Yogyakarta Kota untuk pulang Bukan kota untuk pergi

Yogyakarta
Kota untuk pulang
Bukan kota untuk pergi

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen no 0034

JW Marriott
26 Desember 2025

Sebuah istilah yang sangat menarik
Siapapun yang pergi ke Yogyakarta
Dia akan merasa Pulang

Nah itulah arti sedikit tentang Yogyakarta
Home City

Saya meluncur Kota Yogyakarta betul betul. Merasa pulang karena serasa kota kedua saya
Begitu banyak sahabat
Dan yang paling terkesan adalah makanan
Setelah tiba di stasiun Gambir disambut Pimpinan Stasiun Bapak Burhan
Kami menikmati rehat di VIP Barat bersama bapak Budi Hidayat dan Mama Hian dan Ibu Lena
Ada pak Zeno
Kami di hantar ke atas Kereta Api Argo Dwipangga Luxurious
Menuju Yogya
Sesampai di Yogya sempat mengunjungi sahabat Suster Francine SM GSGM yang sedang sakit
Hujan besar mengguyur kami sehingga membuat kampung tengah (perut protes)
Akhirnya kami menuju Gudeg Sagan milik Sahabat KRIS
Menikmati Gudeg Sagan di sela sela hujan deras memang kenikmatan sendiri

Perjalanan dengan kereta lebih kurang 6 jem menyempat kan saya menulis sebuah Kisah Cinta di tanah Yogyakarta
Home City atau Kota Pulang Rumah

Kisah Cinta Sekar dan Arya
Yogyakarta

Ketika Cinta Belajar Berdiam
Yogyakarta tidak pernah berteriak untuk dicintai.
Ia hanya hadir
tenang, bersahaja, dan sabar
seperti cinta yang matang.

Di kota inilah Arya pertama kali bertemu Sekar.
Pagi itu, udara masih lembap oleh embun yang tertinggal di daun-daun trembesi. Jalanan dekat Tugu belum ramai.

Becak melintas perlahan, seolah enggan mengganggu kesunyian.
Arya berdiri di pinggir jalan, memegang secangkir kopi hitam yang mulai mendingin, matanya memandang lurus ke utara
ke arah Merapi yang samar.

Sekar datang seperti angin pagi.
Tidak tergesa. Tidak mencuri perhatian.
Ia hanya ada.
Gaun putih sederhana, rambut dikuncir rendah, senyum yang tidak dibuat-buat.
Saat matanya bertemu mata Arya, tidak ada percikan berlebihan
hanya rasa hangat, seperti sinar matahari pertama yang menyentuh kulit.

“Yogya selalu begini ya,” kata Sekar pelan.

“Membuat orang ingin diam.”

Arya tersenyum.
“Dan membuat diam terasa cukup.”

Mereka berjalan tanpa tujuan, menyusuri Malioboro yang belum sepenuhnya bangun.

Toko-toko masih menutup pintu, pedagang mengatur dagangan dengan sabar. Kota itu seperti sedang menarik napas panjang sebelum mulai bercerita.

Cinta mereka tumbuh seperti Yogya sendiri
tidak mendadak, tidak memaksa.
Di sebuah angkringan kecil dekat Stasiun Tugu, mereka duduk berdampingan. Teh panas mengepul.
Nasi kucing sederhana terasa istimewa.

Mereka berbicara tentang hal-hal kecil: buku yang disukai, masa kecil, mimpi yang belum tentu tercapai.
Namun di antara kata-kata itu, ada sesuatu yang lebih kuat:
kenyamanan untuk tidak selalu berbicara.

Malam hari, Yogya berubah menjadi puisi.
Lampu-lampu jalan memantul di wajah Sekar.

Arya memperhatikannya diam-diam. Ia menyadari bahwa kecantikan Sekar tidak hanya pada paras, melainkan pada caranya mendengarkan
utuh, tanpa tergesa menyela.

“Kalau suatu hari kamu harus pergi,” kata Sekar lirih, “apa yang akan kamu ingat dari Yogya?”

Arya berpikir sejenak.
“Keheningan yang tidak sepi. Dan seseorang yang membuatku betah di dalamnya.”

Sekar tersenyum. Matanya basah oleh cahaya, bukan oleh air mata.
Hari-hari berlalu seperti alunan gamelan
perlahan, berlapis, penuh makna.

Mereka menyusuri Keraton, melangkah dengan sopan, seakan waktu meminta dihormati.
Di sana Arya belajar bahwa cinta, seperti kepemimpinan Jawa, bukan soal menguasai, melainkan merawat.

Di Taman Sari, mereka berdiri di antara lorong-lorong batu yang pernah menyimpan rahasia.
Sekar menempelkan telapak tangannya ke dinding tua.

“Tempat ini pernah mencintai dan dicintai,” katanya.
“Seperti kita.”

Arya menggenggam tangan Sekar. Hangat.
Tenang.
Nyata.
Sore hari sering mereka habiskan di selatan kota, memandang langit yang berubah warna di Parangtritis.

Angin laut membawa aroma garam dan kenangan.

Ombak tidak pernah berjanji akan tenang, namun selalu kembali ke pantai.
“Cinta itu seperti laut ya,” ucap Sekar.

“Kadang riuh, kadang sunyi. Tapi selalu setia pada garisnya.”

Arya mengangguk.
“Dan Yogya mengajarkan kita untuk tidak takut pada gelombang.”

Malam terakhir sebelum Sekar harus kembali ke kotanya Jakarta, hujan turun perlahan. Mereka berteduh di bawah emperan kecil. Tidak ada pelukan berlebihan, tidak ada drama. Hanya dua jiwa yang saling memahami bahwa keindahan tidak selalu harus dimiliki
kadang cukup dihayati.

“Apa kita akan bertemu lagi?” tanya Sekar.

Arya menatap hujan.
“Yogya tidak pernah benar-benar melepaskan orang yang mencintainya.”

Sekar tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Arya.

Dalam diam, kota itu menyimpan janji.
Ketika Sekar pergi, Yogya tetap di tempatnya.
Tenang.
Setia.
Bersahaja.
Namun Arya tahu
seperti cinta yang baik
sesuatu telah berubah di dalam dirinya. Ia belajar bahwa mencintai tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang menjadi ruang pulang.
Dan hingga hari ini, siapa pun yang datang ke Yogyakarta dengan hati terbuka, akan merasakan hal yang sama:
bahwa kota ini bukan sekadar tujuan,
melainkan perasaan.
Terpesona.
Tenang.
Dan ingin tinggal lebih lama
di kota, atau di hati seseorang.

Yogyakarta
Home City
Kota untuk Pulang
Bukan untuk Pergi

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Leave a comment