Monthly Archives: October 2025

Cafetaria Husada Dan Rumah sakitHusada

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Kamis 9 Oktober 2025

Grand launching
Cafetaria HUSADA

Pandu
Sukses selalu

HUSADA
Rumah sakit
tempat berobat adalah ruang kehidupan, harapan, dan kasih.

Di sinilah setiap pasien, keluarga, maupun tenaga medis menemukan arti pelayanan yang lebih luas dari sekadar pengobatan fisik.

Di tengah hiruk-pikuk kota, Rumah Sakit Husada hadir sebagai oase ketenangan, tempat di mana tubuh dirawat dan jiwa disembuhkan.
Salah satu sudut yang mencerminkan semangat pelayanan itu adalah Cafetaria Husada.

Sekilas, mungkin tampak seperti tempat biasa deretan meja, aroma kopi hangat, dan senyum ramah di balik meja kasir.

Namun sesungguhnya, cafetaria ini dibangun dengan jiwa pelayanan yang tulus. Bukan sekadar menjual makanan dan minuman, tetapi memberi ruang kehangatan bagi siapa pun yang melangkah ke sana.

Harga yang terjangkau bukan semata strategi ekonomi, melainkan cermin kepedulian.
Di sini, pasien rawat inap, pengunjung, dokter, perawat, dan karyawan rumah sakit bisa duduk bersama tanpa sekat.

Mereka berbagi cerita, saling menyemangati, dan sejenak melepaskan penat.
Secangkir teh hangat bisa jadi penyembuh rasa lelah; semangkuk bubur sederhana bisa menjadi pengingat bahwa kasih sayang masih hadir di antara kita.
Namun, keindahan Cafetaria Husada tidak berhenti pada pelayanan jasmani.

Ada yang lebih dalam sentuhan Pastoral Care. Di sinilah pelayanan moral dan spiritual berpadu.

Para relawan dan pembimbing penyantun pelayanan para suster mendukung penyembuhan secara rohani yang hadir, menyapa dengan lembut, mendengarkan kisah, dan menumbuhkan semangat bagi pasien serta keluarganya. Sebab dalam setiap proses penyembuhan, hati yang tenang dan jiwa yang kuat adalah bagian penting dari keajaiban pemulihan.

Kunjungan ke Rumah Sakit Husada bukan sekadar urusan kesehatan. Ini adalah pengalaman tentang kemanusiaan.

Di sini kita belajar bahwa melayani bisa dilakukan dengan banyak cara:

lewat tindakan medis, melalui sepiring nasi hangat, atau dengan senyum yang tulus kepada orang asing yang duduk di meja sebelah.
Jadi, bila Anda melintas di Jalan Mangga Besar pada hari Kamis, 9 Oktober 2025, sempatkan diri untuk berkunjung ke Rumah Sakit Husada. Datanglah, bukan hanya untuk melihat fasilitasnya, tapi untuk merasakan denyut pelayanan yang penuh kasih.

Nikmati suasana cafetaria yang bersahaja namun hangat, dan temukan makna bahwa di balik setiap layanan sederhana, tersimpan cinta yang besar cinta untuk menyembuhkan, melayani, dan memanusiakan manusia.

Salam dalam doa

Adharta

Pergumulan Cinta Perjalanan Hati

Cerpen 017

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Beijing Medio Oktober 2020

Ditulis
Buat sahabatku
Maria

Awal dari Cinta

Langit Beijing sore itu seperti kanvas raksasa berwarna jingga keemasan.
Di tengah hembusan angin musim semi yang lembut,
Maria berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan cheongsam putih bersulam bunga peoni sebagai simbol cinta dan keberuntungan.

Hari itu adalah hari pernikahannya.
Di luar, musik lembut mengalun dari restoran klasik di Jalan Wangfujing, salah satu sudut paling hidup di jantung kota Beijing.
Lampion merah bergoyang perlahan, memantulkan cahaya ke wajah-wajah bahagia.

Kelvin, pria yang telah merebut hatinya sejak tahun pertama kuliah, berdiri menunggu di altar kecil yang dihiasi bunga sakura. Senyumnya menenangkan seperti matahari pagi.

Mereka mengucap janji di hadapan keluarga dan sahabat, dengan tawa dan air mata yang bercampur jadi satu.
Malam itu, pesta berlangsung hingga larut.
Di antara suara biola dan denting gelas anggur, Maria merasakan dunia berhenti sejenak seolah seluruh kebahagiaan dunia berhimpun di dadanya.

Perjalanan hidup
Cinta di Negeri Tirai Bambu

Maria bukan wanita biasa.
Da lulusan Beijing University dengan predikat summa cum laude, dan begitu lulus, ia langsung diterima di perusahaan BUMN besar sebagai supervisor muda.

Kariernya melesat cepat, dan banyak yang mengaguminya bukan hanya karena kecerdasan, tapi juga kerendahan hatinya.

Sementara Kelvin, lulusan psikologi, memilih jalan berbeda.
Ia bergabung sebagai konselor militer membantu para prajurit yang terluka secara mental setelah bertugas di medan perang.

Pekerjaan itu membuatnya sering absen dari rumah, tapi setiap kali pulang, ia selalu membawa senyum yang sama: hangat, tulus, penuh cinta.

Dua tahun pertama pernikahan mereka adalah masa-masa yang indah.
Mereka tertawa di dapur kecil, berbagi mie panas saat hujan turun, dan menulis surat cinta kecil di dinding rumah.

Ketika Maria mendapat promosi, Kelvin merayakannya dengan menari di ruang tamu sambil memutar lagu Mandarin lama.

“Cintaku padamu tidak butuh alasan,” kata Kelvin suatu malam, menatap Maria yang tertidur di pangkuannya.

“Kalau hidupku berakhir esok, aku ingin tahu bahwa aku pernah membahagiakanmu.”

Maria tersenyum dalam tidur. Ia tak tahu, kalimat itu kelak menjadi kenangan terakhir yang terus terngiang di hatinya.

Maria berkata
Kalau aku tiada kelak kamu orang pertama yang ada disisiku

Rencana Tuhan berbeda dengan Kita

Luka di Tengah Keindahan
Empat tahun berlalu.
Maria dan Kelvin dikaruniai seorang putra mungil bernama Sandy
bayi dengan mata bulat seperti ayahnya dan senyum lembut seperti ibunya.
Hidup mereka terasa sempurna. Setiap sore, Maria menunggu di balkon sambil memeluk Sandy, menantikan Kelvin pulang dengan seragam militernya yang berdebu.

Namun takdir sering kali tidak memilih waktu yang baik untuk memberi ujian.
Suatu pagi, telepon berdering.
Suara di seberang terdengar berat dan kaku.

“Maaf, Nyonya Kelvin…
suami Anda mengalami kecelakaan saat bertugas.
Ia tidak selamat.”

Dunia Maria runtuh dalam sekejap.

Suara di sekelilingnya lenyap.
Ia jatuh berlutut, memeluk telepon yang dingin, seakan dari sana ia bisa menarik kembali suara suaminya.
Malam itu, salju turun tipis di luar jendela putih dan senyap, seperti menutupi semua warna kehidupannya.
Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut.

Maria berhenti bicara.
Ia datang ke makam Kelvin setiap hari, duduk diam di bangku batu, membaca ulang surat-surat cinta lama.
“Kenapa kamu pergi begitu cepat?” bisiknya berulang kali.

Satu tahun berlalu. Ia masih menatap foto pernikahan mereka setiap malam.
Senyum Kelvin seolah hidup, tapi tak lagi bisa disentuh.

Panggilan jiwa

Angin dari Selatan
Suatu hari, ibunya menelepon dari Jakarta.
“Maria, datanglah ke sini sebentar.
Bawa Sandy. Udara di sini hangat, mungkin bisa menyembuhkanmu.”
Maria diam lama, menatap langit Beijing yang kelabu.
Akhirnya, ia mengemas beberapa pakaian dan terbang bersama Sandy menuju Indonesia.

Jakarta menyambut mereka dengan cahaya matahari yang lembut dan aroma hujan di sore hari.
Maria tinggal di rumah orang tuanya di Menteng.
Setiap pagi ia berjalan bersama Sandy ke taman kecil, mendengarkan suara anak-anak tertawa, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.
Hari-hari di Jakarta terasa asing tapi perlahan menenangkan. Maria mulai belajar bahasa Indonesia dari tetangga dan sopir rumah.

Dalam waktu tiga bulan, ia sudah bisa berbicara dengan lancar dengan logat lembut dan intonasi yang membuat orang jatuh hati.

Hingga suatu hari, kabar datang dari Beijing:
Perusahaan tempatnya bekerja ingin membuka kantor perwakilan di Indonesia, dan mereka menginginkan Maria memimpin proyek itu.

Maria terdiam. Ada perasaan yang campur aduk rindu, takut, tapi juga panggilan hati yang kuat.

Mungkin ini cara Kelvin memintanya untuk bangkit.

Sebuah kebangkitan dari Luka

Maria menerima tawaran itu.
Ia kembali bekerja dengan tekad baru.

Dalam waktu singkat, ia berhasil menjembatani banyak investasi antara Tiongkok dan Indonesia. Media menulis tentangnya sebagai
“Wanita Baja dari Beijing”
cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin.
Namun di balik sorot kamera dan senyum profesional, Maria tetap menyimpan kesedihan yang dalam.
Setiap malam, setelah semua orang tidur, ia menatap langit Jakarta dan berbisik,
“Kelvin, kau lihat? Aku sudah belajar tersenyum lagi.”

Anaknya, Sandy, tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.
Ia sering memeluk ibunya dari belakang sambil berkata,
“Papa pasti bangga sama Mama.”

Dan setiap kali mendengar itu, air mata Maria jatuh perlahan bukan karena sedih, tapi karena hatinya mulai berdamai.

Suatu malam, Maria bermimpi.
Kelvin datang dengan pakaian putih, menatapnya dari kejauhan.

“Jangan lagi menangis, Maria,” katanya pelan. “Cintaku kini menjadi angin yang menemanimu setiap langkah.”

Saat terbangun, Maria merasa dada yang selama ini berat tiba-tiba terasa ringan.
Ia menatap foto pernikahan mereka di meja, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia tersenyum tanpa air mata.

Sebuah Perjalanan Hati

Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.
Maria kini dikenal sebagai salah satu tokoh investor Tiongkok di Indonesia yang paling berpengaruh.
Ia tak pernah menikah lagi. Hatinya telah tertambat pada satu cinta yang abadi cinta yang tak lagi berupa kehadiran fisik, tapi menjadi cahaya yang membimbing setiap langkahnya.

Suatu pagi, Maria berdiri di depan cermin, kini dengan rambut yang sedikit beruban.
Sandy sudah dewasa, dan hari itu ia hendak berangkat ke Beijing untuk kuliah lagi.
Sebelum pergi, Sandy mencium tangan ibunya dan berkata,
“Mama, aku ingin ke makam Papa nanti.
Ada pesan untukku?”
Maria tersenyum lembut.
“Katakan padanya… aku sudah belajar tertawa tanpa dia, tapi tak pernah berhenti mencintainya.”

Ketika pesawat lepas landas, Maria duduk di taman, memandangi langit biru Jakarta. Di antara dedaunan yang bergoyang, ia merasakan hembusan angin lembut menyentuh pipinya
seolah ada tangan yang dulu pernah memeluknya dengan kasih.
Ia menatap langit, menutup mata, dan berbisik,
“Kelvin… perjalanan hatiku belum berakhir. Aku masih berjalan di jalan yang sama
jalan cinta yang kau mulai.”
Langit tampak lebih terang hari itu.
Mungkin karena cinta memang tak pernah benar-benar pergi.

Ia hanya berganti wujud — dari pelukan menjadi angin, dari kenangan menjadi kekuatan, dari air mata menjadi cahaya.

Adalah hati yang bernyanyi

Untuk Mereka yang Pernah Kehilangan
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta.
Kadang, ia mengambil sesuatu yang paling kita sayangi untuk mengajarkan arti cinta sejati cinta yang tidak berhenti ketika maut datang, tapi terus hidup dalam setiap detak hati yang berani melangkah lagi.
Maria adalah saksi bahwa luka bisa menjadi jalan menuju cahaya.
Bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki selamanya, tapi tentang mampu mencintai meski harus melepaskan.
Dan bagi setiap pasangan muda yang sedang berjuang di antara badai hidup

kebahagiaan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan kekuatan untuk terus melangkah, bahkan ketika hati hancur.
Karena di ujung setiap kesedihan, selalu ada secercah harapan…
yang menunggu untuk ditemukan kembali.

✨ “Perjalanan hati bukan tentang sejauh apa kita berjalan, tapi seberapa dalam kita belajar mencintai bahkan dalam kehilangan.” ✨

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Pergumulan Cinta

Cerpen 018

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Medio Oktober 2025

Kisah Cinta
Silvy, Roger, dan Dua Putri yang Tumbuh Tanpa Orang Tua

Silvy dan Sheny lahir kembar di sebuah kota kecil yang damai di pinggiran Surabaya.

Sejak kecil, keduanya sudah dikenal cerdas dan rajin.
Namun, di antara mereka, Silvy memiliki kepribadian yang lebih tenang dan penuh perhitungan.
Ia menyukai dunia bisnis, angka, dan manajemen.

Ketekunannya membawa ia menempuh pendidikan di bidang logistik dan transportasi, bidang yang kelak akan menjadi jalan hidupnya.

Seiring waktu, Silvy tumbuh menjadi wanita muda yang tangguh. Ia bukan hanya berparas manis, tapi juga memiliki daya juang yang tinggi.
Ia memulai kariernya dari bawah
magang di perusahaan ekspedisi kecil
hingga akhirnya dipercaya memimpin sebuah perusahaan logistik besar.
Di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu berkembang pesat.
Relasi bisnisnya luas, dan semua orang mengenal Silvy sebagai sosok profesional yang tegas namun tetap ramah.

Di tengah kesibukan karier, takdir mempertemukannya dengan seorang pria bernama Roger.
Roger adalah sosok yang menawan
wajah tampan, pembawaan hangat, dan selera humor yang tinggi.
Ia bekerja di bidang keuangan, seseorang yang rajin, disiplin, dan penuh tanggung jawab.
Dari pertemuan pertama, keduanya seperti saling melengkapi.

Silvy yang serius menemukan kehangatan pada Roger yang periang, sementara Roger merasa tenang di sisi Silvy yang dewasa dan penuh kasih.

Mereka menjalin hubungan yang manis.
Setiap akhir pekan, Roger selalu menjemput Silvy untuk makan malam sederhana, terkadang hanya di warung bakmi langganan mereka.
Dari sanalah kisah cinta mereka tumbuh, hingga akhirnya Roger melamar Silvy dengan cara yang sederhana namun tulus
di bawah rintik hujan di depan rumah Silvy.
Mereka menikah dalam sebuah pesta yang indah, dihadiri keluarga, teman-teman, dan rekan kerja. Semua orang mendoakan agar rumah tangga mereka langgeng, penuh cinta, dan bahagia.

Awal pernikahan terasa seperti mimpi.
Roger penuh perhatian, Silvy selalu mendukung karier suaminya. Mereka membeli rumah mungil di kawasan Timur kota Surabaya, mengisinya dengan tawa dan impian masa depan.
Tahun pertama berjalan dengan penuh kebahagiaan. Lalu kabar baik datang:
Silvy hamil anak pertama.
Tangis haru Roger pecah saat mengetahui mereka akan memiliki bayi perempuan.

Sembilan bulan kemudian lahirlah seorang bayi cantik yang mereka beri nama Michelin
nama yang terinspirasi dari kekuatan dan keteguhan.
Dua tahun setelah itu, lahirlah adiknya, Miranda, gadis mungil yang lucu dengan mata bulat seperti ibunya.

Rumah mereka pun semakin hidup. Setiap pagi Roger menyuapi anak-anak sambil bercanda, sementara Silvy menyiapkan sarapan.
Di malam hari, keluarga kecil itu selalu makan bersama, diiringi cerita hari-hari mereka yang penuh warna.

Namun, seperti pepatah lama: tidak ada rumah tangga yang selalu mulus.

Perlahan, badai kecil mulai datang.
Kesibukan Silvy di dunia bisnis membuatnya sering pulang larut malam.

Roger yang juga sibuk dengan pekerjaannya mulai merasa kesepian. Komunikasi di antara mereka menurun.

Percakapan hangat berubah menjadi perdebatan. Roger merasa Silvy terlalu fokus pada pekerjaan; Silvy merasa Roger tidak memahami ambisi dan tanggung jawabnya.
Awalnya mereka mencoba memperbaiki. Mereka pergi liburan bersama anak-anak ke Bali, berharap dapat menyalakan kembali kehangatan yang dulu pernah ada. Tapi sepulang dari sana, kenyataan tetap sama.

Perbedaan mereka semakin terasa. Roger menginginkan istri yang lebih hadir di rumah, sementara Silvy merasa ia bekerja justru demi masa depan keluarga.
Pertengkaran kecil sering terjadi.
Terkadang hanya karena hal sepele:
siapa yang menjemput anak, siapa yang lupa membayar tagihan, atau siapa yang lupa ulang tahun pernikahan.

Tapi dari hal-hal kecil itulah luka mulai terbentuk.
Hingga akhirnya, keputusan yang paling berat pun diambil
perceraian.

Sidang di pengadilan berlangsung sunyi.
Roger menunduk, Silvy berusaha tegar. Tak ada kata saling menyalahkan, hanya air mata yang menetes diam-diam.

Mereka berpisah dengan rasa kehilangan yang dalam, tapi juga dengan harapan agar anak-anak tetap bahagia.
Michelin dan Miranda saat itu masih kecil. Mereka tidak sepenuhnya mengerti apa arti perceraian, hanya tahu bahwa “Papa tidak tinggal di rumah lagi.”

Namun cinta Roger dan Silvy kepada anak-anak mereka tidak pernah pudar. Meski terpisah, keduanya tetap berusaha hadir dalam hidup kedua putri itu.

Sayangnya, takdir berkata lain.
Setahun setelah perceraian, Roger jatuh sakit. Dokter mendiagnosisnya dengan penyakit kritis yang tak bisa disembuhkan. Selama beberapa bulan, ia berjuang melawan penyakit itu. Dalam masa-masa terakhirnya, Roger sering menatap foto kedua anaknya sambil berbisik lirih,

“Papa sayang kalian… selalu.”

Ketika Roger akhirnya berpulang, dunia seakan runtuh bagi Silvy. Meskipun mereka sudah berpisah, ia masih menyimpan cinta yang dalam.
Ia hadir di pemakaman dengan air mata yang tak tertahan, menatap makam Roger sambil berdoa,
“Terima kasih… sudah pernah mencintaiku.”

Kehidupan terus berjalan. Silvy membesarkan Michelin dan Miranda sendirian.
Ia berusaha kuat, menjadi ibu sekaligus ayah. Ia bekerja keras demi pendidikan mereka, menahan lelah dan sepi di malam hari.

Namun empat tahun kemudian, cobaan kembali datang. Silvy terdiagnosis kanker.

Ia berjuang dengan penuh keberanian, menjalani kemoterapi dan tetap berusaha tersenyum di depan anak-anaknya. Tapi tubuhnya semakin lemah. Dalam hari-hari terakhirnya, Silvy memanggil Michelin dan Miranda,

menggenggam tangan mereka erat.
“Anak-anakku… jangan takut. Mama akan selalu ada di hati kalian.

Jadilah orang baik, ya… bukan hanya pintar, tapi juga penuh kasih.”

Beberapa minggu kemudian, Silvy meninggal dunia.
Michelin berusia 14 tahun, Miranda baru 12 tahun. Dunia mereka kembali hampa.

Kedua gadis itu diasuh oleh keluarga besar Silvy dan keluarga Roger
Mereka tumbuh dengan rindu yang tak pernah padam.
Setiap kali melihat langit malam, mereka teringat pada ayah dan ibu mereka
dua bintang yang kini bersinar di atas sana.
Waktu berlalu. Michelin tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan berpendirian kuat, mirip ibunya.
Ia menyelesaikan kuliah dan bekerja di bidang manajemen logistik
bidang yang sama dengan mendiang ibunya.

Di kantor, semua mengenalnya sebagai sosok yang profesional namun rendah hati.
Sementara Miranda, yang lebih lembut dan sensitif, memilih dunia seni.
Ia menjadi ilustrator, melukis kenangan masa kecilnya bersama keluarga dalam warna-warna hangat.

Di usia 22 tahun, Michelin bertemu dengan Willy, seorang pria baik hati yang sederhana namun memiliki semangat hidup tinggi.
Mereka jatuh cinta bukan karena kemewahan, tapi karena kesamaan hati.
Willy tahu kisah masa lalu Michelin.
Ia tahu betapa keras hidup yang telah dijalani gadis itu.
Maka ketika ia melamar Michelin, ia berjanji:
“Aku tidak bisa menggantikan ayahmu, tapi aku akan mencintaimu seumur hidupku seperti ibumu dulu mencintai ayahmu.”

Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun penuh haru.

Saat berjalan di altar, Michelin menatap kursi kosong di barisan depan. Di sanalah seharusnya ayah dan ibunya duduk.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu mereka hadir. Ia bisa merasakan kehangatan itu, meski hanya dalam bisikan angin.

Beberapa tahun kemudian, Michelin dan Willy dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kelly.

Kelly tumbuh menjadi gadis ceria, matanya bening seperti ibunya, senyumnya manis seperti kakeknya.

Melihat Kelly tumbuh sehat dan bahagia membuat Michelin sering menangis diam-diam di malam hari. Ia memeluk putrinya sambil berbisik,
“Kelly… kamu tahu?
Dulu nenekmu perempuan luar biasa.
Kamu harus bangga padanya.”

Miranda sering datang berkunjung. Dua kakak beradik itu selalu bernostalgia tentang masa kecil mereka
tentang tawa Papa yang hangat, tentang Mama yang kuat. Kadang mereka tertawa, kadang menitikkan air mata.

Tapi mereka selalu yakin, cinta orang tua mereka tak pernah pergi.
Kini, rumah tangga Michelin dan Willy berjalan damai. Mereka belajar dari masa lalu—
bahwa cinta bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang pengertian dan kesetiaan. Bahwa rumah tangga tidak selalu mulus, tapi selalu bisa diperjuangkan jika dua hati saling percaya.
Dan di suatu sore, ketika matahari terbenam, Michelin duduk di beranda sambil menatap langit jingga.
Di sampingnya, Kelly bermain boneka, sementara Willy menyiapkan teh.
Angin berhembus pelan, membawa aroma nostalgia.
Dalam hati, Michelin berbisik:
“Papa, Mama… kami baik-baik saja sekarang. Kalian boleh tenang di sana.”
Senyum hangat mengembang di wajahnya. Hidup mungkin telah merenggut banyak hal, tapi juga memberi kesempatan untuk mencintai lagi.
Dan bagi Michelin, cinta itu kini hadir dalam bentuk keluarga kecilnya—tempat di mana kenangan lama berpadu dengan harapan baru.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Penguin

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Philip Island
5 Juli 2025

Menikmati malam dingin banget di laut selatan
Menatap Kutub Selatan

🐧 Kisah Asal Usul Penguin Kecil di Phillip Island Melbourne Australia

Phillip Island, yang terletak sekitar 140 km tenggara Melbourne, dikenal dunia karena satu hal luar biasa

Little Penguins (Eudyptula minor), spesies penguin terkecil di dunia. Tingginya hanya sekitar 33 cm dan beratnya sekitar 1 kg saja mungil, Lucu dan Lincah tapi sangat tangguh!
Mereka sudah memiliki rumah rumah di tepi laut pantai yang luas

Komunitas mereka dalam Penguin kingdom punya kisah tersendiri

🌊 Asal Usul dan Kehidupan

Little Penguins sudah hidup di sepanjang pesisir selatan Australia dan Selandia Baru selama jutaan tahun.

Di Phillip Island, mereka telah menempati wilayah ini sejak zaman prasejarah, ketika pulau ini masih terhubung ke daratan besar Australia. Mereka memilih pulau ini karena iklimnya yang sejuk, perairannya yang kaya ikan kecil, dan pesisir yang aman untuk membuat sarang.

🏠 Habitat dan Perilaku

Para penguin ini bersarang di liang-liang bawah tanah atau di bawah semak-semak. Mereka menghabiskan siang hari berburu ikan di lautan — bisa berenang hingga 60 km dalam sehari! Menjelang senja, mereka pulang bersama-sama dalam parade lucu nan menggemaskan ke daratan — inilah yang dikenal sebagai Penguin Parade.

📉 Ancaman dan Pelestarian

Pada awal abad ke-20, populasi mereka terancam karena:

Pembukaan lahan untuk perumahan

Serangan rubah dan anjing liar

Polusi laut dan jaring nelayan

Tapi untungnya, sejak tahun 1985, pemerintah Victoria membentuk Phillip Island Nature Parks dan memulai konservasi besar-besaran:

Menutup pemukiman di Summerland

Mengembalikan habitat alami

Melarang lampu dan suara keras saat parade

Mendidik wisatawan dan warga lokal

Kini, lebih dari 32.000 ekor penguin hidup di Phillip Island — salah satu koloni terbesar di dunia!

🌍 Arti Penting Global

Phillip Island tak hanya penting bagi Australia, tapi juga bagi dunia. Ini adalah:

Cermin perubahan iklim (karena penguin sangat sensitif terhadap suhu laut)

Contoh konservasi sukses antara manusia dan alam

Daya tarik wisata global yang mengangkat ekonomi lokal

✨ Penutup

Menonton parade penguin saat mereka berjuang melintasi pasir menuju sarangnya adalah pelajaran tentang keberanian, ketekunan, dan harmoni dengan alam. Meskipun kecil, mereka membuktikan bahwa kerja sama dan kesetiaan bisa mengalahkan kerasnya alam.

Salam hangat untuk tanah air 🌏🇮🇩

Semoga Dunia semakin baik atas epnyertaan kita

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

From Kupang With Love

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Minggu
5 Oktober 2025

41.000 Kaki diatas Pulau Flores
Batik Air
ID 6541

Jam 06.50
Pesawat AirBus A320 lepas landas Bandar Udara Eltari
Nama Bandara ini diambil dari Nama Mantan Gubernur NTT
Bapak El Tari

Sebelumnya pelabuhan udara ini dikenal dengan nama Penfui nama daerah di Kupang

Setelah lepas 7 hari Kunjungan ke Kalabahi di pulau Alor dan Kupang

Nama Kupang diambil dari nama seorang raja jaman dulu tapi ada juga menyebut kubang atau genangan lumpur

Kota Kupang juga dikenal karena panasnya
Suhu udara siang hari bisa menyentuh 36 derajat Celcius

Kisah keluarga

Kami sekeluarga pindah dari Kalabahi ke Kupang di awal tahun 1962
Kami anak anak 10 orang kakak adik dan Papa Mama

Kami tinggal sementara di sebuah gubuk kecil sebelum akhirnya memiliki sebuah rumah batu kecil di desa Oeba
Oe artinya air
Ba sumber air
Sebuah kolam dekat rumah kami di samping asrama tentara
Menjadi sumber supply air buat kota Kupang

Tahun 1965 merupakan tahun penderitaan
Situasi sangat sulit terutama
karena hubungan Kupang dan Jawa terputus disebabkan situasi politik Indonesia yang tidak stabil sedangkan saat itu sumber bahan pangan semua dari Surabaya
Untuk keluarga miskin seperti kami makan bertahan dengan sedikit bubur dan kangkung rebus yang kami petik di saluran air
Itupun di campur gula air dari pulau sabu

Seluruh daerah NTT sangat menderita kelaparan

Untuk bertahan hidup
Ada yang makan batang pisang
Makan biji asam
Dan juga biji bijian
Yang di campur jagung

Awal Perubahan

Tuhan sangat mencintai kami sekeluarga yang berangsur pindah ke Surabaya

Ayah saya berusaha mengangkat kami semua dari penderitaan dengan meninggalkan kota Kupang di tahun 1967
Saat saya berusia 9 tahun

Kehidupan di Kota Kupang sebenarnya berjalan baik
Mama saya memang memiliki tangan emas
Dia bekerja sekuat tenaga menghidupi 10 anak yang masih kecil kecil
Membuat Kue kue basah
Kue kering dari tepung sagu yang dibikin sendiri dari singkong yang di parut
Menjahit pakaian
Dan semuanya dikerjakan sendiri tanpa bantuan
Setelah beberapa kakak saya besar mereka mulai membantu
Kami yang masih kecil hanya bisa menyaksikan saja.

Saat itu belum ada listrik
Penerangan Malam hanya dengan memakai lampu Petromax dengan minyak tanah yang dipompa ada kaosnya
Itupun hanya berlangsung sampai jam 9 malam selanjutnya kita hanya pakai tembok atau lentera atau lampu tempel kadang ada lilin

Penerangan utama menggunakan lampu Aladin
Buat anak cucu yang membaca cerita ini mungkin bisa merasakan bagaimana penderitaan kami semasa kecil
Dan perjuangan Ayah Bunda kami yang begitu keras berjuang

Kupang tetap menjadi saksi hidup

Kini Adik lelaki saya Freddy dan Kakak perempuan saya Christina tinggal di kota Kupang
Juga beberapa Keponakan
Seperti Toni Dima
Paul dan David juga banyak cucu cucu yang cantik cantik dan Ganteng
Ada yang sudah jadi Sarjana Hukum Herline dan Dokter Beatrix
Sebentar lagi akan melanjutkan ke tingkat spesialis

Kota Kenangan dengan
Jagung pulut bakar
Jagung titi di campur kenari
Daging Sei bakar
Daging Lalolak

Dulu di Kuoang banyak Apel
Apel bahkan banyak fi buat makanan babi

kalau kita ke Kapan atau Soe banyak sekali Apel di sepanjang jalan
Juga ke Kefamenanu di TTU
Sempat menikmati pemandangan pantai Kolbano dan Oetune yang memiliki keindahan khas

Yang menjadi kenangan buat saya
Bisa bertemu keluarga yang lebih tua dari kami
Tante dan Om yang sudah tua renta

Kupang menjadi ibu kota yang strategis

dalam sidang IMO tahun 2000 nama Kupang dan Sorong di sebut sebagai tempat singgah atau Hub yang memiliki nilai strategis dan ekonomis
Berada di jalur pelayaran international yang cukup ramai
Mungkin ini yang disebut Poros maritim.

Sebenarnya ada kesempatan Kupang untuk kota transit seperti Singapura

Bayangkan Australia menggunakan Singapura untuk re-packing pupuk untuk ke Asia Timur sampai Eropa
Saya lihat Pulau Semau bisa menjadi Hub Alternatif
Pupuk dari Australia bisa di olah lalu re- packing dalam bag kecil
Sumber hasil bumi
Sumber hasil laut bisa mengisi kapal kapal yang melewati menuju Asia Pacific dan sebaliknya

Kapal kapal masih sedikit karena jumlah komoditas sedikit apalagi operasional belum efisien sehingga mahal sekali
Bayangkan kirim Kontener Surabaya ke Kupang bisa diatas 8 digit
Angka yang cukup fantastis

Kalau saya melihat kejayaan Indonesia itu datangnya harus dari NTT
Nusa Tenggara Timur
Dari segala sudut
Lihat
Peternakan saja
Semua orang di Jawa makan daging sapi dari Kupang
Sebagian orang Tiongkok
Makan sapi impor dari Kupang
Melalui Hongkong
Ratusan ribu ekor sapi di export termasuk ke Australia
Sekarang kita impor sapi dari Australia

Dalam kunjungan ke Kupang saya sempat mampir di Kantor Gubernur NTT
Diterima
Bapak Melki Lakalena sahabat saya lama sekali
Kami menikmati suguhan kue kue dan makanan kecil
Saya memilih jagung rebus dan Singkong Goreng
Buat anda yang belum coba jagung pulut Kupang adalah kerugian besar

Pertanian juga memiliki kesempatan expor
Tahun 1988 seorang Pengusaha Amerika membeli jagung bibit dan di kembangkan tanaman jagung disana sampai ke Amerika Tengah
Hasilnya disana kini menjadi penghasilan jagung terbesar
Kupang punya Motong atau dikenal Dengan daun kelor atau Marungga
Bisa datang di restoran La Moringa (kalau di Jakarta di Kemang)

Perikanan hasil teripang

Kemarin saat tiba saya menikmati Lobster bakar di Hotel IMA yang enak dan Luar biasa
Rumput laut
Dan banyak hasil
Kekayaan tanah Timor sangat berlimpah

Dulu orang bilang
NTT singkatannya
Nasib Tidak Tentu
Atau
Nanti Tuhan Tolong

Tapi buat saya NTT
Itu
Nuansa Tak Terkira
Kelak akan jadi bintang penolong Negara Tanpa Tanding

Saya sudah diatas pesawat Batik
Saya kasih istilah Batik
Buat Anda yang Terbaik

Demikian juga Kupang
Aku panggil Pulang

Mari membangun NTT

Semoga

Adharta

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Pengorbanan, cinta dan air mata

Cerpen 0016

Taman laut
Kupang
Sabtu
4 Oktober 2025

Perjuangan hidup
Dan
perjuangan rumah tangga mereka.

“Doa di Ujung Sunyi”
Surabaya, pukul enam pagi.

Matahari baru saja menyentuh genting-genting rumah kecil di sudut perumahan Menanggal.
Di dapur yang sempit tapi rapi, aroma kopi bercampur roti panggang mengisi udara.
Anita berdiri di depan meja makan, menyiapkan sarapan.

Senyumnya lembut, meski ada semburat letih di matanya. Dari ruang tamu, Bara muncul dengan kemeja putih dan dasi yang sedikit miring.

“Pagi, sayang,” sapa Bara.
“Pagi, Mas,” jawab Anita lirih sambil menuangkan kopi.
Bara mendekat, mencium kening istrinya, lalu duduk.
“Hari ini aku ada rapat guru jam tujuh.
Kamu antar anak-anak TK jalan-jalan, ya?”

Anita mengangguk. “Iya, ke Taman Flora.
Anak-anak pasti senang.”
Dari luar, rumah tangga mereka tampak sempurna
suami istri guru, hidup sederhana tapi saling melengkapi. Namun di balik itu, ada luka yang tak terlihat.

Sudah lima tahun mereka menikah, tapi belum satu pun tangisan bayi terdengar di rumah itu.

Doa dan harapan telah mereka ucapkan ribuan kali, di gereja, di kamar, di setiap detik yang sunyi. Namun jawabannya selalu sama
hening.
Bara mengenal Anita sejak SMA. Dulu mereka hanya teman biasa
sesekali belajar bersama, sesekali bertukar senyum di koridor sekolah.
Setelah lulus, mereka berpisah tanpa janji apa pun.
Tapi takdir mempertemukan kembali di Surabaya.
Bara menjadi guru SMA,
Anita guru TK di sekolah sebelah.
Setiap sore,
Bara sering mampir menjemput Anita pulang.
Dari kebiasaan itulah tumbuh cinta yang sederhana tapi tulus.

Namun kisah mereka tidak semulus jalan Surabaya di musim panas.

Bara, anak laki-laki Jawa, dibesarkan dalam keluarga muslim taat.

Ayahnya pensiunan guru ngaji, ibunya hafal surah Yasin di luar kepala.
Sedang Anita, gadis Batak dari keluarga Protestan yang keras dalam keyakinan.

Ketika hubungan mereka diketahui keluarga, badai pun datang.

“Bara, kamu sudah gila?” bentak ayahnya suatu malam. “Perempuan itu beda agama, beda suku. Jangan nodai darah keluargamu!”

Bara menunduk. Ia mencintai Anita, tapi tak ingin melukai orang tuanya.
Sementara di Medan, orang tua Anita juga marah.
“Kami tak membesarkan kau untuk menikah dengan orang yang tak mengenal Kristus dengan benar!” kata ibunya sambil menangis.

Namun cinta mereka tak menyerah. Setelah bertahun-tahun meyakinkan kedua pihak, Bara dan Anita memutuskan langkah besar: mereka sama-sama masuk Katolik.

Bukan karena paksaan, tapi karena ingin berjalan di satu jalan yang sama, memohon Tuhan menjadi saksi cinta mereka.
Pernikahan mereka sederhana
di sebuah gereja kecil di pinggiran kota, hanya dihadiri beberapa teman dekat.

Bara menatap Anita di depan altar, suaranya bergetar saat mengucapkan janji:
“Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, aku akan tetap setia… sampai maut memisahkan.”

Air mata Anita menetes, tapi senyumnya tulus. Ia percaya, cinta sejati adalah keberanian untuk melawan dunia.
Lima tahun berlalu.
Rumah mereka hangat oleh tawa, tapi juga sering sunyi oleh doa.

Tak ada tangisan bayi, tak ada langkah kecil berlarian di lantai.
Mereka telah mencoba segalanya
dari ramuan tradisional, terapi medis, hingga bayi tabung.
Tapi setiap kali hasilnya negatif, Anita selalu menatap langit dan berbisik,
“Tuhan, kalau bukan sekarang, mungkin nanti. Tapi tolong, jangan ambil harapanku.”
Bara selalu memeluknya dari belakang.

“Kita berdua sudah cukup,” katanya lembut. Tapi dalam hatinya, Bara pun menjerit.
Ia ingin menjadi ayah.
Ia ingin melihat Anita menggendong bayi, bukan hanya boneka anak TK.

Puncak tekanan datang dari keluarganya di Madiun.

Suatu sore, ibunya datang tanpa kabar, duduk di ruang tamu sambil membawa map kuning.
Di dalamnya, foto seorang gadis muda.

“Bara, ini Rini, anak teman Ibu. Masih perawan, sehat.
Kalau kamu mau, bisa kawin siri. Tidak usah Anita tahu,” katanya tenang tapi tajam.

Bara tercekat.
“Bu, jangan bicara begitu. Saya sudah menikah.”

“Tapi kamu belum punya anak!
Kamu laki-laki, harus meneruskan garis keturunan!”

Malam itu, Bara hanya bisa bersujud di ruang doa kecil mereka, menangis tanpa suara.
Anita melihat dari pintu, tapi tak berkata apa pun.
Ia tahu, suaminya sedang berperang antara cinta dan darah.

Hari-hari berikutnya menjadi berat. Bara mulai sering diam, Anita makin sensitif.
Kadang pertengkaran kecil jadi besar hanya karena hal sepele.

“Mas, kenapa sih diam terus? Aku capek disalahkan dunia!”

“Aku juga capek, Nita!
Aku cuma ingin kita kuat!”

Setelah pertengkaran itu, Anita mengurung diri di kamar.

Di tangannya, rosario kecil yang selalu ia genggam sejak mereka menikah.
Dalam keheningan, ia berdoa:

“Tuhan, kalau memang aku tak pantas jadi ibu, biarlah Engkau pakai aku untuk menjadi cahaya bagi anak-anak TK-ku.

Tapi tolong… jangan biarkan Bara berpaling dariku.”

Suatu malam, hujan deras mengguyur Surabaya.
Bara pulang larut, basah kuyup.
Ia duduk di kursi ruang tamu, memandangi foto pernikahan mereka di dinding.

Anita keluar dari kamar, membawa handuk.
“Mas…”
Bara menatapnya.
Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

“Maafkan aku, Nita.
Aku hampir menyerah.
Aku sempat berpikir… menikah lagi.”

Anita menutup mulutnya, menahan tangis.

Tapi lalu ia mendekat, memeluk suaminya erat.

“Mas, aku tahu. Aku juga hampir menyerah.
Tapi kalau kita masih bisa saling memeluk hari ini, berarti Tuhan belum meninggalkan kita.”

Malam itu, mereka berdoa bersama. Di tengah gemuruh hujan, dua hati yang luka menemukan kekuatan baru.

Waktu berlalu. Tahun keenam pernikahan datang tanpa tanda kehamilan. Tapi rumah kecil itu tak lagi sepi.

Setiap Sabtu sore, belasan anak TK datang ke sana untuk belajar menggambar bersama
“Bu Anita dan Pak Bara.”

Mereka tertawa, bernyanyi, berlari di halaman. Bara dan Anita memandangi mereka dari beranda, tersenyum.

“Lihat, Nita,” kata Bara pelan. “Mungkin Tuhan tidak memberi kita anak kandung, tapi memberi banyak anak hati.”

Anita menatapnya dengan mata basah.

“Iya, Mas.

Dan aku mencintai mereka seperti anakku sendiri.”

Suatu pagi, ketika sinar matahari menembus jendela dapur, Anita meletakkan secangkir kopi di meja seperti biasa.

Tapi kali ini ia memandang Bara lama sekali, seakan ingin mengingat setiap garis wajah suaminya.

“Mas,” katanya lirih,
“terima kasih sudah memilihku…

walau aku tak sempurna.”
Bara menggenggam tangannya.

“Tidak, Nita. Justru karena kamu tidak menyerah, aku jadi tahu apa artinya cinta yang sejati.”

Mereka tersenyum.
Di luar, suara anak-anak kecil mulai terdengar di halaman.
Hidup mereka tetap sederhana, tetap tanpa anak kandung.
Tapi setiap tawa anak-anak TK yang memanggil “Bu” dan “Pak” adalah bukti
Tuhan memang tidak pernah lupa memberi cinta. Hanya caranya yang berbeda.

Di gereja kecil tempat mereka dulu menikah, lilin masih menyala setiap Minggu.
Di bangku keempat dari depan,
Bara dan Anita duduk berdampingan, menggenggam tangan satu sama lain.

Mereka tak lagi berdoa meminta anak.
Kini mereka hanya berbisik,

“Terima kasih, Tuhan.

Karena Engkau telah mengajarkan kami arti cinta yang tak harus selalu memiliki, tapi selalu memberi.”

Dan di ujung doa itu, air mata mereka jatuh bersamaan
bukan lagi karena sedih, tapi karena syukur.

Www.adharta.com

Www.kris.com

Di Ujung Hujan, Ada Pelangi

Cerpen no 012

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Akhir September 2025

Musim hujan Jakarta

Malam itu hujan jatuh dengan deras di sebuah desa kecil di lereng gunung Dieng.
Atap rumah-rumah tua berderak menahan derasnya air.

Dari jendela sebuah rumah kayu, seorang gadis bernama Anjani menatap keluar.
Usianya baru tujuh belas, matanya jernih, seolah menyimpan langit yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun.
Ia tinggal bersama ibunya, Saras, seorang perempuan sederhana yang menjual sayur di pasar
Ayah Anjani sudah lama tiada, meninggalkan mereka dengan kenangan dan kesunyian.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Anjani memiliki dunia rahasia
ia bisa berbicara dengan bunga-bunga liar di kebun belakang rumahnya. Setiap kali hatinya resah, bunga mawar kuning akan berbisik lembut, “Jangan takut, hujan hanyalah cara langit mencuci luka bumi.”
Dan bunga melati akan menenangkan, “Kesedihanmu akan menjadi harum, suatu hari nanti.”

Rahasia itu membuat Anjani sering dipandang aneh oleh teman-teman sebaya.
Tapi ada satu orang yang selalu mempercayainya, seorang pemuda desa bernama Raka.

Pertemuan yang Mengikat Hati
Raka adalah anak dari keluarga petani kopi.
Usianya lebih tua tiga tahun dari Anjani, wajahnya teduh dengan senyum yang selalu hangat. Mereka bertemu pertama kali ketika Anjani menolong adik Raka yang jatuh di jalan desa. Sejak itu, kedekatan tumbuh perlahan, bagai benih yang disiram hujan lembut.
“Kenapa kamu sering berbicara sendiri di kebun?” tanya Raka suatu sore, saat matahari mulai turun di balik perbukitan.
Anjani tersenyum malu. “Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara dengan bunga-bunga.

Mereka mengerti perasaanku.”
Alih-alih menertawakan, Raka justru menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kalau begitu, suatu hari kenalkan aku pada bunga-bunga itu. Biar aku juga bisa belajar mendengarkan.”

Bagi Anjani, itu adalah momen paling indah. Pertama kali ada seseorang yang tidak menganggapnya gila.
Bayangan Gelap
Namun hidup tidak selalu ramah.

Saras, ibu Anjani, mulai sakit-sakitan. Batuknya tak kunjung reda, tubuhnya makin kurus. Ia tetap memaksa berjualan sayur di pasar, menolak anaknya berhenti sekolah.

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Saras memanggil Anjani.
“Nak, jangan takut pada hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu harus tetap kuat.
Kamu punya hatimu sendiri, itu cahaya yang akan membimbingmu.”

Anjani menangis, menggenggam tangan ibunya. “Ibu jangan bicara begitu. Aku tidak bisa sendiri.”
“Tidak ada yang benar-benar sendiri, Nak. Bahkan bunga pun punya angin dan hujan yang menemani mereka tumbuh.”

Keesokan harinya, Saras jatuh pingsan di pasar.
Dunia Anjani runtuh.
Harapan yang Pudar
Raka selalu ada, menemani Anjani melewati hari-hari kelabu. Ia membantu biaya berobat Saras, meski keluarganya sendiri tak kaya. Hubungan mereka semakin erat, tapi di balik itu muncul penolakan.

Ayah Raka menentang keras kedekatan mereka. “Keluarga kita sudah susah, jangan tambah susah dengan menikahi gadis yang ibunya sekarat.

Apa jadinya nanti? Kau butuh istri yang bisa menopang, bukan beban.”

Raka terdiam, hatinya terbelah. Tapi di depan Anjani, ia tetap teguh.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Anjani tahu, kata-kata itu tulus.
Namun ia juga tahu, kehidupan nyata tak semudah janji.

Fantasi yang Menyelamatkan
Suatu malam, Anjani kembali berbicara dengan bunga-bunga. “Aku takut kehilangan segalanya.
Aku takut dunia ini tidak menyisakan apa pun untukku.”
Mawar kuning menjawab, “Setiap kehilangan adalah pintu menuju pertemuan baru.”

Tiba-tiba, cahaya lembut menyelimuti kebun.
Dari kelopak bunga bermekaran, muncullah sosok perempuan bercahaya, gaunnya terbuat dari daun-daun yang berkilau basah oleh embun.

“Aku adalah Penjaga Kebun Kenangan,” katanya dengan suara selembut desir angin. “Hatimu yang murni membuatku bisa hadir.

Jangan takut, Anjani. Bahkan jika dunia mengambil yang kau cintai, selalu ada ruang di dalam dirimu untuk menumbuhkan cinta kembali.”

Air mata Anjani mengalir.
Ia merasa hangat untuk pertama kalinya sejak ibunya sakit.
Perpisahan yang Mengajarkan Cinta
Beberapa minggu kemudian, Saras meninggal dunia. Anjani merasa separuh dirinya ikut terkubur.

Pada malam kepergian ibunya, ia kembali ke kebun. Bunga-bunga berbisik serentak, seperti paduan suara yang indah namun menyayat

“Air mata adalah hujan, dan hujan menumbuhkan kehidupan baru.”

Raka berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangannya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Namun kenyataan kembali mengepung.

Ayah Raka semakin keras menentang.

Raka akhirnya dihadapkan pada pilihan: keluarga atau cinta.
Dan pada suatu sore, di tepi sungai, Raka menatap Anjani dengan mata berkaca.
“Aku ingin tetap bersamamu. Tapi ayahku… aku tidak bisa melawan dia selamanya.”

Anjani tersenyum lirih, meski hatinya hancur.
“Jangan khawatir, Raka. Aku tidak marah. Cinta itu bukan hanya memiliki. Kadang, cinta berarti melepaskan.”

Kesepian yang Menumbuhkan Harapan

Hari-hari berikutnya, Anjani hidup sendiri. Rumahnya sepi, tapi kebun bunganya selalu hidup.
Kadang ia merasa Saras hadir dalam harum melati, atau Raka bernafas dalam segarnya angin sore.
Ia mulai menulis, menuangkan percakapannya dengan bunga-bunga dalam bentuk cerita.

Setiap kata adalah obat bagi luka hatinya. Cerpen-cerpen itu kemudian ia titipkan pada seorang guru, yang diam-diam mengirimkannya ke sebuah majalah sastra.

Beberapa bulan kemudian, karyanya dimuat.

Ia mendapat surat dari seorang editor di Jakarta, menawarkan kesempatan untuk menulis lebih banyak.
Untuk pertama kali, Anjani merasakan jalan baru terbuka. Meski sendirian, ia tahu ibunya pasti tersenyum dari langit.

Akhir yang Pahit namun Indah

Bertahun-tahun berlalu.
Anjani tumbuh menjadi penulis muda yang dikenal karena kisah-kisahnya yang sarat air mata dan keajaiban kecil.

Dalam setiap tulisannya, selalu ada tokoh bunga, selalu ada hujan, dan selalu ada cinta yang meski berakhir sedih, tetap menumbuhkan harapan.

Raka? Ia menikah dengan gadis pilihan keluarganya. Tapi di dalam hatinya, ada ruang kecil yang tak pernah hilang untuk Anjani.

Pada suatu sore, ketika Anjani menatap matahari tenggelam di kebunnya, ia berbisik pada bunga mawar kuning:
“Apakah aku bahagia?”

Mawar itu menjawab lembut,
“Bahagia tidak selalu berarti memiliki segalanya.

Bahagia adalah ketika kau masih bisa mencintai, meski dari jauh, meski dalam kenangan.”

Anjani menutup matanya, membiarkan air mata jatuh.
Tapi di balik air mata itu, ada senyum.
Ia tahu, meski kisah cintanya tak berakhir seperti dongeng, hidupnya tetap dipenuhi cahaya.
Karena setiap hujan, pada akhirnya, selalu menyisakan pelangi.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Kalabahi Antara Hidup dan Cinta

Cerpen 0015

Oleh : Adharta

Ketua Umum

KRIS

Saya lahir di kota kecil Kalabahi, Pulau Alor, tahun 1958. Kota ini mungkin tidak setenar Surabaya, Jakarta, atau Makassar. Namun bagi saya, Kalabahi adalah tanah pertama yang mengajarkan arti kehidupan. Laut birunya, bukit-bukit yang mengelilinginya, dan pelabuhan kecil yang ramai oleh kapal PELNI menjadi bagian dari cerita masa kecil saya.

Ayah saya, Ingin Soei Ping—lebih dikenal dengan nama Johnny Ongko—adalah seorang pegawai PELNI. Ketika saya lahir, beliau bertugas sebagai Kepala Cabang di Kalabahi. Perjalanan hidupnya penuh perjuangan. Lahir di Fu Zhou, Tiongkok, ayah sudah merantau ke Indonesia sejak usia sepuluh tahun lebih. Seorang anak kecil yang datang dengan harapan, bekerja keras, dan akhirnya mampu berdiri tegak membangun keluarga. Dari tanah rantau inilah ia menemukan tempat tinggal, rezeki, dan cinta.

Ibu saya, Tjia Soei Tjoe, lahir di Makassar. Keluarganya berasal dari marga Hok Tjia di Tiongkok. Berbeda dengan ayah yang datang dengan kisah perantauan panjang, ibu tumbuh di tanah nusantara. Kelembutan dan keteguhannya menjadi penopang hidup keluarga. Dari beliaulah saya mengenal arti kasih yang tak pernah lekang oleh waktu.

Masa Kecil di Kalabahi

Masa kecil saya di Kalabahi sederhana. Hidup di kota pelabuhan kecil membuat hari-hari selalu diwarnai riuh kapal yang datang dan pergi. Saya masih ingat bagaimana aroma garam laut bercampur dengan suara peluit kapal menjadi bagian dari keseharian. Dari pelabuhan itulah ayah bekerja, memastikan semuanya berjalan dengan baik.

Kadang saya ikut melihat beliau bekerja. Dengan seragam rapi dan langkah tegap, ayah berdiri sebagai pemimpin di cabang PELNI. Ia sosok yang disegani, tetapi di rumah, ia tetaplah ayah yang penuh perhatian. Saya belajar dari sikap tegasnya, juga dari semangatnya untuk tidak menyerah pada keadaan.

Ibu, sebaliknya, adalah sosok hangat yang menjaga rumah tetap hidup. Ia mendidik saya dan saudara-saudara dengan penuh kesabaran. Saya masih bisa mengingat senyum lembutnya ketika menyiapkan makanan, atau saat menenangkan kami ketika ribut kecil sesama anak-anak.

Kalabahi bagi saya adalah kota cinta—cinta ayah yang berani meninggalkan tanah kelahirannya demi masa depan, cinta ibu yang setia mendampingi, dan cinta keluarga yang tumbuh di antara kesederhanaan hidup.

Kembali ke Kalabahi

Puluhan tahun berlalu. Waktu membawa saya jauh dari kota kecil ini. Saya tumbuh, menapaki jalan hidup, membangun keluarga sendiri, dan menghadapi suka-duka kehidupan. Namun,

Kalabahi tetap melekat di hati.

Hari ini, saya kembali. Bersama istri saya, Magdalena, dan kakak saya, Elianora, kami datang dalam rangka mengantar Hwa Dung bersama kedua anaknya, Guang Jie dan Guang Yie.

Ketika kapal merapat di pelabuhan Kalabahi, hati saya bergetar. Laut yang dulu terasa begitu luas kini menyambut saya seperti sahabat lama. Angin laut bertiup membawa kenangan. Setiap riak ombak seolah berbicara, mengingatkan saya pada masa kanak-kanak yang pernah dihabiskan di sini.

Bersama Magdalena, istri yang setia mendampingi perjalanan hidup saya, dan Elianora, kakak yang mengingatkan pada cerita masa kecil, saya melangkah menapaki tanah Kalabahi kembali. Kami berjalan di jalan-jalan kecil yang dikelilingi rumah-rumah sederhana. Sesekali saya berhenti, memandang sekitar, mencoba mencari jejak masa lalu.

Saya membayangkan kembali saat kecil berlari di halaman rumah, mendengar suara ibu memanggil dari dapur, atau melihat ayah pulang dari pelabuhan dengan wajah lelah tapi bahagia. Semua itu seperti hadir kembali, meski kini hanya tinggal kenangan.

Antara Hidup dan Cinta

Hidup adalah perjalanan panjang. Dari Kalabahi saya memulai, lalu beranjak ke banyak kota, menghadapi banyak pengalaman, kegagalan, keberhasilan, kesedihan, dan kebahagiaan. Namun dalam semua itu, ada satu hal yang selalu menjadi pegangan: cinta.

Cinta ayah dan ibu yang berani membangun hidup di tanah baru.

Cinta keluarga yang membuat saya bertahan meski keadaan sulit.

Cinta istri dan anak-anak yang memberi alasan untuk terus berjuang.

Dan hari ini, ketika kembali ke Kalabahi, saya sadar bahwa cinta itu pula yang membawa saya pulang.

Kalabahi bukan hanya kota kelahiran. Ia adalah rumah kenangan, tempat saya belajar arti keberanian, arti kesetiaan, arti keluarga, dan arti cinta.

Di antara hidup yang penuh liku, cinta selalu menjadi alasan untuk melangkah. Dan bagi saya, Kalabahi akan selalu dikenang sebagai titik awal segalanya—antara hidup dan cinta.

Alor Surga di Timur Nusantara

Oleh : Adharta

Ketua Umum

KRIS

Kalabahi

Kamis

2 Oktober 2025

Kisah kasih

Diatas pulau Alor

Pagi itu, udara Kalabahi begitu segar, langit biru cerah tanpa awan, seakan menyambut setiap langkah kami.

Dari Hotel Pelangi, saya, istri, dan keluarga besar yang berjumlah dua puluh orang dengan empat mobil, bersiap memulai perjalanan menuju salah satu keajaiban alam Pulau Alor: Pantai Mali, yang terletak tak jauh dari bandara. Tujuan utama kami adalah melihat dari dekat penghuni laut yang unik dan langka, si lembut penjelajah samudera dugong.

Dalam bahasa Mandarin, dugong dikenal sebagai 美人鱼 (Měi rén yú), yang secara harfiah berarti ikan putri cantik atau mermaid.

Saya jelaskan kepada Hwa Dung, Guanjie, dan Guanyi bahwa masyarakat lokal sering menyebutnya sebagai “ikan duyung” atau “ikan orang cantik.”

Nama yang indah, sama indahnya dengan makhluk itu sendiri.

Dugong adalah lambang harmoni antara manusia dan laut, simbol betapa kayanya Pulau Alor yang masih menyimpan keaslian alamnya.

Alam yang Memikat

Alor bukanlah sekadar pulau biasa.

Ia adalah permata di ujung timur Nusa Tenggara Timur, surga yang belum sepenuhnya terjamah modernitas.

Pantai-pantainya masih alami, lautnya sebening kristal, terumbu karangnya menari-nari dalam warna, dan masyarakatnya hidup dengan keramahan khas daerah timur.

Ketika kami tiba di Pantai Mali, mata kami disuguhi panorama pasir putih bersih yang berpadu dengan air laut biru toska.

Ombak kecil berkejaran di tepi pantai, sementara di kejauhan terlihat bayangan hijau perbukitan yang menambah kesan megah.

Tidak heran jika banyak orang mengatakan: “Jika belum sampai Alor, berarti belum merasakan surga dunia.”

Dan memang benar. Setiap jengkal tanah Alor menyimpan pesona.

Bukan hanya lautnya, tapi juga pegunungan, perkebunan, dan desa-desa yang masih menyimpan tradisi leluhur.

Musim Buah yang Menggoda

Kebetulan, perjalanan kami kali ini berlangsung saat musim mangga dan kelapa.

Pohon-pohon di sepanjang jalan tampak berbuah lebat.

Mangga yang ranum berwarna kuning keemasan jatuh bergantungan, mengundang untuk dipetik. Kelapa muda segar pun menjadi pelepas dahaga terbaik dalam cuaca hangat tropis.

“Wah, luar biasa,” kata salah satu anggota keluarga sambil menikmati segarnya kelapa muda yang baru saja dibelah. Tidak ada minuman modern yang mampu menandingi kesegaran alami itu.

Menjelajah Pantai Pulau Buaya

Sehari sebelumnya, kami sempat menikmati indahnya pantai di depan Pulau Buaya, sebuah lokasi wisata yang kini dimiliki oleh Bapak Kornelius Retika. Pantai itu begitu tenang, air lautnya sebening kaca hingga ikan-ikan kecil terlihat jelas berenang di bawah permukaan. Anak-anak berlarian di pasir, sementara orang dewasa bersantai menikmati hembusan angin laut.

Menikmati Kuliner Khas Alor

Tak lengkap rasanya menikmati perjalanan tanpa mencicipi makanan khas daerah. Alor kaya dengan sajian tradisional yang menggugah selera.

Kami disuguhi berbagai hidangan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyimpan cerita panjang warisan nenek moyang.

Ada kue rambut, dengan bentuknya yang unik menyerupai helaian halus, manis legit di lidah.

Kue cucur yang gurih dan harum, kue wajik dengan rasa manis ketan yang melekat, singkong goreng sederhana namun nikmat, hingga pisang goreng yang hangat renyah. Jangan lupakan lumpia Alor dengan isian khas, serta mie Alor yang menggoda selera. Semua itu berpuncak pada sajian utama: ikan bakar segar yang baru diambil dari laut. Rasanya sungguh luar biasa—lezat, murni, dan otentik.

Kuliner Alor bukan sekadar makanan, melainkan sebuah perayaan atas kesederhanaan hidup yang berpadu dengan kekayaan alam.

Jejak Keluarga di Kalabahi

Selain keindahan alam, perjalanan kali ini juga membawa kami menelusuri jejak sejarah keluarga. Saya berkesempatan mengunjungi rumah kakek saya, Ong King Tjao, yang merupakan salah satu pendiri kota Kalabahi. Rumah itu kini telah menjadi cagar budaya, simbol peran serta keluarga dalam pembangunan kota. Berdiri di depan rumah bersejarah itu, hati saya dipenuhi rasa syukur sekaligus haru.

Kami juga menyempatkan diri untuk mengunjungi makam nenek saya, yang kami panggil Putri Ina Lipu. Beliau bukan orang sembarangan—salah satu putri raja Alor yang dikenal dengan kecantikan dan keanggunannya. Berziarah ke makam beliau menjadi momen refleksi, mengingatkan kami pada akar dan identitas yang melekat kuat di tanah kelahiran ini.

Pesona Budaya dan Masyarakat

Selain panorama alam, Pulau Alor juga mempesona dengan budaya masyarakatnya. Tarian tradisional, musik sasando, dan tenun ikat khas Alor adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Setiap helai kain tenun dibuat dengan tangan, penuh makna dan simbol yang menceritakan sejarah, status sosial, hingga doa yang terselip dalam motifnya.

Masyarakat Alor hidup dalam kebersahajaan, dengan nilai kekeluargaan yang kuat. Mereka menyambut tamu dengan senyum hangat, membuat setiap pengunjung merasa seperti pulang ke rumah sendiri.

Pulau yang Tak Terlupakan

Perjalanan ke Alor bukanlah sekadar liburan, melainkan sebuah pengalaman spiritual. Setiap sudutnya menyimpan kisah, setiap hembusan angin membawa kenangan, dan setiap langkah menegaskan rasa cinta pada tanah kelahiran.

Bagi saya pribadi, Alor bukan hanya indah karena laut, pantai, atau gunungnya. Ia indah karena menyimpan sejarah keluarga, akar kehidupan, dan identitas yang tak tergantikan. Dari rumah kakek yang kini menjadi cagar budaya, hingga makam nenek yang mulia, semuanya menegaskan bahwa Alor bukan sekadar tanah, melainkan tanah tumpah darah yang memberi arti sejati pada kata pulang.

Penutup

Pulau Alor adalah surga yang nyata. Keindahan alamnya begitu memikat, kulinernya menggoda, budayanya kaya, dan masyarakatnya ramah. Tak berlebihan jika saya mengatakan: “Jika belum sampai Alor, berarti belum merasakan surga dunia.”

Bersama keluarga, saya menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang wisata, tetapi tentang merawat kenangan, menghormati leluhur, dan mensyukuri anugerah Tuhan. Di Alor, kami tidak hanya berlibur, tetapi juga kembali ke akar, kembali ke asal, dan kembali pada rasa cinta yang paling murni untuk tanah kelahiran.