Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Cerpen nomor 0031
Medio Desember
2025
“Baik atau buruk, tetap suami saya. Dan dia adalah pemberian Tuhan.”
Kalimat itu bukan hanya keluar dari bibir Susan, tetapi lahir dari kedalaman imannya.
Ia mengucapkannya bukan untuk membela, melainkan untuk berserah.
Bagi Susan, pernikahan bukan sekadar ikatan dua manusia, melainkan perjanjian jiwa yang disaksikan oleh Tuhan.
Susan lahir sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara di sebuah desa terpencil di ufuk Timur, Papua Barat.
Desa itu jauh dari keramaian, dikelilingi hutan dan sungai, tempat hidup berjalan perlahan dan doa-doa sederhana naik bersama asap dapur rumah-rumah kayu. Keluarganya hidup cukup untuk ukuran desa tidak berlebih, namun tidak kekurangan.
Dari orang tuanya, Susan belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki banyak, tetapi tentang mensyukuri yang ada.
Sejak kecil Susan dikenal pendiam dan lembut. Ia jarang membantah, tetapi jika telah mengambil keputusan, hatinya tak mudah digoyahkan. Ia percaya bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang sering kali tidak dimengerti manusia.
Pada usia dua puluh tiga tahun, Susan memilih menikah dengan Zainudin.
Pilihan itu mengejutkan banyak orang. Zainudin bertubuh besar dan bersuara lantang, tetapi hidupnya berantakan. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, gemar minum minuman keras, dan sering pulang dalam keadaan mabuk.
Keluarga Susan menentang keras pernikahan itu. Mereka takut Susan akan menderita. Keluarga Zainudin pun tidak sepenuhnya merestui
mereka merasa rendah diri dan tak sepadan.
Namun Susan telah menjalin hubungan dengan Zainudin selama empat tahun.
Ia melihat sisi lain lelaki itu: kerapuhan, kesepian, dan janji-janji untuk berubah.
Dalam hati Susan berkata, jika aku meninggalkannya sekarang, siapa yang akan mendoakannya? Ia percaya pernikahan dapat menjadi jalan perubahan.
Pernikahan mereka berlangsung sederhana.
Tidak ada pesta besar.
Hanya doa, air mata, dan harapan.
Rumah papan kecil menjadi saksi janji setia Susan.
Ia mulai menjahit pakaian warga desa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Zainudin berjanji akan mencari pekerjaan, namun janji itu sering tinggal kata-kata.
Tahun demi tahun berlalu. Anak demi anak lahir.
Sepuluh orang semuanya
enam laki-laki dan empat perempuan. Rumah kecil itu semakin sempit, tetapi penuh kehidupan. Tangis bayi bercampur suara mesin jahit Susan yang hampir tak pernah berhenti. Tangannya menjadi kasar, matanya sering perih, tetapi hatinya tetap lembut.
Zainudin tidak berubah seperti yang Susan doakan. Kebiasaan buruknya justru semakin menjadi.
Ia memaksa meminta uang hasil jahitan Susan. Ia mabuk-mabukan, berjudi, dan bermain perempuan.
Berkali-kali Susan menangis dalam diam. Berkali-kali ia bertanya pada Tuhan mengapa hidupnya begitu berat.
Namun setiap kali bangkit, ia memilih bertahan.
“Kesetiaan bukan soal layak atau tidak layak,” bisik Susan dalam doanya, “tetapi soal taat.”
Suka dan duka berjalan berdampingan. Ada hari-hari bahagia: saat anak pertama masuk sekolah, saat Natal mereka bernyanyi bersama, saat cucuran hujan membawa harapan panen. Ada pula hari-hari gelap
ketika uang sekolah tak ada, ketika Susan sakit namun tetap menjahit, ketika anak-anak menahan malu melihat ayah mereka pulang mabuk.
Suatu malam, sebuah peristiwa mengubah pandangan seluruh desa.
Zainudin pulang dalam keadaan mabuk berat. Langkahnya limbung.
Tanpa sadar, ia terjatuh ke dalam sumur tua di belakang rumah.
Susan yang melihat kejadian itu berlari.
Tanpa berpikir panjang, ia ikut terjun ke dalam sumur.
Teriakan warga memecah malam.
Mereka berhasil menolong keduanya.
Luka mereka ringan, tetapi keheranan warga sangat besar. Mengapa Susan melakukan tindakan yang begitu nekat?
Dengan tubuh gemetar dan mata basah, Susan menjawab pelan,
“Karena dia suami saya. Saya bersamanya, hidup atau mati.”
Sejak malam itu, keluarga besar semakin keras mendesak Susan untuk bercerai. Banyak yang memutus hubungan. Mereka lelah menasihati. Namun Susan tetap teguh.
“Baik atau buruk, dia suami saya. Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang berhak mengambil,” katanya.
Anak-anak tumbuh dalam kerasnya kehidupan. Mereka melihat ayah yang sering gagal dan ibu yang tidak pernah menyerah.
Dari Susan, mereka belajar arti tanggung jawab, kerja keras, dan pengampunan. Susan selalu berpesan, “Jangan membenci ayah kalian.
Jadilah manusia yang lebih baik.”
Anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang baik.
Ada yang menjadi guru, perawat, pengusaha kecil, dan pelayan gereja.
Mereka menikah dan memiliki anak.
Rumah Susan kembali ramai oleh tawa cucu-cucu. Dalam kebahagiaan itu, Susan terus berdoa bukan agar hidupnya mudah, tetapi agar imannya tetap kuat.
Zainudin menua tanpa banyak perubahan. Di usia tujuh puluh tahun, tubuhnya melemah.
Susan merawatnya dengan setia
menyuapi, membersihkan, dan berdoa di sampingnya. Tidak ada dendam di hatinya.
Hanya penyerahan penuh kepada Tuhan.
Zainudin meninggal dunia dengan tenang. Setahun kemudian, Susan menyusul.
Anak-anak dan cucu-cucu mengantar kepergiannya dengan air mata dan rasa hormat.
Kini, nama Susan dikenang di desa itu.
Bukan karena harta atau kedudukan, melainkan karena imannya. Kisah hidupnya menjadi pengingat bahwa kasih sejati bukan tentang menerima yang sempurna, melainkan setia dalam ketidaksempurnaan.
“Baik atau buruk, tetap suamiku” bukan lagi kalimat pembelaan, melainkan kesaksian iman bahwa kasih yang tulus tidak pernah sia-sia di mata Tuhan.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
