SURABAYA KOTA PAHLAWAN, KOTA KENANGAN

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Senen
10 Nopember 2025

Surabaya, Surabaya, oh Surabaya…
Kota kenangan, kota perjuangan.
Takkan pernah kulupa.
Di sanalah, di Surabaya, pertama kali aku mengenal arti hidup bukan hanya karena bangunan tua dan semangat 10 November yang bergema setiap tahun, tapi karena di kota itu aku tumbuh, bermain, belajar, dan memahami arti menjadi seorang manusia yang pantang menyerah.

Aku sekolah di Surabaya.
Mulai SD, SMP, hingga SMAK Frateran
hampir dua belas tahun lamanya. Waktu yang panjang, yang membentuk bukan hanya logika, tapi juga jiwa.
Di jalan-jalan kecil kota itu, aku tumbuh bersama teman-teman yang sederhana, bermain di bawah terik matahari tanpa keluhan.
Kami bermain kelereng, bentengan, petak umpet, dan tentu saja Gobak Sodor.
Permainan itu sangat khas. Mungkin asal katanya Go Back Through Door, tapi bagi kami anak-anak Surabaya kala itu, Gobak Sodor bukan sekadar permainan. Ia mengajarkan strategi, kerja sama, dan keberanian. Kami harus berlari, menembus garis lawan, berani menghadapi risiko tertangkap semua dilakukan dengan semangat, tawa, dan kadang air mata.

Kini aku sadar, di balik permainan itu tersimpan filosofi kehidupan: bahwa untuk mencapai kemenangan, seseorang harus berani melangkah, menembus batas, dan siap menghadapi konsekuensi.

Pahlawan di Masa Lalu
Surabaya adalah kota yang sarat makna.
Setiap batu trotoarnya menyimpan jejak darah dan semangat para pejuang. Ketika mendengar nama Surabaya, setiap orang pasti teringat pada pertempuran besar tahun 1945. Pertempuran yang tak seimbang rakyat melawan pasukan bersenjata lengkap, tapi dengan hati yang berkobar.

Sura dan Baya Hiu dan Buaya
dua makhluk legenda yang bertarung hebat hingga akhirnya nama mereka diabadikan sebagai simbol keberanian dan kekuatan.
Dari kisah itu, Surabaya menjadi lambang perlawanan. Kota yang tidak pernah tunduk, kota yang memilih bertahan walau harus berdarah.

Kini, setelah puluhan tahun berlalu, aku menyadari bahwa semangat itu tidak pernah padam.
Hanya bentuknya yang berubah. Jika dulu pahlawan mengangkat senjata, kini pahlawan mengangkat doa, kasih, dan pengorbanan.

Pertemuan di Malam Hari

Malam ini, aku dan istri menikmati makan malam bersama seorang sahabat lama
Pastor Patris SVD dari Mataloko, Bajawa, Flores. Hadir pula Dr. Iren Setiadi dan suaminya, Dr. Lucas, serta dua anak muda yang penuh semangat: Fandi dan Surya Ong.

Di meja itu, aku memandang satu per satu wajah mereka.
Ada keheningan yang hangat, ada rasa syukur yang mendalam.
Aku teringat: mereka semua adalah pahlawan.
Bukan pahlawan dengan seragam atau senjata, tapi pahlawan dengan hati yang terus bekerja, tanpa pamrih.

Pastor Patris sudah dua puluh tahun lalu berkarya di KKI. Dua dekade sampai di Kemah Tabor Mataloko
Bajawa Flores
pengabdian yang tidak diwarnai dengan kemegahan, tetapi dengan air mata dan doa.
Ia mengajarkan kasih di tengah keterbatasan, menyalakan lilin di tengah gelapnya kehidupan banyak orang. Ia tidak berperang di medan laga, tetapi di medan kemanusiaan melawan kemiskinan, kebodohan, dan keputusasaan.

Aku mengenal beliau melalui sahabatku, Pastor Bernadus Boli Ujan SVD, dua puluh tahun lalu.
Sejak itu, persahabatan kami bukan hanya tentang pertemuan, tapi tentang panggilan yang sama menjadi bagian dari karya Tuhan di dunia yang sering kali lupa pada makna kasih sejati.

Air Mata Para Pahlawan
Sering kita lupa bahwa di balik setiap senyum pelayanan, ada air mata yang tidak terlihat.

Pahlawan masa kini bukan hanya mereka yang berdiri di panggung, tapi mereka yang bekerja dalam diam membasuh luka sesama tanpa diketahui banyak orang.
Aku pernah menyaksikan seorang suster di rumah sakit, mengganti perban pada pasien miskin dengan tangan gemetar, karena kelelahan setelah berjaga tiga malam tanpa tidur.
Aku pernah melihat seorang pendeta muda berjalan jauh ke pelosok desa, membawa kitab suci dan semangat, tanpa kendaraan dan tanpa bayaran.

Aku pernah berbincang dengan seorang ustadz yang tetap mengajar anak-anak yatim, walau dirinya sendiri kekurangan.
Mereka semua pahlawan tanpa nama.
Mereka tidak menuntut penghargaan, tidak menunggu tepuk tangan. Mereka hanya bekerja dalam kesetiaan.

Dan mungkin, Tuhan pun tersenyum melihat mereka, karena di tengah dunia yang haus akan pengakuan, masih ada orang-orang yang memilih untuk memberi, tanpa berharap kembali.

Panggilan Laskar Tuhan

Tanggal 26 November 2025 nanti, di Restoran Angke Heritage PIK, kita akan menyaksikan sesuatu yang istimewa: penggalangan dana untuk pembangunan Gereja Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri, Bogor.

Tapi lebih dari sekadar acara, itu adalah pertemuan para laskar Tuhan mereka yang masih mau memperjuangkan kasih di tengah dunia yang semakin sibuk dan egois. Mereka yang mau berkorban, bukan untuk popularitas, tapi demi rumah Tuhan dan sesama yang membutuhkan.

Setiap rupiah yang diberikan, setiap doa yang dinaikkan, adalah bagian dari perjuangan itu.
Mungkin tidak berdarah seperti pahlawan 1945, tapi tetap mengandung pengorbanan dan air mata kasih.
Itulah wujud nyata pahlawan masa kini.
Keyakinan yang Tak Pernah Pudar
Aku percaya, penyertaan Tuhan adalah satu-satunya suara yang abadi dari para pahlawan.
Suara itu bergema dari masa ke masa, mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Bahwa setiap langkah kecil dalam kasih adalah bagian dari peperangan besar melawan kegelapan.
Mereka adalah Laskar Tuhan yang berjalan di bumi, tapi kelak akan mendiami Swargaloka.

Mereka tidak memegang pedang, tapi salib.
Tidak menumpahkan darah, tapi air mata.
Tidak menguasai dunia, tapi menundukkan hati.
Fest non confundit

Pengharapan tidak mengecewakan (Roma 5:5).

Ayat ini seperti pelita yang menuntun langkah.
Bahwa dalam setiap perjuangan, betapapun berat, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Cintaku
Kembali ke Surabaya
Dan ketika aku menutup mata sejenak, aku seperti kembali ke masa kecilku di gang-gang kecil Surabaya, bermain Gobak Sodor dengan kawan-kawan lama.
Kami tertawa, berlari, terjatuh, lalu bangkit lagi. Itulah Surabaya kota yang mengajariku arti keberanian, ketulusan, dan pengharapan.
Kini aku tahu, menjadi pahlawan bukan soal medan perang, tapi tentang hati yang tetap menyala di tengah gelapnya dunia.

Surabaya telah menanamkan api itu di jiwaku.
Dan malam ini, bersama para sahabat, aku kembali merasakan semangat itu hidup dalam wajah mereka, dalam doa mereka, dalam air mata mereka.
Karena sesungguhnya,
pahlawan sejati tidak pernah mati.

Mereka hidup di antara kita,
dalam setiap kasih, dalam setiap harapan,
dalam setiap langkah menuju surga.

Surabaya, Surabaya, oh Surabaya…
Kota kenangan, kota pahlawan.
Engkaulah saksi, bahwa kasih selalu menang.

Adharta

Www.ktis.ot.id
Www.adharta.com

Leave a comment