MALAIKAT TAK BERSAYAP
Awal Nopember 2025
Cerpen 022
Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS
Angin malam
Di sebuah desa kecil di Brebes, di antara hamparan sawah yang menguning dan langit yang selalu tampak lapang, lahirlah seorang anak lelaki bernama Arya.
Ia lahir dalam keluarga sederhana bahkan terlalu sederhana untuk ukuran desa itu. Ayahnya meninggal dunia ketika Arya baru berusia tiga tahun.
Sejak saat itu, ibunya, Sarinah, menjadi satu-satunya tumpuan hidupnya.
Sarinah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang juragan bawang merah
Setiap pagi, sebelum matahari naik, ia sudah berjalan sejauh dua kilometer ke rumah majikannya.
Di tangannya yang kasar karena deterjen dan air sabun, tersimpan kasih yang lembut dan kekuatan yang luar biasa.
Ketika Arya mulai sekolah dasar, Sarinah sudah terbiasa membawa bekal nasi bungkus dan lauk tempe goreng dari rumah. Ia jarang makan bersama anaknya karena waktunya habis bekerja.
Tapi setiap malam, meski lelah, ia tetap menyiapkan seragam Arya yang sudah dicuci bersih, disetrika dengan teliti.
“Sekolah yang rajin, Nak,” katanya setiap pagi sambil mengelus rambut anaknya.
Arya selalu mengangguk, meski kadang matanya masih mengantuk.
Ia tahu, ibunya menaruh seluruh harapan pada dirinya.
Masa Sekolah dan Perjuangan
Waktu berlalu. Arya tumbuh menjadi remaja pendiam tapi rajin.
Di sekolah menengah pertama, ia sering jadi bahan ejekan teman-temannya karena sepatu lusuhnya atau tasnya yang sudah robek.
Tapi ia tidak marah. Ia tahu ibunya bekerja keras untuk membelikannya buku dan seragam, meski dengan uang yang sangat pas-pasan.
Setiap kali ujian, Sarinah selalu menunggu kabar nilai Arya dengan hati berdebar.
“Bagaimana hasilnya, Nak?”
“Bagus, Bu. Rangking dua.”
Dan Sarinah selalu tersenyum sambil menatap wajah anaknya dengan mata berkaca-kaca.
“Syukurlah. Berarti kerja keras kita tidak sia-sia.”
Di SMA, Arya mulai menyadari betapa berat beban yang dipikul ibunya.
Kadang ibunya pulang malam, kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri, tapi tetap tersenyum.
“Bu, Arya bantu kerja juga ya,” katanya suatu sore.
Namun ibunya menatapnya lembut, “Tidak, Nak.
Tugasmulah belajar.
Biar Ibu saja yang kerja.
Suatu hari nanti, kamu harus lebih tinggi dari Ibu. Sekolahmu itu doa Ibu yang belum selesai.”
Kata-kata itu terus terpatri di hati Arya.
Ke Jakarta dan Perjuangan Kuliah
Setelah lulus SMA, Arya sempat bingung. Ia ingin kuliah, tapi tak punya uang.
Tabungan ibunya tidak cukup. Namun Sarinah menatapnya dengan yakin.
“Kuliah sajalah, Nak. Tuhan pasti kasih jalan.”
Dengan bekal keberanian dan doa, Arya berangkat ke Jakarta naik bus ekonomi.
Ia membawa tas kecil, beberapa potong pakaian, dan uang hasil tabungan ibunya selama bertahun-tahun.
Di Jakarta, ia mendaftar di sebuah universitas kecil jurusan keuangan. Awalnya ia pesimis, tapi ia belajar dengan keras.
Siang kuliah, malam bekerja di warung kopi.
Kadang ia pulang tengah malam, tapi tetap bangun pagi untuk kuliah.
Suatu hari, dosennya berkata, “Arya, kamu saya calonkan dapat beasiswa. Nilaimu bagus, dan kamu pantas.”
Arya hampir tidak percaya. Ia menelpon ibunya malam itu, suaranya bergetar.
“Bu, Arya dapat beasiswa!”
Terdengar isak di ujung telepon. “Alhamdulillah, Nak.
Ibu bangga sekali.”
Sejak saat itu, Arya tidak lagi membebani ibunya dengan biaya kuliah.
Ia menabung sedikit demi sedikit, berharap suatu hari bisa mengajak ibunya tinggal bersamanya di Jakarta.
Pertemuan dengan Ratna
Di kampus, Arya bertemu dengan Ratna, mahasiswi cerdas dari keluarga sederhana juga. Ratna kagum pada ketekunan Arya, sedangkan Arya terpesona dengan keceriaan Ratna. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan kecil kampus.
Waktu berlalu, cinta mereka tumbuh pelan tapi dalam. Ratna tahu kisah hidup Arya dan ibunya. Ia sering berkata,
“Ibumu hebat, Arya. Suatu hari kamu harus bahagiakan dia.”
Arya tersenyum lembut, “Itu tujuan hidupku, Ratna.”
Setelah lulus, Arya langsung diterima di sebuah perusahaan keuangan kecil di Jakarta.
Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk hidup sederhana dan mulai menabung. Ia ingin segera menjemput ibunya dari Brebes.
Kabar yang Menghantam
Namun hidup sering kali tidak berjalan sesuai rencana.
Beberapa bulan setelah bekerja, Arya pulang ke Brebes dengan semangat.
Ia membawa sedikit uang dan hadiah: selembar kain batik dan sepasang sandal baru untuk ibunya.
Ia turun dari bus, berjalan ke gang kecil menuju kontrakan tempat ibunya tinggal.
Namun ketika tiba di sana, sesuatu terasa aneh.
Rumah itu kosong. Pintu digembok dari luar.
Tetangganya, seorang ibu tua, keluar dan berkata pelan, “Arya? Kamu Arya anak Bu Sarinah, ya?”
“Iya, Bu. Ibu di mana?”
Wajah ibu tua itu mendadak murung. “Sudah berbulan-bulan dia tidak kelihatan. Katanya pergi cari kerja ke kota lain.
Tapi setelah itu… tidak ada kabar. Rumah ini sudah dikontrakkan ke orang lain.”
Arya tercekat. Dunia seakan berhenti berputar.
Ia berdiri lama di depan rumah itu, menatap pintu kayu yang kini tertutup rapat. Di dalam pikirannya, suara ibunya seperti masih terdengar, memanggilnya untuk makan atau menyiapkan seragam sekolah.
Malam itu, Arya menginap di rumah tetangga lama.
Ia mencoba mencari jejak menanyakan ke RT, ke teman lama ibunya, bahkan ke agen tenaga kerja di Tegal.
Tapi semua nihil. Ibunya seolah lenyap ditelan bumi.
Pencarian yang Tak Pernah Selesai
Sekembalinya ke Jakarta, Arya seperti kehilangan semangat hidup. Ia tetap bekerja, tapi setiap malam matanya tak bisa terpejam.
Ia mencoba mencari lewat media sosial, memasang pengumuman di grup Brebes, bahkan melapor ke polisi, namun hasilnya tetap kosong.
Ratna selalu menemani. Kadang hanya duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa.
“Kalau Ibu tahu kamu seperti ini, dia pasti sedih,” katanya pelan.
Arya terdiam, menatap langit-langit kamar kos. “Aku cuma ingin tahu dia baik-baik saja, Ratna.
Aku belum sempat membahagiakan dia.”
Bertahun-tahun kemudian, meski belum ada kabar, Arya tetap menabung sebagian gajinya.
Ia berkata pada Ratna, “Kalau Ibu pulang suatu hari nanti, aku ingin dia punya rumah sendiri.
Biar kecil, tapi nyaman.”
Rumah dan Sebuah Papan Kecil
Lima tahun setelah ibunya menghilang, Arya dan Ratna memutuskan menikah.
Mereka sudah cukup mapan secara finansial. Tapi di hati Arya, masih ada ruang kosong
ruang yang tak bisa diisi siapa pun.
Sebelum pernikahan, mereka pulang ke Brebes.
Arya membeli kembali rumah kontrakan lama ibunya
rumah kecil berukuran 50 meter persegi. Dindingnya rapuh, atapnya bocor, tapi di situlah semua kenangan masa kecilnya bersemayam.
Bersama Ratna, ia memperbaiki rumah itu pelan-pelan. Mengecat ulang dinding, mengganti jendela, menanam bunga di halaman kecil. Saat semua selesai, Arya berdiri di depan pintu rumah itu dan memasang sebuah papan kayu sederhana.
Di atasnya, dengan tulisan tangan sendiri, ia menulis:
“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah.”
Ratna berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kamu masih berharap dia kembali?”
Arya menatap papan itu lama, lalu tersenyum tipis. “Harapan itu yang membuatku hidup sampai sekarang.”
Setiap kali pulang ke desa, Arya selalu membersihkan rumah itu. Kadang ia duduk di teras sambil memandangi jalan kecil di depan rumah, berharap suatu hari sosok perempuan tua dengan langkah perlahan muncul dari tikungan membawa senyum yang ia rindukan seumur hidup.
Pernikahan Tanpa Orang Tua
Hari pernikahan tiba.
Arya dan Ratna menikah sederhana di Jakarta.
Tak ada sosok ibu di kursi tamu, tak ada air mata bahagia seorang orang tua yang melepas anaknya.
Tapi di dalam hati Arya, ia bisa merasakan kehadiran ibunya.
Saat penghulu menuntun ijab kabul, Arya memejamkan mata sejenak, membayangkan wajah ibunya tersenyum.
“Saya terima nikahnya Ratna binti Hadi…”
Suaranya bergetar, tapi penuh keyakinan.
Setelah akad selesai, Ratna berbisik, “Ibumu pasti bahagia di sana, Arya.”
Arya menatap langit, dan dalam keheningan itu, ia merasa ada angin lembut menyentuh pipinya
seolah belaian seorang ibu yang kembali hadir sesaat.
Kenangan dan Doa
Waktu terus berjalan.
Arya dan Ratna hidup sederhana tapi bahagia. Mereka sering pulang ke Brebes untuk berziarah ke makam ayahnya, dan setiap kali ke sana, Arya selalu singgah ke rumah kecil itu.
Rumah itu kini menjadi tempat singgah bagi anak-anak kecil desa yang ingin belajar.
Arya mengubahnya menjadi ruang baca gratis. Di dindingnya, masih tergantung papan kayu dengan tulisan itu:
“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah.”
Kadang Arya duduk di sudut rumah, membaca buku sambil mengenang masa lalu.
Ia tahu, ibunya mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi bagi Arya, ibunya tidak pernah benar-benar pergi.
Ia hidup dalam setiap keberhasilan Arya, dalam setiap kebaikan yang ia lakukan, dalam setiap napas yang ia hembuskan.
Ratna sering melihat suaminya duduk lama di teras itu.
“Masih menunggu, ya?”
Arya tersenyum. “Tidak menunggu. Hanya mengenang.”
Ratna tersenyum haru, lalu bersandar di bahunya.
“Kamu tahu, mungkin ibumu tidak bersayap… tapi dia pasti sudah terbang ke tempat yang paling tinggi.”
Arya menatap langit sore. Langit Brebes selalu tampak sama lapang, tenang, dan hangat.
Dan di bawah langit itu, seorang anak yang dulu miskin dan kesepian kini telah tumbuh menjadi pria yang kuat, karena cinta seorang ibu yang tak pernah pudar meski waktu memisahkan.
Akhir cinta
Beberapa tahun kemudian, Arya menulis di buku hariannya:
“Hidupku bukan kisah tentang kehilangan, tapi tentang cinta yang tak pernah berhenti.
Ibu mungkin tak lagi di sisiku, tapi setiap langkahku adalah doa yang ia tinggalkan.
Aku tidak tahu di mana engkau kini, Bu…
Tapi setiap kali aku pulang, aku percaya — engkau juga sedang pulang, lewat angin, lewat matahari, lewat doa-doa yang tidak pernah padam.”
Dan di depan rumah kecil itu, papan kayu bertuliskan
“Malaikat tak bersayap, tolong pulang kembali ke rumah” tetap berdiri menjadi saksi cinta abadi antara seorang ibu dan anaknya.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
