Cerpen no 012
Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS
Akhir September 2025
Musim hujan Jakarta
Malam itu hujan jatuh dengan deras di sebuah desa kecil di lereng gunung Dieng.
Atap rumah-rumah tua berderak menahan derasnya air.
Dari jendela sebuah rumah kayu, seorang gadis bernama Anjani menatap keluar.
Usianya baru tujuh belas, matanya jernih, seolah menyimpan langit yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun.
Ia tinggal bersama ibunya, Saras, seorang perempuan sederhana yang menjual sayur di pasar
Ayah Anjani sudah lama tiada, meninggalkan mereka dengan kenangan dan kesunyian.
Meskipun hidup dalam kesederhanaan, Anjani memiliki dunia rahasia
ia bisa berbicara dengan bunga-bunga liar di kebun belakang rumahnya. Setiap kali hatinya resah, bunga mawar kuning akan berbisik lembut, “Jangan takut, hujan hanyalah cara langit mencuci luka bumi.”
Dan bunga melati akan menenangkan, “Kesedihanmu akan menjadi harum, suatu hari nanti.”
Rahasia itu membuat Anjani sering dipandang aneh oleh teman-teman sebaya.
Tapi ada satu orang yang selalu mempercayainya, seorang pemuda desa bernama Raka.
Pertemuan yang Mengikat Hati
Raka adalah anak dari keluarga petani kopi.
Usianya lebih tua tiga tahun dari Anjani, wajahnya teduh dengan senyum yang selalu hangat. Mereka bertemu pertama kali ketika Anjani menolong adik Raka yang jatuh di jalan desa. Sejak itu, kedekatan tumbuh perlahan, bagai benih yang disiram hujan lembut.
“Kenapa kamu sering berbicara sendiri di kebun?” tanya Raka suatu sore, saat matahari mulai turun di balik perbukitan.
Anjani tersenyum malu. “Aku tidak bicara sendiri. Aku bicara dengan bunga-bunga.
Mereka mengerti perasaanku.”
Alih-alih menertawakan, Raka justru menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kalau begitu, suatu hari kenalkan aku pada bunga-bunga itu. Biar aku juga bisa belajar mendengarkan.”
Bagi Anjani, itu adalah momen paling indah. Pertama kali ada seseorang yang tidak menganggapnya gila.
Bayangan Gelap
Namun hidup tidak selalu ramah.
Saras, ibu Anjani, mulai sakit-sakitan. Batuknya tak kunjung reda, tubuhnya makin kurus. Ia tetap memaksa berjualan sayur di pasar, menolak anaknya berhenti sekolah.
Suatu malam, ketika hujan turun deras, Saras memanggil Anjani.
“Nak, jangan takut pada hidup. Kalau Ibu tidak ada, kamu harus tetap kuat.
Kamu punya hatimu sendiri, itu cahaya yang akan membimbingmu.”
Anjani menangis, menggenggam tangan ibunya. “Ibu jangan bicara begitu. Aku tidak bisa sendiri.”
“Tidak ada yang benar-benar sendiri, Nak. Bahkan bunga pun punya angin dan hujan yang menemani mereka tumbuh.”
Keesokan harinya, Saras jatuh pingsan di pasar.
Dunia Anjani runtuh.
Harapan yang Pudar
Raka selalu ada, menemani Anjani melewati hari-hari kelabu. Ia membantu biaya berobat Saras, meski keluarganya sendiri tak kaya. Hubungan mereka semakin erat, tapi di balik itu muncul penolakan.
Ayah Raka menentang keras kedekatan mereka. “Keluarga kita sudah susah, jangan tambah susah dengan menikahi gadis yang ibunya sekarat.
Apa jadinya nanti? Kau butuh istri yang bisa menopang, bukan beban.”
Raka terdiam, hatinya terbelah. Tapi di depan Anjani, ia tetap teguh.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Anjani tahu, kata-kata itu tulus.
Namun ia juga tahu, kehidupan nyata tak semudah janji.
Fantasi yang Menyelamatkan
Suatu malam, Anjani kembali berbicara dengan bunga-bunga. “Aku takut kehilangan segalanya.
Aku takut dunia ini tidak menyisakan apa pun untukku.”
Mawar kuning menjawab, “Setiap kehilangan adalah pintu menuju pertemuan baru.”
Tiba-tiba, cahaya lembut menyelimuti kebun.
Dari kelopak bunga bermekaran, muncullah sosok perempuan bercahaya, gaunnya terbuat dari daun-daun yang berkilau basah oleh embun.
“Aku adalah Penjaga Kebun Kenangan,” katanya dengan suara selembut desir angin. “Hatimu yang murni membuatku bisa hadir.
Jangan takut, Anjani. Bahkan jika dunia mengambil yang kau cintai, selalu ada ruang di dalam dirimu untuk menumbuhkan cinta kembali.”
Air mata Anjani mengalir.
Ia merasa hangat untuk pertama kalinya sejak ibunya sakit.
Perpisahan yang Mengajarkan Cinta
Beberapa minggu kemudian, Saras meninggal dunia. Anjani merasa separuh dirinya ikut terkubur.
Pada malam kepergian ibunya, ia kembali ke kebun. Bunga-bunga berbisik serentak, seperti paduan suara yang indah namun menyayat
“Air mata adalah hujan, dan hujan menumbuhkan kehidupan baru.”
Raka berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangannya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Namun kenyataan kembali mengepung.
Ayah Raka semakin keras menentang.
Raka akhirnya dihadapkan pada pilihan: keluarga atau cinta.
Dan pada suatu sore, di tepi sungai, Raka menatap Anjani dengan mata berkaca.
“Aku ingin tetap bersamamu. Tapi ayahku… aku tidak bisa melawan dia selamanya.”
Anjani tersenyum lirih, meski hatinya hancur.
“Jangan khawatir, Raka. Aku tidak marah. Cinta itu bukan hanya memiliki. Kadang, cinta berarti melepaskan.”
Kesepian yang Menumbuhkan Harapan
Hari-hari berikutnya, Anjani hidup sendiri. Rumahnya sepi, tapi kebun bunganya selalu hidup.
Kadang ia merasa Saras hadir dalam harum melati, atau Raka bernafas dalam segarnya angin sore.
Ia mulai menulis, menuangkan percakapannya dengan bunga-bunga dalam bentuk cerita.
Setiap kata adalah obat bagi luka hatinya. Cerpen-cerpen itu kemudian ia titipkan pada seorang guru, yang diam-diam mengirimkannya ke sebuah majalah sastra.
Beberapa bulan kemudian, karyanya dimuat.
Ia mendapat surat dari seorang editor di Jakarta, menawarkan kesempatan untuk menulis lebih banyak.
Untuk pertama kali, Anjani merasakan jalan baru terbuka. Meski sendirian, ia tahu ibunya pasti tersenyum dari langit.
Akhir yang Pahit namun Indah
Bertahun-tahun berlalu.
Anjani tumbuh menjadi penulis muda yang dikenal karena kisah-kisahnya yang sarat air mata dan keajaiban kecil.
Dalam setiap tulisannya, selalu ada tokoh bunga, selalu ada hujan, dan selalu ada cinta yang meski berakhir sedih, tetap menumbuhkan harapan.
Raka? Ia menikah dengan gadis pilihan keluarganya. Tapi di dalam hatinya, ada ruang kecil yang tak pernah hilang untuk Anjani.
Pada suatu sore, ketika Anjani menatap matahari tenggelam di kebunnya, ia berbisik pada bunga mawar kuning:
“Apakah aku bahagia?”
Mawar itu menjawab lembut,
“Bahagia tidak selalu berarti memiliki segalanya.
Bahagia adalah ketika kau masih bisa mencintai, meski dari jauh, meski dalam kenangan.”
Anjani menutup matanya, membiarkan air mata jatuh.
Tapi di balik air mata itu, ada senyum.
Ia tahu, meski kisah cintanya tak berakhir seperti dongeng, hidupnya tetap dipenuhi cahaya.
Karena setiap hujan, pada akhirnya, selalu menyisakan pelangi.
Www.kris.or.id
Www.adharta.com
