GREY DIVORCE (Perceraian Abu-Abu) seri pertama

Seri Pertama

Cerpen No. 011

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Awal Cinta
Ketinggian 41.000 kaki,
di atas langit Pulau Bangka, kabin Batik Air terasa tenang. Dari balik jendela kecil, George memandang hamparan awan putih bagai kapas, seakan menjadi saksi perjalanan hidupnya yang panjang.

Di kursi sebelahnya, Rani duduk diam, menatap majalah penerbangan tanpa sungguh-sungguh membacanya.
Mereka sudah bersama lebih dari lima dekade. George kini berusia 80 tahun, Rani 78 tahun.
Banyak orang menyangka, di usia senja seperti itu, cinta mereka pasti sudah matang, kokoh, dan tak tergoyahkan.

Namun kenyataannya, badai besar justru datang di penghujung jalan, ketika tenaga melemah dan kesabaran menipis.
Padahal dulu, cinta mereka tumbuh dengan begitu indah.

George masih ingat hari itu, di sebuah pesta perkawinan keluarga besar di Jakarta tahun 1969.
Musik keroncong mengalun lembut, lampu-lampu bohlam menggantung di halaman rumah besar yang dipenuhi tamu.
Di sanalah matanya pertama kali bertemu dengan Rani
gadis muda berusia 22 tahun, berambut hitam panjang, berkebaya biru muda.

Percakapan pertama mereka sederhana, sekadar basa-basi tentang makanan dan suasana pesta.
Tapi entah bagaimana, obrolan itu berlanjut hingga ke hobi memancing ikan.

George terkejut sekaligus gembira mengetahui bahwa Rani pun suka duduk berjam-jam di pinggir teluk hanya untuk menunggu kail disentuh ikan.
“Kalau begitu, kita harus coba mancing bareng suatu hari nanti,” kata George sambil tersenyum.

Rani menunduk, tersipu, tapi bibirnya ikut tersenyum. “Boleh. Tapi saya tidak suka ikan bakar, ya.
Lebih enak kalau di-steam.”
Dari janji sederhana itulah, perjalanan panjang mereka bermula.

Beberapa minggu kemudian, mereka bertemu di Teluk Naga.
George membawa perlengkapan memancingnya, sementara Rani datang ditemani adiknya.
Hari itu mereka mendapat cukup banyak ikan, mulai dari Gurame hingga bawal putih.

Seusai memancing, George membakar ikan hasil tangkapan, sementara Rani menyiapkan bumbu untuk mengukus sebagian lainnya.
Makan bersama di pinggir pantai, dengan tangan masih belepotan arang, justru membuat mereka semakin akrab.
Dari situlah muncul rasa nyaman, rasa saling mengisi.

Sebuah Cinta yang Diuji

Beberapa bulan kemudian, mereka memberanikan diri untuk berlayar ke Pulau Karang Beras, berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Panjang.

Mereka naik perahu bermesin kecil berisi enam orang, berniat menginap dua malam sambil memancing di laut.
Namun alam berkata lain. Ombak besar datang, cuaca memburuk, dan perahu kecil itu terombang-ambing lebih dari enam jam.

Air hujan bercampur air laut membasahi tubuh mereka. Rani menggigil, wajahnya pucat, tubuhnya lemah.
Sesampainya di darat, ia langsung jatuh sakit.
Demam tinggi menyerangnya hingga harus dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras.

George, yang kala itu masih muda dan penuh semangat, tak pernah meninggalkan sisinya.
Ia menjaga Rani siang malam, menyuapi, mengganti kompres, hingga lupa pada pekerjaannya sendiri.
Tujuh hari lamanya George berada di sana, dan dalam tujuh hari itulah cinta mereka benar-benar berakar kuat.

Ketika Rani sembuh, mereka sama-sama tahu mereka tidak ingin berpisah lagi.
Orang tua mereka akhirnya merestui. Pernikahan sederhana digelar, disaksikan keluarga dan sahabat.
Senyum Rani di hari itu adalah senyum paling indah yang pernah George lihat.

Keluarga yang Bertumbuh
Pernikahan itu membuahkan empat anak
tiga perempuan dan satu laki-laki.
Kehidupan mereka penuh warna.
Ada masa sulit ketika ekonomi menurun, ada masa bahagia saat usaha George berkembang.

Rani, meski sibuk mengurus anak-anak, tetap setia mendampingi.
George sering mengajak anak-anaknya ikut memancing. Mereka tertawa bersama di tepi laut, berlarian di pasir putih, berfoto dengan ikan hasil tangkapan.
Rani yang biasanya cerewet soal kebersihan, kali itu pun ikut lepas, tertawa bersama anak-anaknya.
Ketika anak-anak mulai beranjak dewasa, rumah mereka ramai oleh suara musik, tawa remaja, bahkan tangis pertama cucu.

Waktu berjalan cepat. Tahu-tahu mereka sudah memiliki tujuh cucu, semuanya perempuan.
Rumah itu kembali riuh oleh tawa kecil, boneka berserakan, dan celoteh polos yang membuat George dan Rani kembali merasa muda.

“Aneh ya, kita punya empat anak, tapi semua cucu kita perempuan,” ujar Rani suatu sore sambil memangku cucu bungsunya.
George tertawa, menimang cucu yang lain. “Mungkin Tuhan ingin kita dikelilingi oleh bidadari kecil.”

Mereka bahagia. Hidup terasa lengkap.
Namun kebahagiaan itu perlahan mulai terkikis oleh usia.

Bersambung ke seri kedua

Leave a comment