TETAP BERDIRI DI TENGAH BADAI

TETAP BERDIRI DI TENGAH BADAI

Cerpen no 0030

Medio Desember 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kasih dalam kehidupan

Ida lahir dan tumbuh di sebuah keluarga sederhana, di sudut kota Bekasi yang tidak pernah benar-benar tidur.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan suara piring beradu, aroma nasi hangat, dan lelah yang tersimpan di wajah kedua orang tuanya.

Ayahnya seorang makelar rumah, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menawar, menjual, berharap satu transaksi bisa cukup untuk membayar kebutuhan keluarga.
Ibunya, Murni, setiap subuh sudah bangun, memasak nasi bungkus yang akan dijajakan sepanjang hari.

Hidup mereka bukan tanpa cinta, tetapi penuh perjuangan. Ida dan adik perempuannya, Tri, tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup tidak pernah gratis.
Segala sesuatu harus diupayakan.
Tri, yang kelak menjadi wartawan, sering menemani Ida duduk di dapur, mendengarkan cerita ibu sambil membantu membungkus nasi.
Dari sanalah Ida belajar satu hal penting: hidup boleh keras, tetapi hati tidak boleh menjadi pahit.
Sebagai anak sulung, Ida terbiasa menahan diri.
Ia jarang meminta. Ia tahu, jika ia merengek, ibunya akan tersenyum sambil berkata “nanti”, sementara ayahnya akan menghela napas panjang.
Maka Ida memilih diam, memilih kuat, memilih belajar.

Ketika dewasa, Ida menikah dengan seorang pedagang. Ia berharap pernikahan itu menjadi pelabuhan tenang setelah perjalanan panjang masa kecilnya.
Dari pernikahan itu lahirlah seorang putri yang sangat ia cintai, Joan.

Namun hidup kembali menguji Ida. Perkawinannya tidak berjalan seperti yang ia impikan. Perbedaan, tekanan ekonomi, dan luka yang tak sempat disembuhkan membuat rumah tangga itu kandas di tengah jalan.

Perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Namun Ida tidak sendiri. Joan, putri kecilnya, memilih ikut bersamanya. Saat itu, Ida memeluk anaknya erat-erat, sambil menahan air mata.
Ia berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, anak ini tidak boleh kehilangan masa depan hanya karena kegagalan orang tuanya.
Di sanalah perjuangan hidup Ida benar-benar dimulai.

Dengan modal kenangan masa kecil, Ida menuruni kemampuan ibunya. Ia menyadari bahwa memasak bukan sekadar hobi, tetapi warisan hidup. Sambil mengasuh Joan, Ida melanjutkan kuliah Manajemen Informasi di sebuah universitas di Jakarta.
Ia mengambil kelas sore, karena pagi hingga malam hidupnya diisi dengan kerja.
Ia magang di sebuah restoran besar di Jakarta.

Dunia kerja menyambutnya tanpa belas kasihan. Jadwal panjang, tekanan tinggi, dan tubuh yang sering kelelahan menjadi teman setia.
Ada hari-hari ketika Ida bekerja hampir 20 jam sehari.

Pagi ia kuliah, siang bekerja, malam kembali bekerja, dini hari pulang dengan langkah gontai.
Sering kali, di kamar sempit yang ia sewa, Ida menangis diam-diam. Bukan karena ingin menyerah, tetapi karena tubuhnya lelah dan hatinya rindu.
Rindu pada masa kecil yang sederhana, rindu pada ibu yang dulu selalu menyambutnya dengan nasi hangat, rindu pada kehidupan yang tidak sekeras ini.
Namun setiap kali ia melihat wajah Joan yang tertidur pulas, Ida kembali menguatkan diri. Tangisnya ia simpan, senyumnya ia kenakan kembali keesokan hari.
Kerja kerasnya perlahan membuahkan hasil. Ketangguhan Ida menarik perhatian banyak orang. Hingga suatu hari, namanya muncul dalam sebuah majalah wanita nasional.
Ia dianugerahi penghargaan sebagai wanita pejuang yang sangat tangguh. Saat menerima penghargaan itu, Ida tersenyum sambil menahan haru.

Bukan karena bangga, tetapi karena ia teringat semua malam panjang, semua luka yang tak terlihat, semua air mata yang tak pernah diberitakan.
Di luar pekerjaan, Ida menemukan kekuatan lain persahabatan.
Ia aktif dalam kegiatan anak muda Buddha di vihara.
Di sanalah ia bertemu orang-orang yang juga sedang berjuang dengan caranya masing-masing. Mereka berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi air mata.
Di vihara, Ida belajar bahwa hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga soal makna.
Mereka sering duduk melingkar, melakukan sharing tentang perjuangan hidup, tentang bagaimana mencari nafkah tanpa kehilangan nurani.
Ada tawa lepas, ada pelukan hangat, ada keheningan yang menenangkan.
Ida menyadari, dalam hidup, mempertahankan diri memang sering kali berarti bekerja keras mencari uang.
Ada yang sukses menjadi pengusaha besar, ada yang menjadi pengusaha biasa, dan ada pula yang terus berjuang tanpa tahu kapan rezeki akan berpihak.
Namun setiap orang memiliki nilai perjuangannya sendiri.
Ida melihat kenyataan itu dengan mata terbuka.
Ia tahu, masih banyak orang yang bekerja keras namun tetap hidup dalam kesusahan.
Ada pula yang terpaksa mengemis, bukan karena malas, tetapi karena hidup terlalu berat.

Dari sana, Ida belajar untuk tidak menghakimi, untuk tetap bersyukur, dan untuk berbagi semampunya.
Kini, Ida masih berjalan. Hidupnya belum sempurna.
Luka masa lalu masih ada, tetapi tidak lagi berdarah.
Ia tertawa bersama sahabat, menangis jika lelah, bangkit setiap kali jatuh. Ia mengajarkan Joan untuk kuat, tetapi juga untuk berbelas kasih.
Kisah Ida adalah kisah kasih anak manusia
tentang bertahan hidup, tentang jatuh dan bangkit, tentang air mata yang berubah menjadi kekuatan. Sebuah kisah sederhana, tetapi penuh makna: bahwa selama masih ada tekad, harapan tidak pernah benar-benar padam.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Leave a comment