Tag Archives: Pelita Hati

Lampu

Thy WORD is a lamp unto my feet and the light unto my path.

Sambil duduk-duduk di ruang keluarga saya dan istri bercerita di masa lalu. Sampai usia 9 tahun saya belum kenal listrik. Rumah kami masih beralas tanah dan beratap seng tanpa plafon. Di malam hari penerangan dengan lampu petromax dan di saat tidur menggunakan lampu oblik atau di kenal lampu tempel yang pakai sumbu dan semprong.
Istri saya juga bercerita kalau dia juga mengalami hal yang sama dan bisa menyalakan petromax, pasang kaos, pakai spritus dan dipompa. Jaman sudah berubah. Bisa bayangkan tinggal di bawah atap seng di daerah tandus, sama dengan dipanggang. Di malam hari suhu berubah drastis kedinginan tanpa selimut. Namun lampu membawa peran penting karena kami belajar bersama dan makan bersama di meja yang sama di bawah satu lampu petromax.
Tuan Li Siwei, salah seorang tokoh dalam reformasi Cina tahun 50-an, bercerita bahwasannya dia adalah anak gelandangan pengemis. Ia tidak punya rumah. Mereka hidup di hutan. Jika musim dingin datang, mereka harus masuk terowongan atau gua. Makanan mudah dicari di hutan, tetapi malam hari gelap gulita dan melihat tangan saja tidak bisa. Oleh pemerintah disediakan ruang pertemuan, tapi hanya orang kaya bisa masuk dan belajar di sana. Li kecil harus berada di luar dinding bambu mendengar orang belajar membaca dan menulis. Kadang terpaksa harus melobangi dinding bambu agar bisa mendapatkan cahaya lampu untuk ikut belajar. Kelak setelah Li menjadi pejabat negara, beliau dikenal pembela orang kecil dan suka membangun gedung pertemuan (balai).
Sekarang listrik sudah merebut pangsa lampu minyak tanah dan petromax. Pada tahun 2007, saat gempa bumi melanda Jogja, saya bersama kelompok MSF (Medicine Sains Frontier atau Kelompok Dokter Lintas Batas berpusat di Brussel) dan Gereja Santo Kristoforus membantu korban gempa bumi dengan barang-barang seperti : 5000 lampu aladin, 5000 lampu teplok, sandal jepit, set kompor dan alat masak. koordinator bantuan di Jogja adalah Romo Gabrielle Maing, OFM (Bonaventura) dan Romo Soemantoro, Pr. Bantuan lampu memang sangat penting karena selama 3 bulan lebih, korban hidup tanpa aliran listrik.
Lampu memang sangat penting dalam kehidupan sekarang terutama dengan menggunakan listrik yang begitu mudah dan praktis.
Kita beruntung sekali bisa hidup di jaman serba bisa dan serba tersedia. Begitu mudah mendapatkan penerangan tanpa harus susah-susah menyalakan atau memompa petromax.
Lampu di dalam hati juga sungguh penting bagi kehidupan Rohani kita. Terang dunia dan lampu hati sama dengan pedang bermata dua. Di satu sisi kita harus berperang melawan kegelapan. Di lain sisi kita harus berperang melawan diri sendiri yang mungkin juga mengalami kegelapan.
Kita juga harus smart seperti 5 gadis cerdik yang menanti kedatangan pengantin.
Bagaimana kalau lampu hati kita kehabisan minyak, sedang kita tidak ada cadangannya. Dalam kehidupan rohani mutlak kita harus jadi terang. Bagaimana kalau lampu kita gelap redup atau kehabisan minyak dan kita hidup dalam kegelapan.
Dulu ada cerita dari seorang pastor yang bertugas di suatu desa. Kalau malam hari pulang di gelap gulita. ”Kalau lewat kuburan saya selalu menyanyi Tuhanlah gembalaku”. Tak jarang aku juga merasa takut, khawatir dalam menjalani hidup, sama seperti jalan dalam kegelapan, di sini baru aku memerlukan pelita hati. Selain lampu yg harus kunyalakan dalam hati melalui pendalaman Kitab Suci, mengikuti Ekaristi kudus dan menyambut komuni (Akulah Roti Kehidupan dan Terang dunia), aku juga butuh penerangan dari luar, yaitu sahabat terutama melalui sharing dan konsultasi”!
Lampu hati perlu dinikmati bersama keluarga dalam satu meja, karena cahayanya makin lama makin terang, sehingga bukan saja menerangi keluarga tetapi juga menerangi sahabat yang lain.
Tuhan, aku berlutut berdoa agar cadangan minyak dalam lampu hatiku dan sahabat-sahabatku jangan sampai kehabisan dan agar lampu hatiku dan sahabat-sahabatku semakin hari semakin terang.