GREY DIVORCE (Perceraian Abu-Abu) seri ke dua

Cerpen No. 011

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Seri kedua

Masa Senja yang Retak

Hari-hari setelah cucu-cucu lahir sebenarnya terasa indah bagi George dan Rani. Namun, seiring usia mereka menua, perbedaan yang dulu bisa ditoleransi perlahan menjadi jurang yang sulit dijembatani.

George yang dulu gagah dan penuh semangat kini lebih banyak diam.
Ia sering duduk di teras rumah, menatap langit sore, mengenang masa lalu.
Tangannya gemetar setiap kali memegang cangkir teh, matanya tak setajam dulu.
Tapi semangatnya terhadap laut, memancing, dan dunia luar tetap menyala.

Sebaliknya, Rani semakin cerewet, semakin sensitif. Baginya, ketenangan rumah tangga di usia tua hanya bisa terwujud jika segala sesuatu tertata rapi
cucu jangan terlalu berisik, makanan harus sesuai jadwal, obat diminum tepat waktu, tamu harus diberitahu lebih dahulu.

George merasa Rani menjadi terlalu kaku.
Sedangkan Rani merasa George semakin keras kepala.

“Papa ini kenapa sih, selalu saja ke laut.
Apa tidak sadar umur sudah 80 tahun?” kata Rani suatu pagi.
George hanya tersenyum tipis. “Kalau aku berhenti ke laut, aku berhenti bernapas, Rani.”

Kalimat itu membuat hati Rani panas. Baginya, ucapan George itu egois.
Bukankah sekarang mereka harus lebih banyak bersama cucu, bukan lagi bermain-main dengan ombak?

Luka yang Tak Pernah Sembuh

Sejujurnya, ada luka lama yang tak pernah benar-benar hilang di hati Rani.
Tahun 1990-an, saat usaha George sedang naik, ia sempat jarang pulang. Ada desas-desus bahwa George dekat dengan seorang sekretaris muda di kantornya.
Rani tak pernah bisa membuktikan, tapi firasat seorang istri tak pernah salah.

Suatu malam, saat George pulang larut dengan bau parfum asing menempel di bajunya, Rani menangis tanpa suara di kamarnya.
Ia tetap bertahan demi anak-anak.
Ia tetap tersenyum di depan keluarga besar.
Tapi jauh di lubuk hati, ada bagian yang patah.
George sebenarnya tahu. Tapi ia tak pernah berani mengaku, tak pernah berani meminta maaf dengan sungguh-sungguh

Ia hanya menebus kesalahannya dengan bekerja lebih keras, membiayai sekolah anak-anak sampai sukses.
Dan kini, ketika usia sudah senja, luka itu kadang muncul kembali.
Setiap kali George keras kepala, setiap kali ia membantah, bayangan masa lalu itu menusuk lagi.

Anak-Anak yang Terpecah
Keempat anak mereka kini sudah dewasa, dengan keluarga masing-masing.
Tiga perempuan cenderung lebih dekat dengan Rani.
Mereka sering mengatakan, “Mama sudah berkorban banyak, Papa seharusnya mengalah.”

Sedangkan satu-satunya anak laki-laki, Adrian, justru membela George.
“Papa butuh ruang.
Kalau Papa masih mau mancing, biarkan. Itu yang bikin dia bahagia.”

Perbedaan pandangan anak-anak itu membuat suasana keluarga sering tegang. Setiap kali ada acara kumpul, percakapan bisa berakhir dengan debat
terselubung.

“Papa itu keras kepala, Ma.
Tapi aku ngerti, dia nggak bisa hidup tanpa laut,” kata Adrian suatu malam.
Rani hanya menghela napas. “Kamu masih muda, kamu tidak mengerti rasanya ditinggalkan.”

Cinta dan Benci

Di usia 78 tahun, Rani merasa cintanya pada George bercampur dengan kebencian.
Ia mencintai lelaki itu karena kenangan panjang: saat mereka berlayar bersama, saat George menjaganya di rumah sakit, saat mereka tertawa melihat cucu pertama lahir. Tapi ia juga membencinya karena sikap dingin, karena masa lalu yang tak pernah benar-benar jujur.

George pun merasakan hal serupa. Ia mencintai Rani karena kesetiaannya, karena tawa dan perhatiannya.
Tapi ia juga merasa Rani terlalu mengekang, terlalu sering menuntut.
Mereka tidur di ranjang yang sama, tapi sering memunggungi satu sama lain.
“Rani, apa kamu masih mencintaiku?” tanya George suatu malam, suaranya parau.
Rani terdiam lama.
Air matanya jatuh pelan.

“Entahlah, George. Aku mencintai kenangan kita, tapi aku lelah denganmu sekarang.”
Kalimat itu menusuk hati George. Ia sadar, rumah tangganya berada di tepi jurang.

Keputusan yang Sulit
Pada suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik jendela rumah mereka, Rani mengajak George bicara serius.
“George, aku ingin kita bercerai.”
George tertegun. Kata-kata itu bagai petir di usia senja.
“Bercerai? Di umur segini? Untuk apa, Rani?”
Rani menatapnya dengan mata berkaca. “Aku ingin tenang. Aku ingin sisa hidupku tidak lagi dipenuhi pertengkaran. Aku ingin bebas dari rasa sakit yang kamu tinggalkan.”
George merasakan dadanya sesak. Ia ingin berteriak, ingin menolak. Tapi ia tahu, mungkin Rani sudah terlalu lama memendam.
Perceraian di usia muda sering disebabkan perselingkuhan, ekonomi, atau ketidakcocokan. Tapi perceraian di usia tua grey divorce
lebih menyakitkan, karena yang bercerai bukan hanya dua orang, tapi juga kenangan puluhan tahun, keluarga besar, dan sejarah panjang.

Perlawanan Anak-Anak
Kabar itu mengguncang keluarga. Anak-anak kaget, cucu-cucu bingung.
“Tapi Mama, Papa sudah 80 tahun. Untuk apa bercerai sekarang?” tanya putri sulung mereka, Maya.
Rani menjawab tenang, “Untuk kebebasan yang selama ini tidak kumiliki.”
Adrian membela ayahnya. “Mama kejam. Papa sudah berusaha. Papa mencintai Mama dengan caranya.”
Perdebatan panjang pun terjadi. Rumah yang dulu penuh tawa cucu kini berubah jadi arena perselisihan.

Kesepian
Setelah proses hukum berjalan, George pindah ke rumah kecil dekat pantai di Ancol. Ia kembali memancing, meski tubuhnya sudah renta. Kadang ia duduk sendiri berjam-jam menatap ombak, mencoba berdamai dengan kesepian.
Rani tinggal di rumah lama bersama salah satu anak perempuannya. Rumah itu terasa lebih sunyi tanpa suara George, tapi Rani merasa lebih tenang.
Namun, pada malam-malam tertentu, ia diam-diam menangis.
Ia merindukan suara batuk George, cara George tertidur dengan mulut sedikit terbuka, bahkan kebiasaan menyebalkan George yang suka meninggalkan cangkir teh di meja.

Pertemuan Terakhir
Tiga tahun setelah perceraian itu, kesehatan George menurun drastis. Ia terkena stroke ringan, tubuhnya melemah.
Rani datang menjenguk.
Ketika matanya bertemu dengan mata George, waktu seakan berhenti.
“Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, Rani,” bisik George dengan suara hampir tak terdengar.
Rani menggenggam tangannya, air mata mengalir deras. “Dan aku tidak pernah bisa benar-benar membencimu.”
Beberapa minggu kemudian, George menghembuskan napas terakhir di rumah sakit, ditemani anak-anaknya. Rani duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu pernah begitu kuat.

Perceraian mereka memang nyata, sah secara hukum. Tapi cinta yang mereka bagi selama lima dekade tak pernah bisa benar-benar diputus.
Kadang, cinta dan benci hanya dua sisi dari koin yang sama. Dan ketika seseorang pergi untuk selamanya, yang tersisa hanyalah cinta, meski telah dilukai berkali-kali.

Rani menaburkan bunga di makam George dengan tangan bergetar.
“Selamat jalan, George. Terima kasih untuk cinta dan luka yang sama-sama kau beri. Tanpamu, aku bukanlah aku yang sekarang.”
Ia tahu, cinta mereka mungkin rapuh, mungkin penuh retakan, tapi tetap abadi di hatinya.
Dan kelak kita akan menyambung kembali cinta kita di kehidupan mendatang tanpa perceraian yang karena alasan yang tidak jelas

Leave a comment