Antara Cinta dan Macet di Jalan

oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen nomor : 0032

Medio Desember 2025

Tulisan ini
Buat Bapak Harjoko

Jakarta di suatu senja
Jumat sore selalu punya watak sendiri.

Jumat datang dengan lelah yang belum tuntas, dengan jam yang berjalan lebih lambat dari biasanya, dan dengan hujan yang seolah tahu kapan harus turun.

Sore itu, hujan telah lebih dulu bekerja sejak pagi
tak putus-putus
seperti pegawai teladan yang lupa jam pulang.

Angin kencang menyapu jalanan, udara dingin menyusup ke balik kaca mobil, dan langit tampak muram seakan ikut mengantre nasib di persimpangan.

Saya meninggalkan kantor dari arah Sunter menuju Central Park.
Setelah late lunch yang datang di jam yang sudah tak pantas disebut makan siang, kondisi jalan masih tampak bersahabat. Tidak ada tanda-tanda kemacetan.

Kendaraan bergerak wajar, lampu-lampu lalu lintas masih ramah, dan harapan pun ikut melaju.
Memasuki Kemayoran, suasana tetap tenang.
Google Maps menunjukkan waktu tempuh 50 menit. Artinya, dengan logika khas orang Jakarta
ditambah toleransi hujan dan takdir
perjalanan mungkin memakan waktu 90 menit.
Masih masuk akal.
Masih manusiawi. Masih bisa ditawar.
Namun, seperti cinta yang terlalu cepat percaya, kami lupa satu hal
Jakarta selalu punya kejutan.
Begitu mendekati pintu tol, dunia berubah.
Dua kilometer terakhir menjelma menjadi ujian iman.
Hampir 45 menit dihabiskan untuk bergerak sejauh orang berjalan sambil menelepon.
ETA ke Central Park melonjak menjadi pukul 19.00. Perjalanan kami, yang semula terasa ringan, tiba-tiba membengkak menjadi hampir tiga jam.
Macet itu bukan macet biasa.
Ia macet dengan penuh percaya diri.
Macet yang tak meminta maaf. Macet yang membuat orang mulai menghitung ulang dosa, pilihan hidup, dan alasan kenapa tidak sekalian jalan kaki saja.

Kami bertiga di dalam mobil yang di sopiru Fandy dan Lendy duduk di belakang
saling pandang.
Penyesalan mulai muncul
diam-diam tapi kompak. β€œKenapa tadi tidak lewat jalan darat?”
Kalimat itu melayang di udara tanpa perlu diucapkan.

Seperti cinta lama yang tiba-tiba muncul di saat tidak tepat.
Dan di situlah saya sadar:
Macet bukan sekadar urusan jalan. Macet adalah cermin kehidupan.
Memilih jalan menuju suatu tempat selalu terasa sederhana
belok kanan atau kiri, tol atau non-tol. Namun hasilnya bisa jauh dari harapan.

Pepatah lama berkata, banyak jalan menuju Roma, tetapi tidak semua jalan menuju Roma bebas macet.
Begitulah hidup.
Begitulah cinta.
Begitulah pilihan-pilihan kecil yang kita ambil dengan keyakinan besar, lalu kita pertanyakan ulang ketika hasilnya tak sesuai ekspektasi.
Hidup adalah Pilihan (dan Bonusnya Konsekuensi)

Setiap pilihan membawa konsekuensi.
Salah memilih jalan bisa berujung macet total
padat merayap, bensin menipis, dan kesabaran diuji sampai level premium.
Namun jiwa yang besar tahu satu hal
pilihan tidak untuk disesali, tetapi untuk dijalani.
Macet memang menyebalkan, tetapi menggerutu berjam-jam tidak akan membuat mobil terbang. Justru di situlah seni hidup diuji
apakah kita menjadi manusia yang semakin kusut, atau justru menemukan kelonggaran di tengah keterbatasan.
Menikmati Perjalanan Ketika Harapan Tidak Mengecewakan
Dalam kemacetan itu, saya teringat satu kalimat rohani yang selalu menguatkan:
Pengharapan tidak mengecewakan
Spes non confundit
Harapan yang benar tidak pernah salah alamat.

Mungkin terlambat, mungkin berliku, mungkin basah oleh hujan
tetapi tidak pernah sia-sia. Jalan boleh macet, tetapi hati jangan ikut berhenti.

Kami mulai tertawa kecil di mobil.
Menertawakan keadaan. Menertawakan diri sendiri. Menertawakan fakta bahwa Jakarta ini seperti cinta pertama
bikin repot, tapi selalu dirindukan.
Jangan Terlalu Berhitung
Dalam hidup, terlalu banyak berhitung sering membuat kita lupa satu hal
empati.
Kadang kita perlu mengalah. Kadang perlu mundur satu langkah agar yang lain bisa maju dua langkah.
Dalam keluarga, dalam komunitas, dalam relasi manusia
kata-kata harus dijaga, nada harus diturunkan, dan ego sebaiknya diparkir dulu di bahu jalan.

Macet mengajarkan kesabaran dengan cara yang brutal namun jujur.

Kenangan manis
40 Tahun Lalu
Becak, Helicak dan Bemo
Ada Jeruk, dan Tawa
Di tengah kemacetan itu, ingatan saya melompat 40 tahun ke belakang.
Saat kendaraan belum sebanyak sekarang. Jalan sempit jarang macet.
Suatu hari saya naik becak dari Tanah Abang menuju Kyai Tapa, Trisakti.

Di depan, sebuah helicak becak bermesin yang merasa dirinya helikopter bertabrakan dengan bemo roda tiga.
Tidak parah, tapi cukup untuk memancing drama.
Penumpang helicak adalah sepasang suami istri.
Sang istri
galaknya luar biasa.
Suaminya, orang Ambon, justru diam seribu bahasa.
Sopir helicak diam.
Sopir bemo diam.
Yang ribut justru penumpang dan penonton. Jakarta sudah lama suka tontonan gratis.
Jalan pun macet total.

Orang-orang berkumpul.
Ada yang menunjuk, ada yang menyimpulkan, ada yang sudah siap jadi hakim.

Saya punya acara di kampus. Waktu berjalan. Peluh mulai muncul.
Di dalam bemo, ada seorang kakek.
Usianya mungkin hampir 90 tahun. Ia membawa satu kantong plastik berisi jeruk lemon Cina.
Wajahnya tenang, seperti orang yang tahu dunia tidak perlu diburu.
Saya turun mencoba melerai.

Anehnya, sang kakek ikut turun dan malah menawarkan kami bertiga makan jeruk.
Bayangkan: macet, lapar, emosi, lalu disodori jeruk asam.
Ajaibnya, suasana mencair.
Kami tertawa. Saya membuka pembicaraan. Saya minta semua menepi, bicara baik-baik. Saya minta suami menenangkan istrinya. Pelan-pelan ego surut.
Akhirnya sepakat: tidak ada perkara. Jalan dibuka. Macet terurai.
Sang kakek kemudian pindah ke becak saya.
Di sepanjang perjalanan, ia bercanda, tertawa, bahkan mengaku bisa meramal.
Setiap kali ia tertawa, wajahnya seperti lupa bahwa usianya sudah lanjut.
Saya sadar saat itu
Senyum dan tawa adalah bunga cinta kasih yang paling sederhana, tapi paling ampuh.
Macet yang Menjadi Berkat
Kini, di tengah kemacetan menuju Central Park, saya kembali merasakan hal yang sama.
Macet masih ada. Hujan masih turun. Tapi hati sudah lega.
Jalan padat berubah menjadi ruang perjumpaan dengan kenangan, dengan nilai, dengan diri sendiri.
Macet ternyata bukan musuh.
Ia hanya guru yang datang tanpa janji.
Cuma satu yang perlu disesali:
kasihan mereka yang menunggu kita.
Untung sekarang ada TikTok. 😊

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Leave a comment