Menanti

Menanti

(Kisah nyata yang kutulis dengan air mata dan doa)

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Cerpen 021

Jakarta
Akhir oktober 2025

Lagu itu kembali terdengar malam ini.
“Chan Fu…”

lembut, lirih, dan dalam bahasa Indonesia yang entah mengapa, menusuk hati lebih dalam dari biasanya.
Setiap kata dalam lagu itu seolah bercerita tentang seseorang yang perlahan kehilangan segalanya… kecuali cinta.

Dan malam ini, lagu itu adalah lagu untuk Syenny.

Dua tahun sudah ia berjuang. Dua tahun yang penuh dengan rasa sakit, harapan, dan ketakutan yang tak pernah benar-benar pergi.

Kanker hati
kata itu muncul pertama kali di ruang dokter dua tahun lalu, seperti petir yang menyambar langit cerah.

Awalnya hanya rasa lelah dan mual, tapi siapa sangka itu adalah awal dari perjalanan panjang menuju penantian.

Syenny baru berusia 33 tahun saat itu.
Masih muda, masih cantik, masih penuh rencana.
Ia punya dua anak laki-laki, berusia tujuh dan delapan tahun
dua cahaya kecil yang selalu memanggilnya Mama dengan tawa polos.

Suaminya, Ilham, adalah lelaki lembut yang setia, yang selalu berkata, “Kita bisa lewati ini, Sayang. Aku di sini.”

Tapi waktu berjalan seperti angin dingin yang terus menggerus.
Kemo pertama membuat rambut Syenny mulai rontok.
Setiap helai rambut yang jatuh ke lantai kamar mandi membuat Ilham terdiam lama, memungutnya satu-satu seperti benda berharga.

“Tidak apa-apa, Mas,” kata Syenny sambil tersenyum tipis, “rambut bisa tumbuh lagi.”

Tapi Ilham tahu, senyum itu dipaksakan.
Hari-hari berikutnya menjadi rangkaian antara rumah sakit, obat, muntah, dan malam panjang tanpa tidur.

Di ruang tunggu onkologi, wajah-wajah yang sama menanti giliran
wajah penuh harap dan takut. Di sanalah Syenny sering berdoa dalam diam, “Tuhan, kalau pun Engkau ingin memanggilku, tolong beri aku waktu sedikit lagi… aku ingin melihat anak-anakku tumbuh.”

Musim demi musim berganti.
Ada masa di mana kondisinya membaik.

Syenny bahkan sempat mengajak kedua putranya piknik ke taman kota, meski hanya duduk di atas tikar sambil makan bekal sederhana.

Hari itu, ia tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.
Namun, malamnya, ia menahan sakit hingga menggigit ujung bantal agar anak-anak tidak mendengar.
Ilham duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan istrinya yang dingin.

“Sakit lagi, Sayang?”
Syenny hanya mengangguk pelan, air mata menetes tanpa suara.

“Maaf ya, Mas…”

“Untuk apa minta maaf?”
“Karena aku bikin kamu susah.

Aku tahu aku akan pergi, tapi aku takut…”

“Jangan bicara begitu.

Aku belum siap,” bisik Ilham sambil mencium punggung tangannya.

Dokter akhirnya berkata jujur.
Penyebaran sudah terlalu luas.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain perawatan untuk mengurangi rasa sakit.

“Berapa lama lagi, Dok?” suara Ilham bergetar.
Dokter menatapnya lama, lalu pelan menjawab, “Mungkin… tiga bulan.”

Tiga bulan.
Waktu yang begitu singkat untuk seseorang yang masih ingin hidup.

Syenny mendengar kabar itu tanpa histeris. Ia hanya menunduk, menatap jari-jarinya yang semakin kurus.
“Jadi aku benar-benar harus menunggu, ya?” katanya pelan.

Ilham memeluknya, tapi kali ini tidak ada kata-kata yang bisa keluar.

Hari-hari selanjutnya adalah perjalanan sunyi menanti panggilan Tuhan.
Tubuhnya semakin lemah, kulitnya kekuningan, tapi ia masih mencoba tersenyum setiap kali anak-anaknya pulang sekolah.

Ia masih sempat membacakan doa malam untuk mereka, meski dengan suara yang hampir tak terdengar.

“Kalau Mama nanti pergi, jangan nakal ya… dengar kata Papa. Rajin belajar, jangan lupa doa.”

Anak sulungnya, Revan, menangis di pangkuannya. “Mama nggak akan pergi kan? Mama janji…”

Syenny hanya menatapnya lama, memeluk erat, dan berkata, “Mama janji akan selalu di sini.”
Ia menepuk dada kecil putranya.

“Di sini, Nak. Di hatimu.”

Ilham kini hidup di antara dua dunia
antara rumah sakit dan rumah. Ia tidur hanya dua jam setiap malam, sisanya menemani Syenny menahan sakit.

Kadang, ia berjalan ke teras sendirian, menatap langit dan berdoa, “Tuhan, kalau memang harus Kau panggil dia, jangan buat dia menderita lagi. Tapi kalau bisa, beri aku satu keajaiban…”

Namun keajaiban tak datang. Yang datang hanya kenyataan bahwa cinta pun tidak bisa melawan takdir.

Malam itu, Syenny meminta sesuatu.
“Mas, tolong nyalakan lagu itu… yang dulu kita dengar waktu pacaran.”

Ilham memutar lagu Chan Fu versi Indonesia. Melodi lembut mengalun di kamar yang temaram, hanya diterangi lampu tidur kecil. Syenny menutup mata, tersenyum tipis.

“Mas… aku capek. Tapi aku bahagia.
Aku punya kamu, aku punya anak-anak yang lucu.

Aku nggak takut lagi.”

Ilham menggenggam tangannya erat.

“Aku juga bahagia pernah hidup denganmu, Sayang. Aku cinta kamu.”

“Jangan lupa… jaga mereka, ya…”

Air mata menetes di pipi Ilham, jatuh di tangan Syenny yang dingin.
Lagu itu terus berputar, hingga hanya tersisa suara nafas pelan yang makin lama makin hilang.

Pagi harinya, sinar matahari masuk dari celah jendela.
Syenny sudah pergi dengan tenang, wajahnya damai, seolah tertidur. Di meja kecil di samping ranjang, ada secarik kertas yang ditulis dengan tangan gemetar:

“Jangan tangisi aku terlalu lama. Aku hanya berpindah tempat.

Cintaku tidak mati, hanya berganti wujud menjadi doa.”
Hari pemakaman berlangsung sederhana. Orang tua, saudara, dan teman-teman menangis dalam diam. Dua anak kecil berdiri menggenggam tangan ayahnya, belum benar-benar mengerti apa arti kehilangan.

Ilham berdiri paling lama di depan pusara. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah dan bunga melati. Ia menatap nama yang terukir di batu nisan dan berbisik,
“Sayang, aku tidak akan berhenti mencintaimu.

Aku hanya… menanti waktu yang Tuhan pilih agar kita bisa bertemu lagi.”

Dan di kejauhan, lagu itu kembali terngiang…
“Aku menanti, walau kau telah pergi…”

Sebuah lagu, sebuah doa, dan sebuah penantian
yang tidak lagi menyakitkan, melainkan penuh cinta.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Leave a comment