Sabda yang Hidup 150 Tahun

Serikat Sabda Allah

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Menatap masa depan

Sebuah undangan hadir di hadapan aku dari Pastor profesor Dr. Bernadus Boli Udjan SVD dari Ledelero Flores

Rasanya kepingin terbang kesana tapi sayang waktu tempat keadaan memisahkan kita
Namun tulisan ini mewakili aku hadir di Ledelero

Salam dan Doaku

Di sebuah rumah sederhana di Steyl,
Belanda,
pada tanggal
8 September 1875, seorang imam bernama Arnoldus Janssen menyalakan lilin kecil.

Lilin itu bukan hanya tanda doa, melainkan awal sebuah perutusan besar.

Di tengah situasi sulit Kulturkampf yang menekan Gereja di Jerman, Janssen melangkah dengan iman yang melampaui logika.
Ia mendirikan sebuah serikat misionaris baru

Societas Verbi Divini (SVD) — Serikat Sabda Allah.

Siapa yang menduga, lilin kecil itu akan bertumbuh menjadi terang besar yang menyinari dunia hingga hari ini?

Serikat Sabda Allah kini hadir di lebih dari 80 negara, melintasi benua, bahasa, dan budaya.

Tahun ini, Gereja bersyukur atas 150 tahun karya misi SVD

Sebuah perjalanan iman yang penuh haru, darah, air mata, sekaligus sukacita.

Sabda yang Menjadi Daging
Nama SVD menyimpan makna terdalam perutusan ini. Bagi Janssen, Yesus Kristus adalah Sabda yang hidup

Sabda yang menjadi manusia. Maka, setiap misionaris SVD dipanggil bukan sekadar mengajar atau berkhotbah, tetapi menghidupkan Injil di tengah masyarakat.
Motto mereka jelas:

“Vivit Verbum Dei
Sabda Allah itu hidup.”

Sabda Allah bukan teks mati, tetapi kuasa yang mengubah hidup, membebaskan yang tertindas, menguatkan yang lemah, dan membawa harapan bagi yang putus asa.
Perjalanan Panjang ke Ujung Dunia
Sejak awal, SVD dikenal sebagai serikat misionaris yang berani menyeberangi batas.

Hanya empat tahun setelah berdiri, misionaris pertama dikirim ke Tiongkok (1879).
Dari sana, pintu-pintu misi terbuka ke Jepang, Afrika, India, Papua Nugini, Amerika Latin, dan akhirnya Indonesia.

Mereka pergi tanpa banyak bekal, seringkali dengan risiko kehilangan nyawa.

Banyak yang wafat muda karena penyakit, konflik, atau kerasnya alam. Namun, semangat mereka tak padam: Injil harus hadir di tempat yang paling sulit sekalipun.

Flores: Tanah Subur Sabda
Indonesia mencatat bab penting dalam kisah SVD.

Pada tahun 1913, tiga misionaris SVD menjejakkan kaki di Flores

Pater Arnold Verstraelen, Pater J. H. Lichtenberg, dan Bruder H. Lemaire.

Mereka menemukan tanah yang keras namun hati yang subur.
Dari Ende hingga pelosok pegunungan, mereka berjalan kaki, menyeberangi sungai, mendaki bukit, dan tinggal bersama rakyat kecil.

Mereka bukan hanya mengajar iman, tetapi juga membangun sekolah, membuka pelayanan kesehatan, dan mendampingi masyarakat.

Dari tanah Flores inilah, Gereja Katolik Indonesia bertumbuh kokoh.

Lembaga pendidikan seperti Ledalero melahirkan ratusan imam, teolog, dan pemimpin Gereja.

Tak berlebihan jika Flores disebut sebagai “jantung misi SVD di Indonesia.”

Misi yang Menyentuh Hidup
Yang khas dari SVD adalah pendekatan mereka yang holistik.
Injil diwartakan bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial.
Di sekolah-sekolah SVD, anak-anak belajar membaca, menulis, dan mengenal dunia.
Di rumah sakit Katolik, masyarakat kecil mendapat pelayanan tanpa membedakan agama.

Di desa-desa, para pastor SVD menjadi sahabat, guru, bahkan petani bagi umatnya.
Misi ini menunjukkan wajah Allah yang penuh kasih
Allah yang hadir dalam keheningan doa sekaligus dalam peluh kerja sehari-hari.

Tiga Warisan Spiritualitas
Dalam perayaan 150 tahun, SVD kembali menekankan tiga nilai utama yang diwariskan Santo Arnoldus Janssen:
Kerasulan doa doa sebagai sumber tenaga misi.

Kerja sama dengan awam misi adalah tugas seluruh umat, bukan hanya imam.

Semangat misi sejagat
setiap misionaris siap diutus ke mana saja, tanpa batas.

Nilai-nilai ini tidak pernah usang. Justru di zaman modern, ketika dunia dilanda konflik, kesenjangan, dan krisis lingkungan, semangat universal dan solidaritas lintas batas sangat dibutuhkan.
Perayaan di Ende:

Sabda yang Menyala
Keuskupan Agung Ende, sebagai pusat karya SVD di Indonesia, mempersiapkan perayaan penuh makna.

Menurut Pater Sandro, SVD, Ketua Panitia HUT, pesta ini bukan sekadar nostalgia, tetapi ajakan memperbarui semangat komunio dan sinodalitas.
Paroki-paroki mengadakan lomba Kitab Suci, turnamen futsal, hingga festival paduan suara. Puncaknya, pada 19 September 2025, ribuan umat akan berkumpul dalam perayaan syukur bersama

Bapak Uskup.
Suasana ini mengingatkan bahwa misi SVD tidak hanya dimiliki para imam, tetapi juga ditanggung bersama oleh umat Allah.
Menyongsong Masa Depan
Seratus lima puluh tahun adalah usia matang. Namun bagi SVD, ini bukan akhir, melainkan awal babak baru. Tantangan zaman terus berubah: digitalisasi, pluralisme agama, ketidakadilan sosial, perubahan iklim, hingga krisis panggilan.

Tetapi Sabda Allah tetap hidup. Dan serikat ini tetap dipanggil untuk menjadi garam dan terang di dunia. Dari Steyl ke Flores, dari Papua hingga Eropa, dari desa terpencil hingga kota besar, misi SVD tetap sama: menghadirkan kasih Allah bagi semua orang.
Penutup: Lilin yang Tak Pernah Padam
Ketika Arnoldus Janssen menyalakan lilin di Steyl, mungkin ia tak membayangkan cahaya itu akan menyinari dunia hingga 150 tahun kemudian.

Namun hari ini, kita melihat lilin itu masih menyala
bahkan lebih terang.
Sabda Allah sungguh hidup. Ia hidup dalam doa para misionaris, dalam kerja keras para bruder, dalam senyum anak-anak sekolah, dalam harapan para pasien miskin, dalam setiap umat yang berani terlibat dalam misi.

Seratus lima puluh tahun adalah bukti

Sabda Allah tidak mati.
Ia terus bergerak, menyalakan hati, dan mengubah dunia.

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Leave a comment