hanyalah soal dana, rancangan, dan tenaga.

Namun bagi umat di sini, itu adalah soal iman iman yang sederhana seperti anak-anak kecil yang tidak memiliki apa-apa, namun percaya bahwa Bapa di surga akan menyediakan segalanya pada waktu-Nya.

Umat Santo Vincentius a Paulo hidup di lingkungan yang sebagian besar bukan Katolik, bukan pula Kristen.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang berbeda-beda arah, mereka bertahan sebagai pelita kecil, menyinari dengan kasih dan ketulusan.

Gereja yang akan berdiri bukan hanya bangunan bata bata dan semen melainkan tanda kehadiran Kristus sendiri di tengah masyarakat yang haus akan damai.

Membangun gereja memang tidak mudah. Perlu tenaga, pikiran, dan biaya.
Namun umat di sini ibarat anak-anak kecil yang bermain di halaman Tuhan dengan tangan mungil mencoba mengumpulkan batu demi batu, menata mimpi mereka menjadi rumah doa.

Kadang tak punya cukup dana, kadang merasa tak sanggup, tapi hati mereka terus berkata
“Tuhan, ini yang kami punya.
Kami cuma punya seadanya saja dan
Sisanya kami serahkan kepada-Mu.”

Ada ibu-ibu yang setiap hari menabung dari hasil jualan kecil di warung.
Ada bapak-bapak yang seusai bekerja, menyisihkan sedikit uang untuk bata dan semen.
Ada anak-anak muda yang dengan gembira membantu menggambar, mengangkat kayu, atau membuat video sederhana untuk mengajak orang lain ikut peduli.

Di tengah segala keterbatasan, justru iman menjadi besar.

Karena mereka percaya, yang membangun bukan hanya tangan manusia, tapi kasih Allah yang bekerja melalui hati setiap orang yang tergerak memberi.
Bagi para donatur yang membaca kisah ini, ketahuilah setiap rupiah yang Anda berikan bukan sekadar sumbangan.
Itu adalah tetes kasih, benih harapan, dan batu hidup yang kelak menjadi bagian dari rumah Tuhan sendiri.

Gereja ini akan menjadi tempat anak-anak berdoa, orang tua berpengharapan, dan keluarga menemukan damai.

Kelak, saat lonceng Gereja Santo Vincentius a Paulo berdentang untuk pertama kali, suaranya akan menggema bukan hanya di Gunung Putri, tapi juga di hati setiap orang yang pernah berdoa dan memberi untuk karya ini.

Karena di sinilah kasih itu nyata
Dari tangan-tangan kecil yang percaya, Tuhan membangun rumah-Nya yang memiliki nilai Agung dan besar.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Call Centre
WA 08119620888

“Rumah bagi Kemuliaan Tuhan” H-13

Menuju malam dana Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo
Angke Hetitage
PIK 2
26 Nopember 2025

Nasib Baik —Mujizat Itu Nyata

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Hidup sering kali membuat kita bertanya-tanya: apakah nasib benar-benar bisa kita tentukan sendiri?

Kita bekerja, berjuang, berdoa
namun di atas semua itu, ada tangan Tuhan yang menuntun, yang menambahkan rahmat di atas segala usaha manusia.

Menjelang Malam Dana Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo,
Angke Heritage PIK 2
hati kita bergetar oleh campuran harap dan syukur.
Harap, karena kita menanti mukjizat yang akan terjadi melalui uluran tangan orang-orang baik.

Mana mungkin bisa terjadi
Kalau bukan kehendakNya
Tetapi saya dan anda percaya
Ininsemua kehendakNya

Syukur, karena hingga detik ini, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dalam perjuangan panjang membangun rumah-Nya.

Setiap bata yang kelak berdiri bukan sekadar tumpukan batu dan semen, melainkan simbol kasih dan iman yang menyala di dada umat.

Kita tahu, membangun gereja bukan hanya soal dana, tapi tentang membangun harapan, memperkuat persaudaraan, dan meneguhkan iman di tengah dunia yang semakin cepat dan asing.

Kadang kita merasa kecil di hadapanNya
kebutuhan besar, namun di sanalah letak rahasia mujizat.
Ketika kita menyerahkan segala keterbatasan kepada Tuhan, Ia bekerja dengan cara-Nya sendiri melalui hati yang tergerak, tangan yang rela berbagi, dan doa-doa yang naik dalam kesunyian.
Mari kita percaya, bahwa setiap langkah menuju malam dana ini bukan kebetulan.

Tuhan sendiri yang mengatur waktu, mempertemukan kita, dan menumbuhkan niat baik di hati setiap orang.
Nasib baik bukanlah hasil dari keberuntungan semata, melainkan buah dari keyakinan yang diiringi kerja dan doa.

Dan ketika nanti lagu “Mujizat Itu Nyata”

berkumandang di malam yang penuh cahaya itu, semoga setiap nada menyentuh hati kita.

Semoga kita sadar, bahwa mujizat bukan selalu datang dalam bentuk besar dan gemerlap, melainkan dalam kesediaan kecil untuk peduli, memberi, dan mengasihi.

Mari kita berdoa:
Tuhan yang Maha Kasih,
Engkaulah sumber segala berkat dan pengharapan kami.
Kami datang kepada-Mu dengan hati penuh syukur dan kerendahan,
mohon bimbingan-Mu dalam setiap langkah menjelang Malam Dana ini.

Jadikanlah setiap usaha kami persembahan cinta bagi-Mu.
Bukalah hati para dermawan agar tergerak membantu pembangunan rumah-Mu.

Berkatilah para panitia, para donatur, dan semua umat yang menantikan hadirnya Gereja Santo Vincentius a Paulo yang baru.

Kiranya malam itu menjadi malam mujizat
malam ketika iman dan kasih bersatu,
dan Engkau berkenan hadir di tengah kami.
Amin.
Maka, mari kita melangkah dengan keyakinan bahwa nasib baik adalah ketika kita berjalan seirama dengan kehendak Tuhan.
Karena sungguh, mujizat itu nyata bagi mereka yang percaya dan tidak berhenti berharap.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Rumah bagi Kemuliaan Tuhan

H-14
Menuju Charity Diner
Angke Heritage PIK2
26 Nopember 2025

Oleh : Ad harta
Ketua Umum
KRIS

“Naiklah ke gunung, bawalah kayu, dan bangunlah rumah itu
maka Aku akan berkenan kepadaNya dan akan menyatakan kemuliaan-Ku di situ.”

(Hagai 1:8)

Sahabatku
Dalam Kasih Karunia Tuhan

Membangun sebuah gereja bukanlah sekadar mendirikan tembok dan atap,
melainkan mendirikan tempat bagi Tuhan untuk berdiam di tengah umat-Nya.

Setiap batu yang disusun, setiap kayu yang dipasang, setiap rupiah yang dipersembahkan
semuanya adalah ungkapan kasih dan iman kita kepada Allah yang hidup.

Gereja bukan hanya bangunan fisik
ia adalah tanda kasih umat yang ingin menghadirkan surga di bumi.
Ia adalah tempat doa, tempat perjumpaan, tempat penguatan, dan tempat pengutusan.

Ketika umat bergotong royong, klerus melayani dengan setia, dan para donatur memberi dengan sukacita,
maka sesungguhnya Tuhan sedang bekerja di tengah-tengah mereka.

Vincentius a Paulo
Gunung Putri
Sebagai bagian dari gereja baru
Seperti firman-Nya kepada Daud dan Salomo,
“Kuatkanlah hatimu dan lakukanlah itu.”

Membangun rumah Tuhan memang bukan perkara mudah.
Ada tantangan, ada kekurangan, ada perbedaan pandangan.
Namun di atas semuanya, ada satu semangat yang menyatukan yaitu kasih kepada Allah dan umat-Nya.
Masih ingat semboyan kita
Cor Unnum et Anima Una
Et Ecclesia una
Satu hati
Satu jiwa
Satu Gereja

Gereja yang akan berdiri ini nantinya bukan milik siapa-siapa,
melainkan milik Kristus sendiri, yang berkata:
“Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku.” (Matius 16:18)

Maka setiap umat yang terlibat apakah dengan tenaga, doa, atau dana
sedang menulis sejarah kasih yang kekal di hadapan Tuhan.

Sahabat ku terkasih

Jangan pernah merasa sumbangan atau jerih lelahmu kecil.
Sebab di tangan Tuhan, persembahan kecil pun bisa menjadi tanda kasih yang besar.

Buat Para Romo Paroki
Tetaplah menjadi gembala yang menguatkan domba-domba.

Bangunan bisa berdiri megah,
tetapi tanpa kasih dan penggembalaan, rumah itu kosong dari hadirat Allah.

Sahabatku terkasih
Para Donatur dan Pendukung

Anda semua adalah tangan-tangan Allah yang bekerja diam-diam.

Tuhan yang melihat dalam tersembunyi akan membalas dengan berkat yang berlimpah.

Kiranya gereja
baru ini bukan sekadar bangunan,
tetapi tanda nyata kasih, persatuan, dan harapan.

Dan ketika suara berdentang,
biarlah setiap dentang berkata

“Tuhan berdiam di tengah umat-Nya.”
Amin. 🙏

Renungan ini mengawali hari pertama DOA
Buat pembangunan
Gereja
Santo Vincentius a Paulo Gunung Putri
Bogor

Tuhan memberkati

SURABAYA KOTA PAHLAWAN, KOTA KENANGAN

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Senen
10 Nopember 2025

Surabaya, Surabaya, oh Surabaya…
Kota kenangan, kota perjuangan.
Takkan pernah kulupa.
Di sanalah, di Surabaya, pertama kali aku mengenal arti hidup bukan hanya karena bangunan tua dan semangat 10 November yang bergema setiap tahun, tapi karena di kota itu aku tumbuh, bermain, belajar, dan memahami arti menjadi seorang manusia yang pantang menyerah.

Aku sekolah di Surabaya.
Mulai SD, SMP, hingga SMAK Frateran
hampir dua belas tahun lamanya. Waktu yang panjang, yang membentuk bukan hanya logika, tapi juga jiwa.
Di jalan-jalan kecil kota itu, aku tumbuh bersama teman-teman yang sederhana, bermain di bawah terik matahari tanpa keluhan.
Kami bermain kelereng, bentengan, petak umpet, dan tentu saja Gobak Sodor.
Permainan itu sangat khas. Mungkin asal katanya Go Back Through Door, tapi bagi kami anak-anak Surabaya kala itu, Gobak Sodor bukan sekadar permainan. Ia mengajarkan strategi, kerja sama, dan keberanian. Kami harus berlari, menembus garis lawan, berani menghadapi risiko tertangkap semua dilakukan dengan semangat, tawa, dan kadang air mata.

Kini aku sadar, di balik permainan itu tersimpan filosofi kehidupan: bahwa untuk mencapai kemenangan, seseorang harus berani melangkah, menembus batas, dan siap menghadapi konsekuensi.

Pahlawan di Masa Lalu
Surabaya adalah kota yang sarat makna.
Setiap batu trotoarnya menyimpan jejak darah dan semangat para pejuang. Ketika mendengar nama Surabaya, setiap orang pasti teringat pada pertempuran besar tahun 1945. Pertempuran yang tak seimbang rakyat melawan pasukan bersenjata lengkap, tapi dengan hati yang berkobar.

Sura dan Baya Hiu dan Buaya
dua makhluk legenda yang bertarung hebat hingga akhirnya nama mereka diabadikan sebagai simbol keberanian dan kekuatan.
Dari kisah itu, Surabaya menjadi lambang perlawanan. Kota yang tidak pernah tunduk, kota yang memilih bertahan walau harus berdarah.

Kini, setelah puluhan tahun berlalu, aku menyadari bahwa semangat itu tidak pernah padam.
Hanya bentuknya yang berubah. Jika dulu pahlawan mengangkat senjata, kini pahlawan mengangkat doa, kasih, dan pengorbanan.

Pertemuan di Malam Hari

Malam ini, aku dan istri menikmati makan malam bersama seorang sahabat lama
Pastor Patris SVD dari Mataloko, Bajawa, Flores. Hadir pula Dr. Iren Setiadi dan suaminya, Dr. Lucas, serta dua anak muda yang penuh semangat: Fandi dan Surya Ong.

Di meja itu, aku memandang satu per satu wajah mereka.
Ada keheningan yang hangat, ada rasa syukur yang mendalam.
Aku teringat: mereka semua adalah pahlawan.
Bukan pahlawan dengan seragam atau senjata, tapi pahlawan dengan hati yang terus bekerja, tanpa pamrih.

Pastor Patris sudah dua puluh tahun lalu berkarya di KKI. Dua dekade sampai di Kemah Tabor Mataloko
Bajawa Flores
pengabdian yang tidak diwarnai dengan kemegahan, tetapi dengan air mata dan doa.
Ia mengajarkan kasih di tengah keterbatasan, menyalakan lilin di tengah gelapnya kehidupan banyak orang. Ia tidak berperang di medan laga, tetapi di medan kemanusiaan melawan kemiskinan, kebodohan, dan keputusasaan.

Aku mengenal beliau melalui sahabatku, Pastor Bernadus Boli Ujan SVD, dua puluh tahun lalu.
Sejak itu, persahabatan kami bukan hanya tentang pertemuan, tapi tentang panggilan yang sama menjadi bagian dari karya Tuhan di dunia yang sering kali lupa pada makna kasih sejati.

Air Mata Para Pahlawan
Sering kita lupa bahwa di balik setiap senyum pelayanan, ada air mata yang tidak terlihat.

Pahlawan masa kini bukan hanya mereka yang berdiri di panggung, tapi mereka yang bekerja dalam diam membasuh luka sesama tanpa diketahui banyak orang.
Aku pernah menyaksikan seorang suster di rumah sakit, mengganti perban pada pasien miskin dengan tangan gemetar, karena kelelahan setelah berjaga tiga malam tanpa tidur.
Aku pernah melihat seorang pendeta muda berjalan jauh ke pelosok desa, membawa kitab suci dan semangat, tanpa kendaraan dan tanpa bayaran.

Aku pernah berbincang dengan seorang ustadz yang tetap mengajar anak-anak yatim, walau dirinya sendiri kekurangan.
Mereka semua pahlawan tanpa nama.
Mereka tidak menuntut penghargaan, tidak menunggu tepuk tangan. Mereka hanya bekerja dalam kesetiaan.

Dan mungkin, Tuhan pun tersenyum melihat mereka, karena di tengah dunia yang haus akan pengakuan, masih ada orang-orang yang memilih untuk memberi, tanpa berharap kembali.

Panggilan Laskar Tuhan

Tanggal 26 November 2025 nanti, di Restoran Angke Heritage PIK, kita akan menyaksikan sesuatu yang istimewa: penggalangan dana untuk pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri, Bogor.

Tapi lebih dari sekadar acara, itu adalah pertemuan para laskar Tuhan mereka yang masih mau memperjuangkan kasih di tengah dunia yang semakin sibuk dan egois. Mereka yang mau berkorban, bukan untuk popularitas, tapi demi rumah Tuhan dan sesama yang membutuhkan.

Setiap rupiah yang diberikan, setiap doa yang dinaikkan, adalah bagian dari perjuangan itu.
Mungkin tidak berdarah seperti pahlawan 1945, tapi tetap mengandung pengorbanan dan air mata kasih.
Itulah wujud nyata pahlawan masa kini.
Keyakinan yang Tak Pernah Pudar
Aku percaya, penyertaan Tuhan adalah satu-satunya suara yang abadi dari para pahlawan.
Suara itu bergema dari masa ke masa, mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Bahwa setiap langkah kecil dalam kasih adalah bagian dari peperangan besar melawan kegelapan.
Mereka adalah Laskar Tuhan yang berjalan di bumi, tapi kelak akan mendiami Swargaloka.

Mereka tidak memegang pedang, tapi salib.
Tidak menumpahkan darah, tapi air mata.
Tidak menguasai dunia, tapi menundukkan hati.
Fest non confundit

Pengharapan tidak mengecewakan (Roma 5:5).

Ayat ini seperti pelita yang menuntun langkah.
Bahwa dalam setiap perjuangan, betapapun berat, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Cintaku
Kembali ke Surabaya
Dan ketika aku menutup mata sejenak, aku seperti kembali ke masa kecilku di gang-gang kecil Surabaya, bermain Gobak Sodor dengan kawan-kawan lama.
Kami tertawa, berlari, terjatuh, lalu bangkit lagi. Itulah Surabaya kota yang mengajariku arti keberanian, ketulusan, dan pengharapan.
Kini aku tahu, menjadi pahlawan bukan soal medan perang, tapi tentang hati yang tetap menyala di tengah gelapnya dunia.

Surabaya telah menanamkan api itu di jiwaku.
Dan malam ini, bersama para sahabat, aku kembali merasakan semangat itu hidup dalam wajah mereka, dalam doa mereka, dalam air mata mereka.
Karena sesungguhnya,
pahlawan sejati tidak pernah mati.

Mereka hidup di antara kita,
dalam setiap kasih, dalam setiap harapan,
dalam setiap langkah menuju surga.

Surabaya, Surabaya, oh Surabaya…
Kota kenangan, kota pahlawan.
Engkaulah saksi, bahwa kasih selalu menang.

Adharta

Www.ktis.ot.id
Www.adharta.com

Antara Orang Tua, Hari Tua, dan Gereja

Cimahi, Sabtu, 9 November 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Gereja Santo Vinventius a Paulo menanti kita

Salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup saya adalah bertemu dan berbagi waktu dengan orang-orang yang telah lanjut usia.
Di wajah mereka, saya melihat ketenangan yang lahir dari pengalaman panjang; di tangan mereka, saya melihat kerja keras dan kasih yang menuntun generasi demi generasi.
Dalam diri mereka, tersimpan sejarah, kebijaksanaan, dan iman yang menjadi fondasi bagi kita semua.

Saya bergabung dengan Paguyuban Warga Usia Lanjut (WULAN) pada tahun 2000, saat usia saya baru 42 tahun.
Banyak yang heran, bahkan beberapa sahabat mengatakan bahwa saya terlalu muda untuk bergabung. Saya menjawab dengan canda bahwa batas usia resmi adalah 55 tahun jadi saya masih punya “tabungan umur” 13 tahun.

Namun Bapak JP Soetadi Martodihardjo, Bapak Hardja Lukita, dan Bapak Wisnu Lohanata tersenyum dan berkata,
“Adharta memang masih muda, tapi pemikirannya sudah melampaui banyak orang tua.”

Kata-kata mereka terasa sederhana, tapi justru menjadi bekal dan pengingat berharga.
Sejak saat itu, saya semakin yakin bahwa usia hanyalah angka, sementara kedewasaan sejati tumbuh dari hati yang mau belajar dan melayani.

Paguyuban WULAN bukan nama seorang wanita, melainkan singkatan dari Warga Usia Lanjut.
Sebuah paguyuban yang berpusat di Jalan Babakan Madang No. 99, Sentul.
Tempat itu bukan sekadar markas besar, melainkan rumah kasih yang menampung banyak kenangan, tawa, doa, dan cerita kehidupan.
Di sana, setiap kerutan wajah menjadi tanda kesetiaan, dan setiap langkah yang perlahan menjadi irama syukur.

Perjumpaan di Cimahi

Sabtu siang yang segar di Cimahi membawa sukacita tersendiri.
Kami bertemu Papa Chandra Rahardja, sahabat kami yang baru saja berulang tahun ke-92 beberapa hari sebelumnya. Setiap kali bertemu dengan sahabat-sahabat tua, saya selalu memanggil mereka dengan sebutan Papa, Mama, Papi, atau Mami bukan sekadar panggilan hormat, tapi juga ungkapan kasih sayang.

Pertemuan kami hari itu diiringi lantunan musik organ dari Papa Chandra sendiri sambil bernyanui itu hobby beliau.

Beliau menghadiahkan beberapa lagu, salah satunya “Baby Blue,” yang membuat kami semua ikut bergoyang kecil, menikmati semangat hidup yang tak pernah padam meski usia menua.

“Kalau hati tetap muda, tubuh pun akan mengikuti,” katanya sambil tertawa ringan.

Lagu “Baby Blue” ini rencananya akan kembali dilantunkan pada 26 November 2025 di Restoran Angke Heritage.
Saya yakin, banyak yang akan turun ke lantai dansa bukan untuk menunjukkan kelincahan, tetapi untuk merayakan persahabatan dan sukacita hidup yang dianugerahkan Tuhan.

Jumat dalam duka cita
Selamat Jalan, Mami Irene

Namun hidup tak hanya tentang pertemuan; ada pula perpisahan yang penuh air mata.
Jumat siang, pukul 13.00 waktu Singapura, Mami Irene, sahabat seiman dan sesama anggota aktif WULAN, berpulang ke rumah Bapa di surga.
Kami telah delapan kali bersama-sama memimpin WULAN Golf yang memperbutkan Piala Radius Prawiro.
Setiap kali bertemu, Mami Irene selalu membawa senyum lembut yang menenangkan.
Kami memiliki kedekatan batin yang istimewa.

Beberapa kali saya dirawat di rumah sakit di Singapura, dan di saat yang sama, beliau juga sedang menjaga suaminya, Bapak Rustam Effendi, yang kini telah lebih dahulu dipanggil Tuhan.

Dalam setiap pertemuan di rumah sakit, kami sering berbagi cerita tentang iman, tentang perjuangan, dan tentang pengharapan.
Mami Irene selalu berkata,
“Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Dia hanya memindahkan kita dari satu rumah kasih ke rumah kasih yang kekal.”

Beliau juga punya kesukaan sederhana: makan Tori di Paragon lantai dasar dan buah Naga Kuning.

Kenangan kecil ini terasa begitu hangat di hati. Hari ini, saya hanya bisa berdoa:
“Selamat jalan, Mami Irene. Tuhan memelukmu berasma appi Rustam dalam damai abadi.

Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini, agar tetap setia dan bersyukur dalam setiap langkah.”

Doa dan Restu untuk Gereja Kecil

Perjalanan ke Bandung kemarin membawa saya bertemu Bapak Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan dan Pertambangan. Pertemuan itu bukan hanya silaturahmi, tetapi juga langkah iman untuk memohon doa dan restu beliau dalam rangka penggalangan dana pembangunan Gereja kecil Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri.

Bagi saya, Bapak Purnomo bukan hanya seorang senior yang dihormati, tetapi juga sosok bijak yang menjadi panutan dalam banyak keputusan hidup.

Beliau berkata dengan nada lembut,
“Adharta, gereja kecil itu mungkin sederhana secara fisik, tetapi akan menjadi besar karena kasih dan pelayanan di dalamnya.”
Kata-kata itu kembali menegaskan keyakinan saya: antara orang tua, hari tua, dan gereja terdapat hubungan yang sangat erat bagaikan tiga pilar yang menopang kehidupan rohani umat Katolik.
Antara Orang Tua, Hari Tua, dan Gereja

Mengapa saya melihat hubungan yang kuat di antara ketiganya?
Karena orang tua adalah saksi iman pertama dalam kehidupan setiap anak.
Dari merekalah kita belajar doa pertama, tanda salib pertama, dan arti kasih tanpa pamrih.

Hari tua, di sisi lain, adalah waktu Tuhan untuk menguji seberapa dalam iman itu tertanam bukan dengan tenaga atau keberhasilan, melainkan dengan kesetiaan dan damai hati.

Dan gereja adalah rumah rohani yang menampung keduanya tempat orang tua disapa, dirangkul, dan dikuatkan dalam cinta Kristus.
Kitab Suci mengajarkan

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu.”
(Keluaran 20:12)

Ayat ini bukan hanya perintah moral, tapi janji kehidupan. Menghormati orang tua berarti menghormati asal mula kasih Allah sendiri. Dalam setiap misa, ketika umat lanjut usia hadir dengan langkah perlahan, saya melihat kemuliaan yang tak tergantikan. Mereka datang bukan karena kuat, tapi karena cinta.
Yesus sendiri memberi teladan luar biasa.
Saat tergantung di salib, dalam penderitaan paling dalam, Ia masih berkata kepada Maria dan Yohanes:

“Ibu, inilah anakmu… dan keapda Yohanes
inilah ibumu.”
(Yohanes 19:26–27)

Kalimat itu sederhana, namun sarat makna: kasih dan tanggung jawab antar generasi tidak boleh putus.

Doa untuk Hari Tua
Dalam setiap doa malam saya, saya sering mengucap syukur untuk setiap Papa, Mama, Papi, dan Mami yang telah saya temui.

Saya tahu, hari tua bukan masa lemah, tetapi masa pemurnian iman.
Di usia lanjut, orang belajar untuk lebih sabar, lebih mengampuni, dan lebih pasrah kepada rencana Tuhan.

Saya mau berdoa:

Tuhan, ajarilah kami untuk menghargai setiap helai uban,
karena di dalamnya tersimpan cerita perjuangan dan pengorbanan.

Berikanlah kepada mereka kesehatan dan damai hati,
agar hari-hari mereka menjadi pujian bagi nama-Mu.

Jadikanlah kami anak-anak yang setia menghormati mereka,
seperti Engkau menghormati Bapa di surga.
Kasih yang Tak Pernah Menua
Di hadapan Tuhan, usia tidak pernah menjadi batas. Gereja mengajarkan bahwa setiap masa hidup muda, dewasa, maupun lanjut usia adalah kesempatan untuk melayani dan mengasihi.

Orang tua menjadi cermin kasih Allah yang sabar dan penuh belas kasih.
Saya percaya, ketika seseorang menua dengan hati yang penuh syukur, ia sedang bersiap memasuki keabadian dengan damai.

Gereja menjadi tempat di mana kasih itu dipelihara, dan komunitas seperti WULAN menjadi ladang kecil tempat kita menabur sukacita bagi sesama.

“Maka meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.”
(2 Korintus 4:16)

Ayat ini memberi pengharapan: bahwa hari tua bukan akhir, melainkan awal dari pembaruan rohani yang sejati.

Cintaku disana
Hari ini di Cimahi, saya duduk merenung sambil menatap langit sore.
Saya teringat wajah Papa Chandra Rahardja yang masih semangat bermain organ di usia 92 tahun, Mami Irene yang kini bernyanyi di surga, dan Bapak Purnomo yang dengan bijak menuntun saya untuk terus melayani Tuhan.

Saya tersenyum, karena saya tahu
hidup adalah perjalanan menuju kasih yang sempurna.

Antara orang tua, hari tua, dan gereja, tersimpan satu rahasia besar yaitu cinta yang tidak menua.

“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru
mereka seumpama

Rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
(Yesaya 40:31)

Semoga Tuhan memberkati setiap langkah kita, meneguhkan para orang tua, menghibur yang berduka, dan membakar semangat kita untuk terus melayani dalam kasih Kristus.

Saya mengajak anda khususnya para lansia
Mari bernyanyi bersama memuji Tuhan
Memberi kekuatan bagi gereja kecil
Santo Vincentius a Paulo untuk segera memiliki gereja baru

Dan disanalah disanalah kita bersama berjuang

Anda adalah Pahlawan ku para Orang Tua ku
Kata Mama Lusia Soetanto yang selalu mendampingi aku

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Rekening
BCA
167 208 7672
Atas nama
PGPM Paroki Santo Vincentius a Paulo Gunung Putri

Kisah Perjuangan Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo – Gunung Putri, Bogor

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Bandung
Sabtu
9 Nopember 2025

Sahabatku

Keindahan sebuah persahabatan bisanya fi mulai dengan sebuah kenangan
Kegiatan apa saja
Reuni atau pertemuan khusus
Bahkan kegiatan gerejani

Di sebuah sudut wilayah kabupaten Bogor, tepatnya di Gunung Putri, berdiri sebuah komunitas umat Katolik yang selama puluhan tahun hidup dalam kerinduan yang sama memiliki rumah Tuhan sendiri. Sebuah gereja yang bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga simbol kebersamaan, pengharapan, dan iman yang tak pernah padam.

Kerinduan itu dimulai lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika jumlah umat Katolik di Gunung Putri masih sedikit dan misa mingguan harus diadakan berpindah-pindah dari rumah umat, aula sekolah, hingga bangunan sewaan.

Setiap minggu, panitia liturgi menyiapkan altar sederhana, memasang salib kayu, menata kursi, dan berusaha menciptakan suasana sakral di ruang-ruang yang sementara.

Namun dalam hati setiap umat, tersimpan impian besar:

“Suatu hari, kami akan punya gereja sendiri.”

Tahun demi tahun berlalu, umat bertambah banyak.
Dari puluhan keluarga, kini lebih dari 500 kepala keluarga bergabung dalam komunitas Paroki Gunung Putri.
Setiap misa Minggu menjadi bukti nyata iman yang hidup anak-anak mengenakan pakaian putih sederhana untuk pelayanan, para ibu menyiapkan konsumsi dengan penuh cinta, dan para bapak mengatur parkir di tengah terik matahari.

Meski tanpa gedung gereja permanen, semangat mereka tak pernah luntur.

Namun di balik semangat itu, perjuangan panjang sedang berjalan.

Usaha mendapatkan izin pembangunan gereja bukan perkara mudah.

Dokumen demi dokumen disiapkan, persyaratan administrasi dilengkapi, koordinasi dengan berbagai pihak dilakukan dengan sabar.

Kadang proses terasa seperti berjalan di tempat bertahun-tahun lamanya menunggu persetujuan, mengurus lahan, mencari dukungan, dan menyusun proposal.
Tetapi doa tidak pernah berhenti. Dalam setiap perayaan Ekaristi, selalu ada satu intensi khusus yang tak pernah absen:
“Tuhan, semoga Gereja kami segera terwujud.”

Suatu hari, di tengah semangat yang nyaris padam, kabar baik datang. Lahan yang sudah lama diupayakan akhirnya siap menjadi tempat berdirinya rumah Tuhan.

Kabar itu menyebar cepat, membawa sukacita besar. Umat bersukacita bukan karena bangunan itu segera ada, tetapi karena harapan mereka akhirnya menemukan wujud nyata.
Namun, perjalanan masih panjang.
Setelah izin dan lokasi tersedia, tantangan berikutnya muncul bagaimana menghimpun dana untuk membangun gereja yang layak?
Inilah saat di mana semangat gotong-royong umat Katolik di Gunung Putri benar-benar diuji dan dibuktikan.

Tak hanya mengandalkan bantuan dari luar, umat setempat mengulurkan tangan mereka sendiri.
Ada yang menyumbang bahan bangunan, ada yang membantu tenaga, ada pula yang memberi sebagian dari penghasilan kecil mereka dengan sukacita.

Anak-anak muda mengadakan garage sale, para ibu menjual makanan di bazar, dan para bapak ikut menjaga semangat dengan kegiatan kerja bakti. Semua dilakukan dengan satu tujuan: agar rumah Tuhan itu bisa berdiri.

Dari Keuskupan Bogor, dukungan rohani datang tak henti.
Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM, senantiasa mendoakan dan menyemangati umat Gunung Putri agar tidak menyerah.
Beliau percaya bahwa pembangunan sebuah gereja bukan sekadar proyek konstruksi, melainkan karya iman tempat Tuhan membentuk karakter umat-Nya melalui proses panjang dan penuh makna.

“Gereja bukan dibangun oleh uang saja, tapi oleh cinta dan kesetiaan umat,” begitu pesan Bapak Uskup dalam salah satu kunjungannya.

Kata-kata itu menjadi nyala kecil yang terus menjaga semangat umat di tengah perjuangan.
Kini, setelah lebih dari dua dekade perjalanan, langkah besar itu akhirnya dimulai.

Panitia Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo resmi terbentuk, dan rencana pembangunan memasuki tahap nyata.
Desain arsitektur yang indah dan penuh makna telah disusun menampilkan unsur sederhana namun elegan, dengan ruang ibadah yang mampu menampung seluruh umat, serta area pelayanan pastoral dan kegiatan sosial.
Setiap sudut rancangan gereja mengandung harapan agar dari tempat ini lahir generasi Katolik yang beriman kuat, penuh kasih, dan siap melayani.
Sebagai bagian dari perjuangan ini, umat dan panitia mengadakan Charity Dinner atau malam dana pada hari Rabu tanggal 26 November 2025 di Restoran Angke Heritage, PIK 2. Jakarta
Acara ini bukan sekadar jamuan, melainkan peristiwa iman yang menyatukan banyak hati.

Para donatur, sahabat, dan tokoh masyarakat diundang untuk ambil bagian dalam kisah kasih pembangunan gereja kecil ini termasuk tokoh nasional Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan Republik Indonesia, yang dengan rendah hati turut memberikan dukungan dan semangat.
Beliau menyampaikan pesan yang sederhana namun mendalam: bahwa pembangunan gereja adalah bagian dari pembangunan manusia seutuhnya. Karena di dalam rumah ibadah, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan kebangsaan bertumbuh bersama.
Kehadiran gereja bukan hanya untuk umat Katolik, tetapi juga menjadi sumber kedamaian dan persaudaraan bagi seluruh masyarakat sekitar.
Malam itu nanti, di bawah cahaya hangat dan alunan musik lembut, setiap tamu undnagan diajak merasakan keindahan perjalanan ini. Ada rasa haru dijelaskan ketika panitia memperlihatkan tayangan foto-foto lama gambar umat yang berdoa di ruang sempit, anak-anak yang melayani di bawah tenda, serta para lansia yang dengan mata berbinar berkata, “Saya ingin sempat melihat gereja ini berdiri.”
Ini harapan dan penantian
Air mata dan senyum berpadu menjadi satu
tanda bahwa perjuangan ini bukan sekadar membangun tembok dan atap, tetapi membangun harapan.
Pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo adalah kisah tentang kesetiaan kesetiaan umat kepada Tuhan, dan kesetiaan Tuhan kepada umat-Nya.

Di balik setiap bata yang akan diletakkan, ada doa yang dipanjatkan.
Di balik setiap rupiah yang disumbangkan, ada cinta yang tulus.
Dan di balik setiap langkah yang ditempuh, ada tangan Tuhan yang menuntun.

Kelak, ketika lonceng gereja pertama kali berdentang dan misa perdana dirayakan di dalamnya, umat Gunung Putri akan menatap langit dengan mata berkaca-kaca, bersyukur karena penantian panjang telah berakhir.
Namun sesungguhnya, perjalanan ini tak benar-benar selesai karena Gereja bukan hanya bangunan, tetapi hidup di dalam hati setiap orang yang percaya.
Inilah kisah iman yang lahir dari kesederhanaan, tumbuh dari harapan, dan berbuah dalam kasih.
Sebuah kisah yang akan dikenang bukan karena megahnya gedung yang berdiri, melainkan karena besarnya hati mereka yang membangunnya.

Dan dari Gunung Putri, sebuah doa mengalun pelan:
“Terima kasih, Tuhan, Engkau telah mendengar kerinduan kami.
Berkatilah Gereja-Mu yang akan kami bangun, agar menjadi tempat di mana kasih-Mu tumbuh dan berbuah untuk dunia.”

Salam dalam berkat Tuhan

Adharta
0816707101

Www.kris.or.id
Www.adharta.com