Saya Putri

Saya Putri

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen nomor 006

Senja di batas kota

Harusnya Bahagia berubah jadi derita

Nama yang Biasa, Hati yang Luar Biasa

Nama saya Putri.
Saya dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Kalabahi di pulau Alor
Diujung Timur Indonesia. Kota itu sederhana, tenang, dan penuh dengan orang-orang yang hidup apa adanya.

Tidak ada kilau lampu kota besar, tidak ada gedung menjulang, tapi ada langit biru yang luas, sawah yang menghijau, dan gereja-gereja kecil yang menjadi pusat kehidupan warganya.

Saya lahir bukan dari keluarga kaya, bukan dari keturunan terpandang. Wajah saya pun biasa saja
tidak ada yang akan menoleh dua kali bila saya berjalan di keramaian.

Cara bicara saya pun sederhana, polos, tanpa kepandaian merangkai kata yang indah. Tetapi sejak kecil, orangtua saya selalu menanamkan satu hal:

“Nak, jangan pernah khawatir kalau wajahmu biasa saja, kalau kehidupanmu sederhana saja.

Yang terpenting adalah hatimu. Milikilah hati yang kuat, hati yang penuh kasih, hati yang tahu bagaimana mencintai tanpa syarat.
Karena wajah akan memudar, harta bisa hilang, tapi hati yang penuh cinta akan selalu dikenang.”

Itulah yang membentuk saya.
Saya belajar mencintai dengan tulus, berdoa dengan sungguh-sungguhdan percaya bahwa setiap mimpi, sekecil apapun, bisa Tuhan wujudkan bila kita setia.

Dan mimpi terbesar saya sederhana saja: menikah di gereja kecil di kota saya. Saya tidak pernah memimpikan gaun mewah, pesta glamor, atau undangan ribuan orang. Saya hanya ingin berdiri di altar kecil itu, di hadapan Tuhan, orangtua saya, keluarga, sahabat, dan pria yang saya kasihi.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Saya bertemu dengannya ketika hidup saya terasa biasa-biasa saja. Namanya Yohanes.
Dia bukan pangeran berkuda putih, bukan lelaki kaya dengan mobil mewah.

Dia hanya seorang pria sederhana, pekerja keras, yang selalu menyapa orang dengan senyum ramah.

Tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat hati saya berkata, “Inilah rumah yang aku cari.”

Yohanes punya caranya sendiri membuat saya merasa berharga.
Ketika orang lain melihat saya hanya sebagai perempuan biasa, Yohanes melihat saya sebagai seseorang yang layak dicintai. Dia sering berkata, “Putri, kamu mungkin merasa biasa saja.

Tapi bagiku, kamu luar biasa. Karena kamu punya hati yang tak semua orang miliki.”

Hubungan kami berjalan dengan penuh doa.

Kami percaya cinta bukan sekadar perasaan, tetapi juga komitmen dan anugerah. Dia mengajarkan saya arti kesetiaan, dan saya belajar dari dia tentang keteguhan iman. Kami merencanakan masa depan bersama, membangun mimpi sederhana tentang rumah kecil, tentang anak-anak yang berlari di halaman, tentang menua bersama.

Hingga akhirnya, kami sepakat: sudah waktunya mengikat janji di hadapan Tuhan.

Hari yang Dinanti

Hari itu ditetapkan.
Tanggal yang kami pilih bukan sekadar angka. Itu adalah hari yang kami yakini penuh makna, hari yang menjadi jawaban doa-doa panjang kami.

Persiapan pun dimulai.
Gaun putih sederhana yang saya idam-idamkan sejak remaja sudah tergantung rapi di lemari. Undangan sederhana sudah tersebar ke keluarga dan sahabat.

Bunga-bunga dipasang di gereja kecil itu, bangku-bangku sudah dihias dengan pita putih, dan lagu-lagu pujian sudah disiapkan.

Malam sebelum pernikahan, saya tidak bisa tidur. Saya duduk di kamar, menatap gaun putih itu, lalu berlutut berdoa.

Air mata saya menetes bukan karena sedih, tapi karena bahagia.

“Tuhan, terima kasih. Akhirnya, mimpi kecilku sebentar lagi jadi nyata. Aku tidak minta pesta mewah, aku tidak minta kekayaan. Aku hanya ingin menikah di hadapan-Mu, bersama orang yang aku cintai. Tuhan, lindungi dia, agar besok kami bisa berdiri di altar-Mu.”

Hari Bahagia

Pagi pun tiba.
Matahari bersinar terang, burung-burung berkicau, seolah alam pun ingin merayakan sukacita saya. Saya mengenakan gaun putih itu, wajah saya dirias dengan senyum yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Semua orang berkata,

“Putri, kamu cantik sekali hari ini.”

Hati saya berdebar menunggu Yohanes datang. Dia akan menjemput saya, lalu bersama-sama kami akan menuju gereja. Saya membayangkan momen ketika pintu gereja terbuka, semua mata tertuju pada kami, dan kami berjalan menuju altar dengan penuh sukacita.

Namun, hidup punya cara yang tak pernah bisa kita duga.

Ketika Kebahagiaan Direbut

Beberapa jam sebelum prosesi dimulai, telepon itu datang.

Saya masih ingat jelas suara panik di seberang sana.
Kata-kata itu membuat tubuh saya gemetar, tangan saya membeku, dan hati saya seakan berhenti berdetak.

“Putri… Yohanes kecelakaan. Keadaannya parah.”

Saya tidak percaya.

Saya menjerit, berlari, menangis. Semua orang mencoba menenangkan saya, tapi hati saya tidak bisa menerima. Saya berdoa keras, “Tuhan, jangan ambil dia dariku. Tidak hari ini. Bukan hari ini.”

Tapi takdir berkata lain. Yohanes tidak pernah sampai ke gereja. Dia pergi… meninggalkan dunia ini, meninggalkan saya, meninggalkan janji-janji yang belum sempat terucap di altar.

Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia saya, berubah menjadi hari berkabung. Gaun putih saya basah oleh air mata. Gereja kecil itu tidak lagi dipenuhi nyanyian sukacita, melainkan isak tangis.

Bunga-bunga yang dipasang untuk pesta, kini dipindahkan untuk menghiasi peti jenazah.

Saya,
Putri, berdiri di sana
seorang pengantin tanpa mempelai.

Pengantin Tanpa Mempelai

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada berdiri di depan altar dengan gaun pengantin, sementara orang yang seharusnya ada di samping saya kini terbujur kaku dalam peti. Semua mata menatap saya dengan iba. Sebagian menangis, sebagian tidak sanggup berkata apa-apa.

Saya mendekati peti itu, menggenggam tangan dinginnya, dan berbisik:

“Yohanes, bukankah kita berjanji akan bersama seumur hidup? Mengapa hari ini justru aku harus mengucapkan selamat tinggal?

Aku mencintaimu, Yohanes. Dan cintaku tidak akan berhenti hanya karena maut memisahkan.”

Air mata saya jatuh membasahi tangannya. Saat itu saya merasa seluruh dunia runtuh.

Semua doa, semua harapan, semua mimpi, hancur seketika.

Tetapi di tengah kepedihan itu, saya teringat pada ajaran orangtua saya: miliki hati yang kuat, miliki hati yang tahu bagaimana mencintai tanpa syarat. Dan saya sadar, meski Yohanes pergi, cinta kami tidak pernah hilang.

Cinta yang Tak Mati

Hari itu saya belajar sesuatu yang tak pernah saya lupakan.
Bahwa hidup bisa berubah dalam sekejap. Bahwa kebahagiaan bisa direnggut seketika.

Bahwa tidak ada yang benar-benar milik kita kecuali kasih Tuhan.

Saya juga belajar bahwa cinta sejati tidak pernah mati.

Yohanes mungkin sudah pergi, tetapi cintanya tinggal di hati saya, menguatkan saya setiap hari. Dan saya percaya, suatu hari nanti, entah di dunia ini atau di surga nanti, kami akan bertemu kembali
bukan sebagai pengantin yang kehilangan, tetapi sebagai jiwa yang akhirnya dipersatukan untuk selamanya.

Kepada semua orang yang membaca kisah saya, saya ingin berpesan:
Hargailah setiap momen dengan orang yang kalian cintai.

Jangan pernah menunda untuk mengatakan “Aku mencintaimu.” Jangan menunda untuk meminta maaf, untuk memberi maaf, untuk memeluk lebih erat.

Karena kita tidak pernah tahu kapan waktu itu akan berhenti.

Saya,
Putri, adalah saksi bahwa cinta sejati tidak diukur dari lamanya kebersamaan, melainkan dari kedalaman kasih. Dan meski hari bahagia saya berubah menjadi hari berkabung, saya tetap percaya pada keajaiban doa, pada kasih Tuhan, dan pada cinta yang tidak pernah mati.

Www.kr>s.or.id

Www.adharta.com

Leave a comment