Monthly Archives: October 2025

Dua Cinta di Antara Langit

Cerpen 020

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Awal dari Cinta yang Sederhana
Pagi itu, lonceng Gereja Santa Monika di daerah
Serpong berdentang pelan, mengiringi langkah sepasang insan yang bersumpah di hadapan altar.

Jaya dan Monik.

Awal tahun 1980.
Tak ada pesta mewah, tak ada taburan bunga atau gaun panjang berkilau. Yang ada hanyalah cinta yang murni, sederhana, dan penuh harapan.

Monik menatap Jaya dengan mata berembun.
“Janji ya, kita jalanin semuanya bareng-bareng, suka dan duka.”
Jaya tersenyum, menggenggam tangan istrinya erat.

“Selama Tuhan di tengah kita, semua akan baik-baik saja.”

Dan benar. Hidup mereka dijalani dengan kerja keras dan iman.
Jaya memulai dari nol
dari kuli bangunan, tukang kayu, sampai perlahan dipercaya menjadi mandor dan kemudian manajer lapangan di perusahaan konstruksi besar.

Monik, dengan kelembutan hatinya, menjadi pelita keluarga. Ia bekerja serabutan, kadang menjahit, kadang membantu pelayanan sosial di gereja.
Dari cinta itu, Tuhan menghadiahkan dua anak laki-laki yang tampan dan cerdas:

Rudy dan Radit.
Rumah sederhana mereka di Serpong selalu penuh tawa, doa, dan aroma masakan Monik yang hangat.

Anak-Anak yang Bertumbuh

Waktu berlalu.
Rudy tumbuh menjadi anak yang ambisius dan cerdas
jago berhitung, berani berpendapat, dan selalu ingin jadi juara.
Sedangkan Radit…
ia tenang, lembut, dan penuh kasih. Setiap kali Monik menutup doa malam, Radit kecil selalu berkata:

“Ma, kalau aku besar nanti, aku mau kerja buat Tuhan ya.”

Monik hanya tersenyum waktu itu, menganggapnya sekadar celoteh polos anak kecil.

Tapi rupanya, benih itu tumbuh diam-diam.
Ketika Rudy diterima di UCLA mengambil hukum, kebanggaan keluarga meledak.

“Anak kita kuliah di Amerika!” kata Jaya bangga.
Beberapa tahun kemudian, Radit menyusul, diterima di Boston University jurusan teknik.

Doa mereka seolah terjawab dua anak sukses, dua harapan bangsa.

Hidup keluarga Jaya berubah pesat.

Bisnis konstruksi yang dulu kecil kini meraksasa.

Jaya menjadi salah satu pengusaha besar di Indonesia. Rumah mereka menjulang tinggi di Jakarta Selatan, namun doa Rosario setiap malam tak pernah hilang.
Mereka tetap sederhana, tetap setia pada gereja dan pelayanan.

Berita dari Boston

Suatu sore, kabar bahagia datang:

Radit lulus dengan predikat cum laude dari Boston University.

Namun dalam surat yang sama, terselip kalimat yang mengguncang dunia mereka:

“Pa, Ma, aku ingin melanjutkan hidupku menjadi Imam.
Aku sudah mendaftar di seminari, dan jika Tuhan menghendaki, aku akan ditahbiskan menjadi pastor.”

Monik menjatuhkan surat itu, menatap suaminya dengan mata kosong.

“Jaya… apa ini benar?”

Jaya menggenggam kepala istrinya. “Tuhan… apakah ini berkat atau cobaan?”

Malam itu, rumah besar mereka diselimuti hening.

Mereka menangis, bukan karena malu, tapi karena takut kehilangan anak bungsu mereka.

“Dia masih muda, Monik. Mungkin cuma terbawa suasana,” ujar Jaya lirih.

“Kalau begitu… kita kirim Rudy ke sana.
Biar dia bicara dengan adiknya.”

Tugas untuk Sang Kakak
Rudy saat itu telah menjadi sukses.

Lulus UCLA, ia mengikuti jejak ayahnya membangun bisnis di luar negeri.
Ia sudah bertunangan dengan Susan, gadis Amerika berdarah Filipina yang lembut dan beriman.

Ketika ayahnya meminta dia pindah ke Boston untuk membujuk Radit, Rudy tak bisa menolak.
Susan memegang tangan Rudy.
“Apapun yang kamu lakukan, aku dukung. Tapi jangan lupa, kamu juga punya hidup sendiri.”

Rudy hanya tersenyum.
“Aku tahu.
Tapi ini untuk keluarga. Untuk Papa dan Mama.”

Rudy pindah ke Boston.
Rumah besar keluarga Jaya di sana menjadi tempat tinggal mereka berdua.

Setiap malam Rudy mencoba bicara dengan Radit, tapi adiknya selalu tersenyum lembut dan berkata,

“Bang, aku bahagia di sini. Aku merasa seperti pulang.”

Cinta yang Terbelah
Musim dingin datang, salju turun menutupi kota Boston.
Suatu malam, Rudy dan Susan berjalan di taman dekat seminari.

Udara beku, tapi hati mereka hangat.

Rudy memandangi langit yang pucat, lalu berkata pelan,
“Susan, aku baru mengerti sekarang…
Radit tidak meninggalkan dunia, dia justru menemukan cintanya.”
Susan tersenyum lembut.
“Dan kamu?”
“Aku juga mencintainya bukan Radit, tapi Tuhan yang mencintai Radit.”

Beberapa minggu kemudian, Rudy mengirim surat panjang ke ayah dan ibunya.
Namun kali ini isinya lebih mengejutkan.

“Pa, Ma, aku tidak bisa memaksa Radit berhenti.
Justru karena aku melihat kebahagiaan di wajahnya, aku merasa terpanggil juga.

Aku akan masuk seminari.
Jangan marah. Ini bukan karena aku menyerah, tapi karena aku ingin ikut jalan cinta itu.”

Monik hampir pingsan membaca surat itu.

“Dua-duanya, Jaya… dua-duanya mau jadi imam!”

Jaya berdiri membisu. Air mata turun tanpa suara.
Ia menatap salib di ruang tamunya.

“Tuhan… Engkau mengambil semua yang kami punya, tapi jika ini untuk kemuliaan-Mu, kami belajar untuk rela.”

Jalan Menuju Altar
Waktu berjalan. Tahun-tahun berganti.

Rudy dan Radit menempuh perjalanan rohani mereka masing-masing.

Rudy meninggalkan Susan dengan hati remuk tapi damai. Susan menulis surat terakhir padanya:

“Kamu memilih cinta yang lebih besar dari aku.

Aku mencintaimu, tapi aku tahu, cintamu kepada Tuhan jauh melampaui.

Aku akan selalu berdoa untukmu, Rudy.”

Sementara itu, Jaya dan Monik perlahan belajar menerima. Mereka berdoa setiap malam, bukan lagi agar anak-anak mereka kembali, tapi agar mereka kuat menjadi orang tua dua imam.

Kadang, Monik duduk di teras rumah, menatap langit sore.
“Aku rindu mereka, Jaya.”

Jaya menggenggam tangannya.

“Rindu itu juga doa, Monik.”

Dua Tahbisan
Hari itu akhirnya tiba.
Boston Cathedral berdiri megah di bawah langit musim semi.

Jaya dan Monik duduk di barisan depan.
Di hadapan mereka, dua putra yang dulu mereka dekap di malam hujan kini berlutut di depan altar, mengenakan jubah putih bersih.

Uskup menumpangkan tangan ke kepala mereka.
Tangisan tak terbendung.

Air mata Jaya jatuh di atas rosario yang ia genggam erat.

Monik memejamkan mata, bibirnya bergetar:

“Terima kasih, Tuhan.
Ambillah mereka… tapi jangan jauh-jauh dari hatiku.”

Ketika misa berakhir, dua imam muda itu menghampiri orang tuanya.

Rudy memeluk ayahnya.
“Pa… terima kasih sudah mengizinkan aku mencintai Tuhan.”

Radit mencium tangan ibunya. “Ma… doakan aku selalu, ya.”

Monik tak sanggup bicara, hanya memeluk keduanya erat, seolah ingin menahan waktu agar tak berjalan.

Dua Cinta di Langit

Tahun demi tahun berlalu.
Rudy berkarya di Roma, menjadi pastor yang disegani karena kebijaksanaannya.

Radit melayani di pedesaan Asia Tenggara, membangun sekolah dan panti asuhan.
Mereka jarang pulang, tapi setiap kali menelepon, suara mereka penuh kedamaian.

Monik sering menulis surat untuk keduanya.

“Anakku, setiap doa kami adalah pelukan.
Kami tidak kehilangan kalian, kami hanya belajar mencintai dengan cara yang lebih tinggi.”

Jaya meninggal dalam damai pada usia senja, karena serangan Covid-19
dengan rosario di tangannya.
Monik menatap langit, tersenyum.

Ia tahu, suaminya telah bertemu Tuhan yang sama dengan kedua anak mereka.

Dan ketika akhirnya Monik dipanggil untuk bekerja buat Tuhan,

Saat Misa Requiem Jaya diadakan oleh dua imam yang berdiri berdampingan dengan Monic

Rudy dan Radit di depan peti Papa mereka.
Air mata jatuh tanpa henti, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena cinta yang telah menjadi abadi.

Cinta di langit biru
Setelah misa, Rudy berkata pelan pada adiknya,

“Dulu aku pikir kita kehilangan segalanya, Dit.”
Radit tersenyum, menatap langit senja.

“Tidak, Bang. Kita justru menemukan segalanya di dalam Dia.”

Padahal tujuan Rudyasuk Seminari agar dapat menggantikan Radit
Yang begitu di cintai oleh Papa dan Mama

Ternyata jeratan panggilan bercerita lain

Dan di gereja kecil di pinggiran Boston itu, dua imam, dua anak, dua cinta
cinta kepada keluarga dan cinta kepada Tuhan
berpadu menjadi satu keabadian.
Karena sesungguhnya, cinta sejati bukan tentang memiliki, melainkan tentang memberi tanpa batas.

~ Tamat ~

Www.kris.or.id
Www.adharta.cim

Tulisan ini untuk mengenang sahabatku
aloysius
Tuhan bersamamu

Doa Dua Cinta

Oleh : Adharta

Kisah mengenang sahabat ku Aloysius
semasa kuliah sampai akhir hayatnya penuh dengan Cinta

Cinta diantara dua langit

Di altar waktu, cinta pernah berjanji,
antara bumi yang merindu dan surga yang memanggil.

Dua insan Manusia
Jaya dan Monik menanam kasih di tanah sederhana,
tumbuh dua bunga

Rudy dan Radit yang mekar menuju cahaya.

Dua tangan kecil dulu mereka dekap di dada,
kini
Menumpangkan berkat pada dunia.

Air mata Monik jatuh jadi doa,
napas Jaya mengalun jadi restu abadi.

Tuhan, beginikah cinta-Mu bekerja?

Mengambil untuk memberi, memisah untuk menyatukan.

Kami belajar, bahwa kehilangan bukan akhir,
tapi pintu menuju keabadian.

Rudy dan Radit dua hati satu panggilan,
dua jiwa yang memilih cinta yang lebih tinggi.
Dan di langit kasih yang tak bertepi,
kedua orang tua tersenyum dalam damai surgawi.
Karena cinta sejati
tidak pernah berakhir.
Ia hanya berubah bentuk
dari tangan yang menggenggam, menjadi doa yang memeluk.

Salam dalam doa

Adharta

Nantikan kisah
Cerpen 020

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

20.000 Hari Cinta

Cerpen 019

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Ketinggian fiatas 39.000 kaki diatas Bali
Medio Nopember 2025

Hari Pertama:

Pertemuan di Bawah Hujan
Langit sore itu menggantung rendah di atas taman kota. Rintik hujan turun lembut, menyisakan aroma tanah basah dan dedaunan yang baru tersentuh air.

Raka berdiri di bawah halte kecil, memegang payung lipat biru yang sudah mulai sobek di pinggirnya.
Ia baru pulang dari kampus, dan tak sengaja melihat seorang gadis berlari menyeberang jalan sambil menutupi kepala dengan buku tebal.
Gadis itu berhenti tepat di depan halte, napasnya tersengal, rambutnya basah menempel di pipi.

“Payungmu rusak ya?” gadis itu tersenyum kecil sambil menunjuk payung Raka.

“Sedikit,” jawab Raka canggung.

“Tapi masih bisa menampung dua orang kalau mau.”

Gadis itu tertawa pelan, matanya hangat. “Baiklah, aku percaya.”

Begitulah pertemuan pertama mereka di bawah hujan, di antara tawa kecil yang sederhana, tapi meninggalkan kesan mendalam.
Namanya Laras.

Hari ke-200:

Bulan ke delapan
Surat di Kertas Kopi
Raka dan Laras menjadi teman dekat.
Mereka sering belajar bersama di kafe kecil dekat kampus.

Suatu sore, Raka menulis sesuatu di serbet kertas yang biasanya dipakai untuk menaruh sendok.

“Jika hidup ini hanya 20.000 hari, aku ingin 19.999-nya bersamamu.”

Laras membaca kalimat itu diam-diam saat Raka sedang ke kasir.
Ia tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.
Ia tahu kalimat itu bukan gombalan biasa itu doa.

Sejak hari itu, mereka resmi berpacaran.
Waktu berjalan seperti sungai tenang.
Hari demi hari terasa indah, penuh tawa, makan bakso di pinggir jalan, foto berdua di taman kota, dan saling menulis pesan singkat setiap pagi:

“Selamat pagi, 19.999 hari tersisa.”

Hari ke-1.000:

Ujian Hidup
Setelah lulus kuliah, mereka berjuang membangun karier.

Raka bekerja di perusahaan pelayaran PT Aditya Aryaprawira di Jakarta, sering ke luar kota.
Laras menjadi guru SD di kampung halamannya.

Jarak membuat mereka jarang bertemu, tapi setiap video call menjadi obat rindu.
Suatu malam, Laras berkata lirih lewat layar ponsel,
“Kadang aku takut, waktu kita habis sebelum sempat menikah.”
Raka menatapnya lembut.
“Waktu kita memang terbatas, Laras. Tapi yang penting, kita menjadikannya berarti.”

Beberapa bulan kemudian, Raka melamar Laras di pantai yang dulu mereka kunjungi saat kuliah.
Ia menggenggam cincin kecil, tangannya gemetar karena gugup dan haru.

“Laras, maukah kau jadi alasan kenapa setiap hariku berharga?”
Laras mengangguk sambil menangis, dan senja hari itu menjadi saksi cinta mereka yang tulus.

Hari ke-2.000:

Pernikahan Sederhana
Pernikahan mereka sederhana, di halaman rumah orang tua Laras.

Tak ada kemewahan, hanya tenda putih, lagu-lagu lembut, dan tawa keluarga yang hangat.
Raka menatap istrinya yang kini berselimut kebaya krem, tersenyum malu-malu di pelaminan.

“Laras,” bisiknya, “aku tak butuh surga, selama kau bersamaku di dunia ini.”

Dan malam itu, ketika semua tamu sudah pulang, mereka duduk berdua di teras rumah, memandang langit bertabur bintang.

“Berapa hari lagi kita punya, Ra?” tanya Laras pelan.
“Entahlah,” jawab Raka sambil menggenggam tangannya. “Tapi kalau setiap hari seperti ini, satu pun sudah cukup indah.”

Hari ke- 2.500:

Lahirnya Malaikat Kecil
Tiga tahun kemudian, lahirlah seorang bayi perempuan Naya.

Tangisan kecil itu seperti musik paling indah di dunia.
Laras menangis bahagia, memeluk bayinya dengan tangan gemetar.
Raka mencium kening keduanya dan berbisik:

“Hari ini, Tuhan memberiku alasan baru untuk bersyukur.”

Sejak hari itu, kehidupan mereka berubah. Malam-malam tanpa tidur, popok, tawa bayi, dan foto-foto keluarga yang menumpuk di dinding ruang tamu.
Raka sering pulang larut, tapi selalu menyempatkan diri membaca dongeng sebelum Naya tidur.
Laras duduk di kursi, tersenyum melihat dua orang yang ia cintai begitu bahagia.

“Raka,” katanya suatu malam, “hidup ini ternyata cepat sekali, ya?”

Raka mengangguk. “Makanya kita harus sering berhenti sejenak dan bersyukur.”

Hari ke-5.000: Ujian Kedua
Sebuah telepon datang tengah malam.
Kapal tempat Raka bekerja mengalami kecelakaan di laut.

Laras berlari ke rumah sakit dengan hati berdebar, memeluk Naya yang menangis di gendongan.
Raka selamat tapi kakinya luka parah, harus istirahat panjang.
Laras menjaganya dengan sabar, menyiapkan bubur setiap pagi, memijat kaki suaminya, dan selalu berkata,
“Yang penting kau masih di sini.”

Mereka menertawakan kesulitan itu bersama. Kadang menangis juga. Tapi cinta mereka justru tumbuh makin dalam.

Mereka belajar bahwa cinta sejati tak hanya soal kebahagiaan, tapi juga keberanian untuk bertahan saat badai datang.

Hari ke-10.000:

Waktu yang Mengajari
Raka sudah sembuh, tapi kini rambutnya mulai memutih.
Naya tumbuh menjadi gadis remaja, gemar melukis dan punya tawa yang mirip ibunya.

Setiap Minggu pagi, keluarga kecil itu berjalan di taman kota taman tempat Raka dan Laras pertama kali bertemu.
Raka sering menggoda,

“Kalau payungku nggak sobek waktu itu, mungkin aku nggak pernah ketemu kamu.”

Laras tertawa, “Kalau buku tebalku nggak basah, mungkin aku juga nggak sempat melihat wajahmu.”

Mereka saling berpandangan. Waktu mungkin mencuri muda, tapi tak bisa mencuri cinta.

Hari ke-15.000:

Saat Waktu Mulai Perlahan
Laras mulai sering sakit. Awalnya hanya batuk ringan, lalu makin sering ke rumah sakit.
Dokter mengatakan penyakit paru-paru kronis yang tak bisa sepenuhnya disembuhkan.

Raka diam lama di parkiran rumah sakit hari itu.
Hujan turun sama seperti hari pertama ia bertemu Laras.

Ia membuka payung biru tua yang kini sudah lusuh, memandang langit sambil berbisik,

“Kalau boleh, Tuhan, biarkan aku menukar sisa hariku dengan miliknya.”

Selama berbulan-bulan, Raka merawat Laras dengan penuh kasih.
Ia membacakan buku, menyiapkan teh hangat, dan setiap malam berkata,

“Tidurlah, Laras. Aku di sini.”

Laras selalu tersenyum meski tubuhnya lemah.

“Raka,” katanya, “jangan sedih kalau aku pergi nanti.
Aku cuma pindah tempat, tapi cintaku tetap di sini, di antara hari-harimu.”

Hari ke-17.000:

Kepergian
Pagi itu matahari terbit perlahan, menembus jendela kamar rumah mereka.
Raka menggenggam tangan istrinya yang sudah dingin.

Air matanya jatuh diam-diam.
Di meja kecil di samping tempat tidur, ada secarik kertas berisi tulisan tangan Laras:

“Terima kasih sudah membuat 17.000 hariku indah.

Jika masih ada 3.000 hari lagi untukmu, hiduplah dengan senyum, tawa, dan cinta.
Karena aku ingin setiap hari yang tersisa menjadi kisah indah yang kutonton dari surga.”

Raka memeluk surat itu, menangis sejadi-jadinya.

Hari itu, dunia terasa hening. Tapi di tengah duka, ia merasa kehadiran Laras masih ada — di udara, di bunga yang mekar, di tawa Naya.

Hari ke-18.000:

Melanjutkan Cinta
Tahun-tahun berlalu.
Raka kini sudah beruban sepenuhnya, tapi matanya tetap hangat.

Setiap pagi, ia menulis di buku harian:

“Hari ke-18.000 hari yang indah, karena aku masih bisa bersyukur.”
Naya sudah dewasa, menikah, dan sering mengunjungi ayahnya.

Suatu sore, ia menemukan payung biru tua di lemari lama.

“Ayah, ini payung waktu ayah ketemu Ibu, ya?”

Raka mengangguk, tersenyum pelan. “Iya, ini saksi cinta 20.000 hari.”

Hari ke-19.999:

Penutup yang Tenang
Hari itu, langit berwarna jingga.
Raka duduk di kursi taman, memandang matahari terbenam di tempat yang sama dulu ia bertemu Laras.
Ia menulis surat terakhir untuk Naya:

“Nak, hidup ini hanya 20.000 hari dari pertemuan dengan Ibumu

Tapi jangan takut pada waktu.
Tak perlu menghitung hari, cukup isi dengan cinta.
Karena setiap tawa, setiap pelukan, setiap air mata, semuanya bagian dari keindahan hidup.”

Ketika matahari tenggelam, Raka memejamkan mata.

Ia tersenyum seolah Laras menjemputnya pulang.

Hari ke-20.000:
Pertemuan CINTA

Hari Abadi

Di taman kota itu, di bawah pohon besar, Naya menaruh dua payung: satu biru, satu putih.
Di antara bunga-bunga yang berguguran, ia berbisik:

“Terima kasih, Ayah dan Ibu. Kalian telah mengajarkan arti hidup bukan seberapa panjang, tapi seberapa bermakna.”
Langit cerah. Angin berhembus lembut, seperti bisikan cinta yang abadi.

CINTA berjalan
Hidup perkawinan memang hanya 20.000 hari,
tapi jika setiap harinya diisi dengan cinta, syukur, dan kesadaran,
maka satu kehidupan bisa jadi selamanya.
Karena waktu bukan tentang jumlah hari yang kita punya,
melainkan tentang seberapa dalam kita mencintai di setiap harinya.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Cerita Anti Puspita Sari dalam rangkaian peristiwa yang mengguncang hati

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Awal Oktober 2025

Saya membaca dan harus meneteskan air mata
Kisah nyata yang penuh duka dan misteri.

Aku coba susun rangkaian cerita dengan harapan menghormati ingatan Anti dan rasa sakit keluarganya.

Kisah sedih
Anti Puspita Sari, 22 tahun, adalah nama yang kini terpatri di hati banyak orang, bukan karena ketenaran, melainkan karena nasibnya yang tragis.

Seorang wanita muda dari Plaju Darat, Palembang, yang baru saja menikah dengan Adi Rosadi. Rumah tangga mereka, menurut Adi, baik-baik saja.
Tak ada pertengkaran besar, tidak ada tanda-tanda masalah besar sampai hari itu datang berita seperti badai tiba-tiba.

Kisah kejadian
Masuk Hotel Hari itu
Pada Jumat, 10 Oktober 2025, sekitar pukul 16.00 WIB, Anti terlihat bersama seorang pria misterius memasuki Hotel Lendosis, di Jalan Perintis Kemerdekaan, Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang.

Pria itu bukan suaminya. Mereka check-in ke kamar hotel.

Menurut keterangan CCTV,
Anti memakai jilbab merah jambu, baju warna hijau botol, rok biru. Pria yang menemaninya memakai sweater dan masker hitam.

Mereka berada di kamar sekitar dua jam. Sekitar pukul 18.00 WIB, sang pria meninggalkan kamar
mengunci dari dalam atau dari luar
Sebelum Anti ditemukan tewas hari berikutnya.

Penemuan Yang Menggetarkan Jiwa
Keesokan harinya, Sabtu siang, sekitar pukul 15.00, petugas hotel mencoba mengetuk kamar karena tamu belum juga keluar sampai batas waktu check-out.

Tidak ada respon.
Dengan kunci cadangan, pintu dibuka paksa.
Di dalam kamar ditemukan sosok Anti tergeletak tak bernyawa, kondisi yang sangat mengenaskan.

Tubuhnya ditemukan di atas kasur, tubuhnya diselimuti selimut, mulutnya tersumpal pakaian dalam. Tangan terikat menggunakan kain jilbab.
Ada luka-luka di wajah dan kepala.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebelum kematiannya, Anti mengalami kekerasan fisik dan kemungkinan tindakan asusila.
Ada hubungan badan sebelumnya

Fakta Yang Menambah Kepedihan
Salah satu fakta yang paling membuat hati sesak:

Anti diketahui sedang hamil muda, memasuki trimester pertama. Pemeriksaan luar dokter forensik menemukan tanda-tanda kehamilan, termasuk di bagian tubuhnya.

Lebih memilukan lagi, sang suami, Adi Rosadi, kaget menerima kabar tragis itu. Menurut dia, sehari sebelumnya mereka sempat bercakap biasa
tidak ada pertengkaran. Anti bahkan sempat berpamitan untuk mengantarnya ke tempat kerja. Setelah itu, ia menghilang sebelum akhirnya ditemukan tewas.

Sebuah
Kehilangan, Luka, dan Harapan
Begitu berita duka ini sampai di rumah, suasana berubah drastis. Tangisan mendominasi. Anak mereka yang masih balita terus memanggil ibunya, menangis “Bunda… Bunda…”, tak memahami bahwa ibunya tak akan pulang.

Oposisi Cerdas
Adi, sang suami, mengalami kesedihan yang tak terperi.
Ia bahkan tidak kuat melihat jenazah istrinya ketika polisi melakukan ekshumasi.
Ia hanya mampu memantau dari jauh.

Motor dan handphone Anti juga tak ditemukan. Motor itu adalah satu-satunya kendaraan yang biasa dipakai Anti untuk bekerja sebagai driver ojek online dan juga untuk mengantar suaminya bekerja.

Kehilangan itu bukan hanya materi, tapi simbol dari kehidupan yang sudah mereka bangun bersama.

Penangkapan Pelaku dan Motif yang Diselidiki
Setelah beberapa hari penyelidikan, polisi berhasil menangkap pelaku pembunuhan Anti.

Ia diringkus di kawasan Muara Padang, Banyuasin, pada Rabu (15 Oktober 2025) malam.

Polisi menyelidiki motif yang mendorong tragedi ini.
Ada beberapa dugaan
motif hubungan gelap, ketidaksepakatan dalam kesepakatan open BO
(jika memang terjadi), kemungkinan pelaku merasa terancam oleh kehamilan Anti, pencurian sepeda motor, penganiayaan, serta tindakan asusila. Semua dugaan ini masih dalam tahap pemeriksaan.

Motif ini belum final, namun semakin memperjelas bahwa tindakan ini bukan kecelakaan; ini adalah kejahatan yang direncanakan atau setidaknya dipicu oleh niat

Suara Suami dan Keluarga
Adi Rosadi, di tengah kecamuk emosi, menyatakan bahwa ia telah berusaha mengikhlaskan, tapi rasa sakitnya masih sangat segar. Kata – katanya bergetar saat berbicara soal kehilangan istrinya.

Keluarga merasa dikhianati oleh situasi ini
Anti yang dikenal ramah, baik, dan tidak pernah membuat masalah. Ia bukan tipe orang yang ingin mengundang perhatian lewat hal-hal negatif. Namun akhirnya ia menjadi korban dari kekerasan yang begitu kejam.

Anak kecilnya yang masih balita terus menangis, memanggil ibunya. Keheningan malam tidak pernah bisa menggantikan suara lembut sang ibu, pelukan hangat yang kini hilang. Tangisan itu menjadi suara yang tak henti-hentinya menghantui Adi ketika sendiri, ketika pekerjaan selesai, ketika dia pulang ke rumah yang sekarang terasa kosong.

Kenangan yang Tak Terhapus
Sebelum tragedi ini, Anti adalah seorang istri, ibu yang mengandung — meskipun dalam usia muda — yang menjalani hari-hari biasa, bekerja, membantu suaminya, dan membina keluarga kecil mereka. Bahagia sederhana, harapan akan masa depan, mimpi kelas kecil yang semua orang punya. Ia punya anak, ada senyum di rumah, rutinitas yang mungkin lelah tapi penuh cinta. Sekarang, semuanya berubah.
Cinta yang dulu terasa aman, kini jadi pertanyaan besar: mengapa begitu banyak rahasia, begitu banyak bahaya yang tersembunyi? Di mana janji perlindungan ketika seseorang begitu rentan — hamil, perempuan, dalam kondisi butuh rasa aman?
Harapan untuk Keadilan
Keluarga Anti sekarang hanya satu: keadilan. Agar pelaku dihukum seadil-adilnya, agar motif yang sebenarnya terungkap, agar tindakan seperti ini tidak terulang kepada orang lain. Mereka berharap penyelidikan transparan, proses hukum berjalan jujur, dan masyarakat tidak menutup mata terhadap kekerasan terhadap perempuan.
Adi, ibunya Anti, dan semua kerabat berharap hukum dapat menjadi penghibur yang setidaknya sedikit meredakan luka. Bahwa kematian Anti tidak sia-sia; bahwa ada pelajaran dari tragedi ini. �
detiknews +2
Refleksi dan Kesedihan yang Terkekang
Kisah ini bukan hanya tentang satu nyawa yang hilang, tapi tentang seluruh kehidupan yang ikut terhapus: harapan yang belum sempat tercapai, tawa anak yang kini kehilangan bunda, malam-malam panjang Adi yang dipenuhi pertanyaan dan penyesalan.
Bagaimana Anti bisa berada dalam situasi itu? Adakah pilihan lain? Bisa kah masyarakat atau sistem melindungi orang-orang seperti dia lebih baik lagi? Apakah kita sudah cukup peka terhadap suara-suara kecil yang meminta pertolongan di balik sunyi?
Anti Puspita Sari kini telah tiada. Tapi kisahnya tetap hidup — di hati suaminya, anak-anaknya, dan dalam ingatan banyak orang yang mendengar.
Semoga keadilan datang untuk Anti. Semoga dia diampuni segala khilafnya, ditempatkan di tempat terbaik. Dan semoga keluarganya diberi kekuatan menahan semua ini: kehilangan, rasa duka, dan luka yang mungkin tak pernah benar-benar sembuh.

Dongji Rescue (2025)

Film Dongji Rescue (东极 TV岛) karya sutradara Guan Hu dan Fei Zhenxiang

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Jakarta
Rabu
15 Oktober 2025

Malam ini
Saya diajak bapak Lend
Bapak Dwi dan bapak Harling menonton film di Puri Lippo Mall

Film bagus durasi 2 setengah jam
Lumayan untuk di tonton

Kisah yang cukup menarik untuk saat ini

Bukan laut yang memilih
Tapi Manusia yang memilih untuk menolong

merupakan salah satu film sejarah paling menggugah dari perfilman Tiongkok tahun 2025. Mengambil inspirasi dari kisah nyata tragedi kapal Lisbon Maru yang tenggelam pada tahun 1942 di perairan Zhoushan, film ini tidak hanya mengangkat sisi kelam perang dunia, tetapi juga menyoroti kemanusiaan yang melampaui batas kebangsaan. Dibintangi oleh Zhu Yilong, Wu Lei, dan Ni Ni, Dongji Rescue berhasil memadukan kekuatan akting, sinematografi megah, dan nilai moral yang dalam menjadi sebuah tontonan yang menyentuh hati sekaligus membuka mata.
Sejak awal, film ini sudah memikat dengan pembukaan yang tenang namun mencekam. Adegan laut di perairan Dongji, dengan nelayan-nelayan sederhana yang hidup damai, kontras dengan berita tentang perang yang semakin dekat. Guan Hu, yang dikenal lewat karya-karya seperti The Eight Hundred (2020), kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menggambarkan skala besar tragedi perang tanpa kehilangan fokus pada kisah kemanusiaan di dalamnya.
Kisah berawal ketika kapal Lisbon Maru, yang membawa lebih dari 1.800 tawanan perang Inggris dan Sekutu, diserang dan tenggelam oleh kapal selam Amerika tanpa mengetahui bahwa di dalamnya ada tahanan.

Saat kapal itu karam, ratusan tawanan yang selamat terkatung-katung di laut. Nelayan-nelayan Tiongkok di kepulauan Dongji, yang kala itu hidup di bawah ancaman pendudukan Jepang, menemukan mereka dan dihadapkan pada pilihan sulit: menolong para tawanan musuh dengan risiko nyawa mereka sendiri, atau berpaling demi keselamatan desa mereka.
Zhu Yilong berperan sebagai Lin Zhenhai, seorang nelayan sekaligus kepala perahu yang bijak dan berhati besar. Lewat tatapan mata dan dialog yang hemat kata, Zhu berhasil memperlihatkan dilema moral yang luar biasa berat: antara ketakutan akan hukuman Jepang dan nurani kemanusiaan yang tak bisa dibungkam. Wu Lei tampil impresif sebagai putra Lin yang impulsif dan berani, mewakili semangat muda yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Sementara itu, Ni Ni memerankan istrinya Lin Zhenhai yang tegar dan penuh empati, menjadi suara nurani yang memperkuat keputusan suaminya untuk menolong para tawanan.
Keunggulan utama Dongji Rescue terletak pada keseimbangan antara realisme sejarah dan sentuhan emosional yang kuat. Adegan penyelamatan di tengah badai laut digarap dengan intensitas tinggi: kamera bergerak lincah mengikuti ombak, hujan, dan jeritan manusia yang berjuang antara hidup dan mati. Namun di balik ketegangan itu, penonton disuguhkan pemandangan menggetarkan ketika nelayan-nelayan kecil tanpa senjata berusaha mengangkat tubuh asing yang hampir tenggelam — bukti nyata bahwa kemanusiaan tak mengenal warna bendera.
Guan Hu dan Fei Zhenxiang juga berhasil menghindari jebakan propaganda nasionalistik yang sering muncul dalam film bertema perang. Dongji Rescue tidak menonjolkan heroisme satu bangsa, melainkan memperlihatkan solidaritas manusia dalam penderitaan bersama. Narasi ini menjadi sangat relevan di masa kini, ketika dunia kembali menghadapi perpecahan dan konflik. Film ini mengingatkan bahwa keberanian sejati sering kali lahir bukan dari senjata atau pangkat, melainkan dari hati manusia yang rela menolong sesama, bahkan mereka yang disebut “musuh”.
Dari sisi teknis, sinematografi film ini patut diacungi jempol. Pengambilan gambar di kepulauan Zhoushan menampilkan keindahan alam laut Tiongkok Timur yang memukau sekaligus menegangkan. Warna-warna dingin dan pencahayaan alami memberi kesan dokumenter yang realistis. Musik latar garapan Chen Guang menambah lapisan emosional pada setiap adegan, terutama pada momen pengorbanan para nelayan ketika kapal Jepang datang memburu mereka.
Dialog film cenderung sederhana, bahkan minimalis, tetapi penuh makna. Misalnya ketika Lin Zhenhai berkata, “Laut tidak memilih siapa yang hidup atau mati — hanya manusia yang bisa memilih untuk menolong.” Kalimat ini menjadi inti pesan moral film: bahwa di tengah kekacauan perang, kemanusiaan adalah satu-satunya mercusuar yang layak diikuti.
Meski begitu, Dongji Rescue tidak sepenuhnya sempurna. Beberapa bagian tengah terasa agak lambat, terutama ketika film berusaha memperdalam latar belakang karakter nelayan dan kehidupan desa. Namun kekurangan ini tertutupi oleh klimaks yang menggugah emosi — sebuah adegan pengorbanan kolektif yang membuat banyak penonton meneteskan air mata.
Secara keseluruhan, Dongji Rescue bukan sekadar film perang, melainkan perayaan atas keberanian moral dan kasih sesama manusia. Guan Hu berhasil menciptakan karya yang menggetarkan jiwa, memadukan kekuatan sejarah dengan keindahan sinema modern. Film ini mengajarkan bahwa kemanusiaan bisa lahir bahkan di tengah kegelapan perang, dan bahwa kepahlawanan sejati sering datang dari mereka yang tak pernah disebut dalam buku sejarah.
Dengan akting gemilang, penyutradaraan kuat, dan pesan universal yang menyentuh, Dongji Rescue layak disebut sebagai salah satu film Tiongkok terbaik tahun 2025 — sebuah penghormatan kepada mereka yang berani memilih kebaikan ketika dunia dilanda kebencian.

Ayo nonton

Penguin

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Philip Island
5 Juli 2025

Menikmati malam dingin banget di laut selatan
Menatap Kutub Selatan

🐧 Kisah Asal Usul Penguin Kecil di Phillip Island Melbourne Australia

Phillip Island, yang terletak sekitar 140 km tenggara Melbourne, dikenal dunia karena satu hal luar biasa

Little Penguins (Eudyptula minor), spesies penguin terkecil di dunia. Tingginya hanya sekitar 33 cm dan beratnya sekitar 1 kg saja mungil, Lucu dan Lincah tapi sangat tangguh!
Mereka sudah memiliki rumah rumah di tepi laut pantai yang luas

Komunitas mereka dalam Penguin kingdom punya kisah tersendiri

🌊 Asal Usul dan Kehidupan

Little Penguins sudah hidup di sepanjang pesisir selatan Australia dan Selandia Baru selama jutaan tahun.

Di Phillip Island, mereka telah menempati wilayah ini sejak zaman prasejarah, ketika pulau ini masih terhubung ke daratan besar Australia. Mereka memilih pulau ini karena iklimnya yang sejuk, perairannya yang kaya ikan kecil, dan pesisir yang aman untuk membuat sarang.

🏠 Habitat dan Perilaku

Para penguin ini bersarang di liang-liang bawah tanah atau di bawah semak-semak. Mereka menghabiskan siang hari berburu ikan di lautan — bisa berenang hingga 60 km dalam sehari! Menjelang senja, mereka pulang bersama-sama dalam parade lucu nan menggemaskan ke daratan — inilah yang dikenal sebagai Penguin Parade.

📉 Ancaman dan Pelestarian

Pada awal abad ke-20, populasi mereka terancam karena:

Pembukaan lahan untuk perumahan

Serangan rubah dan anjing liar

Polusi laut dan jaring nelayan

Tapi untungnya, sejak tahun 1985, pemerintah Victoria membentuk Phillip Island Nature Parks dan memulai konservasi besar-besaran:

Menutup pemukiman di Summerland

Mengembalikan habitat alami

Melarang lampu dan suara keras saat parade

Mendidik wisatawan dan warga lokal

Kini, lebih dari 32.000 ekor penguin hidup di Phillip Island — salah satu koloni terbesar di dunia!

🌍 Arti Penting Global

Phillip Island tak hanya penting bagi Australia, tapi juga bagi dunia. Ini adalah:

Cermin perubahan iklim (karena penguin sangat sensitif terhadap suhu laut)

Contoh konservasi sukses antara manusia dan alam

Daya tarik wisata global yang mengangkat ekonomi lokal

✨ Penutup

Menonton parade penguin saat mereka berjuang melintasi pasir menuju sarangnya adalah pelajaran tentang keberanian, ketekunan, dan harmoni dengan alam. Meskipun kecil, mereka membuktikan bahwa kerja sama dan kesetiaan bisa mengalahkan kerasnya alam.

Salam hangat untuk tanah air 🌏🇮🇩

Semoga Dunia semakin baik atas epnyertaan kita

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Pergumulan Cinta

Cerpen 018

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Medio Oktober 2025

Kisah Cinta
Silvy, Roger, dan Dua Putri yang Tumbuh Tanpa Orang Tua

Silvy dan Sheny lahir kembar di sebuah kota kecil yang damai di pinggiran Surabaya. Sejak kecil, keduanya sudah dikenal cerdas dan rajin. Namun, di antara mereka, Silvy memiliki kepribadian yang lebih tenang dan penuh perhitungan. Ia menyukai dunia bisnis, angka, dan manajemen. Ketekunannya membawa ia menempuh pendidikan di bidang logistik dan transportasi, bidang yang kelak akan menjadi jalan hidupnya.
Seiring waktu, Silvy tumbuh menjadi wanita muda yang tangguh. Ia bukan hanya berparas manis, tapi juga memiliki daya juang yang tinggi. Ia memulai kariernya dari bawah—magang di perusahaan ekspedisi kecil—hingga akhirnya dipercaya memimpin sebuah perusahaan logistik besar. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu berkembang pesat. Relasi bisnisnya luas, dan semua orang mengenal Silvy sebagai sosok profesional yang tegas namun tetap ramah.
Di tengah kesibukan karier, takdir mempertemukannya dengan seorang pria bernama Roger.
Roger adalah sosok yang menawan—wajah tampan, pembawaan hangat, dan selera humor yang tinggi. Ia bekerja di bidang keuangan, seseorang yang rajin, disiplin, dan penuh tanggung jawab. Dari pertemuan pertama, keduanya seperti saling melengkapi. Silvy yang serius menemukan kehangatan pada Roger yang periang, sementara Roger merasa tenang di sisi Silvy yang dewasa dan penuh kasih.
Mereka menjalin hubungan yang manis. Setiap akhir pekan, Roger selalu menjemput Silvy untuk makan malam sederhana, terkadang hanya di warung bakmi langganan mereka. Dari sanalah kisah cinta mereka tumbuh, hingga akhirnya Roger melamar Silvy dengan cara yang sederhana namun tulus—di bawah rintik hujan di depan rumah Silvy.
Mereka menikah dalam sebuah pesta yang indah, dihadiri keluarga, teman-teman, dan rekan kerja. Semua orang mendoakan agar rumah tangga mereka langgeng, penuh cinta, dan bahagia.
Awal pernikahan terasa seperti mimpi. Roger penuh perhatian, Silvy selalu mendukung karier suaminya. Mereka membeli rumah mungil di kawasan Bintaro, mengisinya dengan tawa dan impian masa depan.
Tahun pertama berjalan dengan penuh kebahagiaan. Lalu kabar baik datang: Silvy hamil anak pertama.
Tangis haru Roger pecah saat mengetahui mereka akan memiliki bayi perempuan.
Sembilan bulan kemudian lahirlah seorang bayi cantik yang mereka beri nama Michelin—nama yang terinspirasi dari kekuatan dan keteguhan. Dua tahun setelah itu, lahirlah adiknya, Miranda, gadis mungil yang lucu dengan mata bulat seperti ibunya.
Rumah mereka pun semakin hidup. Setiap pagi Roger menyuapi anak-anak sambil bercanda, sementara Silvy menyiapkan sarapan. Di malam hari, keluarga kecil itu selalu makan bersama, diiringi cerita hari-hari mereka yang penuh warna.
Namun, seperti pepatah lama: tidak ada rumah tangga yang selalu mulus.
Perlahan, badai kecil mulai datang.
Kesibukan Silvy di dunia bisnis membuatnya sering pulang larut malam. Roger yang juga sibuk dengan pekerjaannya mulai merasa kesepian. Komunikasi di antara mereka menurun. Percakapan hangat berubah menjadi perdebatan. Roger merasa Silvy terlalu fokus pada pekerjaan; Silvy merasa Roger tidak memahami ambisi dan tanggung jawabnya.
Awalnya mereka mencoba memperbaiki. Mereka pergi liburan bersama anak-anak ke Bali, berharap dapat menyalakan kembali kehangatan yang dulu pernah ada. Tapi sepulang dari sana, kenyataan tetap sama. Perbedaan mereka semakin terasa. Roger menginginkan istri yang lebih hadir di rumah, sementara Silvy merasa ia bekerja justru demi masa depan keluarga.
Pertengkaran kecil sering terjadi.
Terkadang hanya karena hal sepele: siapa yang menjemput anak, siapa yang lupa membayar tagihan, atau siapa yang lupa ulang tahun pernikahan. Tapi dari hal-hal kecil itulah luka mulai terbentuk.
Hingga akhirnya, keputusan yang paling berat pun diambil—perceraian.
Sidang di pengadilan berlangsung sunyi. Roger menunduk, Silvy berusaha tegar. Tak ada kata saling menyalahkan, hanya air mata yang menetes diam-diam. Mereka berpisah dengan rasa kehilangan yang dalam, tapi juga dengan harapan agar anak-anak tetap bahagia.
Michelin dan Miranda saat itu masih kecil. Mereka tidak sepenuhnya mengerti apa arti perceraian, hanya tahu bahwa “Papa tidak tinggal di rumah lagi.” Namun cinta Roger dan Silvy kepada anak-anak mereka tidak pernah pudar. Meski terpisah, keduanya tetap berusaha hadir dalam hidup kedua putri itu.
Sayangnya, takdir berkata lain.
Setahun setelah perceraian, Roger jatuh sakit. Dokter mendiagnosisnya dengan penyakit kritis yang tak bisa disembuhkan. Selama beberapa bulan, ia berjuang melawan penyakit itu. Dalam masa-masa terakhirnya, Roger sering menatap foto kedua anaknya sambil berbisik lirih,
“Papa sayang kalian… selalu.”
Ketika Roger akhirnya berpulang, dunia seakan runtuh bagi Silvy. Meskipun mereka sudah berpisah, ia masih menyimpan cinta yang dalam. Ia hadir di pemakaman dengan air mata yang tak tertahan, menatap makam Roger sambil berdoa, “Terima kasih… sudah pernah mencintaiku.”
Kehidupan terus berjalan. Silvy membesarkan Michelin dan Miranda sendirian. Ia berusaha kuat, menjadi ibu sekaligus ayah. Ia bekerja keras demi pendidikan mereka, menahan lelah dan sepi di malam hari. Namun empat tahun kemudian, cobaan kembali datang. Silvy terdiagnosis kanker.
Ia berjuang dengan penuh keberanian, menjalani kemoterapi dan tetap berusaha tersenyum di depan anak-anaknya. Tapi tubuhnya semakin lemah. Dalam hari-hari terakhirnya, Silvy memanggil Michelin dan Miranda, menggenggam tangan mereka erat.
“Anak-anakku… jangan takut. Mama akan selalu ada di hati kalian. Jadilah orang baik, ya… bukan hanya pintar, tapi juga penuh kasih.”
Beberapa minggu kemudian, Silvy meninggal dunia.
Michelin berusia 14 tahun, Miranda baru 12 tahun. Dunia mereka kembali hampa.
Kedua gadis itu diasuh oleh keluarga besar Silvy. Mereka tumbuh dengan rindu yang tak pernah padam. Setiap kali melihat langit malam, mereka teringat pada ayah dan ibu mereka—dua bintang yang kini bersinar di atas sana.
Waktu berlalu. Michelin tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan berpendirian kuat, mirip ibunya. Ia menyelesaikan kuliah dan bekerja di bidang manajemen logistik—bidang yang sama dengan mendiang ibunya. Di kantor, semua mengenalnya sebagai sosok yang profesional namun rendah hati.
Sementara Miranda, yang lebih lembut dan sensitif, memilih dunia seni. Ia menjadi ilustrator, melukis kenangan masa kecilnya bersama keluarga dalam warna-warna hangat.
Di usia 22 tahun, Michelin bertemu dengan Willy, seorang pria baik hati yang sederhana namun memiliki semangat hidup tinggi. Mereka jatuh cinta bukan karena kemewahan, tapi karena kesamaan hati.
Willy tahu kisah masa lalu Michelin. Ia tahu betapa keras hidup yang telah dijalani gadis itu. Maka ketika ia melamar Michelin, ia berjanji: “Aku tidak bisa menggantikan ayahmu, tapi aku akan mencintaimu seumur hidupku seperti ibumu dulu mencintai ayahmu.”
Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun penuh haru.
Saat berjalan di altar, Michelin menatap kursi kosong di barisan depan. Di sanalah seharusnya ayah dan ibunya duduk. Tapi di dalam hatinya, ia tahu mereka hadir. Ia bisa merasakan kehangatan itu, meski hanya dalam bisikan angin.
Beberapa tahun kemudian, Michelin dan Willy dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kelly.
Kelly tumbuh menjadi gadis ceria, matanya bening seperti ibunya, senyumnya manis seperti kakeknya.
Melihat Kelly tumbuh sehat dan bahagia membuat Michelin sering menangis diam-diam di malam hari. Ia memeluk putrinya sambil berbisik,
“Kelly… kamu tahu? Dulu nenekmu perempuan luar biasa. Kamu harus bangga padanya.”
Miranda sering datang berkunjung. Dua kakak beradik itu selalu bernostalgia tentang masa kecil mereka—tentang tawa Papa yang hangat, tentang Mama yang kuat. Kadang mereka tertawa, kadang menitikkan air mata. Tapi mereka selalu yakin, cinta orang tua mereka tak pernah pergi.
Kini, rumah tangga Michelin dan Willy berjalan damai. Mereka belajar dari masa lalu—bahwa cinta bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang pengertian dan kesetiaan. Bahwa rumah tangga tidak selalu mulus, tapi selalu bisa diperjuangkan jika dua hati saling percaya.
Dan di suatu sore, ketika matahari terbenam, Michelin duduk di beranda sambil menatap langit jingga.
Di sampingnya, Kelly bermain boneka, sementara Willy menyiapkan teh.
Angin berhembus pelan, membawa aroma nostalgia.
Dalam hati, Michelin berbisik:
“Papa, Mama… kami baik-baik saja sekarang. Kalian boleh tenang di sana.”
Senyum hangat mengembang di wajahnya. Hidup mungkin telah merenggut banyak hal, tapi juga memberi kesempatan untuk mencintai lagi.
Dan bagi Michelin, cinta itu kini hadir dalam bentuk keluarga kecilnya—tempat di mana kenangan lama berpadu dengan harapan baru.

Perjalanan Hati

Cerpen 017

Perjalanan Hati

Cerpen 017

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Beijing Medio Oktober 2020

Ditulis
Buat sahabatku
Maria

Awal dari Cinta

Langit Beijing sore itu seperti kanvas raksasa berwarna jingga keemasan.
Di tengah hembusan angin musim semi yang lembut,
Maria berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan cheongsam putih bersulam bunga peoni sebagai simbol cinta dan keberuntungan.

Hari itu adalah hari pernikahannya.
Di luar, musik lembut mengalun dari restoran klasik di Jalan Wangfujing, salah satu sudut paling hidup di jantung kota Beijing.
Lampion merah bergoyang perlahan, memantulkan cahaya ke wajah-wajah bahagia.

Kelvin, pria yang telah merebut hatinya sejak tahun pertama kuliah, berdiri menunggu di altar kecil yang dihiasi bunga sakura. Senyumnya menenangkan seperti matahari pagi.

Mereka mengucap janji di hadapan keluarga dan sahabat, dengan tawa dan air mata yang bercampur jadi satu.
Malam itu, pesta berlangsung hingga larut.
Di antara suara biola dan denting gelas anggur, Maria merasakan dunia berhenti sejenak seolah seluruh kebahagiaan dunia berhimpun di dadanya.

Perjalanan hidup
Cinta di Negeri Tirai Bambu

Maria bukan wanita biasa.
Da lulusan Beijing University dengan predikat summa cum laude, dan begitu lulus, ia langsung diterima di perusahaan BUMN besar sebagai supervisor muda.

Kariernya melesat cepat, dan banyak yang mengaguminya bukan hanya karena kecerdasan, tapi juga kerendahan hatinya.

Sementara Kelvin, lulusan psikologi, memilih jalan berbeda.
Ia bergabung sebagai konselor militer membantu para prajurit yang terluka secara mental setelah bertugas di medan perang.

Pekerjaan itu membuatnya sering absen dari rumah, tapi setiap kali pulang, ia selalu membawa senyum yang sama: hangat, tulus, penuh cinta.

Dua tahun pertama pernikahan mereka adalah masa-masa yang indah.
Mereka tertawa di dapur kecil, berbagi mie panas saat hujan turun, dan menulis surat cinta kecil di dinding rumah.

Ketika Maria mendapat promosi, Kelvin merayakannya dengan menari di ruang tamu sambil memutar lagu Mandarin lama.

“Cintaku padamu tidak butuh alasan,” kata Kelvin suatu malam, menatap Maria yang tertidur di pangkuannya.

“Kalau hidupku berakhir esok, aku ingin tahu bahwa aku pernah membahagiakanmu.”

Maria tersenyum dalam tidur. Ia tak tahu, kalimat itu kelak menjadi kenangan terakhir yang terus terngiang di hatinya.

Maria berkata
Kalau aku tiada kelak kamu orang pertama yang ada disisiku

Rencana Tuhan berbeda dengan Kita

Luka di Tengah Keindahan
Empat tahun berlalu.
Maria dan Kelvin dikaruniai seorang putra mungil bernama Sandy
bayi dengan mata bulat seperti ayahnya dan senyum lembut seperti ibunya.
Hidup mereka terasa sempurna. Setiap sore, Maria menunggu di balkon sambil memeluk Sandy, menantikan Kelvin pulang dengan seragam militernya yang berdebu.

Namun takdir sering kali tidak memilih waktu yang baik untuk memberi ujian.
Suatu pagi, telepon berdering.
Suara di seberang terdengar berat dan kaku.

“Maaf, Nyonya Kelvin…
suami Anda mengalami kecelakaan saat bertugas.
Ia tidak selamat.”

Dunia Maria runtuh dalam sekejap.

Suara di sekelilingnya lenyap.
Ia jatuh berlutut, memeluk telepon yang dingin, seakan dari sana ia bisa menarik kembali suara suaminya.
Malam itu, salju turun tipis di luar jendela putih dan senyap, seperti menutupi semua warna kehidupannya.
Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut.

Maria berhenti bicara.
Ia datang ke makam Kelvin setiap hari, duduk diam di bangku batu, membaca ulang surat-surat cinta lama.
“Kenapa kamu pergi begitu cepat?” bisiknya berulang kali.

Satu tahun berlalu. Ia masih menatap foto pernikahan mereka setiap malam.
Senyum Kelvin seolah hidup, tapi tak lagi bisa disentuh.

Panggilan jiwa

Angin dari Selatan
Suatu hari, ibunya menelepon dari Jakarta.
“Maria, datanglah ke sini sebentar.
Bawa Sandy. Udara di sini hangat, mungkin bisa menyembuhkanmu.”
Maria diam lama, menatap langit Beijing yang kelabu.
Akhirnya, ia mengemas beberapa pakaian dan terbang bersama Sandy menuju Indonesia.

Jakarta menyambut mereka dengan cahaya matahari yang lembut dan aroma hujan di sore hari.
Maria tinggal di rumah orang tuanya di Menteng.
Setiap pagi ia berjalan bersama Sandy ke taman kecil, mendengarkan suara anak-anak tertawa, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.
Hari-hari di Jakarta terasa asing tapi perlahan menenangkan. Maria mulai belajar bahasa Indonesia dari tetangga dan sopir rumah.

Dalam waktu tiga bulan, ia sudah bisa berbicara dengan lancar dengan logat lembut dan intonasi yang membuat orang jatuh hati.

Hingga suatu hari, kabar datang dari Beijing:
Perusahaan tempatnya bekerja ingin membuka kantor perwakilan di Indonesia, dan mereka menginginkan Maria memimpin proyek itu.

Maria terdiam. Ada perasaan yang campur aduk rindu, takut, tapi juga panggilan hati yang kuat.

Mungkin ini cara Kelvin memintanya untuk bangkit.

Sebuah kebangkitan dari Luka

Maria menerima tawaran itu.
Ia kembali bekerja dengan tekad baru.

Dalam waktu singkat, ia berhasil menjembatani banyak investasi antara Tiongkok dan Indonesia. Media menulis tentangnya sebagai
“Wanita Baja dari Beijing”
cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin.
Namun di balik sorot kamera dan senyum profesional, Maria tetap menyimpan kesedihan yang dalam.
Setiap malam, setelah semua orang tidur, ia menatap langit Jakarta dan berbisik,
“Kelvin, kau lihat? Aku sudah belajar tersenyum lagi.”

Anaknya, Sandy, tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.
Ia sering memeluk ibunya dari belakang sambil berkata,
“Papa pasti bangga sama Mama.”

Dan setiap kali mendengar itu, air mata Maria jatuh perlahan bukan karena sedih, tapi karena hatinya mulai berdamai.

Suatu malam, Maria bermimpi.
Kelvin datang dengan pakaian putih, menatapnya dari kejauhan.

“Jangan lagi menangis, Maria,” katanya pelan. “Cintaku kini menjadi angin yang menemanimu setiap langkah.”

Saat terbangun, Maria merasa dada yang selama ini berat tiba-tiba terasa ringan.
Ia menatap foto pernikahan mereka di meja, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia tersenyum tanpa air mata.

Sebuah Perjalanan Hati

Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.
Maria kini dikenal sebagai salah satu tokoh investor Tiongkok di Indonesia yang paling berpengaruh.
Ia tak pernah menikah lagi. Hatinya telah tertambat pada satu cinta yang abadi cinta yang tak lagi berupa kehadiran fisik, tapi menjadi cahaya yang membimbing setiap langkahnya.

Suatu pagi, Maria berdiri di depan cermin, kini dengan rambut yang sedikit beruban.
Sandy sudah dewasa, dan hari itu ia hendak berangkat ke Beijing untuk kuliah lagi.
Sebelum pergi, Sandy mencium tangan ibunya dan berkata,
“Mama, aku ingin ke makam Papa nanti.
Ada pesan untukku?”
Maria tersenyum lembut.
“Katakan padanya… aku sudah belajar tertawa tanpa dia, tapi tak pernah berhenti mencintainya.”

Ketika pesawat lepas landas, Maria duduk di taman, memandangi langit biru Jakarta. Di antara dedaunan yang bergoyang, ia merasakan hembusan angin lembut menyentuh pipinya
seolah ada tangan yang dulu pernah memeluknya dengan kasih.
Ia menatap langit, menutup mata, dan berbisik,
“Kelvin… perjalanan hatiku belum berakhir. Aku masih berjalan di jalan yang sama
jalan cinta yang kau mulai.”
Langit tampak lebih terang hari itu.
Mungkin karena cinta memang tak pernah benar-benar pergi.

Ia hanya berganti wujud — dari pelukan menjadi angin, dari kenangan menjadi kekuatan, dari air mata menjadi cahaya.

Adalah hati yang bernyanyi

Untuk Mereka yang Pernah Kehilangan
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta.
Kadang, ia mengambil sesuatu yang paling kita sayangi untuk mengajarkan arti cinta sejati cinta yang tidak berhenti ketika maut datang, tapi terus hidup dalam setiap detak hati yang berani melangkah lagi.
Maria adalah saksi bahwa luka bisa menjadi jalan menuju cahaya.
Bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki selamanya, tapi tentang mampu mencintai meski harus melepaskan.
Dan bagi setiap pasangan muda yang sedang berjuang di antara badai hidup

kebahagiaan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan kekuatan untuk terus melangkah, bahkan ketika hati hancur.
Karena di ujung setiap kesedihan, selalu ada secercah harapan…
yang menunggu untuk ditemukan kembali.

✨ “Perjalanan hati bukan tentang sejauh apa kita berjalan, tapi seberapa dalam kita belajar mencintai bahkan dalam kehilangan.” ✨

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Cafetaria Husada Dan Rumah sakit Husada

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Kamis 9 Oktober 2025

Grand launching
Cafetaria HUSADA

Pandu
Sukses selalu

HUSADA
Rumah sakit
tempat berobat adalah ruang kehidupan, harapan, dan kasih.

Di sinilah setiap pasien, keluarga, maupun tenaga medis menemukan arti pelayanan yang lebih luas dari sekadar pengobatan fisik.

Di tengah hiruk-pikuk kota, Rumah Sakit Husada hadir sebagai oase ketenangan, tempat di mana tubuh dirawat dan jiwa disembuhkan.
Salah satu sudut yang mencerminkan semangat pelayanan itu adalah Cafetaria Husada.

Sekilas, mungkin tampak seperti tempat biasa deretan meja, aroma kopi hangat, dan senyum ramah di balik meja kasir.

Namun sesungguhnya, cafetaria ini dibangun dengan jiwa pelayanan yang tulus. Bukan sekadar menjual makanan dan minuman, tetapi memberi ruang kehangatan bagi siapa pun yang melangkah ke sana.

Harga yang terjangkau bukan semata strategi ekonomi, melainkan cermin kepedulian.
Di sini, pasien rawat inap, pengunjung, dokter, perawat, dan karyawan rumah sakit bisa duduk bersama tanpa sekat.

Mereka berbagi cerita, saling menyemangati, dan sejenak melepaskan penat.
Secangkir teh hangat bisa jadi penyembuh rasa lelah; semangkuk bubur sederhana bisa menjadi pengingat bahwa kasih sayang masih hadir di antara kita.
Namun, keindahan Cafetaria Husada tidak berhenti pada pelayanan jasmani.

Ada yang lebih dalam sentuhan Pastoral Care. Di sinilah pelayanan moral dan spiritual berpadu.

Para relawan dan pembimbing penyantun pelayanan para suster mendukung penyembuhan secara rohani yang hadir, menyapa dengan lembut, mendengarkan kisah, dan menumbuhkan semangat bagi pasien serta keluarganya. Sebab dalam setiap proses penyembuhan, hati yang tenang dan jiwa yang kuat adalah bagian penting dari keajaiban pemulihan.

Kunjungan ke Rumah Sakit Husada bukan sekadar urusan kesehatan. Ini adalah pengalaman tentang kemanusiaan.

Di sini kita belajar bahwa melayani bisa dilakukan dengan banyak cara:

lewat tindakan medis, melalui sepiring nasi hangat, atau dengan senyum yang tulus kepada orang asing yang duduk di meja sebelah.
Jadi, bila Anda melintas di Jalan Mangga Besar pada hari Kamis, 9 Oktober 2025, sempatkan diri untuk berkunjung ke Rumah Sakit Husada. Datanglah, bukan hanya untuk melihat fasilitasnya, tapi untuk merasakan denyut pelayanan yang penuh kasih.

Nikmati suasana cafetaria yang bersahaja namun hangat, dan temukan makna bahwa di balik setiap layanan sederhana, tersimpan cinta yang besar cinta untuk menyembuhkan, melayani, dan memanusiakan manusia.

Salam dalam doa

Adharta

Antara Ambon dan Jakarta

Renungan dan Doa Mengenang Sahabat Sejati
Bapak Johnny Sucahya

Disusun oleh sahabat lamanya, Adharta dan keluarga

Sahabat KRIS
Sahabat Wulan
yang terkasih,

Malam ini, dengan hati yang berat dan penuh duka, kita berkumpul untuk mengenang sahabat, saudara, dan pribadi yang sangat kita kasihi
Bapak Johnny Sucahya, yang telah berpulang ke rumah Bapa di surga, hari ini, 7 Oktober 2025, di Ambon, Maluku.

Bagi saya, Johnny bukan sekadar teman, ia adalah bagian dari perjalanan hidup saya selama lebih dari empat puluh lima tahun.

Kami berdua melewati begitu banyak kisah dari masa muda di Ambon dan masa tua di Jakarta

Hari
yang cerah, hingga hari-hari penuh perjuangan di Jakarta.

Kami pernah bermimpi bersama, tertawa tanpa henti, bahkan saling menguatkan ketika hidup terasa berat.
Saya masih ingat satu sore di Ambon, kami duduk menatap laut dan Johnny berkata pelan, “Hidup ini singkat, yang penting kita jalani dengan tulus.”

Kini kalimat itu bergema kembali sebagai pesan perpisahan yang penuh makna.

Kepergiannya meninggalkan ruang hampa yang sulit tergantikan. Namun, kami percaya bahwa kasih dan kenangan tidak akan pernah mati.

Di setiap tawa yang kami kenang, di setiap doa yang kami panjatkan, Johnny tetap hidup dalam cinta, dalam persahabatan, dalam kenangan yang indah.
Mari kita berdoa bersama

Tuhan yang Maha Kasih,
Kami bersyukur atas hidup dan persahabatan yang telah Engkau anugerahkan melalui almarhum Bapak Johnny Sucahya.

Terimalah beliau dalam damai dan terang kasih-Mu.
Ampunilah segala khilaf dan dosanya,
dan limpahkan kekuatan serta penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ajarlah kami, Tuhan, untuk meneruskan kebaikan dan ketulusan yang ia wariskan.
Jadikan kenangan ini bukan sekadar air mata,
melainkan sumber syukur atas persahabatan sejati yang tak lekang oleh waktu.

Dalam nama-Mu kami menyerahkan segalanya.
Amin.