Cerpen 0015
Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS
Saya lahir di kota kecil Kalabahi, Pulau Alor, tahun 1958. Kota ini mungkin tidak setenar Surabaya, Jakarta, atau Makassar. Namun bagi saya, Kalabahi adalah tanah pertama yang mengajarkan arti kehidupan. Laut birunya, bukit-bukit yang mengelilinginya, dan pelabuhan kecil yang ramai oleh kapal PELNI menjadi bagian dari cerita masa kecil saya.
Ayah saya, Ingin Soei Ping—lebih dikenal dengan nama Johnny Ongko—adalah seorang pegawai PELNI. Ketika saya lahir, beliau bertugas sebagai Kepala Cabang di Kalabahi. Perjalanan hidupnya penuh perjuangan. Lahir di Fu Zhou, Tiongkok, ayah sudah merantau ke Indonesia sejak usia sepuluh tahun lebih. Seorang anak kecil yang datang dengan harapan, bekerja keras, dan akhirnya mampu berdiri tegak membangun keluarga. Dari tanah rantau inilah ia menemukan tempat tinggal, rezeki, dan cinta.
Ibu saya, Tjia Soei Tjoe, lahir di Makassar. Keluarganya berasal dari marga Hok Tjia di Tiongkok. Berbeda dengan ayah yang datang dengan kisah perantauan panjang, ibu tumbuh di tanah nusantara. Kelembutan dan keteguhannya menjadi penopang hidup keluarga. Dari beliaulah saya mengenal arti kasih yang tak pernah lekang oleh waktu.
Masa Kecil di Kalabahi
Masa kecil saya di Kalabahi sederhana. Hidup di kota pelabuhan kecil membuat hari-hari selalu diwarnai riuh kapal yang datang dan pergi. Saya masih ingat bagaimana aroma garam laut bercampur dengan suara peluit kapal menjadi bagian dari keseharian. Dari pelabuhan itulah ayah bekerja, memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Kadang saya ikut melihat beliau bekerja. Dengan seragam rapi dan langkah tegap, ayah berdiri sebagai pemimpin di cabang PELNI. Ia sosok yang disegani, tetapi di rumah, ia tetaplah ayah yang penuh perhatian. Saya belajar dari sikap tegasnya, juga dari semangatnya untuk tidak menyerah pada keadaan.
Ibu, sebaliknya, adalah sosok hangat yang menjaga rumah tetap hidup. Ia mendidik saya dan saudara-saudara dengan penuh kesabaran. Saya masih bisa mengingat senyum lembutnya ketika menyiapkan makanan, atau saat menenangkan kami ketika ribut kecil sesama anak-anak.
Kalabahi bagi saya adalah kota cinta—cinta ayah yang berani meninggalkan tanah kelahirannya demi masa depan, cinta ibu yang setia mendampingi, dan cinta keluarga yang tumbuh di antara kesederhanaan hidup.
Kembali ke Kalabahi
Puluhan tahun berlalu. Waktu membawa saya jauh dari kota kecil ini. Saya tumbuh, menapaki jalan hidup, membangun keluarga sendiri, dan menghadapi suka-duka kehidupan. Namun,
Kalabahi tetap melekat di hati.
Hari ini, saya kembali. Bersama istri saya, Magdalena, dan kakak saya, Elianora, kami datang dalam rangka mengantar Hwa Dung bersama kedua anaknya, Guang Jie dan Guang Yie.
Ketika kapal merapat di pelabuhan Kalabahi, hati saya bergetar. Laut yang dulu terasa begitu luas kini menyambut saya seperti sahabat lama. Angin laut bertiup membawa kenangan. Setiap riak ombak seolah berbicara, mengingatkan saya pada masa kanak-kanak yang pernah dihabiskan di sini.
Bersama Magdalena, istri yang setia mendampingi perjalanan hidup saya, dan Elianora, kakak yang mengingatkan pada cerita masa kecil, saya melangkah menapaki tanah Kalabahi kembali. Kami berjalan di jalan-jalan kecil yang dikelilingi rumah-rumah sederhana. Sesekali saya berhenti, memandang sekitar, mencoba mencari jejak masa lalu.
Saya membayangkan kembali saat kecil berlari di halaman rumah, mendengar suara ibu memanggil dari dapur, atau melihat ayah pulang dari pelabuhan dengan wajah lelah tapi bahagia. Semua itu seperti hadir kembali, meski kini hanya tinggal kenangan.
Antara Hidup dan Cinta
Hidup adalah perjalanan panjang. Dari Kalabahi saya memulai, lalu beranjak ke banyak kota, menghadapi banyak pengalaman, kegagalan, keberhasilan, kesedihan, dan kebahagiaan. Namun dalam semua itu, ada satu hal yang selalu menjadi pegangan: cinta.
Cinta ayah dan ibu yang berani membangun hidup di tanah baru.
Cinta keluarga yang membuat saya bertahan meski keadaan sulit.
Cinta istri dan anak-anak yang memberi alasan untuk terus berjuang.
Dan hari ini, ketika kembali ke Kalabahi, saya sadar bahwa cinta itu pula yang membawa saya pulang.
Kalabahi bukan hanya kota kelahiran. Ia adalah rumah kenangan, tempat saya belajar arti keberanian, arti kesetiaan, arti keluarga, dan arti cinta.
Di antara hidup yang penuh liku, cinta selalu menjadi alasan untuk melangkah. Dan bagi saya, Kalabahi akan selalu dikenang sebagai titik awal segalanya—antara hidup dan cinta.
