Lahir di laut

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen no 008

Medio September 2025

Tulisan ini buat keluarga besar saya
Mengenang masa sulit yang lalu
Tapi Tuhan maha baik memberikan perlindungan buat keluarga

Lahir di Laut

Kisah Keluarga yang Pulang ke Tiongkok

Ombak yang Menyimpan Rahasia
Tahun 1960, laut biru di antara Indonesia dan Tiongkok menjadi saksi bisu ratusan ribu manusia yang dilepaa oleh sejarah.

Di atas kapal-kapal yang berlayar ke arah utara, ada tangis, doa, dan harapan yang terbawa angin.

Mereka pergi bukan karena kemauan penuh, melainkan karena sebuah peraturan pemerintah
PP No. 10 Tahun 1960
yang menutup pintu rezeki bagi warga Tionghoa di tanah kelahiran mereka, Indonesia.

Di antara rombongan itu, ada seorang perempuan yang tengah hamil tua, hampir genap sembilan bulan. Ombak mengguncang kapal, udara asin menusuk, dan di atas geladak sempit itu, seorang bayi laki-laki lahir.

Tangisnya mengalahkan suara badai.
Bayi itu diberi nama Hai Hoa, yang berarti “bunga laut.” Sebuah nama sederhana, namun sarat doa, agar kelak anak itu bisa tumbuh tegar seperti karang di tengah samudera.

Pulang yang Tak Pernah Benar-Benar Pulang

Propaganda kala itu begitu manis.

Dari radio, surat kabar, dan pernyataan resmi, Tiongkok digambarkan sebagai negeri modern, penuh mesin otomatis, di mana semua serba tinggal menekan tombol.
Para perantau Tionghoa di Indonesia pun tergoda.
Banyak yang rela meninggalkan usaha, rumah, bahkan tanah kelahiran demi mengejar bayangan negeri makmur.

Namun kenyataan jauh berbeda.
Saat keluarga tante saya menjejakkan kaki di pelabuhan Tiongkok, yang ada hanyalah lahan tandus, rumah kumuh, dan pekerjaan kasar.

“Tombol” yang katanya akan membawa kemakmuran, ternyata hanyalah pacul dan sekop.

Mereka harus bekerja membalik tanah keras, memikul kayu ratusan kilo, berjalan hingga 10 kilometer setiap hari.

Tante saya yang melahirkan Hai Hoa di laut
menjadi simbol keteguhan.
Ada Tante saya lagi dari paman tertua
Sampai usia 80 tahun, ia masih terlihat memikul kayu, tubuhnya bungkuk, tangannya kapalan, tapi matanya tetap menyimpan semangat hidup.

Kisah Cinta Naxia dan Gao Liu
Di Hainan, di sebuah desa kecil yang terhimpit laut dan gunung, tinggal seorang gadis bernama Naxia bermarga Dung. Ia pernah bekerja sebagai tour guide, juga guru muda sebelum hidupnya dipaksa berubah oleh aturan negara.
Ia jatuh cinta pada Gao Liu, seorang lelaki sederhana, pekerja lepas sekaligus kuli bangunan.

Kisah cinta mereka bukan kisah manis yang penuh bunga, melainkan perjuangan.

Mereka hanya bertemu sekali setahun selama satu bulan. Selebihnya, Naxia harus bekerja, sementara Gao Liu berpindah-pindah proyek mencari nafkah.

Meski begitu, cinta tetap tumbuh. Mereka menikah sederhana, hanya dengan segenggam beras dan doa keluarga.
Tahun pertama pernikahan, lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Ling Xia, mengambil nama belakang dari ibunya, karena keluarga ingin mengenang garis keturunan perempuan yang kuat.

Namun kebahagiaan itu tidak sepenuhnya utuh.
Pemerintah saat itu menerapkan kebijakan satu anak.
Tidak ada ruang untuk anak kedua.
Banyak pasangan yang hanya bisa berangan.

Ling Xia tumbuh cepat. Kini usianya tiga puluh tahun.
Ia bekerja sebagai pegawai negeri, namun hingga kini belum menikah. Kehidupannya stabil, tapi bayang-bayang kesulitan orang tuanya tetap melekat di hatinya.
Ia tahu, hidupnya adalah hadiah dari pengorbanan generasi sebelumnya.

Kenangan masa lalu
Hidup dengan Kupon
Hari-hari keluarga ini berjalan dengan kesulitan.
Semua kebutuhan pokok dibeli dengan kupon.
Setiap keluarga mendapat jatah terbatas.

Hilang uang, masih bisa dicari. Tapi hilang kupon, artinya hilang makan.
Bayangkan seorang ibu yang menangis semalaman karena kuponnya tercecer di jalan. Tidak ada belas kasihan, tidak ada pengganti.

Anak-anak hanya bisa menatap perut lapar mereka sambil berharap esok ada mukjizat.
Di pasar, orang-orang saling berebut, menukar kupon dengan beras, minyak, atau kain.
Dua mata uang
sama-sama RMB
beredar dengan fungsi berbeda: satu untuk rakyat, satu untuk militer dan pejabat.

Jurang sosial begitu terasa.
Namun, di tengah penderitaan itu, keluarga belajar satu hal
kebersamaan. Mereka berbagi nasi, berbagi garam, berbagi tenaga.
Sesama perantau dari Indonesia saling menolong.

Catatan sejarah

Kisah Keluarga Lain

Bukan hanya tante saya. Banyak keluarga lain yang bernasib serupa.
Ada keluarga Tan dari Surabaya, yang menjual rumah besar mereka untuk pulang ke Tiongkok.

Setibanya di sana, mereka hanya mendapat gubuk kecil. Ayah mereka yang dulunya pedagang sukses, akhirnya menjadi buruh tambang batu.

Anak-anaknya harus berhenti sekolah demi membantu keluarga.
Ada pula keluarga Lim dari Semarang, yang membawa serta piano tua ke kapal, berharap bisa mengajar musik di negeri baru. Tapi piano itu rusak terkena air laut.

Bertahun-tahun kemudian, anak perempuan mereka hanya bisa menekan papan kayu sambil membayangkan denting nada.
Namun tidak semua berakhir duka.

Kini, sebagian besar dari mereka telah melewati penderitaan panjang.

Anak-anak mereka menjadi dokter, insinyur, pengusaha, bahkan profesor.

Meski luka lama tak pernah hilang, kehidupan kini jauh lebih baik.

Kisah romantika

Surat yang Tak Pernah Sampai
Selama tiga dekade lebih, komunikasi dengan keluarga di Indonesia hampir terputus.

Surat-surat sering ditahan sensor, kabar datang terlambat, bahkan ada yang hilang sama sekali.

Bayangkan seorang ibu di Tiongkok yang menulis surat penuh rindu kepada adiknya di Indonesia, namun surat itu tidak pernah sampai. Sebaliknya, di Indonesia, seorang kakak hanya bisa menatap kosong ke arah laut, berharap kabar.
Baru setelah tahun 1990-an, komunikasi mulai lancar.

Telepon internasional, kemudian internet, mempertemukan kembali keluarga yang terpisah oleh politik.

Tangis bahagia pun pecah. Banyak yang kembali berkunjung, membawa cucu dan cicit.

Hatiku bahagia

Dari Derita ke Bahagia
Kini, ketika saya melihat keluarga besar mama, saya melihat wajah-wajah yang penuh syukur.

Mereka pernah merasakan pahitnya dipaksa pulang, pernah memikul kayu puluhan kilo, pernah hidup dengan kupon yang rawan hilang.
Tapi kini, mereka hidup senang.

Rumah-rumah berdiri kokoh, anak-anak mereka terdidik, bahkan banyak yang sudah berkeliling dunia.
Dan di antara semua kisah itu, saya selalu mengingat satu nama:
Hai Hoa.
Bayi yang lahir di laut, di antara tanah air yang ditinggalkan dan tanah baru yang belum dikenal.
Tangisnya di atas kapal dulu, kini bergema menjadi pengingat bahwa sejarah bukan hanya tentang kebijakan negara, tetapi tentang air mata manusia, tentang cinta yang bertahan, dan tentang harapan yang tak pernah padam.

Salam dalam doa

Inilah kisah keluarga saya, juga kisah ribuan keluarga lain yang menjadi korban sejarah PP No. 10 tahun 1960.

Sebuah kisah yang membuat kita sadar, betapa beratnya harga yang harus dibayar oleh generasi sebelum kita, demi kelangsungan hidup anak-cucu mereka.

Jika hari ini kita hidup dengan nyaman, jangan lupa, itu karena ada generasi yang rela menukar kenyamanan mereka dengan penderitaan.

Ada ibu yang kehilangan kupon demi anaknya. Ada ayah yang memikul batu demi sesuap nasi.
Ada bayi yang lahir di laut, yang tangisnya menjadi simbol keteguhan hidup.
Dan mungkin, di setiap tetes air mata itu, ada doa yang kini terkabul.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Tulisan ini juga buat Adik ku
Hai Hoa
Aku rindu

Leave a comment