Author Archives: adharta

Unknown's avatar

About adharta

Be positif

Malam minggu

Malam minggu

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Citraland
Sabtu
23 Agustua 2025

Saya suka sekali menontin film di kala semua lagi mumet
Film satu cara melepaskan penat

Malam minggu
Saya Lendy dan Freddy
Menonton film Jacky Chan

The shadow’s edge

Renungan Singkat dari Kisah Film

Nilai pengalaman vs teknologi modern
Wong Tak-Chung (Jackie Chan), seorang mantan detektif ahli pelacakan yang telah pensiun, kembali beraksi karena kecanggihannya tak tergantikan meski di era teknologi tinggi. Film ini menunjukkan bahwa teknik tradisional dan intuisi manusia tetap penting dalam menghadapi ancaman modern.

Benturan moral dan strategi
Konflik antara Wong dan Fu Longsheng (Tony Leung Ka-Fai) bukan sekadar duel fisik, melainkan juga pertarungan ide—keadilan tradisional melawan kekerasan canggih. Ada ketegangan psikologis dan ketajaman strategi yang mencerminkan kompleksitas menegakkan hukum.

Tanggung jawab dan kasih sayang dalam hubungan keluarga
Hubungan Wong dengan anak angkatnya, Lian (Jun SEVENTEEN), menggambarkan dilema ketika seseorang yang kita cintai secara tak sengaja memicu bahaya besar. Tema ini menyiratkan bahwa cinta dan tanggung jawab sering kali berjalan beriringan.

Kekuatan sinergi antar generasi
Kolaborasi antara Wong (veteran) dan Ho Qiuguo / Guoguo (petugas muda) menunjukkan bahwa bekal pengalaman dan semangat baru bisa menjadi kekuatan padu dalam menyelesaikan kasus komplex

“Bapak dan Ibu polisi sekalian, malam ini mari kita renungkan kisah Wong Tak-Chung dari The Shadow’s Edge. Ia pernah pensiun karena luka emosional, namun ketika kota terancam, ia kembali. Bukan karena teknologi, melainkan karena pengalaman, ketajaman, dan kepekaan manusia—nilai yang tidak bisa digantikan oleh AI. Kita pun sering berada di tengah benturan antara prosedur yang kaku dan situasi yang kompleks. Seperti Wong, kita dipanggil kembali bukan karena kekuatan fisik atau perangkat canggih, melainkan keberanian, integritas, dan kasih terhadap masyarakat.”

Lebih baik Gagal daripada menyesal
(Jacky Chan)

Ini nasehat buat teman teman polisi
Sebagai dasar pemikiran bagus

📌 Maknanya:

Keberanian mencoba lebih berharga daripada diam.
Jika kita mencoba dan gagal, setidaknya ada pengalaman dan pembelajaran. Tapi kalau kita tidak berani bertindak, penyesalan bisa menghantui seumur hidup.

Kegagalan bisa diperbaiki, penyesalan tidak.
Kegagalan adalah sesuatu yang nyata—kita bisa bangkit dan memperbaikinya. Penyesalan hanya ada di dalam hati, dan tidak bisa dihapus karena kita bahkan tidak pernah berusaha.

Pesan moral bagi polisi:
Dalam tugas menjaga hukum dan masyarakat, kadang keputusan sulit harus diambil. Seorang polisi lebih baik bertindak meski ada risiko gagal, daripada pasif lalu membiarkan kejahatan atau bahaya terjadi, yang akhirnya menimbulkan penyesalan lebih besar.

Selamat Malam Minggu

Adharta

Asuransi

Asuransi

Perlindungan, Tantangan, dan Harapan Masa Depan

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Ada yang menyebut (Komunitas Reformasi Indonesia Sehat)

Saya kurang sepaham dengan masalah Asuransi
Tapi saya bisa melihat bahwa Asuransi bukan masalah uang klaim dan keuntungan
Tetapi berbicara tentang kebahagiaan di masa depan dimana perlindungan memberikan ketenangan dan kenyamanan hidup
Sekalioun kita banyak uang

Truat me… !

Asuransi merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan modern.
Ia hadir sebagai bentuk perlindungan dari berbagai risiko yang tidak pernah kita duga: sakit, kecelakaan, kehilangan harta benda, hingga kematian.

Dengan membayar premi, seseorang mengalihkan risiko finansial yang bisa menghancurkan kehidupannya kepada perusahaan asuransi.

Konsep sederhana inilah yang kemudian berkembang menjadi industri besar, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.

Namun, berbicara tentang asuransi tidak cukup hanya dari sisi teori.

Kita juga harus melihat sejarah, tokoh-tokoh yang merintis, jenis-jenis asuransi yang ada, hingga proyeksi bisnisnya ke depan. Lebih dari itu, perlu pula memahami pengalaman praktis: bagaimana memilih polis, menutup asuransi, hingga menghadapi agen asuransi yang terkadang dirasa
“menjengkelkan”Tulisan ini akan membahas secara menyeluruh dengan harapan memberikan pencerahan bagi masyarakat.

Sejarah dan Tokoh-Tokoh Asuransi

Sejarah asuransi bisa ditelusuri sejak ribuan tahun lalu.

Pada masa Babilonia, sekitar 1750 SM, terdapat “Kode Hammurabi” yang memuat aturan perdagangan. Pedagang yang meminjam uang untuk mengirim barang di laut bisa terbebas dari utang jika kapalnya tenggelam.
Inilah cikal bakal asuransi.

Di Yunani kuno, muncul lembaga “benevolent society” yang membantu biaya pemakaman anggotanya.

Sementara di Roma, tentara yang gugur akan ditanggung keluarganya oleh perkumpulan serupa.

Tokoh-tokoh penting dalam sejarah asuransi antara lain:

  1. Edward Lloyd (1635–1713) – pemilik kedai kopi di London yang menjadi tempat berkumpulnya pedagang dan pemilik kapal. Dari sinilah lahir Lloyd’s of London, pasar asuransi laut terbesar di dunia.
  2. Benjamin Franklin (1706–1790) – salah satu bapak pendiri Amerika Serikat yang juga mendirikan Philadelphia Contributionship, perusahaan asuransi kebakaran pertama di Amerika.
  3. William Morgan dikenal sebagai aktuaris pertama di dunia yang menerapkan ilmu statistik dalam perhitungan risiko.
  4. Ada Melvin Jones pendiri Lions Club International juga salah satu Tokoh Asuransi

Di Indonesia, asuransi modern dibawa oleh Belanda pada abad ke-18. Salah satu perusahaan tertua adalah Nederlandsch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ), berdiri tahun 1859, yang kemudian menjadi bagian dari Jiwasraya.

Tokoh-tokoh penting di Indonesia antara lain:

AA Maramis, Menteri Keuangan RI yang berperan dalam nasionalisasi asuransi pasca-kemerdekaan.

Soemitro Djojohadikusumo, ekonom Indonesia yang mendorong pengembangan industri keuangan termasuk asuransi.

Para pendiri perusahaan asuransi nasional seperti Bumiputera (1912) yang digagas oleh guru-guru Indonesia untuk kesejahteraan sesama.

Jenis-Jenis Asuransi

Industri asuransi sangat luas. L

Di Indonesia, jenis-jenis asuransi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Asuransi Jiwa

Memberikan santunan kepada ahli waris jika tertanggung meninggal dunia.

Bentuknya bisa term life (berjangka), whole life (seumur hidup), atau unit link (dikaitkan investasi).

  1. Asuransi Kesehatan

Menanggung biaya perawatan rumah sakit, operasi, rawat jalan, dan obat-obatan.

Bisa berbasis cashless (langsung ke rumah sakit) atau reimbursement.

  1. Asuransi Pendidikan

Menjamin ketersediaan dana pendidikan anak di masa depan, biasanya dikaitkan dengan asuransi jiwa orang tua.

  1. Asuransi Umum (General Insurance)

Meliputi asuransi kendaraan, kebakaran, properti, pengangkutan, hingga travel insurance.

  1. Asuransi Mikro

Produk sederhana dengan premi kecil untuk masyarakat menengah ke bawah, misalnya asuransi gagal panen.

  1. Asuransi Sosial

Dikelola pemerintah, seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

  1. Asuransi Syariah

Didasarkan pada prinsip tolong-menolong (ta’awun), bukan jual-beli risiko. Premi disebut kontribusi, dan dana dikelola secara transparan.

Perusahaan Asuransi di Indonesia

Di Indonesia, ada ratusan perusahaan asuransi, baik jiwa maupun umum.

Beberapa yang dikenal luas antara lain:

Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912

Jiwasraya (dalam proses restrukturisasi)

Manulife Indonesia

Prudential Indonesia

Allianz Life Indonesia

AXA Mandiri Financial Services

Sinarmas MSIG Life

Tokio Marine Life Insurance

Zurich Topas Life

Sequis Life

Generali

BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai asuransi sosial nasional.

Prospek Bisnis Asuransi ke Depan

Prospek industri asuransi di Indonesia sangat besar.

Ada beberapa alasan:

  1. Rendahnya penetrasi asuransi. Tingkat kepemilikan polis di Indonesia masih di bawah 5% dari jumlah penduduk. Artinya, pasar masih luas.
  2. Meningkatnya kelas menengah. Dengan bertambahnya pendapatan masyarakat, kesadaran akan proteksi semakin tinggi.
  3. Perkembangan digital. Platform insurtech memudahkan masyarakat membeli polis, membayar premi, hingga klaim secara online.
  4. Regulasi pemerintah. Pemerintah semakin ketat dalam mengawasi industri, sehingga meningkatkan kepercayaan publik.
  5. Kesadaran pasca-pandemi. Pandemi COVID-19 membuka mata banyak orang tentang pentingnya perlindungan kesehatan dan jiwa.

Namun, ada juga tantangan: rendahnya literasi keuangan, citra buruk akibat kasus gagal bayar, serta praktik pemasaran yang agresif. Jika industri mampu memperbaiki transparansi dan pelayanan, masa depan asuransi di Indonesia akan sangat cerah.

Syarat-Syarat Menutup Asuransi

Menutup polis asuransi tidak boleh sembarangan. Beberapa hal yang harus diperhatikan:

  1. Pengisian formulir dengan jujur. Saat pertama kali membeli asuransi, tertanggung wajib mengisi data medis, keuangan, dan riwayat kesehatan secara benar. Jika ada kebohongan, klaim bisa ditolak.
  2. Membayar premi tepat waktu. Polis hanya berlaku jika premi dibayar. Jika menunggak, ada masa tenggang, tetapi lewat itu polis bisa batal.
  3. Membaca polis dengan teliti. Pahami manfaat, pengecualian, masa tunggu, serta prosedur klaim.
  4. Menyesuaikan dengan kebutuhan. Jangan menutup asuransi hanya karena bujukan agen, tetapi karena memang sesuai dengan kondisi finansial dan rencana hidup.

Bagaimana Klaim Berhasil

Salah satu keluhan terbesar terhadap asuransi adalah klaim yang sulit. Padahal, klaim bisa berjalan mulus jika kita memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Lengkapi dokumen. Sertakan fotokopi KTP, polis, kwitansi rumah sakit, surat dokter, hingga surat kematian (untuk klaim jiwa).
  2. Ikuti prosedur. Setiap perusahaan punya SOP klaim, jangan sampai terlewat.
  3. Jangan menunda. Ajukan klaim sesegera mungkin setelah kejadian.
  4. Pastikan manfaat sesuai. Misalnya, jika polis hanya menanggung rawat inap, maka biaya rawat jalan tidak akan dibayar.
  5. Simpan komunikasi. Catat semua percakapan dengan perusahaan atau agen untuk bukti jika terjadi sengketa.

Jika semua syarat dipenuhi, klaim asuransi seharusnya dibayarkan. Kalaupun ada penolakan, perusahaan wajib memberi alasan tertulis.

Hubungan dengan Agen Asuransi

Agen asuransi adalah ujung tombak pemasaran. Namun sering kali masyarakat merasa “dikejar-kejar” oleh agen yang terlalu agresif. Hal ini wajar, karena agen bekerja berdasarkan komisi.

Ada beberapa sikap bijak dalam menghadapi agen:

  1. Dengarkan penjelasan, tetapi tetap kritis. Jangan langsung percaya semua janji manis.
  2. Minta ilustrasi tertulis. Jangan hanya berdasarkan ucapan lisan.
  3. Cari agen yang berlisensi. Agen resmi terdaftar di Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) atau Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).
  4. Bangun hubungan profesional. Agen bisa menjadi konsultan jika kita terbuka, bukan sekadar penjual.
  5. Berani berkata tidak. Jika tidak sesuai kebutuhan, tolak dengan tegas namun sopan.

Saran-Saran Menutup Asuransi

Bagi masyarakat yang ingin memiliki asuransi, beberapa saran berikut bisa menjadi pegangan:

  1. Prioritaskan kebutuhan dasar. Asuransi kesehatan dan jiwa sebaiknya dipilih lebih dulu sebelum asuransi investasi atau tambahan lain.
  2. Pilih perusahaan terpercaya. Lihat reputasi, laporan keuangan, dan pengalaman membayar klaim.
  3. Pahami produk. Jangan membeli polis yang tidak Anda mengerti.
  4. Sesuaikan dengan kemampuan. Premi jangan melebihi 10–15% dari penghasilan bulanan.
  5. Pertimbangkan asuransi syariah. Bagi yang ingin sistem lebih transparan dan berbasis tolong-menolong.
  6. Evaluasi secara berkala. Hidup berubah, kebutuhan berubah. Sesuaikan polis sesuai kondisi.
  7. Gunakan agen sebagai partner. Pilih agen yang komunikatif, jujur, dan berkomitmen.
  8. Jangan menunda. Semakin muda usia kita, premi semakin murah.

Asuransi adalah payung yang kita siapkan sebelum hujan. Ia bukan sekadar produk keuangan, tetapi wujud kepedulian terhadap diri, keluarga, dan masa depan. Sejarah panjang, tokoh-tokoh besar, dan berbagai produk yang ada menunjukkan betapa asuransi telah menjadi bagian penting dari peradaban manusia.

Di Indonesia, prospek asuransi sangat cerah, asalkan masyarakat semakin cerdas, perusahaan semakin transparan, dan agen semakin profesional. Tantangan memang ada, tetapi justru di situlah peluang perbaikan.

Sebagai Ketua Umum KRIS, saya mendorong masyarakat untuk melihat asuransi bukan dengan kecurigaan, melainkan dengan sikap kritis dan bertanggung jawab. Pilih dengan hati-hati, kelola dengan baik, dan jadikan asuransi sebagai bagian dari strategi hidup sehat, sejahtera, dan penuh perencanaan.

Asuransi bukan hanya soal uang, melainkan soal masa depan yang lebih pasti.

Salam sehat

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Nasib

Nasib

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen 005

Sepanjang jalan kenangan
Jumat 22 Agustus 2025

Kupersembahkan kisah ini buat istriku tercinta
Drg Magdalena

Kisahku
Di sebuah kampung kecil di pinggir kota Jakarta, hiduplah seorang pemuda bernama Raka.

Usianya tiga puluh dua tahun, lajang, dan bekerja serabutan. Orang-orang di kampung mengenalnya sebagai sosok yang rajin, tapi “tidak beruntung.”
Kata itu—tidak beruntung
seolah menjadi cap yang menempel di dahi Raka sejak kecil.

Ia lahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang buruh bangunan yang meninggal ketika ia masih duduk di bangku SMP, tertimpa reruntuhan saat proyek sedang berjalan. Ibunya hanya seorang penjual gorengan di depan rumah. Sejak itu, Raka harus berhenti sekolah, membantu ibunya mencari nafkah, dan perlahan melupakan cita-citanya untuk menjadi guru.

“Raka, orang seperti kita ini jangan mimpi terlalu tinggi. Sudah syukuri saja kalau bisa makan setiap hari,”
kata ibunya suatu malam. Kalimat itu bukan bermaksud mematahkan semangat, melainkan sekadar pengingat akan realitas.
Tapi di hati Raka, luka itu mengendap, membentuk keyakinan bahwa mungkin memang nasib sudah menutup jalan untuknya.

Kehidupan yang Berat

Hari-hari Raka dipenuhi pekerjaan tak menentu.
Kadang ia membantu mengangkut barang di pasar, kadang ikut tukang bangunan, atau bekerja sebagai ojek motor sewaan. Semua dilakukan demi sekadar bertahan hidup.

Setiap kali ia melihat teman-teman sebaya yang dulu satu sekolah, hatinya bergetar. Ada yang sudah jadi pegawai negeri, ada yang bekerja di perusahaan besar, bahkan ada yang punya usaha sendiri. Mereka hidup dengan keluarga kecil yang hangat, sementara Raka masih tinggal di rumah reyot bersama ibunya yang renta.

Suatu sore, ia duduk di warung kopi dekat rumah. Di depannya, beberapa teman lama sedang berbincang tentang kesuksesan masing-masing.

“Anak gue udah masuk SMP favorit, loh,” kata Arif bangga.
“Wah, hebat! Gue sih baru bisa DP rumah, doain lunas cepet,” sahut Budi.

Raka hanya tersenyum kecut.
Ia ikut tertawa ketika mereka bercanda, tapi dalam hati ia bertanya, Kenapa nasibku begini? Apa salahku?

Cinta yang Tak Sederhana

Di kampung itu, ada seorang gadis bernama Mira. Ia adalah teman masa kecil Raka, dan diam-diam perempuan itu pernah mengisi ruang di hatinya. Mira tidak pernah merendahkan Raka, bahkan sering membelanya ketika ada orang yang mengejek.

Suatu malam, ketika listrik padam dan kampung gelap gulita, Raka duduk di teras rumah.
Mira lewat, membawa senter kecil.

“Rak, masih bangun?” tanyanya.
“Iya, kepanasan di dalam,” jawab Raka.
Mira tersenyum. “Kadang aku iri sama kamu.”
“Iri? Sama aku? Kenapa?” Raka tertawa kecil, merasa aneh.
“Soalnya kamu tabah.

Hidupmu nggak mudah, tapi kamu tetap jalanin. Aku nggak tahu kalau aku di posisi kamu, mungkin aku udah nyerah.”

Kalimat itu menusuk hati Raka.
Ada perasaan hangat, tapi juga getir.
Ia tahu Mira akan segera menikah dengan seorang pegawai kantoran dari kota. Cintanya harus dipendam, karena ia merasa tak pantas bersanding dengan perempuan itu.

Ujian Baru

Beberapa bulan kemudian, ibunya jatuh sakit.

Usia dan kerja keras membuat tubuh renta itu rapuh.

Raka semakin sibuk mencari uang untuk biaya berobat.

Ia rela bekerja dari pagi sampai malam, bahkan sering hanya makan sekali sehari agar ibunya bisa membeli obat.

Namun, takdir kembali mempermainkannya.

Suatu malam, sepeda motor tuanya dicuri saat ia sedang mengantar barang.
Motor itu satu-satunya alat yang membuatnya bisa bekerja sebagai ojek. Hilangnya motor berarti hilangnya separuh penghasilan.

Ketika ia melapor pada polisi, ia hanya mendapat jawaban singkat:
“Begitulah, Pak. Kalau ada rezeki, nanti ketemu.”

Raka pulang dengan langkah gontai. Sesampainya di rumah, ia duduk di samping ibunya yang terbaring.
“Ibu, maaf… motor kita hilang,” ucapnya lirih.
Ibunya menatap lemah, lalu menggenggam tangannya. “Sudahlah, Nak. Jangan terlalu dipikirkan. Selama kamu masih sehat, masih ada jalan.”

Raka menunduk. Air matanya jatuh di punggung tangan ibunya.

Pertemuan yang Mengubah

Suatu hari, ketika Raka bekerja membantu kuli bangunan, seorang pria paruh baya datang meninjau lokasi.

Rupanya ia pemilik proyek, bernama Pak Surya.
Melihat kerja keras Raka, ia tertarik untuk mengajaknya bicara.

“Anak muda, kamu kelihatan rajin. Pernah kerja tetap?”
“Belum pernah, Pak.
Sekolah saya juga nggak sampai tamat SMA.”
“Kalau saya kasih kamu pekerjaan tetap di toko bahan bangunan, mau?”

Raka terkejut. Matanya berbinar, tapi ia juga ragu.
“Mau sekali, Pak… tapi saya nggak punya ijazah.”
“Yang saya butuhkan bukan ijazah. Saya butuh orang jujur dan mau kerja keras.”

Hari itu menjadi titik balik.

Raka diterima bekerja di toko Pak Surya dengan gaji tetap.
Meski tidak besar, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya obat ibunya.

Cobaan Terakhir

Namun, hidup tak pernah lurus. Beberapa bulan kemudian, kondisi ibunya memburuk. Dokter mengatakan bahwa penyakit jantungnya sudah parah. Meski sudah berusaha mengobati, ajal tetap datang menjemput.

Di malam penuh duka itu, Raka duduk di samping jasad ibunya. Tangannya menggenggam erat kain kafan. Hatinya hancur. Kini ia benar-benar sendiri.

Tetapi sebelum ibunya menghembuskan napas terakhir, ada pesan yang terpatri kuat di benaknya:
“Raka… jangan pernah salahkan nasib.
Karena nasib itu bukan hukuman, tapi jalan.
Kamu bisa memilih bagaimana melaluinya.”

Menemukan Makna

Waktu berjalan. Raka perlahan bangkit.
Ia tetap bekerja di toko Pak Surya, dan lama-kelamaan dipercaya untuk mengelola sebagian usaha. Dari hasil tabungan, ia membeli sepeda motor baru. Hidupnya memang tidak tiba-tiba kaya atau penuh kemewahan, tetapi ada rasa mantap dalam hatinya: ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri.

Suatu sore, ia kembali duduk di warung kopi. Kali ini, ia tidak merasa kecil di hadapan teman-temannya
Meski mereka lebih sukses, ia tahu setiap orang punya jalan masing-masing.

Mira, yang kini sudah menikah dan tinggal di kota, sempat pulang kampung. Mereka bertemu sebentar.
Mira menatap Raka dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang, Rak.”
Raka tersenyum. “Mungkin aku sudah berdamai dengan nasib.”

Nasib itu Jalan
Kita lalui dan kita arahkan
Menuju cahaya masa depan

Hidup Raka bukan kisah kemenangan besar, bukan pula kisah cinta yang berakhir indah.
Tetapi di balik luka, kehilangan, dan kejatuhan, ia menemukan kekuatan untuk menerima. Bahwa nasib tidak selalu bisa dipilih, tetapi cara menjalaninya ada di tangan manusia.

Dan di sanalah, di balik kesederhanaan hidupnya, Raka menemukan arti sejati: bukan sekadar bertahan, tapi juga memahami bahwa setiap langkah adalah bagian dari perjalanan panjang bernama nasib.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

From Singapore with Love

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Lavender
Selasa
19 Agustus 2025

Beberapa hari ini saya check up total
Dengan Dr Niko Wanahita
Di Rumah Sakit Mount Elisabeth Novena

Khususnya mengenai sakit jantung saya paska tindakan Oktober 2024
Cutting Ballon dan perbaikan semua pembuluh darah

Hasil check up semua baik
Cuma fungsi Jantung saya masih sangat lemah jadi memerlukan bantuan alat yang akan di tanam fidada saya

Saya ingin menuliskan kisah saya bersama Singapura

Perjalanan Awal

Langkah yang Tak Pernah Terlupakan olehku

Tahun 1982 adalah tahun yang mengubah jalan hidup saya.

Saat itu, tubuh saya berada dalam kondisi yang rapuh lemah bahkan lumpuh total

Sebuah kecelakaan motor di Jakarta, ketika saya hendak menuju tempat kerja di ICCI,
Jalan Raden Patah, membuat saya jatuh dalam kondisi lumpuh. Di Indonesia, saya sempat berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya. Beberapa dokter mencoba menolong, namun tak ada yang bisa memastikan apa sebenarnya penyakit saya. Ada dugaan gegar otak, ada yang menyebut syaraf saya terganggu, namun jawaban pasti tak kunjung datang.

Dalam ketidakpastian itu, saya merasa hidup berjalan di tepi jurang. Namun Tuhan selalu punya cara untuk mengulurkan tangan-Nya. Pertama kali saya datang ke Singapura, bersama papa dan mama saya juga kakak saya Risal
tahun itu juga, saya diperkenalkan dengan mendiang
Dr. Ong Tien Kong, yang kemudian merujuk saya kepada Dr. J.A. Tambyah,
seorang dokter besar di Mount Elizabeth Orchard road Singapore

Tak saya sangka, dalam waktu singkat, hanya empat hari, tim dokter di Singapura berhasil menemukan sumber penyakit saya. Sesuatu yang tak mampu dijawab berbulan-bulan di tanah air, akhirnya terungkap dengan terang di negeri seberang. Keputusan harus diambil

Saya harus menjalani operasi besar di Singapore General Hospital dengan tim medis Mount Alvernia di bawah pimpinan langsung
Dr. JA Tambyah.

Operasi thyroid toxicosis itu berlangsung lebih dari delapan jam. Tubuh saya ditopang alat, jiwa saya digantungkan pada doa. Namun ketika akhirnya saya terbangun dari meja operasi, hidup baru seperti diberikan kembali kepada saya.

Saya selamat. Saya bisa berdiri. Saya bisa melanjutkan kehidupan hingga hari ini.

Itulah momen pertama saya jatuh cinta pada Singapura
sebuah negara kecil, tapi penuh kepastian, disiplin, dan ketulusan dalam menolong.

Sentuhan Kemanusiaan yang Menghangatkan

Ada satu peristiwa sederhana, namun membekas selamanya dalam hati saya.

Suatu hari, ketika saya harus terbang menuju Eropa, saya transit di Changi Airport. Penerbangan lanjutan dijadwalkan pukul 6 pagi, dan saya menunggu sendirian di kursi bandara. Lelah, saya tertidur.

Ketika terbangun, saya mendapati ada selimut menutupi tubuh saya. Saya tidak tahu siapa yang meletakkannya, tidak pernah melihat wajah orang yang melakukannya. Namun malam itu, di tengah dingin bandara internasional, ada seseorang yang dengan diam-diam menunjukkan kepedulian.

Itu bukan sekadar selimut. Itu adalah simbol kemanusiaan. Sentuhan kecil yang menunjukkan bahwa kasih sayang tidak mengenal batas negara, tidak memerlukan bahasa.

Dari pengalaman sederhana itu, saya belajar bahwa kebaikan sejati seringkali hadir dalam bentuk paling sunyi.

Kejujuran yang Mengagumkan

Ada pula pengalaman lain yang tak pernah bisa saya lupakan.

Suatu ketika, saya dan kakak saya, Pak Risal, makan di McDonald’s Orchard.

Ramai sekali suasana malam itu, hingga tanpa sadar saya meninggalkan tas saya.

Baru setelah beberapa saat, kami tersadar dan kembali ke restoran.

Betapa terkejutnya saya, tas itu dikembalikan dalam keadaan utuh.

Tidak ada yang hilang, bahkan di dalamnya terdapat lebih dari 50.000 dolar Singapura.

Bayangkan, jumlah itu bukanlah kecil. Namun kejujuran masyarakat Singapura terbukti nyata.

Bagi saya, itu bukan hanya tentang barang yang kembali, melainkan pelajaran besar bahwa sebuah bangsa yang maju berdiri di atas pondasi integritas dan kepercayaan.

Sahabat dan Persaudaraan yang Tertanam

Perjalanan saya di Singapura tidak berhenti pada dunia medis semata.

Singapura kemudian menjadi tanah di mana saya menemukan banyak sahabat, mitra, dan keluarga besar.

Ada dukungan besar dari perusahaan Sembawang Holding dan Temasek,
yang membantu saya membangun pijakan bisnis di Singapura maupun di Indonesia.

Banyak perusahaan membuka tangan bagi saya:

Penguin corp
Tiong Woon corp
President Marine
Amsbach corp
Jaya Offshore corp
Labindo Marine
Bok Seng
Ang Sing Liu
Dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut

Mereka adalah nama-nama yang mengiringi langkah saya dalam dunia usaha, sekaligus membuktikan bahwa persahabatan lintas negara bisa menjadi kekuatan nyata.

Namun perjalanan waktu juga mengajarkan kesedihan. Beberapa sahabat terbaik saya kini telah tiada

Yusuf Kamarudin
Tan Pak Sian
Yeo wee soon

Mereka meninggalkan jejak persaudaraan yang tidak akan pernah saya hapus dari ingatan.

Persahabatan sejati tidak berakhir pada perpisahan fisik
ia terus hidup dalam hati
Dan masih banyak sekali sahabat saya di Singapura yang saya kasihi

Pelajaran Hidup dari Singapura

Dari Singapura, saya belajar banyak hal yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan

1. Disiplin dan Ketepatan Setiap aspek kehidupan di negeri itu berjalan dengan rapi. Jadwal, kebersihan, bahkan tata kota mengajarkan saya arti keteraturan.

2. Kemanusiaan dan Kepedulian Dari selimut di Changi, saya belajar bahwa perhatian kecil bisa berarti besar bagi orang lain.

3. Kejujuran dan Integritas Dari tas yang kembali dengan isi utuh, saya memahami bahwa bangsa besar lahir dari masyarakat yang menjunjung tinggi kepercayaan.

4. Persahabatan dan Dukungan Dari sahabat bisnis hingga keluarga angkat, saya merasakan bahwa keberhasilan tidak pernah lahir sendirian, melainkan dari jaringan kepercayaan dan kerja sama.

5. Harapan dan Kehidupan Baru Dari meja operasi yang panjang itu, saya mendapat kesempatan kedua untuk hidup. Itulah hadiah terbesar dari Singapura.

Dalam Doa Mengapa Saya Tidak Bisa Melupakan Singapura

Bagi banyak orang, Singapura hanyalah destinasi wisata, kota belanja, atau pusat keuangan dunia. Namun bagi saya, Singapura adalah bagian dari hidup saya. Di sanalah saya menemukan kembali kesehatan, belajar tentang arti kemanusiaan, mengalami kejujuran yang mengagumkan, dan membangun persaudaraan yang bertahan sepanjang zaman.

Hidup saya tidak akan sama tanpa pengalaman-pengalaman itu. Singapura mengajarkan saya untuk tidak hanya mencari kesuksesan pribadi, tetapi juga memberi makna bagi orang lain. Dari sana pula lahir keyakinan saya bahwa bangsa Indonesia pun bisa belajar banyak bahwa kedisiplinan, kejujuran, dan kepedulian adalah fondasi untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Akhir kata
Terima Kasih, Singapura

Hari ini, saat saya menulis kisah ini, hati saya dipenuhi rasa syukur. Syukur karena masih diberi kehidupan, syukur karena pernah ditolong, syukur karena memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa.

Kisah ini bukan hanya tentang saya, melainkan tentang hubungan manusia dengan manusia, tentang jembatan yang menghubungkan dua bangsa, dan tentang cinta yang lahir dari pengalaman hidup.

Terima kasih, Singapura. Engkau bukan hanya negara tetangga, melainkan bagian dari perjalanan jiwa saya.

Adharta

From Singapore with Love.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

UNA SPESUNA VIA

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

17 Agustus 2025

Merdeka
Selamat dan Bahagia

Bagi seluruh saudara sebangsa dan setanah air Indonesia

Kemerdekaan Republik Indonesia

Saudara
saudara sebangsa dan setanah air,

Hari ini kita berdiri di sebuah momentum yang sangat berharga. Delapan puluh tahun yang lalu, para pendiri bangsa dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebuah peristiwa monumental yang lahir bukan dari hadiah, melainkan dari perjuangan panjang, darah, air mata, dan pengorbanan tanpa pamrih.

Kini, delapan dasawarsa kemudian, tugas kita bukan lagi merebut kemerdekaan, melainkan mengisi kemerdekaan
Dan Mempertahankanya dengan semangat jiwa dan raga.

Pertanyaannya
sudahkah kita benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya?

Merdeka bukan sekadar terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga merdeka dalam pikiran, sehat jasmani dan rohani, berdaulat dalam ekonomi, berkarakter dalam pendidikan, kokoh dalam budaya, harmonis dalam hubungan antarbangsa, serta stabil dalam politik dan keamanan.

Sebagai Ketua Umum KRIS, izinkan saya mengajak seluruh Anggota KRIS keluarga besar dan seluruh Sahabat

Baiklah saya memaparkan beberapa pemikiran strategis dalam menyambut HUT ke-80 Republik Indonesia, dengan enam bidang penting yang menjadi pijakan kita bersama.

Pertama

Bidang Kesehatan Sehat Lahir Batin, Sehat Bangsa

Apapun kondisi bangsa ini, satu hal yang harus kita pegang teguh
Negara hanya bisa kuat bila rakyatnya sehat.
Sehat lahir berarti tubuh yang terjaga, gizi yang cukup, akses layanan kesehatan yang merata dari Sabang sampai Merauke.

Tetapi ada yang tak kalah penting: sehat batin.

Jika rakyat mengalami tekanan batin, stres sosial, atau kehilangan arah spiritual, maka bangsa ini akan rapuh.
Lebih berbahaya lagi bila yang tidak sehat itu adalah pikiran. Pikiran yang sakit bisa melahirkan korupsi, intoleransi, perpecahan, bahkan pengkhianatan terhadap bangsa.

Maka, pembangunan kesehatan tidak boleh semata-mata urusan rumah sakit atau obat-obatan. Kita harus membangun sistem kesehatan preventif, memperkuat gaya hidup sehat, menyediakan ruang olahraga yang murah dan mudah diakses, menguatkan pola makan bergizi berbasis kearifan lokal, dan tentu saja layanan kesehatan modern yang adil untuk semua.

Di usia 80 tahun kemerdekaan ini, marilah kita wujudkan bangsa yang sehat jasmani, sehat rohani, sehat pikiran, dan sehat sosial.

Kedua
Bidang Pendidikan Mendidik Tanpa Celah

Pendidikan adalah fondasi utama peradaban. Sejarah membuktikan: bangsa yang kuat bukan hanya karena kekayaan alam, tetapi karena kekuatan manusianya.

Oleh karena itu, pendidikan harus diperhatikan secara menyeluruh. Dari taman kanak-kanak hingga universitas, tidak boleh ada satu jenjang pun yang lolos dari pengaturan yang baik dan berkeadilan.

TK adalah tempat menanamkan karakter
SD dan SMP adalah tempat menumbuhkan logika dasar dan moral.
SMA menajamkan pilihan hidup Universitas membentuk pemimpin masa depan.

Semua jenjang harus bersinergi, bukan terputus.

Namun kita sering melihat masalah: kesenjangan kualitas antara sekolah di kota besar dan pelosok, pendidikan yang terlalu menekankan hafalan tanpa kreativitas, serta beban biaya yang masih menghantui banyak keluarga.

Maka, pada usia kemerdekaan ke-80 ini, kita harus memperjuangkan pendidikan
yang:

  1. Merata tidak ada anak Indonesia yang tertinggal hanya karena lahir di daerah terpencil.
  2. Berkualitas guru diberdayakan, kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
  3. Berkarakter bukan hanya pintar, tetapi juga bermoral dan berjiwa gotong royong.
  4. Terjangkau tidak ada anak yang putus sekolah karena biaya.

Sebab hanya dengan pendidikan yang benar, kita bisa melahirkan generasi emas Indonesia 2045.

Ketiga
Bidang Ekonomi dan Perdagangan Membangun Kekuatan dan Daya Saing

Ekonomi adalah nadi kehidupan bangsa.
Tanpa ekonomi yang kuat, kedaulatan politik pun rapuh.

Hari ini kita menghadapi tantangan global persaingan perdagangan bebas, revolusi digital, krisis energi, dan dinamika geopolitik dunia. Jika kita tidak siap, kita hanya akan menjadi pasar, bukan pemain.

Karena itu, ekonomi Indonesia harus dibangun atas tiga pilar:

  1. Kemandirian berdiri di atas kaki sendiri, dengan mengolah sumber daya alam secara bijak. Jangan hanya mengekspor bahan mentah, tetapi tingkatkan nilai tambah melalui industri dalam negeri.
  2. Daya Saing produk Indonesia harus mampu bersaing di pasar internasionalIni butuh inovasi, riset, dan kualitas SDM yang mumpuni.
  3. Keadilan Ekonomi pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang. UMKM, koperasi, petani, dan nelayan harus mendapat dukungan yang nyata.

Dengan ekonomi yang kuat dan perdagangan yang berdaya saing, Indonesia akan benar-benar menjadi macan Asia bukan sekadar karena jumlah penduduk, tetapi karena kekuatan produksi dan inovasinya.

Keempat
Bidang Sosial, Budaya, dan Spiritualitas Membangun Jati Diri Bangsa

Indonesia adalah bangsa yang besar karena keberagaman sosial dan budaya. Dari Sabang sampai Merauke, ribuan bahasa, tradisi, tarian, dan kearifan lokal hidup berdampingan. Namun di tengah globalisasi, kita menghadapi tantangan besar luntur identitas.

Kita tidak boleh kehilangan jati diri.
Gotong royong harus tetap menjadi roh bangsa. Tatakrama dan sopan santun harus dijaga, bukan tergilas oleh budaya instan.

Selain itu, spiritualitas dan kehidupan beragama juga memegang peran penting. Kita bangsa yang religius, yang percaya bahwa kekuatan bangsa bukan hanya pada otot dan pikiran, tetapi juga pada doa. Maka kerukunan antarumat beragama adalah harga mati.
Tidak boleh ada permusuhan atas nama agama.

Kebudayaan yang kuat, sopan santun yang dijaga, serta spiritualitas yang terpelihara akan menjadi pondasi moral bangsa menuju kejayaan.

Kelima
Hubungan Antarbangsa Rukun di Dalam, Bermartabat di Luar

Delapan puluh tahun merdeka mengajarkan kita satu hal: kerukunan adalah modal dasar kebangsaan. Tanpa kerukunan, kita mudah dipecah belah.

Kerukunan tidak hanya antar suku dan agama, tetapi juga kerukunan sosial, politik, dan antar generasi. Jika kita rukun, maka kita kokoh.

Di kancah internasional, Indonesia harus tampil sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Politik luar negeri kita adalah bebas aktif, yang artinya kita tidak tunduk pada blok tertentu, melainkan berdiri tegak untuk kepentingan bangsa sendiri, sekaligus menjadi jembatan perdamaian dunia.

Kita harus memperkuat diplomasi ekonomi, mempererat hubungan bilateral dan multilateral, serta memastikan bahwa kepentingan rakyat Indonesia selalu menjadi prioritas utama dalam setiap kerja sama internasional.

Keenam
Politik dan Keamanan Menjaga Stabilitas, Memastikan Keberlanjutan

Politik dan keamanan adalah penopang seluruh pembangunan. Tanpa stabilitas politik, ekonomi lumpuh.
Tanpa keamanan, rakyat hidup dalam ketakutan.

Kita membutuhkan politik yang sehat, bukan politik yang penuh intrik. Demokrasi harus dijalankan dengan kesantunan, bukan dengan saling menjatuhkan. Partai politik harus menjadi wadah pendidikan politik, bukan sekadar kendaraan kekuasaan.

Dalam hal keamanan, Indonesia menghadapi tantangan baru
ancaman terorisme, kejahatan siber, konflik perbatasan, hingga bencana alam.
Semua ini harus diantisipasi dengan sistem pertahanan yang kuat, profesional, dan modern.

Namun ingat, keamanan tidak hanya tanggung jawab TNI-Polri. Rakyat yang bersatu adalah benteng keamanan bangsa yang paling kokoh.

Marilah
Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka

Saudara Saudara sebangsa dan setanah air,

Kini kita berdiri di persimpangan sejarah.

Delapan puluh tahun bukan usia yang muda, tetapi juga belum tua.

Kita masih punya ruang besar untuk tumbuh, berkembang, dan melompat maju.

Mari kita jadikan HUT ke-80 ini sebagai momentum untuk menyucikan niat, memperbaiki arah, dan memperkuat langkah. Jika enam bidang tadi kita perhatikan dengan sungguh-sungguhKesehatan, Pendidikan, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Spiritualitas, Hubungan Antarbangsa, serta Politik dan Keamana
maka saya yakin, seratus tahun Indonesia merdeka di tahun 2045, bangsa ini akan benar-benar berdiri sebagai bangsa besar, bermartabat, dan menjadi teladan dunia.

Merdeka!

Adharta
Ketua Umum
KRIS

Www.kris.or.id

Www.adharta.com Menyambut hari kemerdekaan RI ke 80

Alor Negeri di Ujung Timur yang Menyanyi di Hati”

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Selasa
12 Agustus 2025

Alor
Mutiara dari Timur

Kalau kau berdiri di tepian Teluk Kalabahi pada pagi hari, engkau akan mengerti mengapa Alor disebut mutiara ari Timur

Nusa Tenggara Timur.
Airnya yang biru, bening seperti kaca, memantulkan langit yang masih malu-malu berwarna jingga. Perahu-perahu nelayan bergerak pelan, seolah tak ingin membangunkan laut yang masih tidur.

Di kejauhan, bukit-bukit hijau memeluk kota kecil ini dengan kasih yang diam-diam tapi hangat.

Di sinilah aku lahir di Pulau Alor, tepatnya di Kota Kalabahi. Kota kecil yang menjadi jantung dari kabupaten yang cantiknya seperti lukisan, tapi berdenyut dengan kehidupan sederhana. Orang menyebut Kalabahi sebagai kota kenari, kota kemiri, kota vanila.

Sebutan itu bukan sekadar hiasan kata; sejak dulu, tanah Alor menumbuhkan pohon-pohon kenari yang kokoh, kemiri yang harum, dan vanila yang manis aromanya.

Bagi anak-anak Kalabahi, aroma kemiri yang sedang disangrai bukan hanya pertanda ada yang sedang membuat sambal, tapi juga aroma rumah sesuatu yang membuat hati pulang, meskipun kau sudah pergi jauh.

Mangga Kelapa Alor

Tapi kalau kau tanya orang dari luar, mungkin mereka akan langsung bicara tentang mangga kelapa Alor.

Namanya saja sudah unik, tapi rasanya… ah, rasanya adalah perpaduan manis dan segar yang membuatmu ingin memakannya di bawah pohon sambil memandang laut. Daging buahnya tebal, bijinya kecil, dan aromanya khas. Konon, siapa pun yang pernah mencicipinya akan selalu merindukan Alor, entah dia sadar atau tidak.

Di pasar Kalabahi, saat musim mangga tiba, bau harum mangga kelapa bercampur dengan aroma laut dari ikan-ikan segar yang baru diangkat.

Semua orang saling menyapa, bercanda, menawar harga, dan saling bertukar kabar. Pasar bukan sekadar tempat belanja ia adalah ruang di mana cerita dan tawa beredar seperti angin.

Lumba-Lumba di Laut Alor

Alor bukan hanya indah di darat; lautnya adalah dunia lain yang penuh kejutan.

Pernah suatu pagi, aku diajak paman naik perahu menuju perairan yang katanya sering dilewati lumba-lumba. Matahari baru setengah naik, air laut masih tenang, dan angin membawa aroma garam yang segar.

Tak lama, dari kejauhan, muncul gerombolan lumba-lumba. Mereka melompat-lompat seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan ombak. Tubuh mereka berkilau terkena sinar matahari, dan suaranya seperti tawa yang datang dari laut.

Melihat lumba-lumba di Alor bukan hal yang langka, tapi setiap kali melihatnya, hatiku selalu berdebar seperti pertama kali.

Kijang Kencana dan Paus yang Bernyanyi

Kalau lumba-lumba adalah para penari ceria laut Alor, maka Kijang Kencana adalah tamu istimewanya. Ikan ini, dengan tubuh ramping dan gerakan cepat, sering muncul di perairan tertentu. Orang lokal mengenalnya dengan baik, seakan-akan ia adalah bagian dari keluarga besar yang sesekali pulang berkunjung.

Namun, ada satu pengalaman yang tak semua orang bisa dapatkan: mendengar paus bernyanyi.

Pernah, saat ikut rombongan nelayan jauh ke tengah laut, kami bertemu paus. Tubuhnya raksasa, tapi gerakannya lembut, seperti ombak besar yang hidup. Dan kemudian, terdengar suara rendah yang dalam nyanyian paus.

Bunyi itu merambat melalui air dan entah bagaimana terasa sampai ke dada. Rasanya seperti sedang mendengarkan rahasia tua dari samudera.

Alor yang Cantik

Kecantikan Alor bukan hanya pada lautnya. Gunung dan bukit yang hijau mengelilingi kota, jalan-jalan kecil yang menanjak dan berliku memberi pemandangan ke teluk yang selalu berubah warna tergantung cahaya matahari. Rumah-rumah berjejer rapi, sebagian dengan atap seng yang berkilau di bawah matahari tropis.

Di desa-desa, sawah dan kebun berpadu dengan hutan. Pohon kelapa berdiri berderet, memberi bayangan di tengah panas siang.

Di beberapa tempat, pohon kenari yang sudah puluhan tahun berdiri kokoh, menjadi saksi perjalanan generasi demi generasi.

Orang-orang Alor ramah dan terbuka. Mereka tidak pernah pelit senyum, dan selalu siap membantu meski hanya kenal sebentar. Budaya saling sapa begitu kuat di sini. Bahkan jika bertemu orang asing di jalan, sapaan “Selamat pagi” atau “Mau ke mana?” hampir pasti terdengar.

Kalabahi, Kota Kecil yang Menghangatkan

Kalabahi memang kecil, tapi setiap sudutnya menyimpan cerita. Dari dermaga lama tempat anak-anak memancing, hingga jalan-jalan sempit yang dipenuhi warung makan sederhana. Di malam hari, angin laut membawa suara obrolan dari warung kopi.

Kota ini punya ritme hidup yang tenang. Tidak ada kemacetan panjang, tidak ada suara bising kota besar. Tapi jangan salah, di balik ketenangannya, Kalabahi menyimpan semangat hidup yang kuat. Orang-orang bekerja keras di ladang, di laut, atau di pasar, tapi selalu punya waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

Kenangan Masa Kecil

Sebagai anak yang lahir di Kalabahi, masa kecilku diisi dengan berlari di tepi pantai, memanjat pohon mangga kelapa, dan membantu nenek menjemur biji kemiri di halaman. Aku ingat bagaimana kami anak-anak sering mandi di laut sampai kulit terbakar matahari, lalu pulang dengan rambut basah dan perut lapar.

Malam hari, listrik belum selalu menyala sepanjang waktu, jadi kami sering duduk di luar rumah, memandangi langit yang dipenuhi bintang. Di Alor, bintang terasa begitu dekat, seakan-akan kau bisa meraihnya dengan tangan. Kadang ayah bercerita tentang sejarah pulau ini, tentang kapal-kapal dari jauh yang pernah singgah, dan tentang adat istiadat yang dijaga turun-temurun.

Budaya yang Hidup

Alor juga dikenal dengan keberagaman budayanya. Ada puluhan bahasa daerah di sini, masing-masing dengan ciri khasnya. Musik dan tarian tradisional sering dipertunjukkan saat acara adat atau penyambutan tamu. Bunyi gong dan gendang, gerakan kaki yang teratur, dan senyum para penari membuat suasana terasa hangat.

Tenun ikat Alor adalah salah satu kebanggaan terbesar. Kainnya berwarna cerah, motifnya penuh makna. Setiap tenunan menceritakan kisah tentang leluhur, alam, dan kehidupan. Aku pernah melihat nenek-nenek duduk berjam-jam di bawah pohon, menganyam benang demi benang dengan sabar, seakan waktu berhenti mengikuti ritme tangan mereka.

Pulau yang Mengajarkan Arti Pulang

Ingat lagu
Mai faliye
Atau
Mama panggil pulang

Bagi sebagian orang, Alor mungkin hanya destinasi wisata indah dengan laut yang memukau. Tapi bagi aku, ia adalah rumah. Tempat yang membentukku, mengajariku arti sederhana dari kebahagiaan: udara segar, makanan yang tumbuh di tanah sendiri, laut yang selalu terbuka, dan orang-orang yang menjaga satu sama lain.

Meski aku kini tak selalu tinggal di sana, setiap kali menyebut kata “Alor”, ada kehangatan yang mengalir. Seperti angin laut yang bertiup pelan di sore hari, membawa aroma kemiri, kenari, dan vanila. Seperti rasa manis mangga kelapa yang membuat lidah tersenyum. Seperti nyanyian paus yang entah mengapa membuat hati terasa damai.

Alor adalah cerita yang tak pernah selesai.
Ia terus bercerita lewat ombak, lewat tanahnya yang subur, lewat senyum orang-orangnya, dan lewat kenangan masa kecil yang tak pernah pudar. Dan setiap kali aku menutup mata, aku bisa melihat Kalabahi di kejauhan — kota kecil yang memelukku sejak lahir, kota yang akan selalu kucintai sampai kapan pun.

Ditulia ulang oleh
Adharta

Ketua dewan Pembina IKO
Ikatan Keluarga Ombai

Buat semua keluarga ALOR
Sahabat pecinta alam

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Janji di Bawah Langit Senja

Cerpen 003

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Jumat
8 Agustus 2025

Tulisan buat semua sahabatku
Keluarga besar KRIS
Dan para warga Wulan
Dan semua sahabat

Sebuah Pertemuan

Hujan baru saja reda sore itu. Jalanan desa masih basah, menyisakan aroma tanah yang khas. Sumiati berjalan pelan di pinggir jalan, menenteng tas kain berisi buku.
Rambut hitamnya yang diikat sederhana sedikit terurai karena angin. Hari itu ia baru saja menerima kabar kelulusan SMA
sebuah pencapaian yang ia syukuri meski tanpa pesta.

Ia melewati tikungan dekat balai desa, lalu berhenti ketika melihat seorang pemuda berkulit legam memanggul sak semen. Tubuhnya tegap, baju lusuh, wajahnya basah oleh peluh. Meski tampak lelah, matanya teduh dan senyumnya ramah. Saat Sumiati lewat, tiba-tiba sebuah buku jatuh dari tasnya.

“Permisi, Neng… ini bukunya,” ucap pemuda itu sambil membungkuk, mengulurkan buku tipis bersampul senja.

Sumiati mengangguk, sedikit kikuk. “Makasih, Mas.”

“Nama saya Haryo. Kerja di proyek dekat sini,” ujarnya.

“Saya Sumiati,” jawabnya singkat.

Itu awal dari serangkaian pertemuan yang tak direncanakan. Kadang di warung kopi, kadang di halte bus.

Haryo tak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya terasa tulus. Ia bercerita tentang rumah-rumah yang ia bangun, tentang mimpinya punya tempat tinggal sendiri, dan tentang keyakinannya bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati hasil.

Sebuah Awal Cinta

Suatu sore, langit desa berubah jingga. Mereka duduk di pematang sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam.

“Aku nggak punya banyak, Mi,” kata Haryo sambil memegang topi lusuhnya.
“Tapi kalau kamu mau, aku janji bakal bikin kamu bahagia sebisaku.”

Sumiati menatapnya, bibirnya tersenyum kecil. “Aku nggak butuh banyak, Mas.
Aku cuma butuh orang yang sayang sama aku, tulus.”

Mereka resmi berpacaran. Tak ada makan malam mewah, hanya pisang goreng hangat di teras rumah sambil tertawa menceritakan hal-hal kecil.

Dua tahun kemudian, mereka menikah dalam pesta sederhana di halaman rumah. Kursi pinjaman, tenda seadanya, tapi tawa tamu dan cahaya mata mereka membuat segalanya terasa mewah.

Perjuangan tulus

Mereka memulai rumah tangga di kontrakan kecil berlantai semen. Atap seng berisik jika hujan, tapi di situlah mereka menata mimpi.

Suatu malam, sambil makan tempe goreng dan sambal terasi, Sumiati berkata pelan, “Mas… aku pengen kuliah. Ambil administrasi pemerintahan.”

Haryo mengangkat kepalanya. “Kuliah? Uangnya cukup nggak?”

“Nggak tahu. Tapi aku pengen nyoba. Siapa tahu nanti aku bisa bantu ekonomi kita.”

Haryo terdiam sebentar, lalu tersenyum. “Kalau itu mimpimu, aku akan kerja lebih keras. Biar kamu kuliah, Mi.”

Ia menepati janji. Haryo mengambil lembur, pulang larut malam, tangan melepuh, punggung pegal. Namun, setiap kali melihat Sumiati belajar di meja kecil, ia merasa lelahnya hilang.

Seringkali, Haryo menjemput Sumiati di halte kampus dengan motor tuanya. Kadang mereka mampir makan bakso di pinggir jalan, kadang hanya pulang sambil bercanda.

Empat tahun berlalu, Sumiati lulus sarjana. Hari wisuda, Haryo datang dengan kemeja putih pudar.
Ia duduk di kursi paling belakang, memotret istrinya dengan ponsel jadul. Senyumnya lebar, matanya berkaca-kaca.

Langkah Perubahan

Beberapa bulan setelah lulus, Sumiati mendaftar CPNS. Prosesnya panjang, tapi akhirnya ia lolos.

Hari pertama masuk kantor, ia mengenakan seragam PNS berwarna cokelat muda. Cermin memantulkan wajahnya yang penuh percaya diri.

Kantor itu dunia yang berbeda. Rekan-rekannya anak pejabat, lulusan universitas ternama, terbiasa berbicara tentang liburan ke luar negeri. Awalnya Sumiati hanya mendengar, tapi perlahan ia terbawa.

Dua tahun berlalu, ekonomi keluarga membaik. Mereka pindah ke kontrakan yang lebih besar. Namun, di hati Sumiati, ada sesuatu yang berubah.

Suatu sore, saat Haryo menjemput di kantor dengan baju lusuh, teman kerjanya bertanya, “Suamimu kerja di mana?”

“Kontraktor,” jawab Sumiati singkat, menyembunyikan kenyataan bahwa Haryo hanyalah buruh harian
Kuli bangunan
Pekerja kasar

Gelas itu Retak

Di rumah, Sumiati mulai sering berkata, “Mas, coba cari kerja lain.
Jadi satpam kek, atau di gudang. Biar rapi dikit.”

Haryo menggeleng. “Aku suka bangunan.
Dari nol sampai jadi rumah, itu kepuasan buat aku.”

Pertengkaran mulai sering terjadi.

Suatu malam, di tengah suara hujan deras, Sumiati berkata dengan nada tinggi,
“Aku capek, Mas! Aku kerja ketemu orang-orang hebat, pulang malah begini. Kamu nggak mau berubah!”

Haryo menatapnya lama. “Mi… aku kerja kayak gini supaya kamu bisa sekolah. Supaya kamu bisa jadi seperti sekarang. Aku nggak pernah malu sama kamu. Tapi kalau kamu malu sama aku…” ia tak melanjutkan kalimatnya.

Bayangan Bahagia yang Singkat

Beberapa bulan kemudian, Sumiati hamil. Kelahiran bayi perempuan mereka membawa tawa baru. Malam-malam diisi suara tangis bayi, aroma bubur hangat, dan canda kecil.

Namun, setelah cuti melahirkan, Sumiati kembali ke kantor. Lingkungan yang sama membuat perasaan gengsinya tumbuh lagi.

Akhir Perpisahan

Suatu sore yang dingin, setelah pertengkaran panjang, Sumiati berkata lirih tapi tegas, “Mas… aku mau cerai.”

Haryo menatapnya lama, matanya merah.
Ia tak bertanya alasan. “Kalau itu bikin kamu bahagia, aku terima.”

Di ruang sidang, mereka duduk berseberangan. Tangan Sumiati gemetar saat menandatangani berkas. Haryo bangkit, berjalan keluar tanpa menoleh.

Epilog

Beberapa bulan kemudian, Sumiati mendengar kabar Haryo pindah ke luar kota, bekerja sebagai mandor di proyek besar. Teman lama mengirim foto: Haryo tersenyum di depan rumah kecil yang ia bangun sendiri.

Malam itu, Sumiati duduk di teras, memandangi langit senja.
Ia teringat janji Haryo dulu, di pematang sawah: “Aku janji bakal bikin kamu bahagia, sebisaku.”

Air matanya jatuh. Baru kali ini ia sadar: kebahagiaan sejati tak selalu datang dari status atau pakaian rapi. Kadang ia datang dari tangan yang kotor oleh kerja keras, dan hati yang bersih oleh cinta.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Singapore Singapura Independence day

August 9
2025

By : Adharta
Chairman of
KRIS

All my Singapore KRIS Friends
Family and fellows

Please accept my congratulations

Great and Luck

A Journey Through Resilience

Singapore’s Story and a Personal Bond
By Adharta Ongkosaputra

On 9 August each year, the red and white of the Singapore flag unfurls proudly across the island, its crescent moon and stars gleaming against the tropical sky. It is a day that marks not only the birth of a nation in 1965, but the triumph of human determination, foresight, and unity. For Singapore, independence was not handed on a silver platter; it was forged in the crucible of hardship, scarcity, and uncertainty.

Today, Singapore stands as one of the world’s most successful city-states
a beacon of progress, stability, and innovation.

For me, however, Singapore’s story is not only the tale of a nation; it is also deeply personal. Since 1980,

I have crossed the narrow stretch of sea between Indonesia and this island nation countless times, drawn by the quiet promise of care, professionalism, and trust at Mount Elizabeth Hospital. Over the decades, my visits have taken me to both its Orchard and Novena locations, bringing me into close contact with a world-class medical institution and its dedicated people. And in October 2024, Singapore became the setting for one of the most defining chapters of my own life
my third heart surgery, performed by the steady and expert hands of Dr. Niko Wanahita at Mount Elizabeth Novena.

The Birth of a Nation Against the Odds

To understand the significance of Singapore’s National Day, one must first return to the turbulent mid-20th century.

On 9 August 1965, Singapore found itself unexpectedly thrust into independence after a brief and uneasy merger with Malaysia. The separation was painful and uncertain; Singapore had no natural resources to speak of, a fragile economy, and a population of diverse ethnicities, languages, and religions
any of which could have splintered the young nation from within.

Under the leadership of its founding Prime Minister,
Mr. Lee Kuan Yew, Singapore embraced a vision of unity and discipline. Every decision was made with long-term resilience in mind: investment in education, housing, infrastructure, and, crucially, integrity in governance. The transformation that followed over the next decades was nothing short of extraordinary.

Where once stood swamps and overcrowded shophouses, there rose modern skyscrapers, meticulously planned housing estates, and bustling commercial districts. Singapore became a global hub for trade, finance, and technology a place where meritocracy was not just a principle but a living reality.

A City That Welcomes the World

My own first encounter with Singapore came fifteen years after its independence, in 1980. By then, the island had already begun to display the fruits of its transformation: clean streets, efficient public transportation, and an atmosphere of quiet order that contrasted sharply with many cities in the region.

But my purpose in visiting was not sightseeing
it was medical. That year, I sought treatment at Mount Elizabeth Hospital in Orchard, which had already gained a reputation as a premier healthcare facility in Southeast Asia. I remember the polished floors, the hushed efficiency of the nurses, and the quiet confidence of the doctors. It was here that I first understood one of Singapore’s most remarkable strengths: its ability to blend the warmth of personal care with the precision of world-class professionalism.

Over the years,
I returned many times sometimes for routine checkups, sometimes for more serious treatments.
Also performs my business over the country
I came to know members of the hospital’s management, particularly at Parkway, who greeted me not just as a patient, but as a long-standing friend.

Singapore’s medical system, much like the nation itself, runs on the twin engines of efficiency and empathy
a combination that is as rare as it is valuable.

The Philosophy of Excellence

Singapore’s success was never accidental.

It is the product of meticulous planning and a culture that prizes excellence at every level. Whether in its ports, its airports, its educational institutions, or its hospitals, the nation refuses to settle for mediocrity.

Mount Elizabeth Hospital, in many ways, mirrors Singapore’s national ethos. The facility continually updates its technology, attracts top-tier specialists from around the globe, and maintains an unwavering commitment to patient welfare. It is this culture of relentless improvement that gave me confidence each time I entrusted my health to their care.

October 2024: A Test of Courage

Yet nothing in my previous visits compared to the experience of October 2024. By then, I had already undergone two heart surgeries in my life.

The thought of a third was daunting not merely because of the physical risks, but because of the emotional weight such a procedure carries.

When I entered Mount Elizabeth Novena that month, I was not just another patient. I was a man facing his own mortality, and the stakes had never felt higher. Yet, from the moment I met Dr. Niko Wanahita,
I knew I was in the right place. His calm demeanor, precise explanations, and clear command of his field instilled in me a deep trust.

The surgery was long and complex, but it was a success. In the days that followed, as I lay in the quiet recovery room with the city’s skyline visible through the window, I thought about how far I had come
not only in terms of my health, but in the decades-long relationship I had built with this remarkable city. Singapore had once again been my refuge, my place of healing.

Lessons from a Nation’s Journey

It is tempting to see Singapore’s current prosperity as inevitable, but it was anything but. In its early years, the nation faced high unemployment, limited land, and a lack of natural resources. Yet, through strategic thinking and the cultivation of human capital, it not only survived
it thrived.

For someone like me, who has witnessed its transformation across four decades, the parallels between the nation’s resilience and my own medical journey are striking.

Both are stories of confronting challenges head-on, of refusing to yield to fear, and of finding strength in preparation and trust.

The Spirit of National Day

National Day in Singapore is not just a display of military parades, fireworks, and cultural performances
though those are spectacular in their own right. It is a celebration of unity, of shared purpose, and of the belief that no obstacle is insurmountable when a people stand together.

For me, it is also a reminder of the bond I share with this city-state. Every time the national anthem, Majulah Singapura, plays, I am reminded not only of Singapore’s journey from vulnerability to strength, but also of the personal sanctuary it has been for me in times of need.

Looking Forward

As Singapore steps into the future, it faces new challenges: an aging population, global economic shifts, and the unpredictable forces of technology and geopolitics. Yet, given its track record, I have no doubt it will continue to adapt and lead.

For my part,
I remain grateful for the care I have received, for the friendships formed, and for the quiet reassurance that Singapore’s lights will continue to shine brightly across the waters. My own journey is intertwined with this nation’s, and every 9 August, as the fireworks bloom above Marina Bay,

I will celebrate not just Singapore’s independence, but the resilience that we both share.

Adharta

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Surabaya Langit Masih Biru seri ke 3

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen 002
Seri ketiga
Tamat

Semoga bisa menjadi penutup yang mengharukan, penuh makna, dan membekas di hati.

Langit yang Akhirnya Cerah

Hari itu, Elisabeth berdiri di panggung kecil di ballroom hotel Surabaya.

Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang hitam yang elegan.

Di depannya, ratusan hadirin duduk menyimak. Ia baru saja mempresentasikan kampanye pertamanya

“Cantik yang Tak Terlihat”,

Sebuah program sosial untuk mendukung perempuan pekerja dari latar belakang sulit.

Di akhir presentasi, Elisabeth menatap sekeliling. Tangannya sedikit gemetar, tapi suaranya tegas.

“Saya tumbuh tanpa keluarga. Saya hidup dalam sunyi. Tapi saya tahu satu hal pasti—setiap perempuan, seberapa pun kelam masa lalunya, punya cahaya yang bisa menerangi dunia. Saya adalah bukti kecil dari itu.”

Tepuk tangan membahana.

Tak sedikit yang meneteskan air mata.

Dari barisan belakang, Elisabeth melihat Armand berdiri sambil mengacungkan jempol. Ia belum menjadi kekasihnya
Tapi Elisabeth kini tahu, cinta sejati tak datang dari rasa kasihan, tapi dari saling menghargai.

Malam itu, Elisabeth pulang ke apartemennya. Ia membuka jendela.

Langit Surabaya tak berbintang, tapi biru pekat yang indah. Ia duduk di kursinya, menyalakan lampu baca, lalu membuka catatan nenek yang dulu lusuh itu.

Di halaman belakang, ia menulis:

“Nek, aku sudah bertahan. Aku belum menemukan keluarga, tapi aku menemukan diriku sendiri. Dan mungkin… itu permulaan dari semuanya.”

Ia tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidup, senyum itu tulus.

Masa lalu tidak menghilang. Tapi ia kini tak lagi menjadi luka, melainkan fondasi yang membentuk siapa Elisabeth hari ini.

Elisabeth masih sendiri.
Tapi ia tak lagi sepi.
Ia tidak punya alamat keluarga. Tapi kini ia punya tempat di hati banyak orang.
Langit Surabaya masih biru
dan kali ini, birunya milik Elisabeth juga.

TAMAT

Salam rindu buat semua Anggota KRIS
Keluarga
Semua sahabat

Sampai jumpa Minggu depan

Www.kris.or.id

Langit Surabaya Masih Biru seri 1

Langit Surabaya Masih Biru

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Serie pertama
Cerpen 002

Sebuah Kehidupan yang Ditinggalkan

Pagi itu, Elisabeth duduk sendiri di sudut meja makannya yang kecil. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela kecil apartemennya di kota Pahlawan Surabaya, menari di atas meja yang penuh botol-botol serum dan krim wajah
produk-produk dari perusahaan kosmetik tempat ia bekerja.

Di usianya yang ke-35,
Elisabeth belum pernah merasakan kehangatan keluarga.

Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil saat ia masih bayi
sebuah tragedi yang ia ketahui hanya dari cerita neneknya.

Nenek itu, satu-satunya pelindung, meninggal ketika Elisabeth baru kelas 4 SD.

Sejak saat itu, hidup Elisabeth menjadi roda takdir yang digerakkan oleh orang-orang yang tak pernah ia pilih.

Ia diasuh oleh sepasang suami istri tetangga neneknya, yang menyayanginya setengah hati.

Bukan kekerasan fisik yang membuat masa kecilnya sulit, tapi kekosongan emosional yang tak pernah bisa ia isi. Ia belajar untuk tidak berharap.

Elisabeth
Berjuang di Tempat Kerja, Tempat Luka

Elisabeth bekerja sebagai staf pemasaran di sebuah perusahaan kosmetik lokal yang cukup terkenal di Surabaya.

Ia paham betul soal skincare dan perawatan wajah
Ia bahkan sering menjadi tempat konsultasi teman-temannyaTapi di balik kompetensi itu, ia sering menjadi bahan ejekan di kantor.

“Elisabeth, kamu lagi-lagi pakai sepatu itu?”

“Aduh,
jangan dekat-dekat.

Bau makan siangnya bisa bikin serum kita luntur nih!”

Tawa-tawa itu menusuk.
Tapi Elisabeth terbiasa. Ia tak pernah membalas. Hanya menunduk, lalu bekerja lebih keras.

Kadang saat pulang malam, ia menangis diam-diam di bawah pancuran air.

Merasa kosong. Seperti hidup hanya lewat begitu saja. Ia pernah sekali jatuh cinta, saat usia 27, dengan seorang fotografer freelance yang ia temui di proyek kerja. Tapi ketika pria itu tahu Elisabeth tak punya keluarga, hubungan mereka langsung berakhir.

“Maaf, aku butuh seseorang yang punya akar, Lis…”

Akar? Elisabeth mengerti.
Ia seperti pohon yang tumbuh di tepi jurang. Bisa hidup, tapi tak punya pegangan kuat.

Bersambung

Adharta

Www.kris.or.id