Tag Archives: Suster Maria

Suster Maria

Siapa yang menolong untuk menyelamatkan orang lain, dia sudah menyelamatkan dirinya sendiri. Demikian pun hidup dengan keterpaksaan untuk menolong orang lain, ibarat makan tanpa garam.

Persahabatan memang indah walau kadang diisi dengan hal-hal kurang baik, seperti bertengkar dan marah-marahaan. Kalau masih kecil aku kenal istilah Siwak. Tandanya dengan menyentuhkan jari kelingking (setelah itu jempolnya disebul tanda putus hubungan). Kelak kalau baikan harus menyentuhkan jari jempol lalu bermain bersama lagi. Anehnya sehabis berantem lalu baikan suasana lebih akrab, bisa tertawa dan bercanda, bercerita tentang hari-hari dalam ketidakbersamaan.
Suster Maria adalah seorang sahabat saya sejak SD. Ia sekarang bertugas di pedalaman Myanmar. Kami sudah hampir 5 tahun tiada jumpa dan komunikasi. Entah mengapa sejak semalam saya teringat Suster Maria. Bisa saja karena kami sehabis nonton thriler Michael Jackson di rumah Lion Ivan dengan lagu Black or White. Itu sebuah lagu kesenangan Suster Maria.
Sebuah nasehat tentang kehidupan dari beliau adalah hidup jangan “terpaksa”. Kalau merasa terpaksa hidup akan hambar seperti makan tanpa garam. Sebetulnya saya berpendapat sedikit berbeda, tetapi akhirnya saya harus mengakui bahwa benar kalau hidup harus dijalani bukan karena terpaksa.
Suatu ketika saya berdialog dengan seorang sahabat yang sedang mengalami masalah keluarga, di mana hadir juga Suster Maria. Keluarga itu merasakan kalau “Hidup serasa di neraka, bagai kapal pecah dan kerikil sepanjang jalan. Tiada lagi senyum. Tiada canda dan tawa. Anak dan istri sudah bukan keindahan. Tersisa hanya kenangan”. Tapi Suster Maria menceritakan, bahwa dia juga dari keluarga berantakan sampai menghantar beliau menjadi biarawati. Tadinya serasa pelarian dari kebencian dan dendam. Namun akhirnya ditemukan sesuatu yang indah. Akhir kehidupan kedua orang tuanya meninggal dalam suasana suka cita dan damai. Keluarga bersatu padu. Itulah hidup tidak lagi terpaksa, tetapi penuh hikmat dan kebijaksanaan.
Adalah suatu kerugian besar kalau egoisme, kesombongan dan keangkuhan hadir dalam hidup bersama. Hidup akhirnya dipaksakan sehingga semua seperti NERAKA. Semakin berusaha keluar semakin sulit bahkan semakin tenggelam.
Saya juga berpikir apakah jalan keluar sebuah NERAKA Keluarga masih ada? Bagaimana kita bisa menjadi penyelamat sahabat-sahabat yang terjebak? Sebab, pada dasarnya penyelamatan keluarga tidak mungkin dilakukan dari luar.
Pemikiran bahwa hidup tidak boleh terpaksa sangat menarik sekali. Pertanyaannya sekarang mengapa harus terpaksa? Saya mencoba menelusuri keterpaksaan melalui pendekatan awam, kalau ada pendekatan psikologi lebih indah.

1. “Terpaksa” bisa dilihat sebagai unsur pengorbanan! Seperti kematian Yesus disalib, tetapi semuanya jungkir balik karena Yesus merobah keterpaksaan menjadi CINTA. Jadi perlu pengorbanan dalam membangun keluarga yang damai sejahtera. Pengorbanan mutlak rasanya harus ada dalam kehidupan keluarga.
2. “Terpaksa” dilihat dari unsur kebutuhan. Saya butuh dia terpaksa karena tidak bisa hidup tanpa dia. Ini klasik di saat pacaran, tetapi seperti kisah Siti Nurbaya yang dipaksa tapi tidak terpaksa. Kelihatannya kepasrahan saja yang bisa menyelamatkan kondisi ini.
3. “Terpaksa” dilihat dari pandangan sosial, seperti menyenangkan orang tua. Kehidupan lingkungan demikian hanya show saja. Akhirnya harus makan hati mendem jero dan jadi bom waktu yang akan meledak pada saat tertentu. Kelemahan ini kalau diketahui oleh keluarga. Keberanian mengakui kekurangan adalah bagian terbaik.

Tentu masih banyak kisah tentang “terpaksa” apalagi yang dialami oleh para Pastor, Suster, Bruder dan Pendeta. Bagaimana mengubah “terpaksa” menjadi panggilan, penuh pengorbanan, dan penuh cinta. Hidup mereka penuh dengan welas asih dan karunia penyelamatan untuk orang lain. Semoga cinta melindungi diri kita dari keterpaksaan hidup, karena hidup begitu indahnya. Seluruh makluk di muka bumi ini harus mengakui kebesaran Tuhan. Tentu saja dengan tidak terpaksa!