Tag Archives: Adharta

Manna, Manata, Manatas

Manna surgawi buat hidup duniawi

Jam menunjukkan pukul 7 pagi di suatu hari. Semua karyawan PT Aditya Aryaprawira, sudah berkumpul untuk mengadakan rapat dengar pendapat mengenai pencetusan simbol atas motto Manna, Manata, Manatas yang ditetapkan oleh Dewan Direksi,
Tiga kata ini diambil dari tiga bahasa, yaitu Hibrani, Yunani dan Kroasia tetapi tiga kata ini selalu melekat di hati setiap jiwa-jiwa yang berjuang mendapatkan kebenaran. Tiga kata ini diadopsi oleh perusahan logistik PT. Aditya Aryaprawira sebagai salah satu motivasi untuk berjuang.
Manna adalah berkat atau karunia yang diterima para pengungsi di padang gurun langsung dari surga dalam bentuk bunga-bunga es yang rasanya seperti Roti Cane atau martabak. Rasanya manis dan segar seperti Ice Cream. Manna menjadi simbol berkat bagi umat manusia. Selain itu kita bisa bernafas saja sudah merupakan Manna Surgawi,
sehingga kita perlu mensyukuri setiap pemberian Tuhan dan mau menikmatinya dan berbagi.
Manata adalah arti sebuah tanggung jawab. Saya rasa diadop dalam bahasa Indonesia menjadi menata, mengatur, memanage, dan menyusun dengan teratur. Demikianlah berkat yang kita terima haruslah kita atur. Talenta yang kita miliki juga harus diatur dengan baik, bukan disembunyikan di bawah bantal tapi harus dimanfaatkan.
Manatas, arti harafiah adalah tanggung jawab. Saya boleh memetik bahasa Indonesia menetas. Telur yang keluar dari seekor ayam betina tidak langsung ditinggal tetapi harus dierami selama beberapa minggu sampai menetas. Demikian juga setiap berkat yang kita terima kita manfaatkan sampai tuntas dengan penuh tanggung jawab sampai Tuhan berseru “selesailah sudah”.
Saya sungguh bersyukur bisa terlibat langsung dalam pengelolaan SDM di perusahaan kami. Walau ada yang mengatakan HRD singkatan dari Happy, Relax dan Daydreaming, tapi saya melihat bahwa HRD adalah awal dari segala awal hidupnya sebuah perusahaan, sehingga Direktur HRD memiliki tanggung jawab terbesar dalam perusahaan.
Ada kisah di tahun 1990. Di saat perusahaan dalam keadaan peak sekali terjadi pertengkaran bahkan perkelahian antara direktur utama dengan direktur HRD. Padahal kedua orang direktur ini adalah pemegang tampuk pimpinan. Saya sebagai CEO dan Chairman benar-benar shock karena keduanya adalah sahabat, kolega, dan teman kerja. Sungguh sulit mengambil sebuah keputusan. Namun akhirnya bisa terjadi rekonsiliasi dan mereka kembali bekerja seperti semula.
Di dalam rumah tangga, suami dan Istri adalah direktur utama dan direktur HRD. Sedangkan anak-anak adalah karyawan. Kita bisa bayangkan direktur utama dan direktur HRD berkelahi, apa kata karyawan! Simbol motto Manna, Manata, Manatas bisa menjadi salah satu untuk meretas segala ganjelan dan dapat menyambung tali silaturahmi, karena keluarga penting sekali. Keluarga adalah berkat, usaha dan tanggung jawab.
Doaku buat semua keluarga yang sedang mengalami masalah. Ingatlah berkat Tuhan harus dipertanggung jawabkan. Nilainya lebih tinggi dari sebuah pertengkaran sedalam dan sebesar apapun.

ICE CREAM

Nikmatnya ICE CREAM membuat kita lupa semua kepenatan.

Saya membuat janji dengan seorang sahabat di tempat cukup jauh, di Alam Sutera. Karena beliau tinggal di Cilegon, jadi kita cari jalan tengah bertemu di daerah dekat-dekat. Tempat yang paling strategis yang dipilih adalah Alam Sutera, Living World atau Flavour Bliss. Saya memilih duduk di Island Creamery, sebuah kedai Ice Cream milik seorang sahabat.
Memang suasana sore cukup ramai. Saya duduk dari jam 17.00, karena teman belum hadir saya memesan ice cappuccino ditambah float ice cream, ditambah sedikit kue-kue kecil. Sambil menunggu saya mencoba menulis beberapa buah surat ke teman dan client, tetapi aroma ice cream membuat saya berhenti bekerja dan menghirupnya. Rasanya sungguh nikmat dan semuat penat rasanya hilang. Ice cream adalah makanan sekaligus minuman kesenangan saya. Sejak anak-anak sampai dewasa tidak terlepas menyantapnya, walau dokter sedikit mengingatkan saya karena kadar glukosa dalam darah saya lumayan tinggi, tetapi untungnya ada glucopage, sejenis obat menurunkan glucose. Waktu 1 jam menanti sama sekali tidak terasa karena nikmatnya ice cream dicampur cappuccino dan beberapa potong kue.
Pertengahan tahun 2005, saya bertemu sahabat lama di SMA. Mereka pasangan suami istri dari teman sekelas saya. Mereka berencana membuka ICE CREAM Store di Kelapa Gading. Saya sampaikan bahwa saya penggemar ice cream, lalu mereka mempersilahkan saya mampir dalam trial out pembuatan ice cream. Sesampainya di sana ternyata sudah ada beberapa tamu. Ternyata mereka semua para ahli ice cream. Wadoooo seru juga pikir saya. Kami semua menikmati ice cream yang disuguhkan. Setelah makan dan minum kenyang kami disodori pertanyaan sejenis survey tentang taste dan kondisi ice cream baru ini. Saya penggemar makan tapi suruh kasih pendapat gagap juga nih, tetapi saya mencoba memberikan yang terbaik. Saya tulis bahwa ice cream ini rasanya kurang enak, tetapi memiliki rasa yang unik, artinya lain daripada yang lain. Setelah semua pulang keesokannya teman saya hadir di kantor saya. Ia membawa satu kotak ice cream. Beliau katakan bahwa semua yang hadir kemarin mengatakan perfect, enak dan baik, tapi kok cuma saya yang bilang kurang enak. Dalam hati saya merasa bersalah karena mengkritik makanan buatan orang, tetapi saya coba membela diri. Anehnya teman saya menjelaskan justru dia sangat terima kasih karena ternyata memang ada kesalahan resep yang dibuat lalu saya disuruh mencoba buatan mereka yang dibawa ke saya. Ternyata sekarang ice cream ini memang perfect, soft, tastenya excellent.
Ice cream memang selingan minuman yang sangat baik, bukan saja untuk melepaskan lelah pikiran, tapi juga kita bisa menikmati kreasi tangan yang membuatnya dan seni serta kreatifitas yang luar biasa.
Dalam kepenatan kehidupan rohani, kita juga membutuhkan “adonan” ice cream untuk menndinginkan hati kita, yang sehari-hari penuh dengan persoalan yang menekan batin kita. Ice cream yang kita butuhkan harus diolah dengan tangan-tangan yang penuh kebijaksanaan dan cinta. Itu bisa berupa kata-kata yang indah, nasehat-nasehat yang bijaksana, dan petuah-petuah yang diukir. Itu juga mungkin lagu-lagu rohani, puisi dan syair.
Untuk mendapatkan “ice cream” kebahagiaan dan kesejahteraan itu, maka kita tidak perlu jauh-jauh mencarinya karena kedainya ada dalam hati kita. Yang mengolah adalah hati kecil kita. Ice cream yang ternikmat yang di buat adalah senyuman yang dihiasi kesabaran, canda tawa keakraban, persahabatan dan pertemanan.
Saya sendiri selalu mencoba membuat kehidupan senikmat menikmati ICE CREAM. Sayangnya, dalam situasi tertentu rasanya hambar dan kurang halus, tetapi saya pasti mencobanya terutama berkat saran dan kritik dari teman-teman.
Dalam konvensi Logistik Asia Pasific, yang diselenggarakan oleh Gapeksi di tahun 2004, dalam sesi diskusi, terjadi perdebatan keras karena banyak perusahaan asing menguasai bisnis logistik di Indonesia. Kami mengusulkan agar pemerintah menyetop ijin-ijin untuk perusahaan asing atau harus bekerja sama dengan perusahaan lokal/domestik.
Perdebatan keras sekali karena memasuki era globalisasi masalah ini sudah keluar dari border pembicaraan, namun pada saat suasana panas, para pelayan menawarkan ice cream buatan woody. Ketua/pemimpin rapat bilang bagaimana kalau minum ice cream dulu supaya suasana dingin, dan ternyata suasana jadi penuh tawa dan canda karena benar-benar ice cream mendinginkan suasana. Saya yang mengikuti sidang akhirnya terpaksa ikut bicara. Saya bilang bagaimana ICE CREAM jadi anggota kita sehingga tradisi setiap sidang harus ada suguhan ice cream. Semua tertawa. Saat tertawa itulah saya mengutarakan pendapat saya bahwa kebersamaan tidak selalu harus diikuti dengan keberpihakan, sehingga menurut pandangan saya kita bersaing harus dengan kemampuan dan profesionalisme. Kita tidak harus diproteksi, tetapi saya mengusulkan sistim mitra atau partner. Audiens sangat menyetujui walaupun sidang ditutup tanpa hasil. Kenangan ICE CREAM saat peristiwa itu masih mengingatkan saya sampai hari ini.
Semoga kita juga bisa menjadi ICE CREAM bagi setiap masalah yang timbul terutama masalah dalam keluarga, yang dapat merusak hubungan yang manis.

M a u

Sadar, tahu dan mau, ketiganya memiliki kekuatan, tapi mau memberikan harapan.

Ada seorang anak kecil baru masuk Taman Kanak-Kanak dia menangis ketakutan. Keesokannya masih menangis. Hari ketiga sang ibu menunda membawanya ke sekolah, tetapi dia pun menangis karena “mau” ke sekolah. Akhirnya dibawa ke sekolah dan setelah bermain-main anak tersebut sudah lupa dengan kesedihannya. Kini, dia berloncat, berlari dan bermain penuh suka cita. Anak ini tidak sadar kalau harus sekolah baru bisa pintar. Ia juga tidak tahu bahwa perlu pembelajaran dan komunikasi. Dia hanya mau bermain bersama teman. Karena belum kenal, maka dia menangis terus menerus atau takut pada hari pertama dan keduanya di TKK.
Setiap perbuatan kita selalu didasari pada sadar – tahu – mau, tetapi selama tidak ada kemauan, maka usaha tidak bisa dijalankan. Walaupun demikian mau saja tidaklah cukup, kita perlu tahu melalui pembelajaran, pengalaman, asistensi, dan bantuan teman. Selain itu kita harus sadar dalam asas manfaat. Apa manfaat buat kita? Baik dan buruknya apa? Apakah perbuatan kita berkenan terutama di mata Tuhan. Sebuah pekerjaan yang dilakukan tanpa sadar ini namanya mimpi, tapi jika dikerjakan juga ini namanya sakit jiwa. Sebuah pekerjaan tanpa tahu apa yang di kerjakannya ini namanya nekad dan ceroboh. Sebuah pekerjaan yang dikerjakan dengan “mau”, maka berbahagialah orang tersebut karena sudah terwujud pengharapannya. Mau belajar, mau bertanya, mau rendah diri, mau sopan, mau membahagiakan orang lain, mau berusaha keras, mau berkorban, dan mau mencintai (dalam arti kata positif).
Sebuah rumah tangga pun demikian adanya. Ia membutuhkan asas sadar-tahu-mau bahwa kita melangkah masuk mahligai perkawinan. Dalam komunikasi iman perlu kita tekankan apakah suatu perkawinan didasari suatu kesadaran. Sadar tanpa tekanan, sadar tanpa emosi, dan sadar dari hati sanubari yang paling dalam. Kita pun tahu belul tugas dan tanggung jawab sebagai suami dan istri serta mau untuk saling menghormati, mencintai, menolong dan mau berbagi.
Yang saya maksud mau adalah suatu tindakan nyata berdasarkan sadar dan tahu serta memiliki suatu pengharapan dengan dasar iman dan kasih. Seperti halnya iman tanpa perbuatan adalah mati. Demikian pun perbuatan tanpa kemauan adalah tidur nyenyak, karena tanpa kemauan semuanya sirna tak berguna.
Kalau saja kita sadar akan apa yang terjadi dalam diri kita dan tahu apa yang menjadi hidup bagi kita, maka kemauan kita akan menjadi langkah pertama untuk berjalan 1000 mil ke depan.
Demikian dalam sebuah pengadilan, yang mengadili tersangka pasti ditanya apakah kamu “sadar” dan “tahu”? Kalau salah satunya dijawab ”tidak” terhadap konteks kasusnya maka pengadilan tidak dapat dilanjutkan, melainkan dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Tetapi jika kesalahan itu dilakukan dengan kemauan, maka ini masuk dalam kesalahan yang telah direncanakan, sehingga hukum bisa menguasainya.
Semoga pagi ini menyadarkan kita betapa besar Tuhan mencintai kita dan tahu apa yang harus kita perbuat, mau belajar mencintai, berbagi dan membahagiakan sesama.

Suster Maria

Siapa yang menolong untuk menyelamatkan orang lain, dia sudah menyelamatkan dirinya sendiri. Demikian pun hidup dengan keterpaksaan untuk menolong orang lain, ibarat makan tanpa garam.

Persahabatan memang indah walau kadang diisi dengan hal-hal kurang baik, seperti bertengkar dan marah-marahaan. Kalau masih kecil aku kenal istilah Siwak. Tandanya dengan menyentuhkan jari kelingking (setelah itu jempolnya disebul tanda putus hubungan). Kelak kalau baikan harus menyentuhkan jari jempol lalu bermain bersama lagi. Anehnya sehabis berantem lalu baikan suasana lebih akrab, bisa tertawa dan bercanda, bercerita tentang hari-hari dalam ketidakbersamaan.
Suster Maria adalah seorang sahabat saya sejak SD. Ia sekarang bertugas di pedalaman Myanmar. Kami sudah hampir 5 tahun tiada jumpa dan komunikasi. Entah mengapa sejak semalam saya teringat Suster Maria. Bisa saja karena kami sehabis nonton thriler Michael Jackson di rumah Lion Ivan dengan lagu Black or White. Itu sebuah lagu kesenangan Suster Maria.
Sebuah nasehat tentang kehidupan dari beliau adalah hidup jangan “terpaksa”. Kalau merasa terpaksa hidup akan hambar seperti makan tanpa garam. Sebetulnya saya berpendapat sedikit berbeda, tetapi akhirnya saya harus mengakui bahwa benar kalau hidup harus dijalani bukan karena terpaksa.
Suatu ketika saya berdialog dengan seorang sahabat yang sedang mengalami masalah keluarga, di mana hadir juga Suster Maria. Keluarga itu merasakan kalau “Hidup serasa di neraka, bagai kapal pecah dan kerikil sepanjang jalan. Tiada lagi senyum. Tiada canda dan tawa. Anak dan istri sudah bukan keindahan. Tersisa hanya kenangan”. Tapi Suster Maria menceritakan, bahwa dia juga dari keluarga berantakan sampai menghantar beliau menjadi biarawati. Tadinya serasa pelarian dari kebencian dan dendam. Namun akhirnya ditemukan sesuatu yang indah. Akhir kehidupan kedua orang tuanya meninggal dalam suasana suka cita dan damai. Keluarga bersatu padu. Itulah hidup tidak lagi terpaksa, tetapi penuh hikmat dan kebijaksanaan.
Adalah suatu kerugian besar kalau egoisme, kesombongan dan keangkuhan hadir dalam hidup bersama. Hidup akhirnya dipaksakan sehingga semua seperti NERAKA. Semakin berusaha keluar semakin sulit bahkan semakin tenggelam.
Saya juga berpikir apakah jalan keluar sebuah NERAKA Keluarga masih ada? Bagaimana kita bisa menjadi penyelamat sahabat-sahabat yang terjebak? Sebab, pada dasarnya penyelamatan keluarga tidak mungkin dilakukan dari luar.
Pemikiran bahwa hidup tidak boleh terpaksa sangat menarik sekali. Pertanyaannya sekarang mengapa harus terpaksa? Saya mencoba menelusuri keterpaksaan melalui pendekatan awam, kalau ada pendekatan psikologi lebih indah.

1. “Terpaksa” bisa dilihat sebagai unsur pengorbanan! Seperti kematian Yesus disalib, tetapi semuanya jungkir balik karena Yesus merobah keterpaksaan menjadi CINTA. Jadi perlu pengorbanan dalam membangun keluarga yang damai sejahtera. Pengorbanan mutlak rasanya harus ada dalam kehidupan keluarga.
2. “Terpaksa” dilihat dari unsur kebutuhan. Saya butuh dia terpaksa karena tidak bisa hidup tanpa dia. Ini klasik di saat pacaran, tetapi seperti kisah Siti Nurbaya yang dipaksa tapi tidak terpaksa. Kelihatannya kepasrahan saja yang bisa menyelamatkan kondisi ini.
3. “Terpaksa” dilihat dari pandangan sosial, seperti menyenangkan orang tua. Kehidupan lingkungan demikian hanya show saja. Akhirnya harus makan hati mendem jero dan jadi bom waktu yang akan meledak pada saat tertentu. Kelemahan ini kalau diketahui oleh keluarga. Keberanian mengakui kekurangan adalah bagian terbaik.

Tentu masih banyak kisah tentang “terpaksa” apalagi yang dialami oleh para Pastor, Suster, Bruder dan Pendeta. Bagaimana mengubah “terpaksa” menjadi panggilan, penuh pengorbanan, dan penuh cinta. Hidup mereka penuh dengan welas asih dan karunia penyelamatan untuk orang lain. Semoga cinta melindungi diri kita dari keterpaksaan hidup, karena hidup begitu indahnya. Seluruh makluk di muka bumi ini harus mengakui kebesaran Tuhan. Tentu saja dengan tidak terpaksa!

Masak

Kalau makanan enak, mertua lewat pun dicuekin.

Salah satu hobiku adalah masak-memasak. Saya bisa masak apa saja. Saya bisa masak masakan Chinese, European, Jawa dan Makasar. Saya juga bisa buat kue. Saya paling suka buat kue perut ayam atau istilah kerennya pretzel. Selain kue itu, saya pun bisa buat kue taart dan blackforest, juga marble.
Selama masa kecilku, saya selalu berurusan dengan kue karena saya adalah penjual jual kue dan roti. Bagi orang biasa, memasak adalah pekerjaan yang melelahkan tapi kalau suka masak, ini termasuk seni, bahkan enjoy sekali. Apa lagi kalau kita masak dan rasanya enak. Kegemaranku salah satunya Lumpia atau Popia.
Suatu hari di Changi Airport ada promosi Singapore Pohpia. Siapa saja boleh makan gratis. Sesukanya adonan disediakan dan kalau mau campur sendiri pun boleh dengan sayuran, sambel, kulitnya dan penggorengan. Kita juga bisa makan saja yang sudah jadi.
Dasar iseng. Saya tawarkan kalau saya yang buat dengan cara dan campuran sendiri, demikian juga adonan bumbunya. Sayang sekali rasanya jadi amburadul karena keterbatasan bumbu. Tetapi, di luar dugaan saya ternyata ada banyak hadirin ingin coba. Mereka semua pilih buatanku. Saya tak tahu bagaimana komentar mereka karena waktu boarding sudah dekat terpaksa kutinggalkan begitu saja.
Memasak itu seperti olahraga atau melukis. Kita harus memiliki keterampilan, kepekaan panca indra (wanginya, semerbaknya dan rasa/taste juga cara penyajiannya), tetapi bagi seorang pakar memasak ada sesuatu yang berbeda. Sama seperti penjahit baju bisa saja cara jahitnya sama tetapi taylor yang pakar hasilnya akan lain.
Memasak kalau susunan urut-urutan beda rasanya juga beda. Apalagi kalau kue wah kita harus sensitif sekali soal apinya, panasnya, kepekatannya, dan adonanya. Semua memerlukan konsentrasi tinggi. Tahun 2000 saya menjuarai Lomba Buat Nasi Goreng Se-DKI Jakarta. Acara ini di selenggarakan oleh Kokita bumbu masak. Hasil nasi gorengnya dijual buat charity.
Menikmati makanan itu ibarat hidup dalam sorga dunia. Kata pepatah “Mertua” lewatpun di cuekin saja. Atau mata dan telinga hampir tidak berfungsi saking enaknya makanan.
Kuliner memang memberikan tempat khusus. Mama saya begitu cintanya terhadap anak-anak, beliau selalu membuat anak-anak senang melalui makanan. Baik teman sekolah, teman main, dan warga lingkungan pasti pernah mencicipi makanan buatan almarhumah mama saya.
Bercerita tentang makan tentu tidak akan habis. Apakah kita makan untuk hidup? Atau hidup untuk makan? Memang manusia tidak bisa dipisahkan dari makanan. Makanan jasmani membuat daya tahan tubuh. Makanan rohani memberikan kebahagiaan. Baik makanan jasmani maupun makanan rohani sama-sama tergantung tukang masaknya.
Suatu hari ada sahabat pastor bilang ke saya bahwa ke gereja jangan lihat pastornya siapa? Tetapi kita ke gereja untuk menghadap Tuhan dan berdoa. Saya kurang setuju karena menurut hukum alam, seekor burung pun akan mencari makanan enak buat anak-anaknya. Naluri kemanusiaan kita mengatakan lain, kecuali kondisi tertentu, bahwa gereja harus bisa memasak masakan rohani yang harum semerbak dan lesat. Oleh karena itu, cara penyajian yang aduhai pun sangat diperlukan …. Biar mertua lewat pun di cuekin!
Semoga kebahagiaan mendampingi sahabat semua. Mari cari makanan rohani. Kecaplah betapa sedap dan nikmatnya Tuhan memberikan makanan rohani kepada kita semua.

Neraca

Semakin kuat kita, semakin besar tanggung jawabnya,
Semakin dekat dengan Tuhan, semakin besar kewajibannya (Spiderman).

Setiap hari Jumat pagi-pagi, semua direksi beserta manajer perusahaanku mengadakan rapat koordinasi perihal keuangan. Saya selalu ikut dan suka sekali mendengarkan presentasi keuangan dan mengutak-ngutik cash flow, income statement dan neraca. Yang sangat menarik adalah membaca neraca, karena bercerita banyak dan memberikan informasi tentang keseimbangan perusahaan. Untung rugi biasa tetapi masalah kemajuan dan perkembangan perusahaan menjadi suatu penilaian tersendiri.
Neraca bukan saja menjadi bagian kehidupan perusahaan internal tetapi juga menjadi penilaian pihak luar atas gerak perusahaan kita.
Minggu lalu dalam diskusi dengan investor dan fund manajer, mereka mengatakan bahwa neraca perusahaan saya dibuat baik sekali, walaupun tertera banyak kendala yang harus diperbaiki antara lain masalah pembiayaan dan pengolahan equity.
Pada tanggal 17 Agustus yang baru lalu Presiden SBY dalam pidatonya mengatakan neraca perdagangan Indonesia cukup baik, dan kondisi ekonomi Indonesia juga menjanjikan baik adanya, sehingga banyak investor mau menaruh dananya di Indonesia.
Bagaimana dengan kita pribadi, saya sendiri mencoba membuat neraca tentang kehidupan. Berapa banyak modal kehidupan rohani saya? Berapa banyak hutang janji iman saya. Berapa equity yang dipersiapkan? Apa saya memerlukan pinjaman nasehat dan juga apakah hidup saya positif atau negative? Agak susah kalau ditulis di atas kertas seperti layaknya neraca perdagangan. Neraca rohani ditulisnya di atas lembar hati nurani. Sedangkan perhitungan laba rugi diaplikasi dalam perbuatan hari-hari kita.
Semakin besar nilai positif kita, semakin kuat neraca rohani kita, maka semakin bersarlah tanggung jawab kita. Di dalam suatu diskusi kecil dengan beberapa sahabat, timbulah suatu pertanyaan. Apa tanggung jawab kita dalam kehidupan secara rohani? Ada yang menyebut ikuti saja 10 perintah Allah (hafal gak?)
Ada teman yang mengatakan ikuti hukum cinta kasih! Cintailah Allahmu dengan segala akal budimu dan cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri! Ada juga yang mengatakan mari berbagi untuk sesama. Tetapi apa nilai tanggung jawab itu sendiri dan sampai di mana ukuran berbagi? Kalau saudara kita di sebelah bilang perpuluhan (10 persen) tapi darimana? Dan untuk siapa? Saya katakan bahwa instabilisasi justru berbahaya buat rohani kita. Sesuatu yang berlebihan tidak baik. Menjadi orang terlalu baik, jadinya tidak baik. Terlalu berbagi akhirnya terbagi, Sebaiknya semua bisa diseimbangkan.
Bukan berarti menyimpang dari hukum cinta Kasih, melainkan melengkapinya. Kang Ebet bilang : ”Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jadi orang baik!” Ada sebuah joke yang disampaikan seorang sahabat pastor, katanya kalau ditampar pipi kiri, kasih juga pipi kanan, tapi sebelumnya di tendang dahulu donk!
Mari berbagi tanggung jawab, cinta kasih dan usaha kita dalam suka cita. Apabila Anda memberi dengan bersungut-sungguh artinya rugi! Bila Anda mencintai separoh-paroh artinya minus! Apabila tidak bertanggung jawab artinya rugi total.
Sungguh kita bersuka cita karena Tuhan sendiri memberikan keseimbangan kehidupan terutama dengan memberikan anak-Nya.

Itulah beras, yang baik didapat setelah ditapis,
Itulah kedelai, yang baik didapat setelah disaring,
Itulah hidup, yang baik setelah melalui perjuangan.

(Dynamic equilibrium)

Tuhan memberkati dan menyayangi kita semua dengan memberi kita tanggung jawab sebagi bukti Cinta-Nya untuk kita. Jangan sia-siakan apa pun tanggung jawab yang ada pada kita.

Sapu Lidi

Sapu lidi daun kelapa, jiwa manis mau disapa!

Sapu lidi digunakan dua kali dalam upacara pernikahan Sunda, yang pertama pada saat upacara Ngeuyeuk Seureuh dimana kedua calon pengantin dikeprak (dipukul perlahan) dengan sapu lidi diiringi nasihat dalam hidup berumah tangga harus dapat memupuk kasih sayang antara suami istri dan giat berusaha untuk kesejahteraan keluarga. Dan yang kedua adalah pada ritual Meuleum Harupat (membakar lidi) saat pengantin pria memegang lidi yang lalu dibakar oleh pengantin wanita. Ketika lidi sedang terbakar, pengantin wanita menyiramnya hingga padam. Nyala lidi diibaratkan sebagai amarah laki-laki yang padam ketika disiram kelebutan seorang wanita. Makna yang terkandung adalah sifat pemarah seorang pria harus dihilangkan sebelum berumahtangga.

Ibuku menjalin 10 lidi, lalu dianyam rapi, diikat dan dikasih pita indah sekali, tapi aku takut sekali melihatnya, karena anyaman sapu lidi ini dipakai untuk mukul sekaligus buat nyabet kita-kita anak-anaknya yang nakal. Tetapi, kenangan dipukul ibu dengan sapu lidi tetap melekat di hatiku sampai sekarang dan rindu sekali. Kadang air mataku berlinang saat membayangkan dipukul ibu dengan sapu lidi.
Pada perjalanan kembali ke Jakarta, kami mampir di Pleret. Aku dan suamiku Irfan serta dua anakku Jenifer dan Jesica, mau beli oleh-oleh berupa makanan kecil dan barang-barang antik. Suamiku memilih celengan dua buah buat anak-anak. Aku borong sapu lidi karena pulang ke rumah siap-siap capek membersihkan rumah. Kualitas sapu lidi bagus sekali. Entah mengapa sapu lidi selalu ada di samping ranjangku. Mungkin karena suamiku jorok jadi banyak pasir di tempat tidur, jadi selalu kubersihkan pakai sapu lidi.
Sapu Lidi adalah lagu kesayanganku, selain Kroncong Morisko dan Bengawan Solo. Kemarin aku bersama anak-anakku cari sampu lidi buat bersih-bersih taman yang penuh daun dan kotoran. Sapu lidi itu bagian dari pembantu. Mereka kompak kuat bersatu dan baik adanya. Aku kira sapu lidi cuma ada di Indonesian, ternyata di Paddys Market Sydney banyak juga yang jual. Aku beli buat persiapan di rumah untuk bersih bersih.
Sapu lidi di rumahku habis, kepala pusing juga, cari di mana di Jakarta ini. Aku ke hypermart ada juga di sana tinggal 1 saja. Boleh jugalah tapi sampai di kasir, seorang ibu menyapaku dengan senyum manis. Ternyata dia sudah beberapa hari cari sapu lidi tidak dapat, lalu dengan belas kasihan dia minta agar sapu lidiku bisa dibelinya. Aduh ibu! Aku juga dapat satu saja, tapi baiklah aku berkorban. Akhirnya aku kasih juga sapu lidiku satu satunya. Dalam hati aku kesel juga.
Gara-gara para PRT pulang kampung, ibu-ibu dan bapak-bapak jadi kenal sapu lidi, yang menjadi bagian dari bersih-bersih rumah. Memang Tuhan memberikan kita pohon kelapa. Mulai dari pohonnya, buahnya sampai daunnya dan lidinya menjadi bagian dari bersih-bersih.
Tugas berat kita dalam kehidupan rohani adalah menyapu bersih hati nurani kita dari kotoran-kotoran yang mencederai kehidupan rohani kita. Juga ia memberikan kita kelegaan hati seperti halnya kita habis mandi membersihkan badan kita.
Sapu lidi rohani, diambil dari pohon-pohon keyakinan yang ditanam dalam hati kita. Ia dianyam rapi. Ia baik sekali untuk menyapu atau seperti sapu lidi anyaman ibuku, cukup melihat aku takut, jadi cukup di taruh di hati sudah bisa menjadi pengawas agar aku tidak nakal lagi.
Sapu lidi, dalam perjalanan ribuan tahun membantu kita manusia. Dari bagian bersih-bersih, perlu juga kita taruh di batin kita sebagai bagian dari pekerjaan rumah Tuhan, yaitu tubuh kita. Salam dan doaku menyertai. Jangan lupa beli sapu lidu buat hadiah ibu di rumah.

Garam

Kalau garam sudah tidak asin lagi, dibuang saja!

Seniman mengenakan gaun nasional Belarusia memegang roti dan garam karena mereka bertemu dengan para peserta festival budaya berbagai etnis yang tinggal di Belarus, di kota Grodno, Belarus, Jumat, 13 Juni, 2008. Perwakilan dari lebih dari seratus kebangsaan tinggal di Belarus. (AP Photo / Sergey Grits)

Hari masih subuh, aku sudah dijemput di Hotel JW Mariott Surabaya oleh kawan dari perusahaan Garasindo. Kami akan menuju Madura melihat lokasi ladang garam. Bersamaku ada dua kawan dari perusahaan minyak di Daerah Duri, Pekan Baru. Misi kami adalah kunjungan tidak resmi dan rencana pengolahan garam industri untuk perminyakan, karena tanpa garam mobil kita tidak ada bensin. Tidak bisa jalan karena garam adalah salah satu bagian proses pembuatan minyak selain OWS Barite dan mineral lainnya.
Masih ingat Es Lilin atau Es Puter? Bagaimana cara buatnya? Gampang ada ember kecil dari aluminium diisi adonan susu, coklat, santan, gula, vanila, dan garam lalu di luarnya dikasih ss batu dan garam. Semakin banyak garam semakin cepat jadinya es puter kita, lalu ember di puter-puter (kalau yang jualan sudah didesign). Diputar-diputar terus dan ajaib 60 menit berlalu, adonan di dalam ember aluminium kita sudah beku, dan harus diaduk supaya halus, dan siap dihidangkan nikmat dan asyik. Kok pakai garam??
Buat ibu-ibu, tukang masak, tukang ketoprak sampai bakso atau soto semua menggunakan garam. Tanpa garam semuanya hambar.

Jadilah garam dunia!
Bagaimana kita jadi garam? Yang gampang saja. Garam banyak sekali gunanya, mulai dari industri minyak, gas, makanan, pengawet, ikan asin , telor asin, sampai sayur asin. Garam sangat berguna. Garam membuat manusia menikmati makanan. Jadi, kalau kita menjadi garam artinya kita menjadi penyedap masakan rohani. Membuat orang senang adalah ibadah. Jika tanpa garam maka kita juga tidak beribadah. Kehidupan rohani mutlak harus menjadi asin. Ia juga harus awet dan tidak mudah rusak. Berbagi adalah makanan rohani yang bila dilaksanakan akan lebih sedap untuk disantap dalam pengalaman komunitas apapun.
Sudah dua bulan lebih Thomas meninggalkan rumah untuk tugas kantor. Anak-anaknya masih kecil. Istrinya harus berhenti kerja untuk jaga anak-anak. Thomas sangat sayang anak dan istrinya. Mereka aktif ke gereja, namun berita buruk diterima istri Thomas, karena Thomas dipulangkan lantaran kena bagian penyusutan karyawan berupa PHK.
Keluarga muda ini sedih sekali. Mereka hampir putus asa karena mencari pekerjaan tidaklah mudah. Berkat doa, mereka sangat dikuatkan dan Thomas tetap aktif di gereja. Ia sering membantu pelayanan orang sakit. Ia juga tabah dalam menghadapi prahara rumah tangga. Situasi dan kondisi Thomas, sampai tahap tertentu, menjadi garam bagi keluarga dan tetangganya.
Menjadi garam dunia memang tidak mudah, karena banyak faktor luar yang ingin garam tersebut menjadi tawar.Demikian doa akan menjadi bagian yang tidak terlepas dari garam dunia.
Saya sendiri juga masih penuh pertanyaan tentang Perumpamaan Garam karena garam pada jaman itu, hampir hanya dipergunakan untuk masak dan pengawetan ikan asin. Fungsinya belum menjadi campuran lain seperti obat bahan peledak, pupuk, bahan baku kimia, dan industri minyak.
Jadi kesimpulan saya, yang dimaksud garam identik sekali dengan ibadah menyenangkan hati orang lain, baik dalam keluarga maupun persahabatan, sehingga hubungan cinta menjadi hangat dan mesra. Kalau hubungan itu hambar, maka mutlak kita harus menjadi garam demikian air laut asin adanya. Saya ingin bercerita tentang garam. Tentu Gereja akan mengambil bagian menjadi garam! Atau mungkin ada cerita lain?

Customer & Pengharapan

Semua pengusaha dan perusahaan pasti selalu membicaraka masalah dan prospektus dari pelanggan/customer.  Kegiatan utama berhubungan dengan para pelanggan itu adalah  upaya semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan prima  bahkan hak istimewa agar pelanggan itu bisa puas (customer satisfaction).
Saya sendiri pun mengalami hal yang sama.  Di kantor, saya memberikan arahan perihal customer dengan membaginya dalam 4 (empat) bagian dan urutan sebagai berikut :
1. Customer Utama
Siapa Customer Utama kita? Mereka adalah adalah “Diri Sendiri” sebab kita tidak mungkin bisa memuaskan orang lain kalau kita tidak bisa memuaskan diri sendiri terlebih dahulu. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk memuaskan diri sendiri antara lain :
  1. Jujur, taqwa, setia dan selalu  berdoa untuk mengucap syukur
  2. Hidup sehat dan bebas stres
  3. Diri sendiri adalah Bait Allah yang perlu dijaga dengan berbuat baik, sosial dan membantu sesama.
  4. Murah hati dan sederhana
Dengan demikian maka diri kita akan puas dan mampu untuk berbuat banyak hal.
2. Customer Prima
Siapa Customer kita yang ke dua ini : “Orang Paling Dekat”,  yaitu  istri, anak, orang tua, dan keluarga? Mengapa? Karena sumber suka-cita dari keluarga merupakan hulu dan hilir  dari segala usaha. Perlu perencanaan untuk dapat memuaskan para pelanggan ini seperti :
  1. Kebersamaan
  2. Kebahagiaan
  3. Saling memaafkan dan tolong menolong
  4. Berbagi kasih
  5. Hidup dalam kesetiaan untuk Tuhan
Upaya-upaya ini merupakan suatu jalan yang indah. Di mana ada pengorbanan di sana  Kasih akan bercahaya.
3. Customer Prioritas
Siapa Prioritas Customer kita? Mereka adalah  lingkungan sekitar kita.  Pertanyaan timbul, kapan nih kita ketemu customer yang sesungguhnya?  Ternyata itu melalui proses pengenalan lingkungan. Itu berarti kita berusaha mengenal lingkungan dan berbuat sesuatu untuk lingkungan kita. Lingkungan itu sendiri merupakan  benang merah menuju customer kita. Apa yang harus kita lakukan :
a.       Merubah behavior dan attitute kita mebjadi ramah lingkungan.
b.      Sahabat dan jalinan pertemanan
c.       Ikut berperan dalam acara di sekitar kita, gereja, lingkungan dan masyarakat
4. Customer Pengharapan
Mengapa disebut Customer Pengharapan, karena yg nomor 1-3 datangnya dari diri kita, tapi yang nomor 4 ini benar2 datang dari Tuhan Allah Bapa di surga. Artinya, kita meletakkan Pengharapan, usaha dan segala kegiatan di tangan Dia.  Melalui Dia,  kita terima berkat, yaitu Customer yang kita cari untuk kepentingan usaha kita. Apa saja yang harus kita buat untuk mendapatkan Customer Pengharapan?
  1. Sebelum melakukan segala pekerjaan, bertekuk lututlah mohon bantuan Tuhan dan bersyukur setiap hari atas Kasih Karunian-NYA
  2. Membaca Petunjuk Tuhan melalui suara hati kita
  3. Menggunakan sarana yang kita miliki dan lipat gandakan melalui ke 3 point diatas.
  4. Hiduplah dalam suka cita bersama sahabat
Suatu pengalaman Iman yg luar biasa, bisa kita catat pada saat kita bertemu dengan Customer Pengharapan dan jadikan semua Indah pada waktunya.

Lampu

Thy WORD is a lamp unto my feet and the light unto my path.

Sambil duduk-duduk di ruang keluarga saya dan istri bercerita di masa lalu. Sampai usia 9 tahun saya belum kenal listrik. Rumah kami masih beralas tanah dan beratap seng tanpa plafon. Di malam hari penerangan dengan lampu petromax dan di saat tidur menggunakan lampu oblik atau di kenal lampu tempel yang pakai sumbu dan semprong.
Istri saya juga bercerita kalau dia juga mengalami hal yang sama dan bisa menyalakan petromax, pasang kaos, pakai spritus dan dipompa. Jaman sudah berubah. Bisa bayangkan tinggal di bawah atap seng di daerah tandus, sama dengan dipanggang. Di malam hari suhu berubah drastis kedinginan tanpa selimut. Namun lampu membawa peran penting karena kami belajar bersama dan makan bersama di meja yang sama di bawah satu lampu petromax.
Tuan Li Siwei, salah seorang tokoh dalam reformasi Cina tahun 50-an, bercerita bahwasannya dia adalah anak gelandangan pengemis. Ia tidak punya rumah. Mereka hidup di hutan. Jika musim dingin datang, mereka harus masuk terowongan atau gua. Makanan mudah dicari di hutan, tetapi malam hari gelap gulita dan melihat tangan saja tidak bisa. Oleh pemerintah disediakan ruang pertemuan, tapi hanya orang kaya bisa masuk dan belajar di sana. Li kecil harus berada di luar dinding bambu mendengar orang belajar membaca dan menulis. Kadang terpaksa harus melobangi dinding bambu agar bisa mendapatkan cahaya lampu untuk ikut belajar. Kelak setelah Li menjadi pejabat negara, beliau dikenal pembela orang kecil dan suka membangun gedung pertemuan (balai).
Sekarang listrik sudah merebut pangsa lampu minyak tanah dan petromax. Pada tahun 2007, saat gempa bumi melanda Jogja, saya bersama kelompok MSF (Medicine Sains Frontier atau Kelompok Dokter Lintas Batas berpusat di Brussel) dan Gereja Santo Kristoforus membantu korban gempa bumi dengan barang-barang seperti : 5000 lampu aladin, 5000 lampu teplok, sandal jepit, set kompor dan alat masak. koordinator bantuan di Jogja adalah Romo Gabrielle Maing, OFM (Bonaventura) dan Romo Soemantoro, Pr. Bantuan lampu memang sangat penting karena selama 3 bulan lebih, korban hidup tanpa aliran listrik.
Lampu memang sangat penting dalam kehidupan sekarang terutama dengan menggunakan listrik yang begitu mudah dan praktis.
Kita beruntung sekali bisa hidup di jaman serba bisa dan serba tersedia. Begitu mudah mendapatkan penerangan tanpa harus susah-susah menyalakan atau memompa petromax.
Lampu di dalam hati juga sungguh penting bagi kehidupan Rohani kita. Terang dunia dan lampu hati sama dengan pedang bermata dua. Di satu sisi kita harus berperang melawan kegelapan. Di lain sisi kita harus berperang melawan diri sendiri yang mungkin juga mengalami kegelapan.
Kita juga harus smart seperti 5 gadis cerdik yang menanti kedatangan pengantin.
Bagaimana kalau lampu hati kita kehabisan minyak, sedang kita tidak ada cadangannya. Dalam kehidupan rohani mutlak kita harus jadi terang. Bagaimana kalau lampu kita gelap redup atau kehabisan minyak dan kita hidup dalam kegelapan.
Dulu ada cerita dari seorang pastor yang bertugas di suatu desa. Kalau malam hari pulang di gelap gulita. ”Kalau lewat kuburan saya selalu menyanyi Tuhanlah gembalaku”. Tak jarang aku juga merasa takut, khawatir dalam menjalani hidup, sama seperti jalan dalam kegelapan, di sini baru aku memerlukan pelita hati. Selain lampu yg harus kunyalakan dalam hati melalui pendalaman Kitab Suci, mengikuti Ekaristi kudus dan menyambut komuni (Akulah Roti Kehidupan dan Terang dunia), aku juga butuh penerangan dari luar, yaitu sahabat terutama melalui sharing dan konsultasi”!
Lampu hati perlu dinikmati bersama keluarga dalam satu meja, karena cahayanya makin lama makin terang, sehingga bukan saja menerangi keluarga tetapi juga menerangi sahabat yang lain.
Tuhan, aku berlutut berdoa agar cadangan minyak dalam lampu hatiku dan sahabat-sahabatku jangan sampai kehabisan dan agar lampu hatiku dan sahabat-sahabatku semakin hari semakin terang.