Selembar kertas

Cerpen 010

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

KISAH PERJUANGAN ROBERT

Singapura
Medio September 2025

Anak Desa Trucuk

Di sebuah desa kecil bernama Trucuk, Jawa Tengah, kehidupan berjalan sederhana.
Sawah membentang luas, sungai mengalir tenang, dan suara ayam jantan menjadi penanda pagi.

Di desa itulah,
pada suatu malam yang penuh doa dan tangis, seorang bayi mungil lahir. Namanya Robert.
Tangisan pertamanya membawa duka.

Ibunya, Maryani, meninggal dunia saat melahirkannya. Sang ayah, Paijo, seorang kuli angkut tanah sekaligus petani kecil, menatap bayi itu dengan hati hancur.

Sejak awal,
hidup Robert adalah perjuangan, sebuah perjalanan panjang yang ditakdirkan penuh luka, tetapi juga penuh cahaya.

Masa Kecil yang Penuh Kekurangan.
Robert tumbuh sebagai anak yang tampan, dengan mata jernih yang selalu menyimpan rasa ingin tahu. Namun, kemiskinan membuatnya berbeda dari anak-anak lain.

Ia tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah dasar. Uang sekolah adalah sesuatu yang mustahil bagi Paijo.
Meski dilahirkan sebagai seorang Katolik, Robert belajar membaca justru dari teman-temannya yang mengaji di langgar desa.

Dari huruf-huruf Arab yang ia kenali, ia mulai meraba huruf Latin, hingga perlahan mampu mengeja kata-kata.

Pada usia 9 tahun, ia sudah membantu tetangga berjualan makanan di warung.

Teman-temannya sudah memakai seragam sekolah, tetapi Robert hanya duduk di pinggir kelas, ikut mendengarkan dari luar jendela. Kadang ia menyalin catatan di tanah dengan ranting kering. Ajaibnya, meski tak sekolah, otaknya begitu tajam.

Anak-anak sebaya yang bersekolah sering malah diajari olehnya.
Di saat anak lain sibuk bermain, Robert mengumpulkan buku bekas, kapur yang sudah patah, dan papan tulis lusuh.

Dengan itu semua, ia mulai mengajar anak-anak desa yang tak mampu sekolah.

Jumlah muridnya bertambah hingga lebih dari 40 orang. Mereka belajar menulis di sabak (papan tulis kecil dari batu hitam) dan berhitung dengan biji-bijian.
Di usia 11 tahun, Robert sudah dikenal sebagai “guru kecil”.

Anak-anak desa memanggilnya “Mas Robert”, dan mereka percaya padanya.

Dari keterbatasan, ia menyalakan api pendidikan.
Kehilangan yang Membentuk Jiwa

Ketika Robert berusia 13 tahun, cobaan besar datang. Paijo, satu-satunya orang tua yang ia punya, meninggal dunia karena TBC.

Robert menjadi anak yatim piatu.
benar-benar sebatang kara.
Di saat itulah, seorang tabib Tionghoa tua bernama Om Bing menaruh perhatian padanya.

Om Bing adalah seorang singshe yang mengobati orang tanpa bayaran.

Robert sering membantu mengambil ramuan dari hutan, menumbuk daun, hingga meracik obat.

Dari sinilah ia belajar bahasa Mandarin dan pengetahuan tentang pengobatan tradisional.

Dalam waktu tiga tahun, Robert tidak hanya fasih berbahasa Mandarin, tetapi juga memahami berbagai ramuan herbal.

Ketika Om Bing yang sudah berusia 80 tahun semakin lemah, Robert perlahan mengambil alih tugasnya. Namun, desa Trucuk tidak pernah lepas dari penderitaan.
Gempa bumi menghancurkan sawah, kelaparan merenggut nyawa, dan anak-anak desa makin banyak yang tidak bersekolah.

Cahaya dari Lomba MTQ

Robert tumbuh menjadi remaja yang unik. Ia Katolik, tetapi fasih membaca Al-Qur’an.

Ia sering diajak berdiskusi oleh guru-guru ngaji, bahkan mereka kagum pada kefasihannya berbahasa Arab.

Suatu hari, gurunya mengajak Robert ikut lomba MTQ tingkat kabupaten.
Tak ada yang menyangka, Robert yang bahkan tak punya ijazah SD, mampu meraih juara dua.

Namanya mulai diperbincangkan.
Namun jalan ke pendidikan formal tetap buntu.

Tanpa ijazah, sulit baginya masuk SMP atau SMA.
Hingga suatu ketika, seorang pastor dari Yogyakarta mendengar kisahnya.
Pastor itu melihat bakat Robert dalam musik dan paduan suara. Ia lalu membawanya ke Yogya dan memperjuangkan agar Robert bisa masuk sekolah Katolik, meski tanpa ijazah.

Robert diterima. Bakatnya meledak. Ia bukan hanya siswa yang rajin, tetapi jenius yang haus ilmu.

Kejeniusan yang Tak Terbendung
Di SMA Katolik Yogyakarta, Robert tampil luar biasa.
Ia belajar dengan cepat, jauh melampaui teman-temannya. Bahkan di kelas 3, ia ikut lomba Cerdas Cermat TVRI bersama dua temannya, Antonius dan Martinus. Mereka keluar sebagai juara pertama, mengalahkan sekolah-sekolah unggulan.
Setelah SMA, Robert bekerja di industri rekaman. Suaranya merdu, ia piawai menyanyi, dan perlahan menarik perhatian pemilik perusahaan.
Tanpa ijazah, sulit baginya melangkah, tetapi karena kehebatannya, ia akhirnya disekolahkan di sekolah musik.
Robert menyelesaikan pendidikan musik dengan gemilang. Ia lalu menjadi guru musik, instruktur paduan suara, bahkan dipercaya melatih musik di lingkungan TNI.

Tentara tanpa Ijazah
Kemampuan Robert membuatnya dilirik TNI.
Ia masuk dengan pangkat rendah, tetapi segera mencuri perhatian.

Ia tidak hanya mengajar musik, tetapi juga ikut membantu tim medis, memanfaatkan pengetahuannya tentang herbal.

Para dokter kagum padanya.
Robert melatih prajurit dalam strategi, pengobatan, hingga seni musik.

Banyak anak didiknya yang kemudian menjadi perwira. Bahkan namanya diusulkan untuk mendapat bintang penghargaan.

Namun tembok itu kembali menghadang. Ijazah.

Karena tak punya ijazah resmi, Robert tak bisa naik pangkat, tak bisa diakui setara dengan perwira. Akhirnya, dengan berat hati, ia meninggalkan dunia militer.

Kembali ke Desa
Robert kembali ke desa. Di sana ia mengajar di SMA sebagai guru musik, meski tanpa ijazah.

Ia juga membuka praktik sebagai tabib, meneruskan ilmu dari Om Bing.
Meski sudah berusia 30 tahun, Robert masih single.

Banyak gadis mengaguminya. Wajahnya tampan, kepandaiannya luar biasa, tetapi Robert merasa tak pantas menikah. Hidupnya adalah untuk mengabdi.
Ia mendirikan sekolah bahasa Mandarin, mengajar anak-anak mengaji, dan membangun pusat belajar kecil-kecilan di desanya.

Bagi Robert, agama adalah jalan menuju Tuhan, tetapi pendidikan adalah jalan menuju peradaban.

Cinta yang Datang Terlambat
Di usia 40 tahun, Robert jatuh sakit.
TBC, penyakit yang dulu merenggut nyawa ayahnya, kini menyerangnya. Dua bulan lamanya ia dirawat di rumah sakit Yogyakarta.

Di sanalah ia bertemu dengan Maria, seorang suster perawat.
Maria merawatnya dengan penuh kasih. Dari tatapan mata, percakapan sederhana, hingga doa-doa malam, tumbuhlah cinta.

Setelah Robert sembuh, mereka memutuskan menikah.
Hidup berumah tangga membawa kebahagiaan baru.
Meski tak dikaruniai anak kandung, Robert dan Maria mengangkat sepasang anak yatim, Agnes dan Rama.

Mereka hidup sebagai keluarga Katolik sederhana, penuh cinta, dan pengabdian.
Akhir kehidupan
Perjalanan
Robert terus mengajar hingga usia senja.

Ia tetap tabib, tetap guru, tetap penyanyi, tetap pengajar bahasa. Di usia 50-an, namanya masih dikenang banyak orang.

Murid-muridnya telah menjadi guru, dokter, perwira, dan pemimpin di berbagai tempat.
Namun di hati kecilnya, Robert masih menyimpan satu kerinduan: memiliki ijazah.

Bagi banyak orang, selembar kertas hanyalah formalitas.
Tapi bagi Robert, ijazah adalah simbol bahwa perjuangannya diakui.

Sayangnya, mimpi itu tak pernah tercapai. Hingga rambutnya memutih, Robert tetap tanpa ijazah. Tetapi, apakah artinya sebuah kertas jika hidupnya sudah menjadi ijazah abadi bagi banyak orang?
Robert telah membuktikan bahwa ilmu tidak mengenal tembok, pendidikan tidak mengenal status, dan kasih tidak mengenal batas. Dari desa kecil Trucuk, seorang anak tanpa ibu, tanpa sekolah, tanpa ijazah, menjelma menjadi guru sejati kehidupan.

Warisan Abadi
Ketika Robert menutup mata di usia senja, desa Trucuk berduka. Ratusan orang mengiringi jenazahnya, dari anak kecil hingga orang tua.

Mereka semua punya kisah tentang Robert.
“Kalau bukan karena Robert, saya tak bisa baca tulis.”
“Kalau bukan karena Robert, saya tak jadi guru.”
“Kalau bukan karena Robert, saya tak bisa jadi dokter.”
Di batu nisannya hanya tertulis sederhana:
Robert – Anak Desa, Guru Kehidupan.

Dan itulah warisan terbesarnya. Bukan ijazah, bukan pangkat, bukan kekayaan. Tetapi ilmu, cinta, dan pengabdian yang abadi.

http://www.kris.or.id
http://www.adharta.com

Leave a comment