Category Archives: Uncategorized

SYENI Cerpen no 0028

SYENI
Cerpen no 0028

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Minggu pertama Desember 2025

Gadis pejuang

Hujan turun sejak pagi, membasahi gang-gang kecil tempat toko batik milik keluarga Syeni berdiri sejak dua puluh tahun lalu di tepi Kota Solo
Rintik itu seperti tirai tipis yang menggantung di langit tidak deras, tetapi cukup untuk membuat aspal tampak berkilau dan udara berbau tanah basah.
Di balik jendela kaca toko yang mulai berembun, Syeni duduk sambil memandangi etalase yang tampak semakin redup dimakan usia.
Syeni berusia dua puluh tiga tahun, namun tatapannya lebih dewasa dari usianya.
Hidup membuatnya belajar banyak hal bagaimana menjaga usaha keluarga sejak ayahnya sakit, bagaimana menahan rindu yang tak pernah tersampaikan, dan bagaimana tetap tersenyum meski hatinya rapuh seperti kain sutra yang terlalu sering diremas.

Ayahnya dulu seorang pengukir kayu kenamaan di kampung itu, terkenal karena ukirannya yang halus dan berjiwa.
Namun sejak penyakit paru-paru menggerogoti tubuhnya, ia lebih sering terbaring di kamar, ditemani suara batuk dan obat yang sudah tak terhitung jumlahnya. Ibunya mengurus ayah siang malam, sementara Syeni memikul beban toko seorang diri.
Toko batik itu kecil, tetapi penuh cerita. Setiap motif di sana memiliki kisah ada motif parang tua milik nenek buyutnya, motif mega mendung yang diwariskan dari paman ibunya, hingga motif kontemporer hasil desain Syeni sendiri. Namun di balik warna-warni kain yang tergantung rapi itu, Syeni menyimpan kepedihan yang jarang ia ceritakan kepada siapa pun.

Suatu sore, ketika cahaya matahari mulai merembes masuk di antara tirai hujan, pintu toko terbuka dan seorang lelaki muda melangkah masuk.
Suaranya tenang, langkahnya mantap, dan matanya tajam namun hangat.
“Permisi… apakah ada batik motif Lereng Parang edisi khusus?” tanyanya.
Syeni mengangkat wajahnya. “Ada, tapi tinggal satu lembar. Motif lama, sudah tidak diproduksi lagi.”
Lelaki itu tersenyum. “Bagus. Itu yang saya cari.”
Ia memperkenalkan dirinya sebagai Nara, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyiapkan pameran seni tekstil untuk tugas akhirnya. Cara Nara berbicara berbeda dengan pelanggan lain dia mengamati setiap kain seperti meneliti ruh yang tersembunyi di balik warna dan garisnya. Ia menanyakan filosofi, sejarah, dan makna setiap detail batik yang dilihatnya.
“Kau bicara seperti batik ini hidup,” kata Nara sambil memegang selembar kain megamendung.
Syeni tersenyum kecil.
“Bagi ibuku, setiap batik memang hidup. Ia punya jiwa, punya napas, dan punya cerita.”

Mata Nara berbinar. “Saya senang mendengarmu bicara seperti itu.
Kau punya cara melihat dunia yang menarik.”

Sejak hari itu, Nara sering datang kadang untuk konsultasi desain, kadang sekadar berbincang sambil menyeruput teh jahe buatan ibu Syeni. Kehadirannya memberi warna baru dalam hari-hari Syeni yang sebelumnya hanya dipenuhi rutinitas dan kekhawatiran tentang ayahnya.
Di hadapan Nara, Syeni merasa dilihat.

Dan itu membuatnya takut sekaligus bahagia.
Suatu malam, ayah Syeni kambuh lagi. Suara batuknya menggema hingga depan toko, membuat Syeni berlarian sambil gemetar. Ibu memanggil ambulans, dan rumah sakit menjadi satu-satunya tempat yang mungkin menyelamatkannya.
Namun biaya rawat inap tak lagi masuk akal bagi keluarga mereka.
Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Syeni menggenggam tangan ibunya erat-erat.
“Bu, kita harus cari cara,” ujarnya, berusaha tetap tegar.
Ibunya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Nenekmu dulu pernah bilang… kalau kita merawat hidup orang lain, Tuhan pasti merawat hidup kita.”

Keesokan paginya, Nara datang membawa buah tangan kecil.
Syeni menggeleng. “Kau tidak perlu datang…”
“Aku ingin memastikan ayahmu baik-baik saja,” kata Nara.
“Aku juga ingin membantu biaya rumah sakit.”
Syeni langsung menegang.

“Nara… aku tidak bisa menerima itu.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak ingin hidupmu terbeban oleh keluargaku.”
“Aku melakukannya karena aku peduli.”
Syeni menggeleng keras, menahan air mata. “Justru itu yang membuatku takut.”

Nara terdiam lama. “Jadi… kau menolakku?”
“Aku menolak merasa berutang pada seseorang yang belum tentu akan tetap ada untukku.”

Ucapan itu seperti pisau yang memotong jarak di antara mereka.
Nara menunduk, menghela napas panjang, lalu melangkah pergi tanpa banyak kata.
Sejak itu ia tidak muncul lagi.
Hari-hari berikutnya seperti berjalan lambat dan berat.
Ayah Syeni akhirnya stabil setelah beberapa hari, tetapi Syeni merasa sepi.
Ia merindukan suara Nara, tawa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan anehnya tentang motif batik, dan cara ia memandang dunia seolah semuanya mempunyai keindahan tersembunyi.
Saat Syeni kembali membuka toko, ia menemukan lembar batik Lereng Parang yang dulu dipilih Nara masih tergantung sendiri di sudut toko.
Ia memegangnya, membelai motifnya perlahan, seakan menyentuh kenangan yang masih tersisa.
Ibunya berdiri di belakangnya. “Dia belum datang lagi, ya?”
Syeni hanya menggeleng.
“Kau sayang sama dia?” tanya ibunya lembut.
Syeni terkejut. Wajahnya memerah.
“Bu… aku bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan.”
Ibunya tersenyum tipis. “Hati perempuan tidak pernah salah membaca kehadiran.”

Syeni tidak menjawab.
Ia menunduk dan menatap kain di tangannya, sementara hatinya terasa berat seperti noda tinta yang tak bisa hilang dari selembar kain putih.
Malam pembukaan pameran Nara akhirnya tiba. Syeni sebenarnya tidak ingin datang ia takut melukai dirinya sendiri jika melihat Nara yang mungkin sudah berubah atau tidak peduli lagi.
Namun sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk pergi.
Galeri seni itu ramai, penuh cahaya hangat dan pengunjung yang berbisik kagum.
Syeni berjalan perlahan di antara kerumunan, mencari-cari tanda kehadiran Nara.
Ketika sampai di sudut ruangan, matanya terpaku pada sebuah karya besar yang memukau. Sebuah lukisan yang menggambarkan siluet seorang perempuan memegang kain batik.
Wajahnya tidak tampak, tetapi tubuhnya cara ia berdiri, cara rambutnya jatuh semuanya sangat mirip dengan Syeni.
Di bawah lukisan itu tertulis:

“SYENI — Perempuan yang Menyimpan Cahaya.”

Langkah Syeni terhenti. Dadanya serasa diremas.
Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis yang tiba-tiba meledak begitu saja.
“Ternyata kau datang.”
Syeni berbalik. Nara berdiri beberapa langkah di belakang, menatapnya dengan mata yang tidak pernah ia lupakan.
“Kau… menggambar ini?” suara Syeni hampir tak terdengar.
Nara mengangguk. “Aku menggambar dari ingatan. Dari semua percakapan kita. Dari cara kau memandang batik.
Dari keteguhanmu merawat keluargamu.
Dari cahaya yang selalu kau simpan meski dunia sering gelap untukmu.”

Air mata Syeni jatuh lagi. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Karena kau adalah inspirasi dari semua yang aku kerjakan selama ini.”

Syeni menunduk, suaranya bergetar.
“Aku takut menerima bantuanmu. Takut menerima perasaanmu. Karena aku takut suatu hari kau pergi.”
Nara mendekat, pelan dan hati-hati. “Syeni… aku tidak datang untuk menjadi beban.
Aku datang karena aku ingin berada di sisimu.”

Syeni mengangkat wajahnya, matanya penuh luka dan harapan. “Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk itu.”
Nara tersenyum lembut.
“Kau pantas dicintai, Syeni. Lebih dari yang kau bayangkan.”
Kerumunan orang menghilang dari pandangan Syeni.
Yang tersisa hanya dirinya dan Nara, berdiri di antara cahaya lampu galeri yang hangat.
Untuk pertama kalinya sejak ayahnya jatuh sakit bertahun-tahun lalu, Syeni merasakan dadanya lapang. Ia merasakan sesuatu yang selama ini ia lupakan
harapan yang sederhana, tetapi nyata.
Sejak malam itu, banyak hal berubah dalam hidup Syeni. Toko batik mulai ramai, terbantu oleh pameran Nara yang menyedot perhatian. Beberapa motif batik buatan Syeni bahkan dipesan untuk koleksi galeri seni. Ia mulai menemukan kembali mimpinya yang dulu ia pendam
menjadi pembatik muda yang dikenal bukan karena warisan, tetapi karena karyanya sendiri.
Ayahnya perlahan membaik.
Ibunya kembali tersenyum seperti dulu. Dan Nara… tetap datang, bukan dengan bantuan uang, tetapi dengan kehadiran yang hangat dan konsisten.
Setiap sore mereka duduk di belakang toko, mendesain motif baru bersama. Nara menggambar garis-garis kasar, Syeni menyempurnakannya dengan sapuan halus penuh perasaan.
Suatu kali, ketika senja menaburkan cahaya emas di dinding toko, Nara berkata pelan,
“Aku ingin kita membuat koleksi bersama. Namanya…

Cahaya Syeni.”

Syeni tertawa kecil, pipinya memanas. “Kenapa harus namaku?”
“Karena kau cahaya dalam hidupku,” jawab Nara tanpa ragu.
Syeni menunduk, menahan senyum yang tak sanggup ia sembunyikan.
Di saat-saat itu, ia merasa dunia yang selama ini berat mulai menjadi tempat yang bisa ia cintai lagi—pelan-pelan, tetapi pasti.
Namun Syeni belajar bahwa hidup tidak selalu menawarkan akhir yang sempurna.
Yang indah harus dirawat, yang rapuh harus dijaga. Dan cinta, seperti batik, hanya dapat bertahan jika diperlakukan dengan sabar dan penuh makna.
Tapi ia tidak lagi takut. Karena ia tahu, apa pun yang terjadi, ia tidak lagi berjalan sendirian.
Dan di bawah sinar remang yang jatuh di toko itu, Syeni tersenyum pada dirinya sendiri.
Ia pernah menjadi perempuan yang memikul segalanya sendirian.
Kini ia menjadi perempuan yang menemukan kembali cahayanya.

Dan cahaya itu berbeda dari kilau kain sutra atau warna megamendung adalah cahaya harapan.
Cahaya yang lahir dari luka.
Cahaya yang tumbuh dari keberanian.
Cahaya yang diberikan oleh seseorang yang datang tanpa diminta, tetapi tinggal karena cinta.

Oleh: Adharta
Ketua Umum KRIS

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Momentum Kebangkitan Estetika Indonesia dan Dedikasi Kemanusiaan

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

ICE BSD
7 Desember 2025

Dimana ada aku
Disana ada Suka Cita

Hari ini menjadi hari bersejarah bagi dunia estetika Indonesia dan internasional.
Di tengah megahnya gedung Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, I-SWAM resmi menyelenggarakan Konvensi Internasional ke-16 tahun 2025
Sebuah perhelatan berskala global yang menjadi pusat pengetahuan, inovasi, teknologi, dan masa depan estetika dunia.

Acara monumental ini dipimpin oleh pribadi yang visioner dan berdedikasi tinggi,
Ketua Umum I-SWAM, Dr. dr
Teguh Tanuwidjaja (AAM)
M. Biomed

Di bawah kepemimpinannya, I-SWAM tidak sekadar tumbuh sebagai wadah kolaborasi profesi, tetapi telah berevolusi menjadi sebuah poros penting yang mempertemukan ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, industri estetika, dan jejaring global.

Selama tiga hari penuh, yaitu 5–7 Desember 2025, lebih dari 6000 orang peserta hadir dari berbagai negara hadir.
Mereka meliputi dokter estetika, dermatolog, peneliti, produsen alat kesehatan, distributor, mahasiswa kedokteran, hingga pemimpin perusahaan farmasi dan teknologi kecantikan dunia.
Dari panggung utama hingga ruang-ruang workshop terjadwal, suasana terasa hidup.
Bahasa Indonesia, Inggris, Rusia, Turki, Afrika Selatan, Korea Selatan dan berbagai logat internasional terdengar bergantian menunjukkan satu pesan kuat:
Indonesia kini bukan hanya peserta, tetapi tuan rumah peradaban estetika modern.
Jejak Ilmu, Kolaborasi, dan Harapan
Konvensi ini menghadirkan ratusan sesi ilmiah, demonstrasi teknologi estetika terbaru, pelatihan prosedural, hingga diskusi masa depan industri kedokteran estetika berbasis AI, regenerative medicine, dan advanced dermatologic therapy.

Di antara peserta, banyak yang terkesan bukan hanya karena kualitas materinya, tetapi karena penyelenggaraannya yang sangat rapi, profesional, dan penuh nilai kemanusiaan.
Di balik kemegahan itu, hadir pula energi solidaritas: kolaborasi lintas bangsa untuk dunia medis yang lebih baik.
KRIS dan PMI Ketika Medis Tidak Hanya Tentang Teknologi, tetapi Tentang Kemanusiaan
Tahun ini, I-SWAM bukan hanya tentang estetika tetapi juga tentang empati.
Untuk ketiga kalinya, KRIS (Komunitas Relawan Indonesia Sehat) bekerja sama dengan PMI DKI Jakarta menggelar kegiatan Donor Darah Nasional di area acara. Antusiasme peserta luar biasa
banyak dokter, perawat, mahasiswa, dan pengunjung rela meluangkan waktu mengantri demi membantu sesama.

Di balik jalannya program ini, terdapat koordinasi kesehatan yang kuat.
Tenaga medis KRIS ditempatkan secara khusus dan berada langsung di bawah pengawalan Prof. Dr. dr. Jusuf Kristianto, seorang tokoh senior yang dihormati dalam dunia pelayanan kesehatan.
Para tenaga kesehatan dan relawan bekerja tanpa lelah, memastikan semua peserta nyaman dan aman.
Beberapa di antaranya bertugas sejak pagi hingga malam tanpa kehilangan senyum dan semangat.

Di sini terlihat jelas bahwa:
Ilmu estetika bukan hanya merawat kecantikan luar tetapi merawat martabat kemanusiaan.
Media, Tokoh Publik, dan Sorotan Dunia
Acara ini juga mendapatkan liputan formal dari berbagai media nasional dan internasional. Salah satunya adalah
TV El John, yang hadir bersama tokoh publik termasuk Miss Coffee Indonesia, Miss Vera, yang menjadi bagian dari penyebaran pesan positif acara ini kepada masyarakat luas.

Setiap momen dari pembukaan megah, networking profesional, inovasi teknologi, hingga tawa kecil saat coffee break menjadi potret perjalanan Indonesia menuju standar global.

Momen Pribadi, Makna Kolektif
Bagi saya pribadi, berada di tengah ribuan tokoh medis dan ilmuwan dari berbagai negara adalah sebuah kehormatan sekaligus refleksi: bahwa kerja kolaboratif, keberanian bermimpi besar, dan kesungguhan melayani masyarakat dapat membawa Indonesia ke panggung dunia.
Saya sempat berbincang dengan perwakilan dari Rusia, Afrika Selatan, Turki, dan Inggris bukan sekadar basa-basi, melainkan dialog tentang bagaimana masa depan estetika, kesehatan preventif, gaya hidup sehat, dan pelayanan berbasis keilmuan akan membentuk dunia modern.
Dan dari percakapan itu, saya menyadari satu hal
Indonesia tidak lagi hanya mengikuti tren tetapi ikut menciptakannya.
Dedikasi Sosial
Bantuan untuk Sumatera
Di balik kesuksesan konvensi ini, ada panggilan moral yang tidak boleh diabaikan: masih banyak saudara kita yang membutuhkan bantuan nyata, terutama di wilayah Sumatra, yang tengah menghadapi situasi darurat sosial dan kesehatan di beberapa daerah.
Sebagai bagian dari gerakan solidaritas nasional, kami membuka pintu bagi siapa pun yang ingin membantu, mendukung, dan ikut berkontribusi dalam aksi kemanusiaan KRIS.
Bantuan dapat disalurkan melalui rekening resmi:

💙 DONASI UNTUK SUMATRA via
Bank BCA
6380888058
a.n. Perkumpulan Killcovid

Setiap kontribusi berapapun jumlahnya — akan menjadi bagian dari harapan, kehidupan, dan masa depan yang lebih layak bagi saudara-saudara kita.

Momentum untuk Masa Depan
I-SWAM 2025 bukan sekadar pertemuan ilmiah tetapi sebuah penanda sejarah.
Penanda bahwa Indonesia mampu menjadi pemimpin global di bidang estetika medis. Penanda bahwa tenaga medis kita dihormati di panggung dunia. Penanda bahwa ilmu pengetahuan dapat berjalan berdampingan dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Hari ini kita merayakan pencapaian.
Besok kita melanjutkan pelayanan.
Dan ke depan, bersama-sama, kita membangun masa depan estetika dan kesehatan yang lebih manusiawi, lebih ilmiah, dan lebih bermakna.
Terima kasih kepada seluruh peserta, panitia, relawan, sponsor, dan komunitas internasional yang telah mempercayakan Indonesia sebagai tuan rumah.

Perjalanan ini belum berakhir tetapi baru saja dimulai.

i-SWAM 2025.
https://internationalswam.com

16th iSWAM 2025

Www.kris.or.id

Secangkir Kopi Pancong

Cerpen no 027
Awal Desember 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Sambil mendengar lagu Desember kelabu
Lantunan Maharani Kahar sahabat dan teman SMA saya di Surabaya
Saya menulis sebuah Cerpen buat seorang Sahabat di rantau

Awal kisah Bahagia Manusia

Sebuah Film Bagus
Ada dua robot tua duduk di bawah langit senja dan berbicara tentang manusia, mungkin percakapannya akan terdengar seperti ini:

“Mengapa manusia bisa bahagia?”

Robot pertama menggeleng.

“Karena mereka bisa meninggal dunia.
Mereka punya batas waktu. Itu membuat setiap detik jadi bermakna.”

Robot kedua menjawab pelan, seperti sebuah rahasia,
“Dan karena mereka bisa lupa. Jika tidak, manusia akan lumpuh oleh kenangan buruk.”

Dua robot itu tidak akan pernah mengerti air mata.
Tidak pernah mengerti luka, kehilangan, rindu, atau harapan.

Dan mereka tidak akan pernah mengerti seseorang seperti Heralia.

Heralia Lahir Tanpa Pelukan
Heralia lahir di Pontianak pada 1 Maret 1998
di kota sungai, kota kopi, kota budaya yang saling bertemu.

Di hari pertama hidupnya, dunia sudah memberi pelajaran pertama:
Tidak semua bayi datang dengan pelukan.

Ayahnya memilih pergi sebelum ia lahir, sementara ibunya, yang masih sangat muda, memilih mengejar harapan ekonomi di negeri jauh
Taiwan.
Heralia tumbuh bukan dalam rumah penuh tawa keluarga, tetapi dalam keheningan yang ditemani suara langkah seorang nenek yang renta.
Nenek adalah ibu pertamanya, bukan karena darah, tetapi karena kesetiaan.
Namun bahkan cinta nenek tidak bisa menjawab pertanyaan yang selalu menggantung di dada anak kecil bernama Heralia
“Kenapa aku tidak cukup berharga untuk dipilih?”

Aku dalam pelukan duniaku
Masa Kecil di LKIA
Heralia bersekolah di LKIA (Lembaga Kesejahteraan Ibu dan Anak). Sebuah tempat bagi anak-anak yang lahir dengan cerita yang sama tidak lengkap, tidak sempurna, dan tidak dipilih oleh keadaan.
Di sana ia belajar bahwa:
Beberapa makan malam ditemani keheningan.
Beberapa ulang tahun hanya diingat kalender.
Tidak semua orang punya panggilan “Mama” dan “Papa”
di bibirnya.
Namun di sana juga ia belajar
Bagaimana tertawa meski hati sedang hujan.
Bagaimana bangkit ketika hidup menolak lembut.
Bagaimana menjadi kuat meski tumbuh sendirian.
Dan pelajaran paling besar

“Aku boleh lahir tanpa kasih sayang orang tua, tetapi aku tidak dilahirkan tanpa tujuan.”

Kenangan dalam Cintaku
Remaja yang Menyimpan Luka dalam Diam
Saat remaja, Heralia pernah iri pada teman yang pulang dijemput ayah. Pernah diam-diam menangis melihat anak lain merangkul ibunya.
Ia pernah menulis dalam buku hariannya

Seandainya aku punya ibu yang bisa mendengarkan ceritaku.
Seandainya aku punya ayah yang bisa mengatakan aku hebat.
Namun setiap kali ia jatuh, ada satu kekuatan tak terlihat yang menariknya berdiri.

Mungkin itu doa neneknya.
Mungkin itu luka yang menolak menjadi kelemahan.
Atau mungkin itu bagian manusia yang bahkan robot pun iri hati karena tidak ada
Harapan.

Kebahagiaan yang menanti
Perjalanan Pendidikan dan Kedewasaan
Setelah lulus SMK, Heralia mengambil program S1 Business English and Management di Politeknik Tonggak Equator
Ia bekerja keras:
menjadi freelance model, entertainer, dan apa pun yang bisa membantunya bertahan, bertumbuh, dan bermimpi.
Kesepian tetap mengikuti seperti bayangan yang tidak bisa dipisahkan, tetapi ia mulai menyadari sesuatu:
“Aku bukan korban, aku proses.”

Menuju hidup yang cemerlang
Panggung, Kamera, dan Takdir
Dunia pageant bukan sekadar panggung: itu adalah cermin masa lalu dan pintu masa depan.

Ketika ia mengikuti program Yayasan El John hingga akhirnya menjadi bagian dari kompetisi Miss Chinese Indonesia 2025 dan meraih gelar Miss Coffee Indonesia 2025, ia bukan hanya menunjukkan kecantikan.
Ia sedang berkata kepada dunia:
“Aku tidak tumbuh dari kasih orang tua, tapi aku tumbuh dari keberanian.”
Kompetisi itu penuh tekanan
24 finalis dari berbagai daerah, semua ambisius, berbakat, berpendidikan, dan percaya diri.

Perjuangan
Selama 6 hari karantina, ia belajar bahwa:
Persaingan bisa elegan.
Perbedaan budaya bisa saling menguatkan.
Saudara tidak selalu dari darah yang sama.
Dan ketika pemenang diumumkan, ia tidak merasa menang karena mengalahkan orang lain.
Ia menang karena berhasil mengalahkan rasa takut di dalam dirinya sendiri.

Minuman pelepas rindu
Kopi Pancong Identitas, Kisah, dan Harapan
Saat diwawancarai, ia memperkenalkan sesuatu yang tampak sederhana namun penuh makna
Kopi Pancong.
Setengah cangkir kopi yang mencerminkan akulturasi budaya Pontianak
Tionghoa, Dayak, dan Melayu (TiDaYu).

Kopi itu seperti hidupnya:
Tidak penuh, tetapi cukup.
Tidak sempurna, tetapi nyata.
Tidak manis sepenuhnya, tetapi memiliki rasa yang membuat orang ingin kembali.

Perjalanan hidup
Pertemuan dan Makna
Saat ia bercerita tentang hidupnya
tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa rumah utuh
Heralia tidak menangis.
Tetapi orang yang mendengarkan bisa merasakannya dan menangis
Bahwa setiap senyumnya lahir dari air mata.
Bahwa setiap keberhasilannya dibangun dari kesunyian panjang.
Bahwa setiap langkahnya adalah pemberontakan terhadap masa lalu.
Heralia adalah bukti bahwa manusia bisa bangkit bukan karena tidak pernah hancur
tetapi karena mereka bisa lupa, memaafkan, dan memulai kembali.

Perjumpaan dan perpisahan
Manusia, Luka, dan Cahaya
Jika dua robot tua kembali berdiskusi malam ini, mungkin mereka akan menyadari:
Manusia bahagia bukan karena hidup mereka sempurna.
Manusia bahagia karena:
Mereka bisa jatuh lalu bangkit.
Mereka bisa memaafkan lalu melanjutkan hidup.
Mereka bisa melupakan luka dan memilih harapan.
Mereka bisa bermimpi meskipun hidup tidak adil.

Dan karena seseorang bernama Heralia telah menunjukkan kepada dunia
Bahwa keluarga yang hilang tidak pernah menghilangkan nilai diri.
Bahwa kesepian tidak bisa menghentikan masa depan.
Bahwa masa lalu adalah bab, bukan takdir.
Suatu hari nanti, ketika ia berdiri lebih tinggi, berbicara untuk lebih banyak anak seperti dirinya, mungkin ia akan berkata:
“Aku bukan anak yang ditinggalkan.
Aku anak yang ditemukan oleh masa depan.”

Dan pada akhirnya, seperti secangkir Kopi Pancong, hidupnya mungkin tidak penuh.
Namun cukup.
Dan bermakna.

Salam dan Doaku

Adharta

Www.adharta.com

Www.kris.or.id

SANTO FRANSISKUS XAVERIUS

Oleh : FX Adharta
Ketua Umum
KRIS

3 Desember 2025

API YANG TAK PERNAH PADAM

Saya memakai nama FX atau Fransiskus Xaverius
Sebagai nama Baptis

Seperti orang katolik pada umumnya yang memakai nama Santo Pelindung
Maka sewajarnya tiap tahun memperingati hari bahagianya

Hari ini kita memperingati hari Santo Fransiskus Xaverius

Saya sungguh berbahagia memakai bama pelindung FX paling tidak sepanjang hidup saya selalu berdekatan dalam perlindungannya
Sebagai panutan dan sekaligus mengingatkan saya pada sesuatu perjuangan dalam hidup

Mari kita mengensl Santo Fransiskus Xaverius

Cinta yang bersinar
Pada suatu pagi musim semi, tanggal 7 April 1506, di istana keluarga bangsawan Xavier di Navarra, utara Spanyol, lahirlah seorang anak yang kelak mengguncang dunia dengan kabar keselamatan.

Namanya Francesco de Yassu Javier
yang oleh sejarah kemudian dikenang sebagai Santo Fransiskus Xaverius.

Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga terdidik dan terpandang. Masa mudanya gemerlap, penuh cita-cita duniawi dan ambisi akademis.

Namun di balik itu, hatinya perlahan digugah sebuah panggilan yang lebih besar dari sekadar kejayaan manusia.
Ketika bertemu Ignatius Loyola
pendiri Serikat Jesus (Yesuit)
hidup Fransiskus berubah arah. Kata-kata Ignatius mengguncang nuraninya

“Apa gunanya seseorang memiliki seluruh dunia, tetapi kehilangan jiwanya?”

Dengan tekad yang bulat, ia meninggalkan gelar, kenyamanan, bahkan masa depan bangsawannya. Ia menjadi imam Yesuit dan bersiap menjadi utusan bukan sekadar untuk satu negeri, tetapi untuk dunia.

Pada tanggal 7 April 1541, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-35, Fransiskus Xaverius meninggalkan Eropa.
Bukan menuju kota besar terdekat, tetapi ke tempat yang kala itu dianggap ujung bumi. Beliau tidak tahu apakah ia akan kembali, tetapi ia tahu siapa yang mengutusnya

Kristus.
Gelombang India menghantam kapal-kapal Portugis yang membawanya, namun ia tetap berdiri di geladak, matanya menatap jauh, bibirnya berdoa. Setibanya di Goa, India, ia segera terjun ke tengah rakyat miskin, pelaut, budak, dan anak-anak yang terlantar.
Tanpa takut, beliau berkhotbah dari pelabuhan hingga pasar, dari kampung nelayan hingga istana bangsawan.

Dari India beliau bergerak lebih jauh lagi.
Nama Fransiskus Xaverius mulai bergema di daerah-daerah yang belum pernah mendengar kabar Injil

Jaffna (Sri Lanka), Malaka (Malaysia), Ambon dan Ternate (Indonesia). Ribuan orang mendengar tentang Kristus melalui suara lembutnya yang penuh keyakinan.

Namun misinya tak berhenti. Lautan kembali dipanggilnya, dan ia mendarat di negeri asing yang tertutup budaya dan tata krama ketat Jepang.
Beliau tiba pada tahun 1549 di Kagoshima, Kyushu.
Di sana beliau mempelajari bahasa setempat dengan kesabaran luar biasa, bahkan memakai kimono agar dihormati sebagai ahli filsafat.

Buah dari ketekunannya sungguh menakjubkan: dalam beberapa dekade, 80 daimyo (bupati) serta banyak bangsawan dibaptis. Bahkan Oda Nobunaga, salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Jepang, menjadi simpatisan besar Kekristenan.

Namun sejarah tidak selalu ramah.
Pada tahun 1587, penguasa baru, Toyotomi Hideyoshi, melarang agama Katolik dan mengusir para misionaris.

Gereja-gereja hancur, umat diburu, dan Jepang kembali tertutup.
Misi Fransiskus bagai nyala lilin di tengah badai
rapuh, tetapi tidak padam.
Mimpinya berikutnya adalah Tiongkok, negeri besar yang baginya merupakan medan terakhir. Namun ketika beliau sampai di pulau Sanchian, di depan muara Sungai Chukiang, beliau sakit parah
menjemputnya. Sendirian, dingin, dan jauh dari rekan seiman, ia berbisik lemah

“Ya Tuhan, aku serahkan jiwa dan misiku dalam tangan-Mu.”

Pada tanggal 3 Desember 1552, beliau menghembuskan napas terakhir.

Tetapi warisan rohaninya tidak mati.
Pada tahun 1622, Paus Gregorius XV menyatakannya sebagai orang kudus.

Paus Pius X kemudian menobatkannya sebagai Pelindung Misi Sedunia.
Hari ini 3 Desember kini dirayakan sebagai pestanya
sebuah seruan agar setiap orang beriman membawa terang Kristus ke mana saja kaki melangkah.

Fransiskus Xaverius bukan sekadar seorang misionaris. Ia adalah nyala keberanian, peziarah iman, dan saksi cinta Allah yang melintasi benua, budaya, dan waktu.

Sampai hari ini, kisahnya tetap hidup
menginspirasi semua orang untuk tidak takut bermimpi bagi Kerajaan Allah.

Tuhan berilah kami KasihMu supaya kami semakin drkat dan mengenalMu

Www.adharta.vom

Www.kris.or.id

Erawati

Pulang Dalam Pelukan Langit

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Hongkong
Akhir Nopember

Untuk Erawati

Beliau pergi jauh,
bukan karena ingin,
tetapi karena hidup memaksanya berani.

Di negeri asing, Hongkong
Beliau bukan siapa-siapa
hanya nama yang ditulis pada paspor,
hanya tangan yang bekerja dari pagi
hingga malam kembali gelap.

Namun di dadanya,
ada doa ibu
dan wajah anaknya
yang selalu beliau simpan
seperti matahari kecil
agar hatinya tetap hangat.

Lalu malam itu datang
malam yang tidak diundang,
malam yang membawa api,
asap,
dan detik-detik yang terasa abadi.

Semua orang berlari
mencari keselamatan,
namun ia berhenti,
menoleh,
dan kembali memeluk kehidupan
yang bukan darahnya sendiri.
Seorang bayi tiga bulan
Anak majikannya

Dengan napas yang mulai terbakar,
ia menutupi tubuh kecil itu
seperti bumi memeluk benih
agar tetap hidup
meski akar dirinya
harus putus selamanya.

Dan ketika api memakan waktu
dan waktu memakan tubuhnya,
hatinya masih tetap bekerja
melindungi,
mengasihi,
mengorbankan.

Erawati mungkin mati
sebagai pekerja rumah tangga.
Namun beliau kembali pulang
sebagai pahlawan.

Kini tanah air menyambutnya
bukan dengan tepuk tangan,
tetapi dengan air mata
dan doa yang pecah di langit.

Karena cinta,
kadang tak bersuara.
Ia hanya hadir
dalam tindakan diam
yang menyelamatkan hidup orang lain.

Selamat pulang, Erawati
perempuan kuat.
Namamu mungkin kecil di dunia,
tapi besar di hati manusia Indonesia
dan tercatat indah
di buku Tuhan.

Adharta

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Benci di balik kebencian

Benci di balik kebencian

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Akhir Nopember 2025

Suatu senja saya di telepon seorang sahabat lama
Dia bercerita dia bertemu seorang sahabat lama mereka bersuka cita dan penuh canda tetapi entah mengapa belum beberapa lama mereka saling mencaci maki dan saling membenci

Saya bilang mungkin di kelahiran lalu kamu ada Djiong (istilah hokkian) atau ketidak cocokan
Haha kami tertawa
Mungkin benar di kehidupan lalu dilahirkan bermusuhan

Percaya kah suatu saat kita ketemu seseorang yang tidak kita kenal
Tapi kita menyukaknya
Tetapi ada suatu saat kita ketemu orang kita langsung membencinya bahkan tanpa alasan

Apakah saling memaafkan bisa mengatasi kebencian
Jawabannya bisa
Apakah memberi maaf atau ampun terhadap
Bisa menghilangkan kebencian
Tetapi kalau menghilangkan benci dalam kebencian tidak bisa
Jadi harus bagaimana
Jawabannya kita bisa dengar dulu dibawah ini

Mengapa Harus Membenci?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering disuguhkan berita tentang pertengkaran, konflik, dan kebencian.
Tidak hanya di media, kadang kita sendiri merasakannya dalam pengalaman pribadi.

Kebencian dapat muncul dalam hitungan detik, namun bisa bertahan bertahun-tahun.

Kadang tanpa alasan yang jelas, dua insan yang dulunya saling mencintai berubah menjadi musuh.
Begitu pula dalam keluarga: suami dan istri, orang tua dan anak, kakak dan adik.
Kebencian bisa hadir diam-diam, tumbuh dan mencengkeram hati tanpa batas.
Padahal, tidak ada manusia yang diciptakan untuk membenci. Hati manusia secara alami menginginkan kedamaian, kasih sayang, dan hubungan yang harmonis.
Namun kenyataannya, kebencian sering menjadi bagian hidup. Pertanyaannya: mengapa?

Setidaknya ada tiga penyebab utama munculnya kebencian dalam hubungan manusia.

Pertama
Belum Mengenal Isi Hati Masing-Masing
Kebencian sering muncul karena manusia terlalu cepat menghakimi, tetapi terlalu lambat memahami.
Kita mudah tersinggung, tetapi enggan bertanya dengan tulus: “Apa sebenarnya yang kamu rasakan?”

Ketika dua orang tidak benar-benar saling memahami isi hati, muncul jarak yang perlahan melebar.
Suami merasa istrinya tidak mengerti perjuangannya. Istri merasa suaminya tidak memahami kelelahan batinnya.
Orang tua merasa anak tidak menghormati, sementara anak merasa tidak pernah didengar.

Ketidaktahuan ini melahirkan asumsi.

Asumsi melahirkan prasangka.
Prasangka melahirkan luka.
Dan luka, bila tidak diobati, menjadi kebencian.

Padahal sering kali bukan hatinya yang buruk, tetapi komunikasinya yang tidak pernah selesai.

Banyak orang berbicara untuk menang, bukan untuk memahami. Mereka mendengar, tetapi tidak menyimak mereka melihat, tetapi tidak memahami maknanya.

Solusinya adalah belajar hadir untuk mendengar.
Bukan sekadar membiarkan kata masuk telinga, tetapi memahami apa yang tidak diucapkan.

Karena kadang yang paling menyakitkan bukan kata-kata, melainkan keheningan yang penuh jarak.

Kedua
Belum Bisa Saling Mengerti Satu Sama Lain
Saling mengerti berarti melihat dunia dari kacamata orang lain.
Banyak hubungan rusak bukan karena perbedaan besar, tetapi karena ket inability untuk menerima perbedaan.
Manusia diciptakan dengan karakter, pengalaman, dan latar belakang yang berbeda. Ada yang sensitif, ada yang logis. Ada yang suka bicara, ada yang diam. Ada yang terbuka, ada yang menyimpan luka.
Namun kita sering ingin orang lain berpikir dan bertindak seperti diri kita.
Ketika mereka berbeda, kita marah. Ketika mereka tidak sesuai harapan, kita kecewa. Dari kekecewaan itu, kebencian mulai mendapatkan tempat.
Padahal kedewasaan dalam hubungan adalah kemampuan memahami bahwa tidak semua harus seragam.
Perbedaan bukan ancaman — perbedaan adalah kesempatan untuk saling melengkapi.
Solusi untuk poin ini adalah empati.
Berhentilah bertanya:
“Kenapa kamu tidak seperti yang aku mau?”
Mulailah bertanya:
“Bagaimana aku bisa mengerti kamu lebih baik?”

Ketiga
Tidak Mampu Menguasai Diri, Emosi, dan Kesabaran
Emosi adalah bagian manusia yang alami. Namun, ketika emosi menguasai kita, kehancuran dapat terjadi. Banyak kata diucapkan dalam amarah yang kemudian disesali seumur hidup.

Banyak tindakan dilakukan dalam emosi sesaat yang merusak sesuatu yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Kesabaran adalah benteng terakhir sebelum kebencian berkembang. Namun sayangnya, kesabaran sering terasa lebih sulit daripada kemarahan, padahal buahnya lebih manis.
Ketidakmampuan menahan diri menjadikan masalah kecil menjadi besar. Sering kali bukan persoalannya yang berbahaya, tetapi reaksinya.
Solusi di sini adalah melatih jeda emosional
belajar diam sebelum bereaksi. Karena diam yang penuh pengendalian diri sering lebih bijak daripada kata-kata yang lahir tanpa pertimbangan.
Niat dan Motif Tersembunyi
Di luar tiga penyebab utama, ada pula faktor lain yang tidak terlihat: motif tersembunyi. Kadang kebencian sengaja dipelihara karena seseorang ingin menang, ingin menguasai, ingin membalas luka lama, atau bahkan ingin menjatuhkan secara sosial.

Ada manusia yang terluka, dan karena tidak sembuh, ia ingin orang lain merasakan sakit yang sama. Ada pula yang merasa membenci adalah benteng untuk melindungi diri, padahal kebencian justru merusak dirinya dari dalam.
Motif tersembunyi ini sering berawal dari ketakutan, ego, dan trauma. Mereka tidak membenci orangnya mereka membenci rasa sakit yang pernah ditimbulkan oleh orang itu atau seseorang sebelumnya.
Solusi dan Saran
Untuk mengatasi kebencian, ada beberapa langkah penting:
Mulailah dengan kesadaran.

Sadari bahwa kebencian bukan solusi ia hanya memperpanjang luka.
Belajar memaafkan, meskipun belum bisa melupakan.
Memaafkan bukan berarti membenarkan kesalahan; itu berarti melepaskan diri dari belenggu racun batin.
Bangun komunikasi yang jujur dan lembut.
Bicara dengan hati, bukan hanya dengan logika.
Latih empati setiap hari.
Coba pahami perasaan, kondisi, dan alasan di balik sikap seseorang.
Jaga emosi dengan kesadaran diri.
Ambil jeda. Menunda reaksi sering menyelamatkan hubungan.
Belajar menerima ketidaksempurnaan.
Tidak ada manusia yang sempurna.
Kita pun pernah melukai orang lain tanpa sadar.

Mari kita masuk ke pembahasan diatas

Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan kebencian.
Kasih sayang membangun, kebencian menghancurkan. Kedamaian memberi kehidupan, kebencian merampas kebahagiaan.
Jika kita belajar memahami, menerima, mengerti, dan memaafkan, dunia ini terutama dunia dalam hati kita akan menjadi jauh lebih indah.
Karena pada akhirnya, manusia tidak butuh menang dalam pertengkaran. Manusia butuh dipahami, dicintai, dan dihargai.

Dan semua itu hanya lahir dari hati yang memilih cinta, bukan kebencian.

Jadi hanya satu cara menghilangkan benci dalam kebencian
Yakni memutus rantai kebencian itu sendiri

Sampai suatu saat kita menemukan jati diri kita dan kemampuan self esteem

Mencapai titik kesempurnaan disanalah kita bisa melihat firi kita sendiri

Damai sertamu

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Jumat pertama

Jumat pertama

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kisah Kasih
Ada sebuah keluarga sederhana yang hidup dalam ritme yang biasa-biasa saja sang ayah yang bekerja keras, ibu yang selalu mencoba tersenyum meski hatinya letih, dan seorang anak perempuan yang tumbuh dalam dunia yang semakin bising dan penuh tekanan.

Di meja makan mereka, ada tawa yang kadang hanya pura-pura, dan diam yang kadang lebih keras dari kata-kata.

Beberapa waktu terakhir, kehidupan terasa lebih berat dari biasanya.
Sang ayah mulai kehilangan semangat, pekerjaannya terasa seperti beban tanpa tujuan.
Ibu mulai merasa lelah, bukan karena fisik, melainkan karena hati yang mulai kehilangan arah.

Anak mereka yang seharusnya terbebas dari segala beban ikut merasakan kegelisahan yang tidak pernah ia mengerti.

Lalu pada suatu malam, entah karena dorongan hati atau karena bisikan lembut yang sulit dijelaskan, sang ibu mengajak keluarga mengikuti Misa Jumat Pertama.

Siang yang sahdu
Awalnya, tidak ada yang menganggapnya istimewa.
Hanya misa seperti misa biasa lainnya, pikir mereka. Namun mereka tetap pergi tanpa ekspektasi, tanpa rencana.

Ketika lonceng gereja berdentang, hati mereka mulai pelan-pelan melunak.
Suara umat bernyanyi seperti angin sepoi yang menyentuh luka lama.
Bau dupa yang naik ke langit terasa seperti doa-doa yang selama ini terpendam, tidak pernah terucap, bahkan tidak pernah diakui.

Dalam saat hening, sang ayah menunduk dan merasakan hatinya retak bukan karena kesedihan, melainkan karena ia menyadari betapa lama ia tidak membuka dirinya kepada Tuhan.
Sang ibu meneteskan air mata, bukan karena sakit, tetapi karena untuk pertama kalinya ia merasakan kedamaian yang selama ini ia cari.

Sang anak memandang salib dan untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, ia merasa dicintai.
Lalu tibalah momen adorasi. Saat Hosti diangkat, ruangan seolah berhenti bernafas.
Tidak ada lagi kegelisahan, tidak ada lagi pertanyaan, tidak ada lagi jarak.
Yang ada hanyalah cinta diam, lembut, dan nyata.
Mereka menerima komuni bersama.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka berdoa bukan sebagai tiga hati yang terpisah, tetapi sebagai satu keluarga.

Ketika misa selesai, mereka berjalan pulang tanpa banyak kata.

Namun sesuatu telah berubah. Senyum sang ayah kini tulus. Mata sang ibu kini bercahaya. Anak mereka menggenggam tangan orang tuanya lebih erat, seolah takut kehilangan rasa damai itu.

Malam itu, mereka duduk di meja makan yang sama
tetapi dengan hati yang berbeda. Mereka tertawa, bukan karena basa-basi, tetapi karena sukacita.

Mereka berdiam, bukan karena jauh, tetapi karena saling mengerti.

Misa Jumat Pertama bukan sekadar rutinitas.
Bagi mereka, itu menjadi sentuhan kasih yang memulihkan. Perlahan, bukan hanya tubuh yang kuat kembali
tetapi jiwa yang selama ini terluka menemukan rumahnya kembali.
Dan sejak hari itu, mereka tahu
setiap Jumat Pertama adalah undangan untuk merasakan kembali kehadiran Tuhan yang selalu setia, bahkan ketika manusia ragu.

UNDANGAN
Misa Jumat Pertama
Keluarga KRIS
5 Desember 2025
Jam 14.30
Wisma Mitra Sunter
Jakarta utara

Note :
Kita akan rayakan Harultah Imamat ke 49
Romo Johanis Mangkey MSC

BENCANA SIBOLGA

BENCANA SIBOLGA

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Labuhan Angin
Minggu
30 Nopember 2025

SUARA DARI TANAH YANG BERDUKA

Sejak pekan lalu, hujan tak pernah berhenti jatuh dari langit Sibolga dan daerah sekitarnya. Hujan yang awalnya hanya dianggap sebagai musim biasa itu ternyata berubah menjadi ancaman besar yang datang diam-diam, tanpa aba-aba, tanpa sempat memberi waktu bagi siapa pun untuk bersiap.

Dalam satu malam, genangan berubah menjadi banjir, tanah yang lembut berubah menjadi longsoran mematikan, dan jalan-jalan yang dulu ramai kini berubah menjadi lautan lumpur serta puing.

Tak ada yang menyangka bahwa kedamaian itu akan runtuh begitu cepat.
Rumah-rumah hanyut.
Pohon tumbang memutus jalur listrik.
Jalan raya retak berkeping-keping tak bisa dilewati kendaraan. Sebagian warga terseret arus, sebagian terjebak di atap rumah tanpa makanan dan tanpa kepastian kapan pertolongan datang.

Waktu berjalan lambat, tapi penderitaan rasanya bergerak lebih cepat daripada harapan.

Di tengah keadaan panik itu, banyak keluarga terpisah.
Anak kehilangan orang tua.
Suami kehilangan istri.

Ada tangis yang pecah, bukan karena hujan, tapi karena kehilangan yang tidak pernah terbayangkan. Bau lumpur bercampur tangis dan doa seolah menjadi udara baru yang harus dihirup warga Sibolga, Tapanuli Tengah Utara, dan daerah sekitarnya.

Sebagian warga yang selamat mencoba memasuki kota untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi putus asa, ada yang mengambil apa saja bukan karena tamak, tetapi karena lapar.
Ada yang menjarah bukan untuk dijual, tetapi untuk sekadar menyumbat perut anak yang sudah berhari-hari menangis kelaparan.
Di momen seperti itu, batas antara salah dan terpaksa menjadi sangat tipis.

Yang lebih menyedihkan, hampir tidak ada aparat yang mampu mengendalikan situasi.
Mungkin bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena mereka pun kewalahan: akses putus, alat terbatas, dan kekacauan terjadi di banyak titik secara bersamaan.

Di sisi lain, korban makin bertambah. Setiap menit berlalu seperti membawa kabar buruk baru rumah tertimbun tanah, jembatan roboh, korban ditemukan tak bernyawa, termasuk anak-anak yang sempat menggenggam boneka penuh lumpur sebelum napas terakhirnya hilang.

Bantuan akhirnya datang, tapi terlambat. Medan sulit ditembus.
Alat transportasi terbatas.
Tenaga pertolongan pun tak sebanding dengan jumlah warga terdampak.
Bila banjir dan longsor ini ibarat api besar, maka bantuan yang datang hanya seperti tetesan air.

Di lokasi pengungsian, penderitaan belum juga berakhir.
Tenda seadanya berdiri di tanah becek. Banyak yang menggigil karena tidak memiliki pakaian kering atau selimut.
Makanan tidak cukup.
Air minum terbatas.
Bayi menangis karena susu formula tak tersisa.
Ibu menahan lapar agar anaknya tetap bisa makan sedikit.
Ada lansia yang duduk diam, matanya kosong seolah kehilangan masa depan, masa lalu, bahkan dirinya sendiri.

Meski demikian, di tengah duka ini tetap ada cahaya kecil yang muncul: para relawan, tenaga medis, wartawan lokal, dan warga baik hati yang datang meski dengan segala keterbatasan. Mereka membawa obat, makanan, selimut, dan terutama
pelukan serta harapan.
Namun, semua itu belum cukup.
Sibolga dan wilayah sekitarnya masih membutuhkan banyak bantuan
bantuan nyata, cepat, dan terorganisir. Mereka membutuhkan:
Makanan siap saji dan bahan pokok
Selimut, pakaian kering, kasur lipat
Obat-obatan, antiseptik, alat kesehatan, pampers bayi
Tenaga medis, paramedis, dan relawan lapangan

Alat berat untuk evakuasi dan memperbaiki akses jalan
Air bersih dan sarana penjernih air darurat
Sampai hari ini, masih banyak jenazah yang belum ditemukan, masih banyak keluarga yang belum kembali berkumpul, dan masih banyak yang hanya bisa berdoa tanpa tahu harus berharap kepada siapa.
Karena itu, kami mengundang setiap hati yang murah tangan, setiap donatur yang peduli, setiap organisasi sosial, setiap komunitas kemanusiaan, dan setiap medis yang tergerak:
Datanglah.

Bantulah.
Jangan biarkan mereka berjuang sendirian.

Hari ini, ratusan warga Sibolga membutuhkan bukan hanya bantuan materi, tetapi juga dukungan moral: ibahwa mereka tidak ditinggalkan, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi bencana ini.

Semoga tangan-tangan penuh kasih tergerak, semoga langkah-langkah pertolongan semakin banyak, dan semoga Tuhan memberkati setiap orang yang membantu meringankan duka ini.

Karena di balik setiap lumpur dan air mata yang jatuh di bumi Sibolga saat ini, ada doa yang berbisik pelan buat anda

“Tolong… kami ingin hidup.”

BCA
6380888058
An
Perkumpulan Killcovid

PMI Jakarta Pusat
No Rek
123 000 556 9647
Bank Mandiri

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Gray divorce

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kelapa Gading
Jumat
28 Nopember 2025

Cerpen no 025

Kisah Cinta di hari tua

“Setelah Rambut Memutih”

Tidak ada yang pernah membayangkan bahwa di usia 67 tahun, Kisno dan istrinya, Mariana, akan duduk berhadapan di ruang sidang pengadilan agama.

Mereka menikah lebih dari empat dekade tepatnya 45 tahun.

Pada usia itu, sebagian orang merayakan pernikahan emas, memberi doa panjang untuk kesetiaan, bukan mengakhiri cerita.

Di ruang tunggu pengadilan, Mariana memegang map cokelat berisi dokumen salinan akta nikah, fotokopi KTP, dan berlembar lembar bukti yang hampir tidak lagi penting untuk usia mereka.

Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena ingatan.
Di hadapannya, Kisno duduk kaku, menunduk seolah barisan kata telah lama habis dalam kepalanya.

Tidak ada teriakan. Tidak ada kemarahan. Yang ada hanyalah diam
diam yang panjang, dingin, dan melelahkan.
Kenangan yang Mengendap
Di rumah, foto pernikahan mereka masih tergantung. Pada foto itu, Mariana tersenyum malu-malu dengan kebaya putih.
Kisno muda berdiri tegak di sebelahnya, dada membusung penuh bangga.
Mereka membangun hidup dari nol. Rumah pertama mereka kecil, hanya dua kamar dan dapur yang bocor setiap hujan.
Tetapi di rumah kecil itulah mereka tertawa, bertengkar, berbaikan, dan memeluk anak-anak mereka ketika demam tengah malam.

Kisno bekerja keras. Ia jarang ada di rumah membuat Mariana belajar mengasuh anak sendirian.
Ia tidak pernah mengeluh di depan suami, tetapi diam-diam ia sering menangis ketika lelah terlalu larut.
Namun waktu berjalan dan luka kecil yang tidak pernah dibicarakan berubah menjadi tembok.

Setelah Anak-Anak Pergi
Anak pertama menikah dan pindah ke luar kota. Anak kedua bekerja di luar negeri, sesekali pulang setahun sekali. Rumah menjadi sunyi terlalu sunyi bagi dua orang yang sudah lupa cara berbicara dari hati ke hati.

Pada masa pensiun, ketika tidak ada lagi alasan untuk sibuk, barulah mereka sadar: mereka hanyalah dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama.

Percakapan mereka berubah menjadi:
“Sudah makan?”
“Lampu garasi masih nyala.”
“Telepon dari anak.”
Tidak pernah lagi
“Apa yang kamu rasakan?”
“Masihkah kamu mencintaiku?”

Hari Ketika Semua Pecah
Pagi itu sederhana. Seperti pagi biasanya: teh panas dan roti tawar.
Mariana berkata pelan, tanpa menatap
“Aku lelah, Kis.”
Kisno tidak menjawab.
Ia menunggu kalimat berikutnya dan kalimat itu datang seperti pisau yang lama ditunda.
“Aku ingin bahagia… bukan begini.”

Kisno menarik napas. Lalu ia berkata, tanpa suara bergetar:
“Aku juga.”
Dan sejak hari itu, mereka berhenti berusaha.
Seperti dua kapal yang pelan-pelan melepaskan tali di dermaga yang sama, lalu membiarkan arus membawa mereka ke arah yang berbeda.
Kesedihan Anak-Anak
Ketika kabar itu sampai kepada anak-anak mereka, tangis pun pecah.

Bukan karena haus akan drama, tetapi karena takut kehilangan rumah yang mereka kenal sejak kecil.
Anak bungsu menelepon sambil terisak:
“Mama, 45 tahun bukan main-main… apa Mama yakin?”
Mariana hanya menjawab:
“Nak… ada masa dalam hidup ketika tinggal bersama luka lebih menyakitkan daripada berpisah.”

Anak sulung menyalahkan ayah:
“Kenapa Ayah diam? Kenapa tidak minta maaf? Tidak berusaha?”
Dan Kisno hanya berkata:
“Ayah sudah kehilangan caranya.”

Pada suatu malam, cucu pertama—usia lima tahun—bertanya polos:
“Kakek sama Nenek tidak sayang lagi?”

Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada putusan pengadilan.
Karena di lubuk hati mereka, cinta itu tidak pernah mati hanya berubah bentuk menjadi sesuatu yang asing dan sulit dijelaskan.
Setelah Kata “Cerai” Diucapkan
Mereka pindah ke rumah masing-masing.
Mariana tinggal di rumah kecil yang ia beli dengan tabungannya sendiri.
Di rumah itu, ia mulai belajar hidup pelan: merawat tanaman, membaca buku, menulis jurnal.
Namun setiap malam pukul sembilan, ia masih menoleh ke kursi kosong di sebelah sofa
tempat Kisno biasa duduk saat menonton berita.
Sementara Kisno tinggal di apartemen dekat masjid. Ia mulai rutin ikut pengajian.
Ia belajar memasak sendiri
walaupun pada awalnya nasi buatannya keras seperti kerikil.
Kadang-kadang, tanpa sadar, ia menyiapkan dua gelas teh, lalu menatap gelas satunya lama-lama sebelum akhirnya menuangnya ke wastafel.

Dua Kursi Kosong di Acara Keluarga
Lebaran pertama setelah perceraian adalah yang paling menyakitkan.
Dulu, keluarga mereka selalu ramai. Kini, satu per satu anak dan cucu datang terpisah:
Sebagian ke rumah Kisno, sebagian ke rumah Mariana.
Tidak ada lagi foto keluarga utuh. Yang ada hanya potret terpisah seperti lembar buku yang robek.
Setelah semua pulang,
Mariana duduk sendirian, memandang meja makan panjang.
Ia berbisik ke udara:
“Seharusnya hari tua bukan begini…”

Di tempat lain, Kisno menatap langit malam dari balkon apartemen.
Ia menggenggam cincin pernikahannya yang masih tersimpan cincin yang tidak ia lepas, walaupun sudah tidak berguna secara hukum.
Ia berkata pelan, seperti berbicara kepada seseorang yang tidak lagi ada di sana:
“Maaf… aku tidak tahu bagaimana mencintai dengan cara yang kau harapkan.”

Setitik Cahaya
Waktu berjalan.
Tidak ada yang benar-benar sembuh, tetapi luka-luka itu mulai membentuk ruang baru
ruang untuk menata diri.
Suatu hari, di pesta ulang tahun cucu mereka, tidak ada pilihan selain duduk di meja yang sama.
Ada kikuk.
Ada jarak. Namun ada juga sesuatu yang lain: pengakuan akan sejarah panjang yang tak bisa dihapus.
Ketika semua orang sibuk bernyanyi, cucu bungsu menyodorkan boneka kecil pada mereka berdua dan berkata:
“Pegang sama-sama ya… biar nggak pisah lagi.”

Tangis pun jatuh bukan hanya dari mereka, tetapi dari anak-anak yang melihat betapa rapuhnya manusia ketika cinta berubah menjadi kenangan.
Mariana menatap Kisno sejenak.
Ia tersenyum bukan senyum kembali cinta, tetapi senyum lega seperti akhirnya mengerti:
“Ada cinta yang ditakdirkan untuk dikenang, bukan diperjuangkan lagi.”

Dan Kisno mengangguk pelan.
Tak ada janji untuk kembali.
Tak ada permintaan memulai dari awal.
Yang ada hanyalah pengakuan bahwa 45 tahun itu tidak sia-sia meski tidak berakhir seperti dongeng.

Akhir Kisah Cinta

Gray Divorce bukan sekadar perpisahan dua tubuh tua.
Ia adalah pecahan kisah panjang tentang cinta, luka, waktu, dan pilihan.
Kadang, pernikahan bertahan bukan karena dua orang selalu saling mencintai tetapi karena dua hati memilih untuk tetap tinggal.
Namun ketika pilihan itu tak lagi sanggup dijalani, maka perpisahan bukan hanya akhir tetapi juga bentuk lain dari merawat diri, merawat sisa hidup, dan merawat damai yang pernah hilang.
Karena cinta, pada akhirnya, tidak selalu berarti bersama.
Kadang, cinta berarti melepaskan
dengan doa, penghargaan, dan air mata yang jatuh diam-diam.

Www.kria.or.id

Www.adharta.com

Pentingnya “Terima Kasih”

Oleh : Adharta
Penasihat PPG
Ketua umum
KRIS

Angke Heritage
Rabu
26 Nopber 2025

VICO Night
Dalam kenangan

Saudara saudaraku
Sahabatky yang terkasih,

selamat malam dan salam sejahtera dalam kasih Kristus.

Malam ini adalah malam yang berbeda.
Malam yang bukan sekadar pertemuan, bukan sekadar acara formal, bukan sekadar Charity Night atau penggalangan dana.
Malam ini adalah malam penuh rahmat
Malam Dana, VICO Night: Vincentius a Paulo Compassion Night, di mana kasih diwujudkan, iman diteguhkan, dan pengharapan dinyalakan.

Saya, Adharta dalam pelayanan sebagai Penasihat PPG dan Ketua Umum KRIS
berdiri di hadapan Anda bukan sebagai seseorang yang ingin menyampaikan kata-kata indah, tetapi sebagai seseorang yang ingin mengucapkan dua kata sederhana, namun penuh kuasa dan makna
Terima kasih.
Terima Kasih
Dan
Terima kasih
untuk Anda Semua

Terima kasih kepada semua sahabat, umat, relawan, donatur, pelayan, panitia
Media Eljohn dan Media lainnya
baik yang menyumbangkan materi, waktu, tenaga, pikiran maupun doa

Anda semua adalah bagian dari karya Tuhan malam ini.

Dalam kebersamaan ini, sebenarnya telah terjadi tiga hal besar

Pertama
Kita berhasil mengumpulkan dana bagi pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo
Sebuah kontribusi nyata dari umat yang peduli dan memiliki hati bagi Allah. Hasil yang terkumpul cukup signifikan bukan hanya karena jumlahnya, tetapi karena kasih di baliknya.

Kedua adalah Doa menyatukan kita dalam iman, harapan, dan kasih
Doa yang bukan sekadar rangkaian kata, tetapi ungkapan ketundukan kepada Tuhan yang menjadi pusat malam ini.

Inilah liturgi hidup doa yang bergerak melalui tindakan belas kasih.

Ketiga
Kita membangun komunitas baru
Malam ini memperkenalkan Gereja Santo Vincentius a Paulo kepada masyarakat luas
dan seperti sebuah pesta pernikahan, kita menyaksikan kelahiran relasi baru.
Dalam gambaran iman, Yesus adalah mempelainya dan Gereja adalah mempelai perempuan.

Dan malam ini, kita semua menjadi saksi kasih itu.
Sebuah Sentuhan Pribadi
Sahabatku, ada satu hal kecil yang ingin saya bagikan.
Entah mengapa, saya menemukan bahwa nama saya
Adharta
dalam bahasa Irlandia ternyata memiliki sebuah arti yang unik dan lucu.
Silakan nanti cek di Google Translate.

Saya yakin, setelah Anda temukan, Anda akan tersenyum.
Dan bagi yang tahu duluan mungkin Anda pantas mendapatkan hadiah dari saya

Nama hanyalah nama, tetapi maknanya dapat menjadi doa.
Begitu pula kata terima kasih sederhana, tetapi memiliki kekuatan rohani yang sangat besar.

Makna
“Terima Kasih”
Ada dua bagian besar dari makna kata

“Terima kasih” dan izinkan saya membaginya secara lebih mendalam.

Pertama
Pentingnya Arti “Terima Kasih” Kasih Tanpa Batas
Terima kasih adalah ungkapan cinta tanpa syarat.
Ketika seseorang berkata terima kasih, yang ia lakukan bukan hanya menghargai orang lain
tetapi juga mengakui bahwa ia tidak hidup sendirian.
Setiap kali kata “Terima kasih” keluar dari hati seseorang, seluruh
malaikat bersorak memuji Tuhan,
karena kata itu adalah bahasa kasih yang paling universal.

Terima kasih adalah bentuk kerendahan hati.
Ia mengatakan:
“Aku tidak bisa melakukan ini sendirian.”
“Aku menghargaimu.”
“Aku melihatmu.”
“Aku bersyukur.”

Dalam dunia yang sering penuh kesibukan, ambisi, persaingan, bahkan permusuhan
kata terima kasih adalah undangan untuk berhenti sejenak, menyadari bahwa hidup adalah anugerah.

Kedua
Arti Pentingnya Terima Kasih

Sumber Ketenangan dan Sukacita
Ketika kita mengucapkan terima kasih, sesuatu terjadi di dalam diri kita.
Hati menjadi lebih ringan, pikiran menjadi lebih damai, dan jiwa terasa lebih penuh.
Apabila ada
Kebahagiaan yang disimpan sendiri maka hasilnya hanyalah kesepian.

Tetapi kebahagiaan yang dibagikan akan menjadi berkat.
Itulah sebabnya orang membuat pesta.
Bukan untuk menunjukkan kemewahan atau keberhasilan,
tetapi untuk membagi sukacita.

Demikian juga malam ini malam ini bukan hanya tentang donasi.
Bukan hanya tentang meja, dekorasi, atau angka nominal.
Malam ini adalah pesta kasih.
Malam berbagi sukacita.

Dan itulah arti terdalam dari kata terima kasih
ketika syukur menjadi tindakan,
dan kasih menjadi nyata.

Teriring Doa dan Syukur
Sebelum saya menutup, izinkan saya mengajak kita merenung sejenak.
Jika malam ini kita dapat memberi itu karena Tuhan telah lebih dulu memberi kepada kita.
Jika malam ini kita dapat berbagi itu karena kasih telah lebih dulu menyentuh kita.

Dan jika malam ini kita dapat bahagia itu karena kita tidak hanya menerima, tetapi juga belajar memberi.

Semoga kata “Terima kasih” tidak pernah menjadi kata yang sekadar kita ucapkan.

Biarlah ia menjadi:
Nafas rohani
Bahasa cinta
Jembatan persaudaraan
Dan benih harapan bagi gereja

Damai sejahtera serta suka cita menyertai anda dan keluarga

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com