Category Archives: Uncategorized

Yogyakarta Kota untuk pulang Bukan kota untuk pergi

Yogyakarta
Kota untuk pulang
Bukan kota untuk pergi

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen no 0034

JW Marriott
26 Desember 2025

Sebuah istilah yang sangat menarik
Siapapun yang pergi ke Yogyakarta
Dia akan merasa Pulang

Nah itulah arti sedikit tentang Yogyakarta
Home City

Saya meluncur Kota Yogyakarta betul betul. Merasa pulang karena serasa kota kedua saya
Begitu banyak sahabat
Dan yang paling terkesan adalah makanan
Setelah tiba di stasiun Gambir disambut Pimpinan Stasiun Bapak Burhan
Kami menikmati rehat di VIP Barat bersama bapak Budi Hidayat dan Mama Hian dan Ibu Lena
Ada pak Zeno
Kami di hantar ke atas Kereta Api Argo Dwipangga Luxurious
Menuju Yogya
Sesampai di Yogya sempat mengunjungi sahabat Suster Francine SM GSGM yang sedang sakit
Hujan besar mengguyur kami sehingga membuat kampung tengah (perut protes)
Akhirnya kami menuju Gudeg Sagan milik Sahabat KRIS
Menikmati Gudeg Sagan di sela sela hujan deras memang kenikmatan sendiri

Perjalanan dengan kereta lebih kurang 6 jem menyempat kan saya menulis sebuah Kisah Cinta di tanah Yogyakarta
Home City atau Kota Pulang Rumah

Kisah Cinta Sekar dan Arya
Yogyakarta

Ketika Cinta Belajar Berdiam
Yogyakarta tidak pernah berteriak untuk dicintai.
Ia hanya hadir
tenang, bersahaja, dan sabar
seperti cinta yang matang.

Di kota inilah Arya pertama kali bertemu Sekar.
Pagi itu, udara masih lembap oleh embun yang tertinggal di daun-daun trembesi. Jalanan dekat Tugu belum ramai.

Becak melintas perlahan, seolah enggan mengganggu kesunyian.
Arya berdiri di pinggir jalan, memegang secangkir kopi hitam yang mulai mendingin, matanya memandang lurus ke utara
ke arah Merapi yang samar.

Sekar datang seperti angin pagi.
Tidak tergesa. Tidak mencuri perhatian.
Ia hanya ada.
Gaun putih sederhana, rambut dikuncir rendah, senyum yang tidak dibuat-buat.
Saat matanya bertemu mata Arya, tidak ada percikan berlebihan
hanya rasa hangat, seperti sinar matahari pertama yang menyentuh kulit.

“Yogya selalu begini ya,” kata Sekar pelan.

“Membuat orang ingin diam.”

Arya tersenyum.
“Dan membuat diam terasa cukup.”

Mereka berjalan tanpa tujuan, menyusuri Malioboro yang belum sepenuhnya bangun.

Toko-toko masih menutup pintu, pedagang mengatur dagangan dengan sabar. Kota itu seperti sedang menarik napas panjang sebelum mulai bercerita.

Cinta mereka tumbuh seperti Yogya sendiri
tidak mendadak, tidak memaksa.
Di sebuah angkringan kecil dekat Stasiun Tugu, mereka duduk berdampingan. Teh panas mengepul.
Nasi kucing sederhana terasa istimewa.

Mereka berbicara tentang hal-hal kecil: buku yang disukai, masa kecil, mimpi yang belum tentu tercapai.
Namun di antara kata-kata itu, ada sesuatu yang lebih kuat:
kenyamanan untuk tidak selalu berbicara.

Malam hari, Yogya berubah menjadi puisi.
Lampu-lampu jalan memantul di wajah Sekar.

Arya memperhatikannya diam-diam. Ia menyadari bahwa kecantikan Sekar tidak hanya pada paras, melainkan pada caranya mendengarkan
utuh, tanpa tergesa menyela.

“Kalau suatu hari kamu harus pergi,” kata Sekar lirih, “apa yang akan kamu ingat dari Yogya?”

Arya berpikir sejenak.
“Keheningan yang tidak sepi. Dan seseorang yang membuatku betah di dalamnya.”

Sekar tersenyum. Matanya basah oleh cahaya, bukan oleh air mata.
Hari-hari berlalu seperti alunan gamelan
perlahan, berlapis, penuh makna.

Mereka menyusuri Keraton, melangkah dengan sopan, seakan waktu meminta dihormati.
Di sana Arya belajar bahwa cinta, seperti kepemimpinan Jawa, bukan soal menguasai, melainkan merawat.

Di Taman Sari, mereka berdiri di antara lorong-lorong batu yang pernah menyimpan rahasia.
Sekar menempelkan telapak tangannya ke dinding tua.

“Tempat ini pernah mencintai dan dicintai,” katanya.
“Seperti kita.”

Arya menggenggam tangan Sekar. Hangat.
Tenang.
Nyata.
Sore hari sering mereka habiskan di selatan kota, memandang langit yang berubah warna di Parangtritis.

Angin laut membawa aroma garam dan kenangan.

Ombak tidak pernah berjanji akan tenang, namun selalu kembali ke pantai.
“Cinta itu seperti laut ya,” ucap Sekar.

“Kadang riuh, kadang sunyi. Tapi selalu setia pada garisnya.”

Arya mengangguk.
“Dan Yogya mengajarkan kita untuk tidak takut pada gelombang.”

Malam terakhir sebelum Sekar harus kembali ke kotanya Jakarta, hujan turun perlahan. Mereka berteduh di bawah emperan kecil. Tidak ada pelukan berlebihan, tidak ada drama. Hanya dua jiwa yang saling memahami bahwa keindahan tidak selalu harus dimiliki
kadang cukup dihayati.

“Apa kita akan bertemu lagi?” tanya Sekar.

Arya menatap hujan.
“Yogya tidak pernah benar-benar melepaskan orang yang mencintainya.”

Sekar tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Arya.

Dalam diam, kota itu menyimpan janji.
Ketika Sekar pergi, Yogya tetap di tempatnya.
Tenang.
Setia.
Bersahaja.
Namun Arya tahu
seperti cinta yang baik
sesuatu telah berubah di dalam dirinya. Ia belajar bahwa mencintai tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang menjadi ruang pulang.
Dan hingga hari ini, siapa pun yang datang ke Yogyakarta dengan hati terbuka, akan merasakan hal yang sama:
bahwa kota ini bukan sekadar tujuan,
melainkan perasaan.
Terpesona.
Tenang.
Dan ingin tinggal lebih lama
di kota, atau di hati seseorang.

Yogyakarta
Home City
Kota untuk Pulang
Bukan untuk Pergi

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Natal dan Cerita di Tengah Hujan dan Badai

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen no 0033

Hari yang menegangkan

Natal tahun ini datang dengan cerita yang tak akan mudah kami lupakan.

Anak-anak saya bersepakat membuat acara Natal sederhana di rumah.
Kami memilih potluck setiap orang membawa hidangan, bukan sekadar makanan, tetapi juga kasih dan kebersamaan.

Menjelang sore, rencana kecil pun dibuat: membeli kado Natal untuk anak-anak mantu dan cucu-cucu tercinta.

Mall Central Park dipilih, jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari rumah.
Biasanya, perjalanan singkat itu hanya memakan waktu lima belas menit.

Namun malam itu berbeda.
Langit runtuh oleh hujan deras, seakan menumpahkan seluruh isinya. Jalanan lumpuh.

Perjalanan yang biasanya ringan berubah menjadi perjuangan selama dua setengah jam. Lampu rem memerah di mana-mana, klakson bersahut
sahutan, dan jarum jam terus bergerak tanpa belas kasihan.

Waktu menunjukkan pukul 19.30, padahal acara seharusnya dimulai pukul 18.00.
Belanja kado pun dilakukan terburu-buru. Keluar dari area parkir Central Park justru lebih menyiksa
dua jam hanya untuk bergerak beberapa meter. Dalam kepenatan itu, kami mencoba tetap sabar. Natal, bukankah memang tentang menunggu?

Besan saya dan Ola akhirnya turun lebih dulu, mencoba memanggil Gojek motor.

Antrean panjang, lebih dari tiga puluh meter.

Hujan mulai agak mereda juga Tiba-tiba, seorang gadis dengan sepeda motor menghampiri.
Ia menawarkan tumpangan. Karena mengira itu Gojek, besan saya langsung menaikkan Ola cucu saya yang paling kecil, dan beliau duduk di belakang.

Mereka diantar sampai depan rumah.
Saat hendak dibayar, gadis itu tersenyum dan berkata pelan,
“Saya bukan Gojek, ibu tadi Kebetulan lewat saja. Dan lihat Ibu dan asi kecil Ola saya jadi iba dan niat tulus untuk antar larena kalau tunggu belum tentu 1 jam bisa dapat gojek”

Kami semua tertegun.
Jika ini bukan malaikat, lalu harus disebut apa?

Di dunia yang sering terasa keras dan terburu-buru, masih ada kebaikan yang datang tanpa nama dan tanpa pamrih.
Seperti palungan di Betlehem saat semua penginapan penuh, kasih Tuhan menemukan tempatnya di kandang sederhana.

Tanpa kandang itu, bayangkan Sang Bayi harus lahir di tengah jalan, kedinginan, sendirian.
Malam terus berjalan.

Senly dan Elle cucu saya nomor 3 terpaksa turun dari mobil, berjalan kaki hingga Aaprtemen Grand Tropik aamping Ciputra Mall
sebelum akhirnya mendapatkan taksi.

Dea menantu saya menemani Pandu, baru bisa keluar dari Central Park pukul 21.00. Letih, kesel , dan lapar
namun tidak kehilangan harapan.
Walau larut, acara tetap berlangsung. Tukar kado dilakukan dengan tawa yang tulus.

Makan malam dihadiri Pak Lendy, Pak Dwi, pak Bobby, dan Fandy (bukan Kawanua), dan Ibu Monik. Ibu Betsy

Di tengah keterlambatan dan kekacauan, rumah justru terasa penuh. Bukan oleh kesempurnaan, melainkan oleh cinta Kasih bersamw

Natal tahun ini mengajarkan kami: menyambut kelahiran Yesus tidak selalu dalam keadaan ideal.

Ada kekurangan, kelemahan, kesulitan, dan macet yang panjang.
Namun kami percaya, seperti hujan yang akhirnya reda, semua akan berlalu dengan baik.
Besok pagi, saya dan istri, bersama Pak Budi Hidayat dan Ibu Hian, akan berangkat ke Yogyakarta diantar Pak Zeno ke Stasiun Gambir.

Kereta Taksaka Luxurious pukul 08.50 akan membawa kami menghadiri perayaan 55 tahun Wedding Anniversary Bapak Wintaka dan Ibu Aryati di Hotel Marriott Yogyakarta,
27 Desember 2025 malam.

Natal ini mungkin basah dan melelahkan,
tetapi di dalamnya ada senyum, tawa, dan kebaikan kecil
yang membuat iman tetap hangat.

Selamat Natal
Damai sejahtera dan penuh Suka Cita buat semua sahabat

Adharta

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

PESAN NATAL

PESAN NATAL

Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS

Jakarta, 25 Desember 2025

Salam Damai Sejahtera Natal menyertai
Untuk

Sahabat KRIS
Dimanapun Anda berada

Untuk seluruh Anak Bangsa Indonesia

Untuk semua sahabatku di seluruh Dunia

Saudara-saudaraku yang terkasih,

Dan seluruh anak bangsa tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras maupun budaya.

Setiap kali Natal tiba, selalu ada pertanyaan yang muncul, khususnya dari mereka yang bukan penganut agama Kristen
Apa arti Natal sesungguhnya?
Pertanyaan ini wajar, bahkan penting. Sebab Natal telah dirayakan lebih dari dua ribu tahun, diteliti oleh para ahli sejarah, dibahas oleh tokoh agama lintas iman, dan dikaji oleh para pemikir dunia. Fakta sejarah mencatat bahwa kelahiran Yesus Kristus bukan sekadar kisah iman, melainkan peristiwa yang nyata dan diakui dalam perjalanan peradaban manusia.

Namun, Natal bukan semata-mata soal tanggal kelahiran, bukan pula hanya tentang pribadi Yesus Kristus sebagai tokoh sejarah.
Natal adalah tentang campur tangan Tuhan Allah sendiri dalam kehidupan manusia.
Natal adalah tanda bahwa Tuhan tidak tinggal jauh di langit, tetapi hadir, menyapa, dan menyentuh dunia dengan kasih-Nya.

Mari kita bersama saksikan

Pertama,
Natal dan Persahabatan.

Natal mengajarkan kita arti persahabatan yang jauh melampaui sekadar perdamaian formal atau hubungan kekeluargaan. Persahabatan sejati adalah kesediaan untuk saling memahami, menghormati perbedaan, dan berjalan bersama meskipun tidak selalu sependapat. Dalam konteks bangsa dan dunia internasional, persahabatan berarti keberanian untuk menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan sempit.
Natal mengingatkan kita bahwa persahabatan adalah jembatan yang menghubungkan hati, bukan sekadar kesepakatan politik atau ekonomi.

Persahabatan yang lahir dari semangat Natal mampu meredam kebencian, mencairkan kecurigaan, dan membuka ruang dialog yang tulus.

Kedua,
Natal sebagai Penyelesaian Masalah.
Hampir seluruh dunia hari ini bergumul dengan masalah konflik keluarga, perpecahan sosial, pertikaian antarbangsa, hingga peperangan yang merenggut jutaan nyawa. Natal hadir pada momentum yang sangat tepat. Natal membawa pesan Raja Damai
bukan raja yang berkuasa dengan senjata, melainkan Raja yang memerintah dengan kasih.

Damai yang dibawa Natal bukan damai semu yang menutupi luka, tetapi damai yang berani menyentuh akar persoalan.

Damai dalam keluarga dimulai dari kesediaan saling mengampuni.

Damai antar sahabat lahir dari kejujuran dan kerendahan hati.
Damai antar bangsa tumbuh ketika keadilan ditegakkan dan martabat manusia dihormati.
Natal mengajarkan bahwa setiap perselisihan, seberat apa pun, selalu memiliki jalan penyelesaian ketika kasih dijadikan dasar.

Ketiga,
Natal yang Membangun.

Bangsa Indonesia tidak asing dengan kehancuran.
Kita menyaksikan luka akibat bencana alam di berbagai daerah seperti Sibolga, Tapanuli, Aceh, dan wilayah lainnya.
Rumah hancur, harapan runtuh, dan beban hidup terasa sangat berat.
Natal mengingatkan kita bahwa membangun kembali tidak mungkin dilakukan sendirian.
Beban akan terasa ringan ketika dipikul bersama.
Natal dapat menjadi inisiatif gerakan membangun
Membangun fisik, membangun mental, dan membangun kembali kepercayaan diri mereka yang terluka.

Demikian pula dunia yang porak-poranda akibat perang. Banyak bangsa tidak mampu bangkit sendiri. Natal memanggil kita semua, siapa pun kita, untuk terlibat. Jika tidak dengan tenaga dan materi,
maka dengan doa dan kepedulian.

Sebab doa adalah bentuk solidaritas tertinggi yang melampaui batas negara dan agama.
Mari kita tundukkan kepala dan berdoa sejenak

Keempat,
Natal sebagai Suara Pemersatu Dunia.
Ada yang bertanya bagaimana mungkin hal-hal yang berbeda dapat bersatu?

Minyak dan air, api dan air,
debu dan angin semuanya tampak bertentangan. Namun alam mengajarkan kita bahwa perbedaan justru menciptakan keseimbangan. Air memadamkan api agar tidak membinasakan, angin menggerakkan debu menjadi tanah subur, dan perbedaan unsur membentuk kehidupan.
Natal mengajarkan prinsip yang sama: perbedaan bukan ancaman, melainkan potensi.
Ketika perbedaan dikelola dengan kasih dan kebijaksanaan, dunia menjadi tempat yang lebih indah dan bermakna.

Pandangan saya tentang Natal adalah ini
Natal adalah undangan universal untuk berdamai
dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan Tuhan. Natal bukan milik satu kelompok, melainkan pesan kasih bagi seluruh umat manusia.

Di tengah dunia yang gaduh oleh kebencian, Natal berbicara dengan suara lembut namun kuat
damai itu adalah Natal sendiri

Akhir kata,
Terimalah salam Damai Sejahtera Natal dari saya.

Kiranya doa Natal mengalir bagi seluruh anggota KRIS, para sahabat, dan dunia, agar semakin mengenal nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan KRIS
kasih, persatuan, dan harapan.
Selamat Natal.
Tuhan memberkati kita semua.

Adharta

Memperkenalkan
KRIS
Komunitas
Relawan
Indonesia
Sehat

Www.kriS.or.id

Www.adharta.com

AVATAR The Fire and Ash

AVATAR
The Fire and Ash

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Pandora
Desember 2025

Avatar
Api dan Abu

Api berkata
aku marah
aku luka
aku ingin membakar segalanya
agar rasa sakitku terlihat

Air berkata
aku mengalir
aku menerima
aku menyimpan ingatan
tanpa membencinya

Di antara keduanya
Pandora menangis
bukan karena perang
tetapi karena anak-anaknya
saling melupakan

Api lupa
bahwa ia berasal dari cahaya
Air lupa
bahwa ia juga bisa menenggelamkan
Lalu abu jatuh
sunyi
tidak panas
tidak dingin
Dan dari abu
tumbuh harapan kecil
yang berbisik

Hancur bukan akhir
Duka bukan musuh
Selama kau masih mendengar
aku masih hidup

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

WANITA HEBAT, JEJAK CINTA SEPANJANG ZAMAN

WANITA HEBAT, JEJAK CINTA SEPANJANG ZAMAN

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Desember 2025

CINTA IBU
Ia tidak pernah meminta dunia untuk memujinya. Langkahnya sederhana, suaranya sering tenggelam oleh hiruk-pikuk kehidupan.

Namun di balik kesunyian itu, tersimpan kekuatan yang tak pernah habis. Ibu adalah wanita hebat
bukan karena kecantikannya, bukan pula karena harta atau kepintaran yang dielu-elukan, melainkan karena keteguhan hatinya dalam menjalani hidup.

Sejak fajar menyapa hingga malam menutup hari, wanita hebat berdiri tegak menghadapi masalah yang datang silih berganti. Ia belajar bahwa hidup tak selalu adil, tetapi ia memilih untuk tidak menyerah.

Ketika lelah menghimpit, ia menundukkan kepala dalam doa, percaya bahwa setiap badai pasti berlalu, dan setiap luka akan menemukan sembuhnya.
Ibu
Wanita hebat tidak terlahir kuat
ia ditempa oleh proses. Ia belajar dari jatuh yang berulang, dari air mata yang disembunyikan, dari harapan yang nyaris padam.

Dalam diam, ia melukis kekuatan di kanvas kehidupan, membentuk dirinya menjadi pribadi yang sabar saat tertekan dan tetap tersenyum meski hati menangis.
Ia tahu kapan harus berbicara, dan lebih sering tahu kapan harus diam.
Saat hinaan datang, ia memilih senyap, bukan karena kalah, tetapi karena ia mengerti bahwa harga diri tidak perlu dibela dengan kemarahan. Pesonanya bukan terletak pada penampilan, melainkan pada kemampuannya memaafkan
bahkan ketika luka itu dalam dan menyakitkan.

Ibu
Wanita hebat mampu membalut luka hatinya sendiri. Ia tidak menunggu dunia mengerti penderitaannya. Dengan kesabaran, ia menyembuhkan dirinya, satu hari demi satu hari. Amarah yang membara ia padamkan dengan senyum, dan dendam yang mengintai ia hapuskan dengan maaf.
Ibu memilih damai, karena ia tahu kedamaian adalah bentuk kemenangan tertinggi.

Di dalam dirinya, cinta bersemi tanpa syarat.
Ibu memberi tanpa menghitung, mencintai tanpa menuntut, dan berkorban tanpa mengeluh.
Ibu mungkin tak tercatat dalam buku sejarah, tetapi namanya terukir abadi di hati orang-orang yang pernah disentuh kasihnya
anak-anaknya, keluarganya, dan mereka yang diam-diam ia kuatkan.

Pada Hari ini adalah peringatan hari Ibu
kita menundukkan kepala dengan rasa syukur. Untuk setiap wanita hebat yang telah dan terus berjuang dalam sunyi.

Untuk ibu, istri, anak, dan perempuan di mana pun berada
terima kasih atas cinta yang tak pernah lelah, kesabaran yang tak berbatas, dan keteguhan yang mengajarkan kami arti kekuatan sejati.

🌹 Selamat Hari Ibu 🌹

Engkau adalah doa yang hidup, dan cinta yang tak pernah usai.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Antara Cinta dan Macet di Jalan

oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen nomor : 0032

Medio Desember 2025

Tulisan ini
Buat Bapak Harjoko

Jakarta di suatu senja
Jumat sore selalu punya watak sendiri.

Jumat datang dengan lelah yang belum tuntas, dengan jam yang berjalan lebih lambat dari biasanya, dan dengan hujan yang seolah tahu kapan harus turun.

Sore itu, hujan telah lebih dulu bekerja sejak pagi
tak putus-putus
seperti pegawai teladan yang lupa jam pulang.

Angin kencang menyapu jalanan, udara dingin menyusup ke balik kaca mobil, dan langit tampak muram seakan ikut mengantre nasib di persimpangan.

Saya meninggalkan kantor dari arah Sunter menuju Central Park.
Setelah late lunch yang datang di jam yang sudah tak pantas disebut makan siang, kondisi jalan masih tampak bersahabat. Tidak ada tanda-tanda kemacetan.

Kendaraan bergerak wajar, lampu-lampu lalu lintas masih ramah, dan harapan pun ikut melaju.
Memasuki Kemayoran, suasana tetap tenang.
Google Maps menunjukkan waktu tempuh 50 menit. Artinya, dengan logika khas orang Jakarta
ditambah toleransi hujan dan takdir
perjalanan mungkin memakan waktu 90 menit.
Masih masuk akal.
Masih manusiawi. Masih bisa ditawar.
Namun, seperti cinta yang terlalu cepat percaya, kami lupa satu hal
Jakarta selalu punya kejutan.
Begitu mendekati pintu tol, dunia berubah.
Dua kilometer terakhir menjelma menjadi ujian iman.
Hampir 45 menit dihabiskan untuk bergerak sejauh orang berjalan sambil menelepon.
ETA ke Central Park melonjak menjadi pukul 19.00. Perjalanan kami, yang semula terasa ringan, tiba-tiba membengkak menjadi hampir tiga jam.
Macet itu bukan macet biasa.
Ia macet dengan penuh percaya diri.
Macet yang tak meminta maaf. Macet yang membuat orang mulai menghitung ulang dosa, pilihan hidup, dan alasan kenapa tidak sekalian jalan kaki saja.

Kami bertiga di dalam mobil yang di sopiru Fandy dan Lendy duduk di belakang
saling pandang.
Penyesalan mulai muncul
diam-diam tapi kompak. “Kenapa tadi tidak lewat jalan darat?”
Kalimat itu melayang di udara tanpa perlu diucapkan.

Seperti cinta lama yang tiba-tiba muncul di saat tidak tepat.
Dan di situlah saya sadar:
Macet bukan sekadar urusan jalan. Macet adalah cermin kehidupan.
Memilih jalan menuju suatu tempat selalu terasa sederhana
belok kanan atau kiri, tol atau non-tol. Namun hasilnya bisa jauh dari harapan.

Pepatah lama berkata, banyak jalan menuju Roma, tetapi tidak semua jalan menuju Roma bebas macet.
Begitulah hidup.
Begitulah cinta.
Begitulah pilihan-pilihan kecil yang kita ambil dengan keyakinan besar, lalu kita pertanyakan ulang ketika hasilnya tak sesuai ekspektasi.
Hidup adalah Pilihan (dan Bonusnya Konsekuensi)

Setiap pilihan membawa konsekuensi.
Salah memilih jalan bisa berujung macet total
padat merayap, bensin menipis, dan kesabaran diuji sampai level premium.
Namun jiwa yang besar tahu satu hal
pilihan tidak untuk disesali, tetapi untuk dijalani.
Macet memang menyebalkan, tetapi menggerutu berjam-jam tidak akan membuat mobil terbang. Justru di situlah seni hidup diuji
apakah kita menjadi manusia yang semakin kusut, atau justru menemukan kelonggaran di tengah keterbatasan.
Menikmati Perjalanan Ketika Harapan Tidak Mengecewakan
Dalam kemacetan itu, saya teringat satu kalimat rohani yang selalu menguatkan:
Pengharapan tidak mengecewakan
Spes non confundit
Harapan yang benar tidak pernah salah alamat.

Mungkin terlambat, mungkin berliku, mungkin basah oleh hujan
tetapi tidak pernah sia-sia. Jalan boleh macet, tetapi hati jangan ikut berhenti.

Kami mulai tertawa kecil di mobil.
Menertawakan keadaan. Menertawakan diri sendiri. Menertawakan fakta bahwa Jakarta ini seperti cinta pertama
bikin repot, tapi selalu dirindukan.
Jangan Terlalu Berhitung
Dalam hidup, terlalu banyak berhitung sering membuat kita lupa satu hal
empati.
Kadang kita perlu mengalah. Kadang perlu mundur satu langkah agar yang lain bisa maju dua langkah.
Dalam keluarga, dalam komunitas, dalam relasi manusia
kata-kata harus dijaga, nada harus diturunkan, dan ego sebaiknya diparkir dulu di bahu jalan.

Macet mengajarkan kesabaran dengan cara yang brutal namun jujur.

Kenangan manis
40 Tahun Lalu
Becak, Helicak dan Bemo
Ada Jeruk, dan Tawa
Di tengah kemacetan itu, ingatan saya melompat 40 tahun ke belakang.
Saat kendaraan belum sebanyak sekarang. Jalan sempit jarang macet.
Suatu hari saya naik becak dari Tanah Abang menuju Kyai Tapa, Trisakti.

Di depan, sebuah helicak becak bermesin yang merasa dirinya helikopter bertabrakan dengan bemo roda tiga.
Tidak parah, tapi cukup untuk memancing drama.
Penumpang helicak adalah sepasang suami istri.
Sang istri
galaknya luar biasa.
Suaminya, orang Ambon, justru diam seribu bahasa.
Sopir helicak diam.
Sopir bemo diam.
Yang ribut justru penumpang dan penonton. Jakarta sudah lama suka tontonan gratis.
Jalan pun macet total.

Orang-orang berkumpul.
Ada yang menunjuk, ada yang menyimpulkan, ada yang sudah siap jadi hakim.

Saya punya acara di kampus. Waktu berjalan. Peluh mulai muncul.
Di dalam bemo, ada seorang kakek.
Usianya mungkin hampir 90 tahun. Ia membawa satu kantong plastik berisi jeruk lemon Cina.
Wajahnya tenang, seperti orang yang tahu dunia tidak perlu diburu.
Saya turun mencoba melerai.

Anehnya, sang kakek ikut turun dan malah menawarkan kami bertiga makan jeruk.
Bayangkan: macet, lapar, emosi, lalu disodori jeruk asam.
Ajaibnya, suasana mencair.
Kami tertawa. Saya membuka pembicaraan. Saya minta semua menepi, bicara baik-baik. Saya minta suami menenangkan istrinya. Pelan-pelan ego surut.
Akhirnya sepakat: tidak ada perkara. Jalan dibuka. Macet terurai.
Sang kakek kemudian pindah ke becak saya.
Di sepanjang perjalanan, ia bercanda, tertawa, bahkan mengaku bisa meramal.
Setiap kali ia tertawa, wajahnya seperti lupa bahwa usianya sudah lanjut.
Saya sadar saat itu
Senyum dan tawa adalah bunga cinta kasih yang paling sederhana, tapi paling ampuh.
Macet yang Menjadi Berkat
Kini, di tengah kemacetan menuju Central Park, saya kembali merasakan hal yang sama.
Macet masih ada. Hujan masih turun. Tapi hati sudah lega.
Jalan padat berubah menjadi ruang perjumpaan dengan kenangan, dengan nilai, dengan diri sendiri.
Macet ternyata bukan musuh.
Ia hanya guru yang datang tanpa janji.
Cuma satu yang perlu disesali:
kasihan mereka yang menunggu kita.
Untung sekarang ada TikTok. 😊

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Cinta sejati Susan

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Cerpen nomor 0031

Medio Desember
2025

“Baik atau buruk, tetap suami saya. Dan dia adalah pemberian Tuhan.”

Kalimat itu bukan hanya keluar dari bibir Susan, tetapi lahir dari kedalaman imannya.
Ia mengucapkannya bukan untuk membela, melainkan untuk berserah.
Bagi Susan, pernikahan bukan sekadar ikatan dua manusia, melainkan perjanjian jiwa yang disaksikan oleh Tuhan.

Susan lahir sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara di sebuah desa terpencil di ufuk Timur, Papua Barat.
Desa itu jauh dari keramaian, dikelilingi hutan dan sungai, tempat hidup berjalan perlahan dan doa-doa sederhana naik bersama asap dapur rumah-rumah kayu. Keluarganya hidup cukup untuk ukuran desa tidak berlebih, namun tidak kekurangan.
Dari orang tuanya, Susan belajar bahwa hidup bukan tentang memiliki banyak, tetapi tentang mensyukuri yang ada.

Sejak kecil Susan dikenal pendiam dan lembut. Ia jarang membantah, tetapi jika telah mengambil keputusan, hatinya tak mudah digoyahkan. Ia percaya bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang sering kali tidak dimengerti manusia.

Pada usia dua puluh tiga tahun, Susan memilih menikah dengan Zainudin.
Pilihan itu mengejutkan banyak orang. Zainudin bertubuh besar dan bersuara lantang, tetapi hidupnya berantakan. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, gemar minum minuman keras, dan sering pulang dalam keadaan mabuk.

Keluarga Susan menentang keras pernikahan itu. Mereka takut Susan akan menderita. Keluarga Zainudin pun tidak sepenuhnya merestui
mereka merasa rendah diri dan tak sepadan.

Namun Susan telah menjalin hubungan dengan Zainudin selama empat tahun.
Ia melihat sisi lain lelaki itu: kerapuhan, kesepian, dan janji-janji untuk berubah.
Dalam hati Susan berkata, jika aku meninggalkannya sekarang, siapa yang akan mendoakannya? Ia percaya pernikahan dapat menjadi jalan perubahan.
Pernikahan mereka berlangsung sederhana.
Tidak ada pesta besar.
Hanya doa, air mata, dan harapan.
Rumah papan kecil menjadi saksi janji setia Susan.
Ia mulai menjahit pakaian warga desa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Zainudin berjanji akan mencari pekerjaan, namun janji itu sering tinggal kata-kata.
Tahun demi tahun berlalu. Anak demi anak lahir.
Sepuluh orang semuanya
enam laki-laki dan empat perempuan. Rumah kecil itu semakin sempit, tetapi penuh kehidupan. Tangis bayi bercampur suara mesin jahit Susan yang hampir tak pernah berhenti. Tangannya menjadi kasar, matanya sering perih, tetapi hatinya tetap lembut.
Zainudin tidak berubah seperti yang Susan doakan. Kebiasaan buruknya justru semakin menjadi.
Ia memaksa meminta uang hasil jahitan Susan. Ia mabuk-mabukan, berjudi, dan bermain perempuan.

Berkali-kali Susan menangis dalam diam. Berkali-kali ia bertanya pada Tuhan mengapa hidupnya begitu berat.
Namun setiap kali bangkit, ia memilih bertahan.

“Kesetiaan bukan soal layak atau tidak layak,” bisik Susan dalam doanya, “tetapi soal taat.”
Suka dan duka berjalan berdampingan. Ada hari-hari bahagia: saat anak pertama masuk sekolah, saat Natal mereka bernyanyi bersama, saat cucuran hujan membawa harapan panen. Ada pula hari-hari gelap
ketika uang sekolah tak ada, ketika Susan sakit namun tetap menjahit, ketika anak-anak menahan malu melihat ayah mereka pulang mabuk.

Suatu malam, sebuah peristiwa mengubah pandangan seluruh desa.

Zainudin pulang dalam keadaan mabuk berat. Langkahnya limbung.
Tanpa sadar, ia terjatuh ke dalam sumur tua di belakang rumah.
Susan yang melihat kejadian itu berlari.
Tanpa berpikir panjang, ia ikut terjun ke dalam sumur.
Teriakan warga memecah malam.
Mereka berhasil menolong keduanya.
Luka mereka ringan, tetapi keheranan warga sangat besar. Mengapa Susan melakukan tindakan yang begitu nekat?
Dengan tubuh gemetar dan mata basah, Susan menjawab pelan,
“Karena dia suami saya. Saya bersamanya, hidup atau mati.”

Sejak malam itu, keluarga besar semakin keras mendesak Susan untuk bercerai. Banyak yang memutus hubungan. Mereka lelah menasihati. Namun Susan tetap teguh.

“Baik atau buruk, dia suami saya. Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang berhak mengambil,” katanya.

Anak-anak tumbuh dalam kerasnya kehidupan. Mereka melihat ayah yang sering gagal dan ibu yang tidak pernah menyerah.
Dari Susan, mereka belajar arti tanggung jawab, kerja keras, dan pengampunan. Susan selalu berpesan, “Jangan membenci ayah kalian.
Jadilah manusia yang lebih baik.”
Anak-anak itu tumbuh menjadi orang-orang baik.
Ada yang menjadi guru, perawat, pengusaha kecil, dan pelayan gereja.
Mereka menikah dan memiliki anak.
Rumah Susan kembali ramai oleh tawa cucu-cucu. Dalam kebahagiaan itu, Susan terus berdoa bukan agar hidupnya mudah, tetapi agar imannya tetap kuat.

Zainudin menua tanpa banyak perubahan. Di usia tujuh puluh tahun, tubuhnya melemah.
Susan merawatnya dengan setia
menyuapi, membersihkan, dan berdoa di sampingnya. Tidak ada dendam di hatinya.
Hanya penyerahan penuh kepada Tuhan.
Zainudin meninggal dunia dengan tenang. Setahun kemudian, Susan menyusul.
Anak-anak dan cucu-cucu mengantar kepergiannya dengan air mata dan rasa hormat.
Kini, nama Susan dikenang di desa itu.
Bukan karena harta atau kedudukan, melainkan karena imannya. Kisah hidupnya menjadi pengingat bahwa kasih sejati bukan tentang menerima yang sempurna, melainkan setia dalam ketidaksempurnaan.
“Baik atau buruk, tetap suamiku” bukan lagi kalimat pembelaan, melainkan kesaksian iman bahwa kasih yang tulus tidak pernah sia-sia di mata Tuhan.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

TETAP BERDIRI DI TENGAH BADAI

TETAP BERDIRI DI TENGAH BADAI

Cerpen no 0030

Medio Desember 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kasih dalam kehidupan

Ida lahir dan tumbuh di sebuah keluarga sederhana, di sudut kota Bekasi yang tidak pernah benar-benar tidur.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan suara piring beradu, aroma nasi hangat, dan lelah yang tersimpan di wajah kedua orang tuanya.

Ayahnya seorang makelar rumah, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, menawar, menjual, berharap satu transaksi bisa cukup untuk membayar kebutuhan keluarga.
Ibunya, Murni, setiap subuh sudah bangun, memasak nasi bungkus yang akan dijajakan sepanjang hari.

Hidup mereka bukan tanpa cinta, tetapi penuh perjuangan. Ida dan adik perempuannya, Tri, tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup tidak pernah gratis.
Segala sesuatu harus diupayakan.
Tri, yang kelak menjadi wartawan, sering menemani Ida duduk di dapur, mendengarkan cerita ibu sambil membantu membungkus nasi.
Dari sanalah Ida belajar satu hal penting: hidup boleh keras, tetapi hati tidak boleh menjadi pahit.
Sebagai anak sulung, Ida terbiasa menahan diri.
Ia jarang meminta. Ia tahu, jika ia merengek, ibunya akan tersenyum sambil berkata “nanti”, sementara ayahnya akan menghela napas panjang.
Maka Ida memilih diam, memilih kuat, memilih belajar.

Ketika dewasa, Ida menikah dengan seorang pedagang. Ia berharap pernikahan itu menjadi pelabuhan tenang setelah perjalanan panjang masa kecilnya.
Dari pernikahan itu lahirlah seorang putri yang sangat ia cintai, Joan.

Namun hidup kembali menguji Ida. Perkawinannya tidak berjalan seperti yang ia impikan. Perbedaan, tekanan ekonomi, dan luka yang tak sempat disembuhkan membuat rumah tangga itu kandas di tengah jalan.

Perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Namun Ida tidak sendiri. Joan, putri kecilnya, memilih ikut bersamanya. Saat itu, Ida memeluk anaknya erat-erat, sambil menahan air mata.
Ia berjanji dalam hati, apa pun yang terjadi, anak ini tidak boleh kehilangan masa depan hanya karena kegagalan orang tuanya.
Di sanalah perjuangan hidup Ida benar-benar dimulai.

Dengan modal kenangan masa kecil, Ida menuruni kemampuan ibunya. Ia menyadari bahwa memasak bukan sekadar hobi, tetapi warisan hidup. Sambil mengasuh Joan, Ida melanjutkan kuliah Manajemen Informasi di sebuah universitas di Jakarta.
Ia mengambil kelas sore, karena pagi hingga malam hidupnya diisi dengan kerja.
Ia magang di sebuah restoran besar di Jakarta.

Dunia kerja menyambutnya tanpa belas kasihan. Jadwal panjang, tekanan tinggi, dan tubuh yang sering kelelahan menjadi teman setia.
Ada hari-hari ketika Ida bekerja hampir 20 jam sehari.

Pagi ia kuliah, siang bekerja, malam kembali bekerja, dini hari pulang dengan langkah gontai.
Sering kali, di kamar sempit yang ia sewa, Ida menangis diam-diam. Bukan karena ingin menyerah, tetapi karena tubuhnya lelah dan hatinya rindu.
Rindu pada masa kecil yang sederhana, rindu pada ibu yang dulu selalu menyambutnya dengan nasi hangat, rindu pada kehidupan yang tidak sekeras ini.
Namun setiap kali ia melihat wajah Joan yang tertidur pulas, Ida kembali menguatkan diri. Tangisnya ia simpan, senyumnya ia kenakan kembali keesokan hari.
Kerja kerasnya perlahan membuahkan hasil. Ketangguhan Ida menarik perhatian banyak orang. Hingga suatu hari, namanya muncul dalam sebuah majalah wanita nasional.
Ia dianugerahi penghargaan sebagai wanita pejuang yang sangat tangguh. Saat menerima penghargaan itu, Ida tersenyum sambil menahan haru.

Bukan karena bangga, tetapi karena ia teringat semua malam panjang, semua luka yang tak terlihat, semua air mata yang tak pernah diberitakan.
Di luar pekerjaan, Ida menemukan kekuatan lain persahabatan.
Ia aktif dalam kegiatan anak muda Buddha di vihara.
Di sanalah ia bertemu orang-orang yang juga sedang berjuang dengan caranya masing-masing. Mereka berbagi cerita, berbagi tawa, berbagi air mata.
Di vihara, Ida belajar bahwa hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga soal makna.
Mereka sering duduk melingkar, melakukan sharing tentang perjuangan hidup, tentang bagaimana mencari nafkah tanpa kehilangan nurani.
Ada tawa lepas, ada pelukan hangat, ada keheningan yang menenangkan.
Ida menyadari, dalam hidup, mempertahankan diri memang sering kali berarti bekerja keras mencari uang.
Ada yang sukses menjadi pengusaha besar, ada yang menjadi pengusaha biasa, dan ada pula yang terus berjuang tanpa tahu kapan rezeki akan berpihak.
Namun setiap orang memiliki nilai perjuangannya sendiri.
Ida melihat kenyataan itu dengan mata terbuka.
Ia tahu, masih banyak orang yang bekerja keras namun tetap hidup dalam kesusahan.
Ada pula yang terpaksa mengemis, bukan karena malas, tetapi karena hidup terlalu berat.

Dari sana, Ida belajar untuk tidak menghakimi, untuk tetap bersyukur, dan untuk berbagi semampunya.
Kini, Ida masih berjalan. Hidupnya belum sempurna.
Luka masa lalu masih ada, tetapi tidak lagi berdarah.
Ia tertawa bersama sahabat, menangis jika lelah, bangkit setiap kali jatuh. Ia mengajarkan Joan untuk kuat, tetapi juga untuk berbelas kasih.
Kisah Ida adalah kisah kasih anak manusia
tentang bertahan hidup, tentang jatuh dan bangkit, tentang air mata yang berubah menjadi kekuatan. Sebuah kisah sederhana, tetapi penuh makna: bahwa selama masih ada tekad, harapan tidak pernah benar-benar padam.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com

Kondisi terkini Bencana Alam di Sumatra

Kondisi terkini Bencana Alam di Sumatra
Termasuk Aceh, Sibolga Tapanuli, dan wilayah terdampak lain)
berdasarkan data pelaporan resmi terbaru dan situasi di lapangan hingga 11–12 Desember 2025

Oleh : Adharta
Ketua Umum
KRIS

Kronologi Banjir & Longsor di Sumatra Telan Lebih dari 960 Korban Jiwa

Kondisi Umum Terkini (Perkembangan Situasi)
Skala bencana & korban

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu oleh curah hujan ekstrem akibat siklon tropis Senyar telah menyebabkan kerusakan luar biasa di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Sampai data terbaru, korban jiwa mendekati angka 970 orang dengan ratusan lainnya dilaporkan hilang atau masih dalam pencarian. Jumlah ini terus diperbarui oleh BNPB dan tim SAR nasional karena operasi pencarian belum sepenuhnya selesai.

Lebih dari 3,3 juta orang terdampak langsung, dan sekitar 1 juta orang mengungsi di berbagai titik pengungsian di ketiga provinsi tersebut.

Rumah-rumah, fasilitas umum, sekolah, pos kesehatan, jalan utama, dan jembatan mengalami kerusakan berat.
Akses dan infrastruktur:
Jalan nasional dan jembatan putus total, terutama di wilayah Sibolga, Tapanuli Tengah, dan pegunungan Aceh, menyebabkan banyak desa terisolasi.
Listrik dan jaringan komunikasi banyak terputus, bahkan beberapa wilayah hanya bisa diakses lewat udara (helikopter atau drone).

Akses air bersih sangat terbatas, memaksa warga mengambil air dari aliran sungai atau sumber yang tidak layak minum termasuk menadah hujan.

Bantuan
BNPB bersama TNI/Polri, PMI relawan nasional, dan organisasi kemanusiaan lainnya seperti KRIS (Killcovid-19 Relief International Services)
terus mengerahkan helikopter dan alat berat untuk membuka akses, membawa logistik pokok (air mineral, makanan, selimut pakaian ) dan membuka pos kesehatan darurat di lokasi-lokasi pengungsian.

Wilayah dengan Dampak Paling Parah

Pertama
Sumatera Utara – Sibolga dan Kawasan Tapanuli
Wilayah ini menjadi salah satu paling parah terdampak akibat gempuran banjir bandang, longsor dan arus lumpur yang dahsyat

Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah menghadapi banjir bandang yang menghancurkan permukiman, menyebabkan puluhan rumah ambruk dan tanah longsor menutup jalur utama.
Banyak desa seperti Badiri, Sarudik, Pandan, Tukka, Tapian Nauli, Kolang terendam dan akses darat terputus total.

Tim SAR mendapati puluhan korban terbawa arus, sementara ratusan lainnya masih dalam pencarian.

Kedua
Aceh

Aceh juga mengalami dampak besar, terutama di kabupaten seperti Aceh Utara, Aceh Tamiang, Bener Meriah, dan Pidie Jaya, dengan ratusan korban tewas dan ribuan rumah rusak.

Banyak fasilitas umum di Aceh juga terendam dan infrastruktur putus.

Ketiga
Sumatera Barat
Wilayah seperti Padang Pariaman, Agam, Tanah Datar, dan Padang City juga menerjang puluhan ribu rumah akibat banjir besar.

Di beberapa daerah, rumah terendam hingga atap dan ribuan orang terpaksa mengungsi.

Kisah Perjuangan Para Korban
Di tengah statistik dan laporan resmi, terdapat kisah-kisah manusiawi yang penuh perjuangan, kehilangan, dan solidaritas, yang menunjukkan bagaimana bencana ini begitu mengguncang kehidupan masyarakat

Heroisme di Tengah Longsor
Seperti Divan Simangunsong
Di Tapanuli Tengah, seorang remaja bernama Divan Simangunsong (21 tahun) menjadi simbol keberanian.
Saat longsor tiba-tiba menghantam kampungnya, ia berjuang keras menyelamatkan ayahnya yang hidup dengan kondisi stroke. Sayangnya, Divan sendiri tertimbun longsoran dan gugur saat berusaha menarik ayahnya ke tempat aman.

Keberaniannya dirasakan oleh warga sekitar sebagai kisah inspiratif tentang pengorbanan tanpa pamrih.

Kehidupan di Pengungsian
Ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan rumah mereka seketika.
Banyak keluarga kehilangan rumah, perabot, dan dokumen penting.
Di lokasi pengungsian, mereka bergantian mengantri air bersih, bercampur dengan lumpur yang masih menutupi akses masuk ke banyak desa. Sementara itu, anak-anak mencoba bermain di sela tenda-tenda darurat, mencoba tersenyum di tengah trauma.

Para ibu merangkap sebagai penjaga semangat keluarga, membagi sedikit makanan yang ada, sambil menghibur anak-anak yang ketakutan akan hujan susulan. Ada juga keluarga yang hidup bersama hewan ternak mereka di pengungsian, karena takut ditinggal dan kehilangan sumber penghidupan mereka.

Relawan dan Solidaritas Komunitas
Relawan dari berbagai daerah datang membawa bantuan.
Cerita kecil tapi bermakna datang dari relawan Anes dan kawan kawan dari KRIS yang menjemput air bersih dengan gerobak dorong dari sungai terdekat, atau warga yang berjalan berpuluh kilometer untuk membawa bantuan makanan ke saudara mereka yang terisolasi karena longsor.

Beberapa relawan medis bekerja siang malam merawat luka ringan dan memberikan konseling psikososial bagi anak-anak yang kehilangan orang tua atau rumah mereka.

Pemulihan dan Harapan
Meskipun banyak tantangan, semangat gotong-royong tetap tumbuh. Warga bersatu membersihkan reruntuhan rumah, membuka jalur kecil agar bantuan bisa masuk, dan berbagi bekal makanan dengan tetangga yang paling membutuhkan.
Anak-anak kembali ke pengungsian mereka sambil membawa buku tulis, menunjukkan keinginan kuat untuk kembali ke sekolah meskipun bencana masih terasa dalam ingatan mereka.

Situasi Bantuan & Prioritas Ke Depan
Distribusi bantuan tetap menjadi tantangan besar karena infrastruktur rusak dan akses dibatasi oleh lumpur, longsor susulan, serta kondisi cuaca yang belum stabil. Bantuan utama yang masih darurat diperlukan di antaranya
Air bersih dan sanitasi
Makanan darurat
Perlengkapan bayi dan fasilitas kesehatan
Tempat tidur, selimut, dan perlindungan tambahan untuk pengungsian
Perbaikan akses jalan dan jembatan untuk mempercepat distribusi bantuan.

Pemerintah juga sedang mempercepat upaya rekonstruksi jangka panjang, termasuk pembangunan rumah sementara dan permanen bagi warga yang kehilangan tempat tinggal. Dana pemulihan diperkirakan mencapai triliunan rupiah, dan kolaborasi antara pemerintah, lembaga kemanusiaan, serta komunitas global sangat dibutuhkan.

Pesan Solidaritas
Di balik statistik yang terus diperbarui, cerita manusia menjadi pengingat bahwa ketangguhan, keberanian, dan solidaritas adalah kunci untuk bangkit dari bencana ini. Ucapan terima kasih kepada semua relawan, donatur, dan masyarakat yang telah membantu
Perkumpula Teo Chew Indonesia
PT Niewana Lestari
PT Aditya Aryaprawira
Komunitas KRIS
PT Dok Kodja Bahari
PMI DKI Jakarta
WINGS Group
Caritas Imdonesia
Para Donatur

Semua bantuan anda
sangat berarti bagi keluarga korban, terutama mereka yang kehilangan segalanya dalam hitungan detik

Www.kris.or.id
Www.adharta.com

Langkah Langkah Sekar di Kota Beton

“Langkah Langkah Sekar di Kota Beton”

Oleh : Adharta
Ketua umum
KRIS

Cerpen nomor 0029

Desember 2025

Kisah perjuangan
Sekar lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil di lereng Gunung Wilis, Jawa Timur.

Hidupnya sederhana rumah kayu berdinding papan, suara tonggeret setiap sore, dan aroma tanah basah setelah hujan. Kedua orang tuanya, Sumarno dan Sulastri, adalah petani kecil yang mengajarinya tentang kerja keras dan kejujuran.
Sejak kecil, Sekar sering membantu ibunya menanam cabai dan memanen jagung, sementara ayahnya mengajarinya membaca koran bekas yang dibawanya dari warung kopi.

Ketika Sekar menginjak SMA, ia mulai menyimpan satu mimpi
merantau ke Jakarta. Baginya, Jakarta bukan hanya kota besar yang penuh hiruk-pikuk, tetapi juga simbol kesempatan.

Ayahnya selalu berkata, “Orang kecil hanya kalah kalau berhenti berusaha.” Kalimat itu menempel di hatinya seperti cap yang tak mungkin hilang.
Namun takdir tidak selalu berjalan lurus. Pada suatu malam ketika Sekar kelas tiga SMA, ayahnya meninggal mendadak karena serangan jantung.
Dunia Sekar runtuh. Ibunya, yang sejak lama sakit-sakitan, semakin melemah dan akhirnya menyusul suaminya setahun kemudian.
Sekar menjadi benar-benar sendiri tanpa harta, tanpa keluarga inti, hanya dengan mimpi yang masih ia genggam erat.

Menuju Jakarta

Setelah lulus SMA, Sekar memutuskan merantau. Dengan uang tabungan hasil bekerja di warung makan di desa dan sedikit bantuan dari pakliknya, ia naik bus menuju Jakarta. Perjalanan sembilan belas jam itu terasa seperti perpindahan hidup dari udara pegunungan yang dingin menuju panasnya kota beton.
Ia tinggal di sebuah kamar kos sempit di daerah Kramat.

Kamarnya hanya cukup untuk tempat tidur tipis, kipas angin, dan satu meja kecil yang dibelinya dari pasar loak. Namun bagi Sekar, itu sudah lebih dari cukup; itu adalah langkah pertamanya menuju masa depan.
Hari-harinya dimulai pukul lima pagi. Ia bekerja sebagai pelayan di restoran kecil dari pukul enam sampai dua sore. Setelah itu, ia berangkat ke kampus swasta tempat ia mengambil jurusan Manajemen.

Pulang kuliah pukul sembilan malam, kemudian belajar hingga larut.
Terkadang ia hanya tidur tiga jam, tetapi semangatnya tak pernah padam.
Masa-masa itu berat. Ia pernah hampir pingsan karena kelelahan.

Pernah juga pulang sambil menangis saat tidak punya cukup uang untuk membayar fotokopi modul. Namun setiap kali ia ingin menyerah, ia mengingat wajah ayah dan ibunya. “Kalau aku berhenti, aku menghianati perjuangan mereka.”

Sekar
Gagal dalam Cinta

Di tengah perjuangannya, Sekar bertemu Rafi
seorang senior kampus yang ramah dan penyayang. Mereka berpacaran selama satu tahun.
Rafi menjadi sosok yang membuat Sekar merasa tidak sendirian.
Namun hubungan itu tidak bertahan lama
Rafi harus pindah ke Surabaya karena pekerjaan keluarganya. Hubungan jarak jauh tak berjalan baik
komunikasi terputus, janji tak lagi ditepati, sampai akhirnya mereka berpisah dalam sunyi.
Setelah itu, muncul seorang rekan kerja bernama Dimas. Ia humoris, perhatian, dan sering mengantar Sekar pulang.

Sekar mulai membuka hatinya lagi. Namun, suatu malam Sekar melihat Dimas makan malam dengan seorang perempuan
ternyata kekasihnya yang sudah lama menjalin hubungan.
Sekar mundur perlahan, menelan luka untuk kedua kali.
Beberapa tahun kemudian, ada pula Rangga, teman sekelas yang pandai dan ambisius. Mereka sempat dekat dan saling mengagumi. Namun Rangga lebih memilih karier dan ingin berkonsentrasi pada bisnis yang sedang ia bangun.

“Aku belum siap berkomitmen,” katanya.
Sekar hanya tersenyum.
Ia sudah cukup sering terluka untuk tahu kapan harus melangkah pergi.

Sekar belajar satu hal cinta bisa menjadi kekuatan, tapi juga bisa menjadi beban. Ia memilih untuk tetap berjalan, karena hidup telah mengajarinya bahwa harapan tidak selalu datang dari seseorang
sering kali datang dari dirinya sendiri.
Titik Terendah dan Titik Balik
Tahun ketiga kuliah adalah masa tersulit.

Gaji di restoran tidak naik, sementara biaya kuliah meningkat. Sekar hampir memutuskan berhenti kuliah.
Ia menatap langit malam dari jendela kosnya, menahan air mata.
“Ibu… bapak… apa aku harus menyerah?”

Namun keesokan harinya, dosen pembimbingnya memanggil dan menawarkan Sekar pekerjaan paruh waktu sebagai asisten akademik.

Pekerjaan itu tidak hanya membantu secara finansial, tetapi juga membuat Sekar merasa dipercaya dan dihargai.
Ia menerimanya tanpa ragu.
Selain itu, ia juga mulai membuka jasa pengetikan dan desain CV dan tesis
untuk mahasiswa lain. Penghasilannya perlahan meningkat. Dalam kesibukan itu, ia menemukan kembali kekuatannya: kemampuan bertahan.

Saat Wisuda

Hari yang paling ia tunggu akhirnya datang. Setelah lima tahun penuh perjuangan, air mata, dan kelelahan,
Sekar berdiri di Balai Kartini dengan toga hitam, wajah ceria, dan hati yang menggebu. Ketika namanya dipanggil untuk menerima gelar sarjana, ia menahan tangis.

“Untuk bapak dan ibu,” bisiknya pelan.
Tidak ada keluarga yang datang menghadiri wisudanya. Namun teman-temannya berkumpul di sekitar, membawa bunga, memeluknya dengan bangga. Di tengah kerumunan itu, Sekar menatap ke atas.
Langit Jakarta yang suram tiba-tiba terasa hangat.

Foto-foto wisudanya ia cetak dan simpan dalam sebuah album kecil.
Di halaman pertama ia menulis:
“Jika kau tak punya siapa pun yang percaya padamu, jadilah orang pertama yang mempercayai dirimu sendiri.”

Setelah Wisuda
Dengan gelar sarjana dan pengalaman kerja

Bertahun-tahun, Sekar diterima di sebuah perusahaan logistik dan project movement dan shipping
sebagai staf administrasi. Gajinya jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Ia bisa pindah ke kos yang lebih layak, mulai menabung, bahkan mengirim sedikit uang kepada pakliknya di desa yang dulu membantunya.

Dalam perjalanan hidupnya, Sekar bertemu banyak orang, belajar tentang berbagai jenis manusia, tentang ketidakpastian hidup, dan tentang keberanian untuk tetap berdiri meski angin berusaha menjatuhkan.

Cinta? Itu urusan belakangan. Sekar tidak lagi terburu-buru. Ia percaya bahwa ketika waktunya tepat, Tuhan akan mempertemukan ia dengan seseorang yang tidak hanya mengisi hidupnya, tetapi juga berjalan bersamanya dalam setiap langkah.

Kasih di akhir perjuangan
Perjalanan Sekar bukanlah cerita tentang kemenangan besar, tetapi tentang kemenangan kecil yang dikumpulkan hari demi hari.
Ia tidak lahir dari keluarga kaya, tidak punya keistimewaan selain tekad, dan tidak dihiasi keajaiban seperti dalam dongeng.

Namun hidupnya menjadi bukti bahwa setiap mimpi bisa tumbuh bahkan dari tanah yang paling gersang.

Di kota yang sering menggilas mimpi banyak orang, Sekar berdiri tegak sebagai seorang sarjana yang lahir dari perjuangan panjang.
Ia bukan lagi gadis desa yang takut melangkah; ia adalah perempuan muda yang mengenal dunia, memahami arti luka, dan tetap memilih untuk tidak menyerah.

Dan dari semua perjalanan itu, Sekar tahu satu hal ia telah menjadi harapan bagi dirinya sendiri.

Www.kris.or.id

Www.adharta.com